- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
Jurus Tukang Kredit


TS
Mahbubah127
Jurus Tukang Kredit

Jurus Tukang Kredit
Aku memang tukang kredit aneka barang kebutuhan rumah tangga, mulai dari barang dapur sampai ruang tamu. Sejak suamiku meninggal tiga tahun lalu, aku menekuni profesi ini untuk menghidupi ke tiga anakku. Jadi, tugasku selain belanja barang-barang pesanan pelanggan, juga berkewajiban menagih uang cicilan pada mereka.
Yang menjadi musuh bebuyutanku saat ini adalah si Juki, juragan kebab yang rumahnya paling besar di kampung ini. Heran saja, harta sebanyak itu buat apa, hingga beli ponsel saja harus utang padaku. Apalagi kerjanya nunggak terus.
Kata para tetangga, dia sengaja utang padaku agar bisa bertemu denganku setiap minggu, janda muda, cantik dan bohay.
Aku bergidik membayangkannya, meskipun kaya, wajahnya penuh dengan panu. Belum lagi istrinya yang badannya bak gasing di buntel karet itu, yang gigi depannya di tambal emas dua puluh empat karat, kalau bicara suaranya menggelegar bak toa masjid mengumumkan berita duka. Terdengar seantero kota dan desa.
Pernah suatu ketika aku ke rumahnya, untuk menagih uang kreditan ponsel suaminya. Eh, belum selesai aku bicara dia mengusirku sambil ngomel-ngomel sampai gerimis deras semburat dari mulutnya, membuatku harus mengembangkan payung menangkal tempiasnya. Alasannya, tidak mungkin orang kaya sekelas dia beli ponsel dengan cara kredit alias utang. Yang bikin geram, si Juki malah cekikikan di balik korden ruang tamu yang tersamar oleh kaca riben. Kurang ajar! dia sengaja sembunyi jika ada istrinya.
Akhirnya kucari cara supaya bisa menagih dan berhasil. Saat istrinya tak ada di rumah, barulah ia mau bayar tapi dengan syarat aku harus mau sedikit agak lama, biar dia puas ngobrol sama aku.
Oh, rupanya ngelunjak dia.
Baiklah, dia jual aku beli. Hari ini kukenakan baju yang paling seksi dan bersolek semenor mungkin. Tak peduli apa kata orang di sepanjang jalan. Anggap saja lagi kumat, kesambet setan pertigaan ujung jalan.
Sampai depan rumahnya, aku sudah siap dengan jurus yang kususun matang. Biasanya, jam segini, istrinya sudah berangkat ke arisan sosialita gigi emas dua puluh empat karat.
“Tok, tok, tok.” Suasana di luar tampak sepi. Tak ada sebatang hidung pun Berkelebat. Tapi aku yakin si Juki pasti ada di rumah bercat hitam putih ini.
“Assalamualaikum, ada orang di rumah?” Aku menempelkan wajahku ke jendela kacanya yang gelap. Kurang ajar, ternyata dia tengah duduk di sofa ruang tamunya sambil cengengesan.
Dengan perasaan dongkol kubuka paksa pintunya. Ada kopi dan sigaret di atas meja yang sudah setengah dinikmatinya.
Kusibak rok panjang yang menutupi pinggang ke bawah, sambil mengangkat satu kaki ke atas meja.
Kugebrak meja sehingga mengeluarkan bunyi berdebam. Sontak si Juki terlonjak dari tempatnya duduk. Untung aku memakai celana buat dalaman.
“Aku tidak ingin basa-basi, lunasi utangmu sekarang juga.”
“Sabar toh, Jum ... kita kan bisa bicara baik-baik. Duduk dulu, sini,” rayunya. Cih, muak aku melihatnya.
“Saat ini sudah habis kesabaranku. Kalau kamu tidak mau melunasi, biar kurudapaksa kamu di sini. Sebentar lagi Marpungah, istrimu, pulang. Dia akan menyaksikan hubungan kita, gimana? Asyik kan?” ancamku.
“Tunggu, jangan bercanda gitu, ah. Gak seru.” Wajahnya tampak pucat pasi. Halah, ternyata hanya sampai di situ saja nyalinya. Kutahan tawa dalam hati supaya tidak meledak.
Perlahan-lahan pura-pura kubuka kancing baju.
“Ayolah, bukannya ini yang kamu inginkan dari dulu, Juki. Aku sudah tak tahan, nih.” Huekk, sebenarnya aku sendiri jijik melakukan ini, tapi apa boleh buat? aku ingin memberi pelajaran padanya.
Kulihat mata Juki gelagapan. Tubuhnya mundur beberapa langkah. Tangannya meraba-raba tembok. Dalam hitungan detik ia sudah melesat ke dalam dan keluar membawa uang segenggam, lalu dilemparkannya padaku.
“Sudah, itu bawa semua uangnya. Cepat pulang sebelum Marpungah pulang,” ucapnya gemetar.
“Biar kuhitung dulu. Jangan-jangan uangnya kurang,” godaku. Padahal aku yakin uang ini jauh lebih banyak dari tagihanku.
“Gak usah. Hitung di rumahmu saja. Kalau lebih atau kurang besok telepon saja.” Wajahnya pucat seperti hantu pasar malam.
Dengan tersenyum puas, kubawa uang segepok itu keluar sambil mengipas-kipaskan di wajah penuh semringah. Huh, rasain! Janda di lawan ... .






Cahayahalimah dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.7K
41


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan