Quote:
Saya bingung partai dan caleg gimana nyoblosnya.
Quote:
REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Kaum milenial anak sekolahan dan kuliahan serta emak-emak masih banyak yang bingung mencoblos untuk Pemilihan Calon Anggota Legislatif (Pileg). Lima kertas suara yang diberikan KPPS di TPS terpaksa dicoblos duluan kertas suara Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Saya yang bingung partai dan caleg gimana nyoblosnya, abis banyak sih nama dan partainya. Ya, terpaksa saya utamakan coblos dulu yang mudah kertas suara pilpres,” kata Fia, salah seorang mahasiswa tahun pertama di sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Bandar Lampung sebelum mencoblos di TPS 08 Beringin Jaya, Kemiling, Rabu (17/4).
Perempuan berusia 20 tahun ini baru pertama mencoblos pada Pemilu 2019. Pada pemilu dan pilkada sebelumnya ia tidak mencoblos alias golput. Menurut dia, pemilu tahun ini harus mencoblos karena terdapat pemilihan presiden. Ia lebih mengutamakan untuk memilih calon presiden daripada caleg dan partai, karena presiden seorang pemimpin negara dan pemerintahan.
“Saya lebih condong untuk memilih calon presiden dibandingkan dengan caleg. Karena caleg dan partai saya tidak tahu sama sekali orang dan partainya,” tuturnya.
Dhira (17), pemilih milenial yang bersekolah di SMA IT Bandar Lampung, juga merasakan kebingungan mengikuti Pemilu 2019. Menurut dia, ada lima kertas suara yang akan dicoblos semakin pusing membaca dan mencarinya. Lagi-lagi ia mengutamakan mencoblos calon presiden pilihannya.
“Saya ambil dulu kertas suara untuk mencoblos calon presiden. Empat kerta suara lainnya saya lihat-lihat saja partainya yang sreg baru saya coblos,” kata siswi kelas XI tersebut. Ia juga baru pemilu 2019 mencoblos, pemilu dan pilkada sebelumnya tidak mencoblos meski mendapat surat undangan memilih.
Kebingungan juga dirasakan kalangan emak-emak. Mereka berulangkali menanyakan cara mencoblos untuk caleg dan partai. Selain kekurangan penglihatan dan terlalu banyak yang dibaca di kertas surat suara pileg, kaum emak-emak tersebut juga mementingkan mencoblos calon presiden.
“Lebih mudah nyoblos calon presiden kan ada dua pilih salah satunya dan langsung coblos. Kalau caleg dan partai pusing saya, pilih yang mana semua tidak kenal dan tidak tahu orang dan partainya,” ujar Lina (52), ibu rumah tangga di Tanjungkarang Barat.
Menurut dia, pileg dan pilpres seharusnya dipisah karena kebanyakan surat suara membuat pemilih terutama para ibu-ibu dan orang lanjut usia semakin bingung dan pusing. “Jangankan mau baca, mau jalan saja susah, apalagi surat suaranya besar dan banyak tulisannya. Sebaiknya dipisah saja jangan digabung,” ujar ibu dua anak tersebut.
sumber
Jangan hanya karena persoalan efisiensi biaya tapi menghilangkan esensi dan substansi pemilu.
Jadi Sistem PEMILU yang dipakai sekarang ini lebih diartikan PEMILU rasa PILPRES, karena tiap hari obrolan pilpres mulu yang diomongin.
Untuk PILEG sendiri sistem yang ditawarkan benar-benar high cost bagi para calon legislatifnya, terutama yang benar-benar baru mengikuti.
Dan terlebih lagi aturan bagi mereka terasa amat sangat ketat dimana mereka dibatasi oleh keterbatasan-keterbatasan yang mengikat.
Karena semangat yang ingin dibangun untuk gelaran PEMILU kali ini lebih kepada perhelatan yang seharusnya adalah mencari isu-isu spesifik yang bisa terangkat di masing-masing partai yang mengusungnya.
Persoalannya lagi, kebijakan internal dalam partai itu juga bermacam-macam. Sehingga para caleg ini tidak hanya diharuskan berkompetisi dalam internal partai untuk sesama caleg dan berkompetisi untuk partai lain jadi bisa dikatakan dobel-dobel, bisa dibayangkan betapa beratnya persoalan ini.
Disamping ruang kampanye yang terbatas, dimana atmosfer selama delapan bulan waktu kampanye tidak menyisakan ruang bagi para caleg untuk berkomunikasi dan mengembangkan isu yang mereka punya.
(Benar-benar sebuah gelaran pemilihan umum yang mendistorsi calon-calon legislatif ke depan)
This is really bad dan benar-benar kurang menguntungkan untuk rekruitmen calon-calon legislatif yang ideal.
Semoga diskursus bagaimana mendisain Pemilu yang menarik dan berkembang untuk memilih keterwakilan yang baik, disuarakan sejak awal.