- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Sejarah Malang Pada Masa Pejajahan


TS
maritimindonesi
Sejarah Malang Pada Masa Pejajahan
Sejarah Malang Pada Masa Pejajahan - Kota Malang mulai berkembang setelah kedatangan pemerintah kolonial Belanda, kemudian fasilitas umum direncanakan agar memenuhi kebutuhan Belanda.

Misalnya Ijen Boulevard kawasan sekitarnya, hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Sedangkan penduduk pribumi bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang layak.
Perumahan itu sekarang seperti monumen yang seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim disana untuk bernostalgia.
Tahun 1879, di Malang mulai beroperasi kereta api, sejak itu Malang berkembang dengan pesat, kebutuhan masyarakat semakin meningkat.
Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali, perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Sejalan perkembangan tersebut diatas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan perumahan meningkat diluar kemampuan pemerintah.
Sementara tingkat ekonomi urbanis yang terbatas, berakibat pada munculnya perumahan liar yang berkembang disekitar yang dianggap tidak bertuan.
Beberapa lama kemudian daerah itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup mulai terjadi dengan segala dampaknya.
Masa Penjajahan Belanda

Sebelum dibangun Malang merupakan daerah pegunungan liar yang jarang penduduknya, namun beberapa orang yang tidak suka dengan VOC dan Mataram lari dan tinggal daerah ini.
Nama Malang sudah dikenal sejak tahun 1710 yang artinya “melintang”, Kerajaan Mataram tidak pernah memerintah wilayah ini karena banyaknya oposisi dan kerajaan yang melemah akibat perpecahan.
Akibat banyaknya pemberontak yang bersembunyi di Malang tentu akhirnya membuat VOC marah, kemudian pasukan gabungan dari VOC dan sekutunya menyerang Malang.
Sejak tahun 1716, VOC menguasai Belanda lalu mendirikan benteng di wilayah yang sekarang telah menjadi rumah sakit Celaket atau Rumah Sakit Saiful Anwar.
Kota-kota kolonial di Jawa memiliki ciri khas dengan alun-alun sebagai pusatnya, oleh karenanya, bangunan penting dapat ditemukan di sekitar alun-alun.
Bangunan penting seperti kantor Asisten Residen, Kantor Bupati, Penjara, serta Masjid dan Gereja, dapat ditemukan di sekitar alun-alun.
Pemukiman penduduk diatur oleh pemerintah kolonial, orang Eropa berada di daerah Barat Daya dari alun-alun yaitu sekitar Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya, serta di sekitar Kayoetangan, Oro-Oro Dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal.
Pemukiman orang Cina berada disebelah Tenggara dari alun-alun (sekitar Pasar Besar), Orang Arab di belakang Masjid Jami’ di alun-alun.
Orang pribumi menempati daerah kampung Kebalen, Penganggungan, Djodipan, Talon dan Klodjenlor, Sedangkan wilayah militer, berada di daerah Rampal.
Hotel di Kota Malang Pada Masa Penjajahan
Gaya hidup orang Eropa dimanjakan dengan adanya sejumlah toko seperti toko buku dan percetakan Kolff & Co. Terdapat Hotel Palace di Alun-alun Selatan sebagai salah satu hotel terkemuka. Hotel ini berdiri pada 1915 mempunyai 70 kamar.
Bangunannnya bertingkat dua.Tarifnya pada masa itu bisa mencapai F 75 per malamnya.
Hotel besar lainnya di Kota Malang adalah Splendid Inn terletak di Jalan Speelmanstraat (sekarang jalan Majapahit). Hotel ini dibangunpada 1923 atas jasa kantor arsitek Smits-Kooper (berkantor di Lowokwaru).
Hotel ini mempunyai 40 buah kamar, pemiliknya bernama CC Mulie, Keunikan hotelini adalah pada arsitektur bangunannya yang bergaya Nieuwe Bouwen (berbentuk kubus dan atap lurus).
Hotel lainnya ialah Hotel Victoria di Jalan Van Imhoffstraat yang dimiliki oleh A.G.M Funckle, Informasi yang menarik tentang hotel ini pada Oktober 1930 menawarkan sewa bulanan per kamar sebesar F 125.
Di Bromostraat (Jalan Bromo)no 17 juga terdapat hotel astor dengan tarif F 150 per orangnya dan kalau dua orang F 250(De Malanger, 1 Oktober 1930).
Sarana penginapan lainnya yang unik di Kota Malang pada 1920-an adalah Sans Souciens yang dimiliki seorang berkebangsaan Prancis bernama H. E Arrians.
Bangunan pertama terdiri 5 kamar untuk keluarga dan satu kamar untuk satu orang. Sementara bangunan kedua terdiri 4 kamar familie dan 1 kamar untuk dua orang(arsip tata kota No 3459/8 no 165, Malang 22 agustus 1929).
Masih terdapat penginapan model Pension (Wisma), seperti Pension Elvira di Celaket dan Pension Henriette di Klodjen Kidul no 11.
Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, Kota Malang yang merupakan bagian dari Indonesia juga tidak luput dijajah oleh Bangsa Jepang.
prosesi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 27-28 Februari 1942, Sebelumnya, sekutu Belanda menyerah di Laut Jawa pada 1 Februari 1942.
Pada pukul 04.00 pasukan Jepang memasuki Pulau Jawa di empat Pesisir Laut Utara, invasi Jepang di Jawa Timur dipimpin oleh Letnan Jendral Tsuchihashi Yuitsu dengan total pasukan 20.000 orang.
Pasukan Belanda Divisi III yang tersisa pimpinan Mayor Jendral G.A.Ilgen terkonsentrasi di Ngoro. Di Malang, batalyon marinir yang dipimpin oleh W.A.J mundur ke Dampit.
Tahun 1942 diberlakukan Milisi (Wajib Militer), program milisi ini mempersenjatai kaum pelajar untuk melawan pasukan Jepang.
Tanggal 8 Maret 1942, Malang dinyatakan sebagai kota terbuka, sekali lagi jalan tempat konsentrasi masa saat itu berada di Jalan Kayutangan.
Dan pada sore harinya negosiator Jepang menuntut Belanda untuk menyerah tanpa syarat.
Maka Letnan Jendral Ter Poorten menyerah kepada Nippon, Kemudian pasukan Jepang memasuki Malang dan Pada fase I penguasaan Jepang di Malang diadakan parade di Ijen Boulevard melewati Kayutangan.
Saat itu semua rakyat membanggakan Jepang sebagai penyelamat dan menjanjikan kemakmuran yang baik dengan slogan “Asia untuk Orang Asia” yang merupakan propaganda Jepang.
Pada 9 Maret 1942 pukul 03.00 dini hari, Residen Malang G. Schwenkcke menyebarkan selebaran. Jika ditulis dengan bahasa sekarang: “Pendudukan pasukan Dai Nippon akan datang dalam beberapa jam untuk menenangkan kota supaya tidak ada pertempuran, maka saya akan minta komandan Dai Nippon untuk membolehkan tugas-tugas pekerjaan politik”.
Jepang lantas mengeluarkan perintah larangan untuk mengibarkan bendera Belanda, mendengarkan radio siaran luar negeri dan memasang gambar Ratu Belanda serta anggota kerajaan Belanda.
Pada 16 Maret 1942 diumumkan pengurangan gaji pegawai yang drastis, pakaian dan barang-barang berharga disita, semua sekolah pendidikan Belanda ditutup.
Semua uang di bank dipindah ke Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), terjadi krisis keuangan dimana-mana.
pada 30 Juli 1947 di Jakarta, The Nieuwsqier menuliskan bahwa masyarakat, polisi dan pemerintah Malang mencoba menghalang-halangi pasukan Belanda, tetapi kemudian dapat dikalahkan.
Pada tanggal 31 Juli 1947, surat kabar nasional di Jogjakarta menulis, jika diterjemahkan secara bebas adalah: “Di Malang ada taktik bumi-hangus yang diterapkan besar-besaran dan diperkirakan 1,000 bangunan balanda dan instalasi strategis dihancurkan dengan cara dibakar dan diledakkan dengan sisa-sisa bom milik Dai Nippon".
Di era penjajahan Jepang telah terjadi peralihan fungsi bangunan, rumah-rumah tempat tinggal orang Belanda dialihkan fungsinya.
Bangunan milik Belanda di Jalan Semeru No 42 yang dulunya difungsikan sebagai kantor atau markas pasukan Belanda berubah fungsi menjadi gedung Kentapetai.
Gedung Kentapetai adalah salah satu gedung bersejarah di Malang yang kini menjadi gedung SMK swasta.
Gedung ini juga menjadi saksi bisu terjadinya pelucutan senjata Jepang oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) guna untuk memperkuat pertahanan Kota Malang.
Sebelum perang 1947, Malang memiliki cara unik dalam berperang, tidak dengan senjata, tetapi dengan pena. Untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda, atas gagasan seorang pemuda A.Hudan Dardiri, dibangunlah patung penyair binatang jalang kelahiran Medan Chairil Anwar.
Patung ini sengaja dibangun di tengah-tengah poros jalan utama di Kayutangan, dibangun pada tanggal 28 April 1955, diresmikan oleh Wali-kotamadya Malang Sardjono. Saat itu Kayutangan diyakini sebagai jalan persimpangan yang selalu dilewati semua pejuang di Kota Malang.
Sangat strategis jika ingin menyampaikan pesan apapun kepada masyarakat Malang melalui Jalan Kayutangan. “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang, menerjang…”. Ini merupakan cuplikan puisi Chairil Anwar yang menggambarkan semangat perjuangan seorang seniman lewat karya sastranya.
Di Kota Malang, peran aktif seniman dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai, tepat diujung Jalan Kayutangan terdapat Gedung Societeit Concordia sebagai saksi sejarah Kota Malang.
Gedung Societeit Concordia patut dijuluki sebagai cikal bakal sejarah Malang, karena menjadi tempat tinggal pertama bupati dan tempat berkumpul pertama warga Belanda saat mulai berani keluar dari benteng pertahanan di Celaket.
Demikian info tentang Sejarah Kota Malang Pada Masa Penjajahan, Semoga bermanfaat.

Misalnya Ijen Boulevard kawasan sekitarnya, hanya dinikmati oleh keluarga-keluarga Belanda dan bangsa Eropa lainnya. Sedangkan penduduk pribumi bertempat tinggal di pinggiran kota dengan fasilitas yang kurang layak.
Perumahan itu sekarang seperti monumen yang seringkali mengundang keluarga-keluarga Belanda yang pernah bermukim disana untuk bernostalgia.
Tahun 1879, di Malang mulai beroperasi kereta api, sejak itu Malang berkembang dengan pesat, kebutuhan masyarakat semakin meningkat.
Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali, perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.
Sejalan perkembangan tersebut diatas, urbanisasi terus berlangsung dan kebutuhan masyarakat akan perumahan meningkat diluar kemampuan pemerintah.
Sementara tingkat ekonomi urbanis yang terbatas, berakibat pada munculnya perumahan liar yang berkembang disekitar yang dianggap tidak bertuan.
Beberapa lama kemudian daerah itu menjadi perkampungan, dan degradasi kualitas lingkungan hidup mulai terjadi dengan segala dampaknya.
Masa Penjajahan Belanda

Sebelum dibangun Malang merupakan daerah pegunungan liar yang jarang penduduknya, namun beberapa orang yang tidak suka dengan VOC dan Mataram lari dan tinggal daerah ini.
Nama Malang sudah dikenal sejak tahun 1710 yang artinya “melintang”, Kerajaan Mataram tidak pernah memerintah wilayah ini karena banyaknya oposisi dan kerajaan yang melemah akibat perpecahan.
Akibat banyaknya pemberontak yang bersembunyi di Malang tentu akhirnya membuat VOC marah, kemudian pasukan gabungan dari VOC dan sekutunya menyerang Malang.
Sejak tahun 1716, VOC menguasai Belanda lalu mendirikan benteng di wilayah yang sekarang telah menjadi rumah sakit Celaket atau Rumah Sakit Saiful Anwar.
Kota-kota kolonial di Jawa memiliki ciri khas dengan alun-alun sebagai pusatnya, oleh karenanya, bangunan penting dapat ditemukan di sekitar alun-alun.
Bangunan penting seperti kantor Asisten Residen, Kantor Bupati, Penjara, serta Masjid dan Gereja, dapat ditemukan di sekitar alun-alun.
Pemukiman penduduk diatur oleh pemerintah kolonial, orang Eropa berada di daerah Barat Daya dari alun-alun yaitu sekitar Taloon, Tongan, Sawahan dan sekitarnya, serta di sekitar Kayoetangan, Oro-Oro Dowo, Tjelaket, Klodjenlor dan Rampal.
Pemukiman orang Cina berada disebelah Tenggara dari alun-alun (sekitar Pasar Besar), Orang Arab di belakang Masjid Jami’ di alun-alun.
Orang pribumi menempati daerah kampung Kebalen, Penganggungan, Djodipan, Talon dan Klodjenlor, Sedangkan wilayah militer, berada di daerah Rampal.
Hotel di Kota Malang Pada Masa Penjajahan
Gaya hidup orang Eropa dimanjakan dengan adanya sejumlah toko seperti toko buku dan percetakan Kolff & Co. Terdapat Hotel Palace di Alun-alun Selatan sebagai salah satu hotel terkemuka. Hotel ini berdiri pada 1915 mempunyai 70 kamar.
Bangunannnya bertingkat dua.Tarifnya pada masa itu bisa mencapai F 75 per malamnya.
Hotel besar lainnya di Kota Malang adalah Splendid Inn terletak di Jalan Speelmanstraat (sekarang jalan Majapahit). Hotel ini dibangunpada 1923 atas jasa kantor arsitek Smits-Kooper (berkantor di Lowokwaru).
Hotel ini mempunyai 40 buah kamar, pemiliknya bernama CC Mulie, Keunikan hotelini adalah pada arsitektur bangunannya yang bergaya Nieuwe Bouwen (berbentuk kubus dan atap lurus).
Hotel lainnya ialah Hotel Victoria di Jalan Van Imhoffstraat yang dimiliki oleh A.G.M Funckle, Informasi yang menarik tentang hotel ini pada Oktober 1930 menawarkan sewa bulanan per kamar sebesar F 125.
Di Bromostraat (Jalan Bromo)no 17 juga terdapat hotel astor dengan tarif F 150 per orangnya dan kalau dua orang F 250(De Malanger, 1 Oktober 1930).
Sarana penginapan lainnya yang unik di Kota Malang pada 1920-an adalah Sans Souciens yang dimiliki seorang berkebangsaan Prancis bernama H. E Arrians.
Bangunan pertama terdiri 5 kamar untuk keluarga dan satu kamar untuk satu orang. Sementara bangunan kedua terdiri 4 kamar familie dan 1 kamar untuk dua orang(arsip tata kota No 3459/8 no 165, Malang 22 agustus 1929).
Masih terdapat penginapan model Pension (Wisma), seperti Pension Elvira di Celaket dan Pension Henriette di Klodjen Kidul no 11.
Masa Penjajahan Jepang

Pada masa penjajahan Jepang, Kota Malang yang merupakan bagian dari Indonesia juga tidak luput dijajah oleh Bangsa Jepang.
prosesi penyerahan kekuasaan Belanda kepada Jepang pada 27-28 Februari 1942, Sebelumnya, sekutu Belanda menyerah di Laut Jawa pada 1 Februari 1942.
Pada pukul 04.00 pasukan Jepang memasuki Pulau Jawa di empat Pesisir Laut Utara, invasi Jepang di Jawa Timur dipimpin oleh Letnan Jendral Tsuchihashi Yuitsu dengan total pasukan 20.000 orang.
Pasukan Belanda Divisi III yang tersisa pimpinan Mayor Jendral G.A.Ilgen terkonsentrasi di Ngoro. Di Malang, batalyon marinir yang dipimpin oleh W.A.J mundur ke Dampit.
Tahun 1942 diberlakukan Milisi (Wajib Militer), program milisi ini mempersenjatai kaum pelajar untuk melawan pasukan Jepang.
Tanggal 8 Maret 1942, Malang dinyatakan sebagai kota terbuka, sekali lagi jalan tempat konsentrasi masa saat itu berada di Jalan Kayutangan.
Dan pada sore harinya negosiator Jepang menuntut Belanda untuk menyerah tanpa syarat.
Maka Letnan Jendral Ter Poorten menyerah kepada Nippon, Kemudian pasukan Jepang memasuki Malang dan Pada fase I penguasaan Jepang di Malang diadakan parade di Ijen Boulevard melewati Kayutangan.
Saat itu semua rakyat membanggakan Jepang sebagai penyelamat dan menjanjikan kemakmuran yang baik dengan slogan “Asia untuk Orang Asia” yang merupakan propaganda Jepang.
Pada 9 Maret 1942 pukul 03.00 dini hari, Residen Malang G. Schwenkcke menyebarkan selebaran. Jika ditulis dengan bahasa sekarang: “Pendudukan pasukan Dai Nippon akan datang dalam beberapa jam untuk menenangkan kota supaya tidak ada pertempuran, maka saya akan minta komandan Dai Nippon untuk membolehkan tugas-tugas pekerjaan politik”.
Jepang lantas mengeluarkan perintah larangan untuk mengibarkan bendera Belanda, mendengarkan radio siaran luar negeri dan memasang gambar Ratu Belanda serta anggota kerajaan Belanda.
Pada 16 Maret 1942 diumumkan pengurangan gaji pegawai yang drastis, pakaian dan barang-barang berharga disita, semua sekolah pendidikan Belanda ditutup.
Semua uang di bank dipindah ke Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), terjadi krisis keuangan dimana-mana.
pada 30 Juli 1947 di Jakarta, The Nieuwsqier menuliskan bahwa masyarakat, polisi dan pemerintah Malang mencoba menghalang-halangi pasukan Belanda, tetapi kemudian dapat dikalahkan.
Pada tanggal 31 Juli 1947, surat kabar nasional di Jogjakarta menulis, jika diterjemahkan secara bebas adalah: “Di Malang ada taktik bumi-hangus yang diterapkan besar-besaran dan diperkirakan 1,000 bangunan balanda dan instalasi strategis dihancurkan dengan cara dibakar dan diledakkan dengan sisa-sisa bom milik Dai Nippon".
Di era penjajahan Jepang telah terjadi peralihan fungsi bangunan, rumah-rumah tempat tinggal orang Belanda dialihkan fungsinya.
Bangunan milik Belanda di Jalan Semeru No 42 yang dulunya difungsikan sebagai kantor atau markas pasukan Belanda berubah fungsi menjadi gedung Kentapetai.
Gedung Kentapetai adalah salah satu gedung bersejarah di Malang yang kini menjadi gedung SMK swasta.
Gedung ini juga menjadi saksi bisu terjadinya pelucutan senjata Jepang oleh Badan Keamanan Rakyat (BKR) guna untuk memperkuat pertahanan Kota Malang.
Sebelum perang 1947, Malang memiliki cara unik dalam berperang, tidak dengan senjata, tetapi dengan pena. Untuk selalu mengobarkan semangat para pemuda, atas gagasan seorang pemuda A.Hudan Dardiri, dibangunlah patung penyair binatang jalang kelahiran Medan Chairil Anwar.
Patung ini sengaja dibangun di tengah-tengah poros jalan utama di Kayutangan, dibangun pada tanggal 28 April 1955, diresmikan oleh Wali-kotamadya Malang Sardjono. Saat itu Kayutangan diyakini sebagai jalan persimpangan yang selalu dilewati semua pejuang di Kota Malang.
Sangat strategis jika ingin menyampaikan pesan apapun kepada masyarakat Malang melalui Jalan Kayutangan. “Biar peluru menembus kulitku, aku tetap meradang, menerjang…”. Ini merupakan cuplikan puisi Chairil Anwar yang menggambarkan semangat perjuangan seorang seniman lewat karya sastranya.
Di Kota Malang, peran aktif seniman dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai, tepat diujung Jalan Kayutangan terdapat Gedung Societeit Concordia sebagai saksi sejarah Kota Malang.
Gedung Societeit Concordia patut dijuluki sebagai cikal bakal sejarah Malang, karena menjadi tempat tinggal pertama bupati dan tempat berkumpul pertama warga Belanda saat mulai berani keluar dari benteng pertahanan di Celaket.
Demikian info tentang Sejarah Kota Malang Pada Masa Penjajahan, Semoga bermanfaat.
0
1.4K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan