Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

n4z1.v8Avatar border
TS
n4z1.v8
Seruan Ormas dan Tokoh Agama: Tolak Provokasi, Ayo Rekonsiliasi


Seruan Ormas dan Tokoh Agama: Tolak Provokasi, Ayo Rekonsiliasi

Jakarta - Berbagai ormas besar dan tokoh agama menyerukan agar pendukung Joko-Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno rekonsiliasi usai pencoblosan pada 17 April 2019. Segala bentuk provokasi yang bertentangan dengan konsitusi harus dieliminasi.

Rekonsiliasi terus disuarakan oleh ormas-ormas Islam usai pencoblosan, di antaranya Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) yang dibentuk belasan ormas Islam juga turut menyampaikan hal senada.

Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, meminta elite politik tak memobilisasi massa untuk menentang hasil Pemilu 2019. Daripada memobilisasi massa, ia menyarankan berbagai sengketa pemilu diselesaikan lewat jalur hukum.

Organisasi Islam yang jadi wadah resmi habib se-Indonesia, Rabithah Alawiyah, juga mengeluarkan pernyataan resmi. Rakyat Indonesia diminta tetap menjaga persatuan dan kesatuan apapun nanti hasil penetapan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Apa pun hasilnya, kita tetap harus berpegang pada semangat ukhuwah. Pemilu penting, tetapi yang lebih penting adalah persatuan kita sebagai satu bangsa," kata Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Zen Bin Smith, dalam keterangan, Jumat (19/4). Habib Zen Bin Smith menegaskan Rabithah Alawiyah tidak terkait urusan politik praktis. Pandangan tersebut dikeluarkan sebagai bagian dari kecintaan terhadap negara. Rabithah menurutnya selalu peduli dengan kepentingan politik kebangsaan.

"Jangan lupa bahwa kemenangan yang didapat dengan kejujuran akan sangat berarti bagi kita semua," ujarnya.

Terkait pro dan kontra hasil quick count, Habib Zen meminta seluruh pihak menahan diri sampai hasil akhir dari KPU keluar. Dia mengajak umat tidak terlebih dulu menarik kesimpulan sebelum segala tahapan di KPU berakhir.

Habib Zen lantas mengajak umat untuk berdoa agar pemilu dapat memberikan manfaat terbaik untuk bangsa Indonesia. "Ingat bahwa kita telah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk hajatan ini. Jangan lupa, setiap selesai salat kita mendoakan yang terbaik bagi keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Habib Zen.

Habib Zen lantas meminta kepada pihak yang kelak diputuskan KPU sebagai pemenang agar bisa merangkul yang kalah. Jangan justru yang menang mencerca yang kalah. Menurutnya yang kini terpenting bagi bangsa Indonesia adalah islah atau rekonsiliasi nasional. Dia juga meminta calon yang terpilih merangkul pihak yang selama ini berseberangan.

"Yang terpenting yang terpilih harus mampu memandang bahwa semua adalah bersaudara sebangsa setanah air. Apapun perbedaan tidak boleh menyebabkan ada yang terpinggirkan. Siapapun nanti yang ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang harus menunjukkan sikap kenegarawanan dengan merangkul semua pihak yang yang sekubu maupun berlawanan kubu dengannya," ucapnya.

Demikian juga untuk pihak yang kalah. Habib Zen meminta agar kekalahan disikapi dengan legawa. "Marilah kita saling bahu membahu demi kebaikan bangsa, negara, dan agama," ujarnya.
SUMBER

=======================

Kalau kita mau jujur, sebenarnya alam demokrasi kita sudah tidak sehat.
Ketika persaingan dalam ranah politik telah memainkan sentimen agama dan sektarian, sebenarnya itu sebuah kemunduran. Seorang calon pemimpin tidak lagi dinilai dari pencapaian programnya atau visi misi programnya, tapi dinilai dari siapa dia, bagaimana tingkat keimanannya, apa agamanya, keturunan apa. Selama kita berkutat disitu maka selamanya Indonesia akan mengalami kemunduran. DKI Jakarta jadi bukti bagaimana konstelasi politik yang tidak bagus dipertontonkan.

Ketika Jokowi meninggalkan DKI Jakarta 2 tahun masa jabatannya, banyak yang teriak tidak amanah. Tapi ketika Sandiaga Uno meninggalkan jabatannya yang baru diamanatkan selama 8 bulan, semua diam, bungkam. Nampaknya amanah juga pilih-pilih orang.

Pada dasarnya 5 tahun belakangan ini, mau dibantah ataupun tidak, ini cuma bicara tentang dendam. Ada pihak yang merasa dibohongi dalam suatu perjanjian, sehingga merasa terhina. Ada pihak yang merasa bahwa hal itu bukan sebuah perjanjian yang mengikat, sebab memilih pemimpin bagi pihak yang tak merasa bersalah adalah memilih rekam jejak keberhasilan, bukan ajang uji coba.

Dan ketika dendam itu makin membesar, datanglah pihak yang membawa bahan bakar. Dengan bekal bahan bakar itulah, pihak yang punya agenda politik sendiri mencoba bermain api, sulut sana sini. Ketika api telah tercipta, datang lagi sekelompok orang dengan membawa api yang besar. Maka berkobarlah dendam itu tak berkesudahan.

Menurut SBY, Politik = Pencitraan. Dan itu telah diperankan oleh SBY dengan sangat gemilang selama 10 tahun, bahkan hingga kini. Mengenai peraih Piala Citra, andai piala itu diserahkan kepada Presiden RI, maka pastinya SBY yang keluar sebagai pemenang. Bukan Sukarno, apalagi Jokowi.

Dan seharusnya, ranah politik yang penuh dengan pencitraan ini tak perlu dimasuki oleh kalangan agamawan, rohaniawan. Tapi sayangnya, justru (ini harus diakui, suka atau tidak suka) banyak Ulama dan Ustadz ikut bermain dalam politik pencitraan ini. Bagaimana seorang Habib menebar kebencian dan provokasi ditengah masyarakat. Bagaimana seorang Ustadz mendompleng kasus Ahok disaat dirinya tenggelam dalam kasus poligami. Bagaimana seorang wakil Ketua MUI menebar kebencian pada Umara', pemimpin bangsa Indonesia ini tanpa pernah merasa bersalah.

Lalu kenapa mereka bisa sebebas itu? Karena mereka menjual nama ummat. Atas nama ummat mayoritas. Mereka menganggap bahwa yang mayoritas itu pasti mendukungnya, ikut dalam barisannya, ikut dalam anjurannya, ikut dalam provokasinya.

Jadi kalau sekarang demokrasi Indonesia bisa sekacau ini, siapa yang patut dipersalahkan? Kita semua telah tahu jawabannya. Mau dijawab didalam hati silakan, mau dikemukakan langsung ya silakan.

Dan setelah semuanya terjadi, bisakah mereka lepas tangan? Oh, tidak bisa. Mereka harus mengakui hal ini dengan jujur dan ikhlas! satu yang harus mereka lakukan, kembalilah kepada fungsinya masing-masing. Tugas Ulama dan Ustadz adalah mengajarkan kebaikan untuk bekal di akherat. Bimbing ummat menjalankan kewajibannya sebagai manusia yang berakal dan berakhlak. Jangan biarkan ummat disetir oleh manusia yang justru Agnostik atau bahkan Atheis. Bukannya malah berkolaborasi atau diam seribu bahasa!

Ibarat sekelompok serdadu, kembalilah ke barak.
Begitu pula dengan para Ulama dan Ustadz.
Kembalilah ke Pesantren!
Dan isi masjid, mushalla, langgar, dengan tausiyah yang sejuk, bukan justru mengisi dengan provokasi dan makian, seolah-olah dirinya sebagai manusia telah berhak seberhak-berhaknya mendapatkan Surga.

Sebab Surga dan Neraka itu mutlak milik Allah. Allah yang lebih tahu siapa-siapa yang paling pantas uintuk menikmatinya.

Itu.


Diubah oleh n4z1.v8 22-04-2019 03:08
19
5.4K
67
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan