- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
JOKOWI VS PRABOWO:APA YANG DIPERTARUHKAN PADA PILPRES 2019?


TS
agiladesetiawan
JOKOWI VS PRABOWO:APA YANG DIPERTARUHKAN PADA PILPRES 2019?
Masa jabatan kedua untuk Jokowi akan berarti lima tahun lagi perjuangannya untuk mengimplementasikan reformasi ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, sambil menavigasi isu-isu identitas yang kompleks dan ancaman terhadap pluralisme. Kemenangan Prabowo di Pilpres 2019 akan mengarahkan negara ini ke arah yang baru, lebih nasionalis, dan berpotensi lebih otokratis. Para konservatif, radikal Islam, dan militer, kemungkinan akan lebih banyak berperan dalam kekuasaan.
Oleh: Benjamin Soloway (Foreign Policy)
Pada Rabu (17/4), sekitar 193 juta masyarakat Indonesia akan memilih presiden mereka berikutnya dalam pemilihan umum yang juga akan menentukan nasib ribuan kursi di pemerintahan lokal, regional, dan nasional. Lebih dari 245 ribu kandidat bersaing untuk mendapatkan suara di seluruh Indonesia.
Presiden Indonesia Joko Widodo berbicara kepada para pendukungnya dalam kampanye di Jakarta pada 13 April. (Foto: Barcroft Media/Jefri Tarigan via Getty Images)
PERTARUNGAN KEPRESIDENAN
Joko Widodo adalah presiden pertama yang berasal dari luar militer dan elit politik, sejak transisi Indonesia ke demokrasi pada tahun 1998.
Sebagai seorang penjual furnitur yang sukses dari latar belakang sederhana, Jokowi menjadi terkenal sebagai Wali Kota Solo, dan pada tahun 2012 ia kemudian menjadi Gubernur Jakarta. Dia menggunakan peran tersebut sebagai batu loncatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014, dan memenangkan pertarungan yang diperebutkan itu.
Calon presiden Indonesia Prabowo Subianto bertemu para relawan setelah mendaftar untuk Pilpres 2019 di Jakarta, pada 10 Agustus 2018. (Foto: NurPhoto/Dasril Roszandi via Getty Images)
Lawan utama Jokowi dalam pertarungan itu mewakili garis keturunan politik yang sangat berbeda: Prabowo Subianto adalah tokoh kaya, mantan jenderal pasukan khusus, dan mantan menantu Soeharto—pemimpin kuat militer yang memerintah Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Pilpres 2019 bisa dibilang adalah pengulangan Pilpres 2014: Jokowi sekali lagi bersaing dengan Prabowo untuk jabatan tertinggi di negara ini.
Politik kepresidenan Indonesia tidak diatur dalam spektrum kiri-kanan, tetapi lebih difokuskan pada kepribadian dan kebijakan para kandidat. Aspek sikap dan pengaruh ini adalah di mana Jokowi dan Prabowo berbeda secara substansial.
Jokowi—seorang moderat yang berpikiran teknokratis—memajukan kebijakan yang berpusat pada pengembangan ekonomi, investasi infrastruktur, dan penciptaan lapangan kerja. Prabowo juga berfokus pada ekonomi, tetapi telah mengedepankan visi yang lebih militeristik, nasionalis, dan kadang-kadang xenophobia, dan ia telah menjalin hubungan lebih dekat dengan gerakan-gerakan Islamis populer.
Masa jabatan kedua untuk Jokowi akan berarti lima tahun lagi perjuangannya untuk mengimplementasikan reformasi ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, sambil menavigasi isu-isu identitas yang kompleks dan ancaman terhadap pluralisme. Kemenangan Prabowo akan mengarahkan negara ini ke arah yang baru, lebih nasionalis, dan berpotensi lebih otokratis. Para konservatif, radikal Islam, dan militer, kemungkinan akan lebih banyak berperan dalam kekuasaan.
Jokowi belum mewujudkan berbagai perbaikan ekonomi yang dijanjikannya lima tahun yang lalu, tetapi tetap mengejar upaya-upaya itu secara agresif, terkadang dengan mengorbankan perlindungan hak asasi manusia. Para pemilih harus membandingkan rekam jejaknya terhadap rekam jejak Prabowo, yang dituduh melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di bawah Soeharto, di mana Prabowo dilarang selama bertahun-tahun untuk memasuki Amerika Serikat (AS) karena catatan hak asasi manusianya, dan dituduh oleh mantan Presiden Indonesia BJ Habibie mencoba kudeta.
Masyarakat berkumpul untuk menyerukan pembebasan Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai Ahok, setelah penangkapannya karena penistaan agama, di Monumen Proklamasi di Jakarta, Indonesia, pada 10 Mei 2017. (Foto: NurPhoto/Dasril Roszandi via Getty Images)
LIMA TAHUN PERUBAHAN
Sejak Jokowi menjabat pada tahun 2014, lanskap politik Indonesia telah bergeser.
Nasib Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—mantan wakil Jokowi, yang menjadi Gubernur Jakarta ketika Jokowi lengser untuk menjadi Presiden—dapat menunjukkan apa yang berubah.
Ahok adalah sekutu politik terdekat Jokowi. Jika Jokowi adalah politisi Indonesia yang agak tidak biasa, Ahok berkali-kali lebih tidak biasa: Ahok sangat tidak sopan, keturunan China, dan seorang Protestan di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Semuanya yang dimiliki Ahok, mulai dari cara bicaranya yang tajam sampai statusnya sebagai minoritas ganda—orang Indonesia Tionghoa menghadapi sejarah panjang penindasan—membuatnya bertentangan dengan gerakan Islamis garis keras yang merayap di negara ini, yang menjadikannya target politik yang jelas.
Kepemimpinan Ahok sebagai gubernur berumur pendek. Ia membuat pernyataan kontroversial tentang sebuah ayat Alquran dalam sebuah pidato, yang mendorong protes besar-besaran yang diselenggarakan oleh kelompok Islam garis keras, yang membuatnya kalah dalam kampanye pemilihan ulang, dan dipenjara karena penistaan agama di bawah hukum yang jarang ditegakkan.
“Pemenjaraannya merupakan seruan untuk membangunkan banyak orang Indonesia,” kata Andreas Harsono, seorang peneliti Human Rights Watch yang berpusat di Jakarta, yang mengunjungi Ahok di penjara, kepada Foreign Policy. “Ada masalah serius tentang kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap minoritas di Indonesia.”
Apakah penahanan Ahok menjadi titik balik dalam lintasan Islam politik Indonesia atau hanya merupakan “kasus tidak sempurna dari pertarungan pemilu antara demokrasi pluralistik dan Islam politik,” seperti yang ditulis Krithika Varagur dalam esai untuk FP, masih menjadi subjek perdebatan.
Tetapi pengaruh Islamis garis keras telah meningkat: Di samping kecenderungannya yang sekuler, Prabowo menyelaraskan dirinya dengan arus politik Islamis yang mendorong pemecatan Ahok. Dan dalam upaya nyata untuk mengalahkan Prabowo, Jokowi menunjuk Ma’ruf Amin—Ketua Majelis Ulama Indonesia—sebagai pasangannya.
Para calon presiden yang bertarung mungkin sama dengan lima tahun yang lalu, tetapi politik identitas yang dimainkan telah berubah.
Para petugas mengangkut kotak suara untuk pemilihan umum di desa Bonto Matinggi di Maros, Sulawesi Selatan, pada 16 April. (Foto: AFP/Getty Images/Daeng Mansur)
MESIN DEMOKRASI
Jokowi menunjukkan keunggulan awal yang kuat dalam jajak pendapat, meskipun Prabowo telah mempersempit kesenjangan.
Terlepas dari hasilnya, kesenjangan yang tipis menandai apa yang Ben Bland—Direktur Proyek Asia Tenggara di Lowy Institute di Sydney—sebut sebagai prestasi demokrasi, yang “menggambarkan banyak proses tersembunyi yang mendukung masyarakat demokratis.”
Di negara berpenduduk lebih dari 17.000 pulau, untuk menyelenggarakan pemungutan suara satu hari di lebih dari 800 ribu tempat pemungutan suara, merupakan upaya besar. Para petugas pemilu, dengan menggunakan kano atau berjalan kaki melintasi pegunungan, membawa surat suara ke wilayah-wilayah pinggiran yang terpencil.
Negara demokrasi besar lainnya juga mengadakan pemilu besar-besaran. Namun di India—negara demokrasi terbesar di dunia—pemilihan umum berlangsung selama enam minggu, yang memberi para pejabat lebih banyak waktu untuk memikirkannya. Amerika Serikat tidak mengadakan pemilu langsung untuk jabatan tertinggi, alih-alih menyaring suara melalui Electoral College yang sudah berabad-abad, yang merupakan cara Presiden George W. Bush dan Donald Trump menjadi presiden. Itu menjadikan Pilpres 2019 di Indonesia sebagai pemilihan presiden langsung terbesar di dunia.
Pilpres 2019 memang menghadapi masalah substansial: Informasi yang salah telah berkembang dengan cepat di media sosial menjelang pemilu, dan lebih dari satu juta penduduk asli yang tidak memiliki kartu identitas yang tepat mungkin tidak dapat memberikan suara mereka. Terlepas dari itu, prosesnya berjalan dengan cepat—dan hasilnya akan menentukan masa depan Indonesia.
Keterangan foto utama: Seorang pekerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur kotak suara dalam persiapan untuk pilpres dan pileg di Surabaya pada tanggal 18 Maret. (Foto: AFP/Getty Images/Juni Kriswanto)
Oleh: Benjamin Soloway (Foreign Policy)
Pada Rabu (17/4), sekitar 193 juta masyarakat Indonesia akan memilih presiden mereka berikutnya dalam pemilihan umum yang juga akan menentukan nasib ribuan kursi di pemerintahan lokal, regional, dan nasional. Lebih dari 245 ribu kandidat bersaing untuk mendapatkan suara di seluruh Indonesia.

PERTARUNGAN KEPRESIDENAN
Joko Widodo adalah presiden pertama yang berasal dari luar militer dan elit politik, sejak transisi Indonesia ke demokrasi pada tahun 1998.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang penjual furnitur yang sukses dari latar belakang sederhana, Jokowi menjadi terkenal sebagai Wali Kota Solo, dan pada tahun 2012 ia kemudian menjadi Gubernur Jakarta. Dia menggunakan peran tersebut sebagai batu loncatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2014, dan memenangkan pertarungan yang diperebutkan itu.

Lawan utama Jokowi dalam pertarungan itu mewakili garis keturunan politik yang sangat berbeda: Prabowo Subianto adalah tokoh kaya, mantan jenderal pasukan khusus, dan mantan menantu Soeharto—pemimpin kuat militer yang memerintah Indonesia selama lebih dari 30 tahun.
Pilpres 2019 bisa dibilang adalah pengulangan Pilpres 2014: Jokowi sekali lagi bersaing dengan Prabowo untuk jabatan tertinggi di negara ini.
Politik kepresidenan Indonesia tidak diatur dalam spektrum kiri-kanan, tetapi lebih difokuskan pada kepribadian dan kebijakan para kandidat. Aspek sikap dan pengaruh ini adalah di mana Jokowi dan Prabowo berbeda secara substansial.
Jokowi—seorang moderat yang berpikiran teknokratis—memajukan kebijakan yang berpusat pada pengembangan ekonomi, investasi infrastruktur, dan penciptaan lapangan kerja. Prabowo juga berfokus pada ekonomi, tetapi telah mengedepankan visi yang lebih militeristik, nasionalis, dan kadang-kadang xenophobia, dan ia telah menjalin hubungan lebih dekat dengan gerakan-gerakan Islamis populer.
Masa jabatan kedua untuk Jokowi akan berarti lima tahun lagi perjuangannya untuk mengimplementasikan reformasi ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, sambil menavigasi isu-isu identitas yang kompleks dan ancaman terhadap pluralisme. Kemenangan Prabowo akan mengarahkan negara ini ke arah yang baru, lebih nasionalis, dan berpotensi lebih otokratis. Para konservatif, radikal Islam, dan militer, kemungkinan akan lebih banyak berperan dalam kekuasaan.
Jokowi belum mewujudkan berbagai perbaikan ekonomi yang dijanjikannya lima tahun yang lalu, tetapi tetap mengejar upaya-upaya itu secara agresif, terkadang dengan mengorbankan perlindungan hak asasi manusia. Para pemilih harus membandingkan rekam jejaknya terhadap rekam jejak Prabowo, yang dituduh melakukan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di bawah Soeharto, di mana Prabowo dilarang selama bertahun-tahun untuk memasuki Amerika Serikat (AS) karena catatan hak asasi manusianya, dan dituduh oleh mantan Presiden Indonesia BJ Habibie mencoba kudeta.

LIMA TAHUN PERUBAHAN
Sejak Jokowi menjabat pada tahun 2014, lanskap politik Indonesia telah bergeser.
Nasib Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—mantan wakil Jokowi, yang menjadi Gubernur Jakarta ketika Jokowi lengser untuk menjadi Presiden—dapat menunjukkan apa yang berubah.
Ahok adalah sekutu politik terdekat Jokowi. Jika Jokowi adalah politisi Indonesia yang agak tidak biasa, Ahok berkali-kali lebih tidak biasa: Ahok sangat tidak sopan, keturunan China, dan seorang Protestan di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Semuanya yang dimiliki Ahok, mulai dari cara bicaranya yang tajam sampai statusnya sebagai minoritas ganda—orang Indonesia Tionghoa menghadapi sejarah panjang penindasan—membuatnya bertentangan dengan gerakan Islamis garis keras yang merayap di negara ini, yang menjadikannya target politik yang jelas.
Kepemimpinan Ahok sebagai gubernur berumur pendek. Ia membuat pernyataan kontroversial tentang sebuah ayat Alquran dalam sebuah pidato, yang mendorong protes besar-besaran yang diselenggarakan oleh kelompok Islam garis keras, yang membuatnya kalah dalam kampanye pemilihan ulang, dan dipenjara karena penistaan agama di bawah hukum yang jarang ditegakkan.
“Pemenjaraannya merupakan seruan untuk membangunkan banyak orang Indonesia,” kata Andreas Harsono, seorang peneliti Human Rights Watch yang berpusat di Jakarta, yang mengunjungi Ahok di penjara, kepada Foreign Policy. “Ada masalah serius tentang kebebasan beragama dan diskriminasi terhadap minoritas di Indonesia.”
Apakah penahanan Ahok menjadi titik balik dalam lintasan Islam politik Indonesia atau hanya merupakan “kasus tidak sempurna dari pertarungan pemilu antara demokrasi pluralistik dan Islam politik,” seperti yang ditulis Krithika Varagur dalam esai untuk FP, masih menjadi subjek perdebatan.
Tetapi pengaruh Islamis garis keras telah meningkat: Di samping kecenderungannya yang sekuler, Prabowo menyelaraskan dirinya dengan arus politik Islamis yang mendorong pemecatan Ahok. Dan dalam upaya nyata untuk mengalahkan Prabowo, Jokowi menunjuk Ma’ruf Amin—Ketua Majelis Ulama Indonesia—sebagai pasangannya.
Para calon presiden yang bertarung mungkin sama dengan lima tahun yang lalu, tetapi politik identitas yang dimainkan telah berubah.

MESIN DEMOKRASI
Jokowi menunjukkan keunggulan awal yang kuat dalam jajak pendapat, meskipun Prabowo telah mempersempit kesenjangan.
Terlepas dari hasilnya, kesenjangan yang tipis menandai apa yang Ben Bland—Direktur Proyek Asia Tenggara di Lowy Institute di Sydney—sebut sebagai prestasi demokrasi, yang “menggambarkan banyak proses tersembunyi yang mendukung masyarakat demokratis.”
Di negara berpenduduk lebih dari 17.000 pulau, untuk menyelenggarakan pemungutan suara satu hari di lebih dari 800 ribu tempat pemungutan suara, merupakan upaya besar. Para petugas pemilu, dengan menggunakan kano atau berjalan kaki melintasi pegunungan, membawa surat suara ke wilayah-wilayah pinggiran yang terpencil.
Negara demokrasi besar lainnya juga mengadakan pemilu besar-besaran. Namun di India—negara demokrasi terbesar di dunia—pemilihan umum berlangsung selama enam minggu, yang memberi para pejabat lebih banyak waktu untuk memikirkannya. Amerika Serikat tidak mengadakan pemilu langsung untuk jabatan tertinggi, alih-alih menyaring suara melalui Electoral College yang sudah berabad-abad, yang merupakan cara Presiden George W. Bush dan Donald Trump menjadi presiden. Itu menjadikan Pilpres 2019 di Indonesia sebagai pemilihan presiden langsung terbesar di dunia.
Pilpres 2019 memang menghadapi masalah substansial: Informasi yang salah telah berkembang dengan cepat di media sosial menjelang pemilu, dan lebih dari satu juta penduduk asli yang tidak memiliki kartu identitas yang tepat mungkin tidak dapat memberikan suara mereka. Terlepas dari itu, prosesnya berjalan dengan cepat—dan hasilnya akan menentukan masa depan Indonesia.
Keterangan foto utama: Seorang pekerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatur kotak suara dalam persiapan untuk pilpres dan pileg di Surabaya pada tanggal 18 Maret. (Foto: AFP/Getty Images/Juni Kriswanto)
0
1.3K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan