- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
SEXY KILLERS || Mengungkap Sisi Kelam Eksploitasi Batubara


TS
pluvioniest
SEXY KILLERS || Mengungkap Sisi Kelam Eksploitasi Batubara



Quote:
Gara gara ini, aku jadi penasaran dengan SEXY KILLERS, karena terlambat datang dan film sudah diputar.
Quote:

Quote:
Setelah diputar di kota-kota besar di Indonesia, akhirnya WATCHDOC merilis film ke ranah publik di platform YouTube.
Spoiler for SEXY KILLERS:

Spoiler for SEXY:
Spoiler for KILLERS:
Spoiler for WATCHDOC:
Semua berawal dari ledakan dari dalam tanah. Bum!!
Layar film Sexy Killersmemperlihatkan ledakan di lokasi tambang. Tanah membubung tinggi lalu meninggalkan debu beterbangan. Kendaraan pengeruk dan truk-truk besar hilir mudik mengangkut hasil ledakan: batubara.
Dari Kalimantan, puluhan ribu ton batubara mengalir --terutama ke Jawa dan Bali, dua pulau paling rakus mengonsumsi energi. Mereka melewati jalur sungai, laut, sebelum tiba di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan sumber energi batubara.
Sepanjang itulah, sumber energi bumi bernama batubara itu membawa bencana. Dari hulu hingga hilir. Sexy Killers, film dokumenter terbaru rumah produksi WatchDoc dengan apik menarasikan bagaimana sumber energi itu menjadi "pembunuh" bagi warga, terutama kelompok miskin dan perdesaan.
WatchDoc meluncurkan dokumenter sepanjang 88 menit ini pada Jumat (5/4/2019). Pada hari itu juga, berbagai komunitas di lebih dari 10 kota menggelar nonton bareng (nobar): Semarang, Samarinda, Surabaya, Kupang, Makassar, dan seterusnya.
Tiga hari kemudian, hingga Senin (8/4) siang, setidaknya sudah 74 lokasi menggelar nobar dokumenter Sexy Killers. Mereka terutama dari kalangan mahasiswa, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, dan karang taruna.
Komunitas Perpustakaan Jalanan di Denpasar, Bali, termasuk salah satu lokasi yang menggelar nobar itu pada Sabtu (6/4) malam di Kampus Sudirman Universitas Udayana. Sekitar 50 penonton hadir di tempat parkir kampus negeri terbesar di Bali itu.
"Setelah nonton film ini saya jadi tahu bagaimana permainan para oligarki dalam industri batubara di negeri ini," kata I Made Wipra Prasita, seorang penonton.
Nobar di Denpasar berlanjut dengan diskusi bertema energi bersih dan terbarukan. Praktisi energi matahari Agung Putradhyana, lebih akrab dipanggil Gung Kayon, hadir sebagai pembicara bersama Aam Wijaya dari Greenpeace Indonesia.
Gung Kayon termasuk narasumber dalam dokumenter Sexy Killers. Adapun Greenpeace Indonesia termasuk produser bersama Jaringan Advokasi Advokasi Tambang (JATAM).
Bagian Terakhir
Sexy Killers merupakan bagian terakhir dari rangkaian dokumenter hasil Ekspedisi Indonesia Biru. Ini hasil perjalanan dua jurnalis videografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, keliling Indonesia pada 2015.
Selama sekitar setahun, mereka menempuh perjalanan bersepeda motor dari Jakarta ke Bali, Sumba, Papua, Kalimantan, Sulawesi, lalu kembali ke Jawa.
Dari perjalanan itu mereka menghasilkan 12 film dokumenter tentang isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dua di antaranya adalah Kala Benoa, tentang gerakan Bali tolak reklamasi Teluk Benoa; dan (A)simetris, tentang industri kelapa sawit.
Menurut Dandhy yang bertindak sebagai sutradara, bagian inti Sexy Killers dikerjakan selama Ekspedisi Indonesia Biru dengan mengambil lokasi Kalimantan Timur (Kaltim). Pengembangan cerita dilakukan di beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi dengan melibatkan videografer lain di daerah-daerah itu.
Sebagaimana dokumenter khas Ekspedisi Indonesia Biru lainnya, Sexy Killers juga menghadirkan sisi lain dari pembangunan infrastruktur yang begitu masif pada rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla. Di balik banyak pembangunan PLTU batubara, terdapat korban-korban dari kalangan petani, nelayan, dan kelompok rentan lain.
Sexy Killers menunjukkan para korban "pembunuhan" batubara itu terentang dari hulu hingga hilir. Dari lokasi penambangan sampai tempat batubara itu digunakan.
Di lokasi penambangan di Kaltim, misalnya, petani dari Jawa dan Bali yang melakukan transmigrasi pada zaman Orde Baru kini harus berhadapan dengan industri penambangan batubara. Mereka tergusur atau tercemar.
"Dulu sebelum ada bangunan batubara, sawah tidak rusak. Tidak amburadul. Sekarang sejak ada tambang, rakyat kecil malah sengsara. Yang enak, rakyat yang besar. Ongkang-ongkang kaki terima uang. Kalau kita terima apa? Terima imbasnya. Lumpur.." kata seorang petani yang tak disebut namanya.
Lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan kini juga meminta tumbal. Menurut Sexy Killers, pada kurun 2011 – 2018 ada 32 orang mati tenggelam di bekas lubang tambang di Kaltim. Secara nasional pada kurun 2014-2018 terdapat 115 orang mati.
Layar film Sexy Killersmemperlihatkan ledakan di lokasi tambang. Tanah membubung tinggi lalu meninggalkan debu beterbangan. Kendaraan pengeruk dan truk-truk besar hilir mudik mengangkut hasil ledakan: batubara.
Dari Kalimantan, puluhan ribu ton batubara mengalir --terutama ke Jawa dan Bali, dua pulau paling rakus mengonsumsi energi. Mereka melewati jalur sungai, laut, sebelum tiba di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan sumber energi batubara.
Sepanjang itulah, sumber energi bumi bernama batubara itu membawa bencana. Dari hulu hingga hilir. Sexy Killers, film dokumenter terbaru rumah produksi WatchDoc dengan apik menarasikan bagaimana sumber energi itu menjadi "pembunuh" bagi warga, terutama kelompok miskin dan perdesaan.
WatchDoc meluncurkan dokumenter sepanjang 88 menit ini pada Jumat (5/4/2019). Pada hari itu juga, berbagai komunitas di lebih dari 10 kota menggelar nonton bareng (nobar): Semarang, Samarinda, Surabaya, Kupang, Makassar, dan seterusnya.
Tiga hari kemudian, hingga Senin (8/4) siang, setidaknya sudah 74 lokasi menggelar nobar dokumenter Sexy Killers. Mereka terutama dari kalangan mahasiswa, komunitas, lembaga swadaya masyarakat, dan karang taruna.
Komunitas Perpustakaan Jalanan di Denpasar, Bali, termasuk salah satu lokasi yang menggelar nobar itu pada Sabtu (6/4) malam di Kampus Sudirman Universitas Udayana. Sekitar 50 penonton hadir di tempat parkir kampus negeri terbesar di Bali itu.
"Setelah nonton film ini saya jadi tahu bagaimana permainan para oligarki dalam industri batubara di negeri ini," kata I Made Wipra Prasita, seorang penonton.
Nobar di Denpasar berlanjut dengan diskusi bertema energi bersih dan terbarukan. Praktisi energi matahari Agung Putradhyana, lebih akrab dipanggil Gung Kayon, hadir sebagai pembicara bersama Aam Wijaya dari Greenpeace Indonesia.
Gung Kayon termasuk narasumber dalam dokumenter Sexy Killers. Adapun Greenpeace Indonesia termasuk produser bersama Jaringan Advokasi Advokasi Tambang (JATAM).
Bagian Terakhir
Sexy Killers merupakan bagian terakhir dari rangkaian dokumenter hasil Ekspedisi Indonesia Biru. Ini hasil perjalanan dua jurnalis videografer, Dandhy Dwi Laksono dan Ucok Suparta, keliling Indonesia pada 2015.
Selama sekitar setahun, mereka menempuh perjalanan bersepeda motor dari Jakarta ke Bali, Sumba, Papua, Kalimantan, Sulawesi, lalu kembali ke Jawa.
Dari perjalanan itu mereka menghasilkan 12 film dokumenter tentang isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dua di antaranya adalah Kala Benoa, tentang gerakan Bali tolak reklamasi Teluk Benoa; dan (A)simetris, tentang industri kelapa sawit.
Menurut Dandhy yang bertindak sebagai sutradara, bagian inti Sexy Killers dikerjakan selama Ekspedisi Indonesia Biru dengan mengambil lokasi Kalimantan Timur (Kaltim). Pengembangan cerita dilakukan di beberapa daerah seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi dengan melibatkan videografer lain di daerah-daerah itu.
Sebagaimana dokumenter khas Ekspedisi Indonesia Biru lainnya, Sexy Killers juga menghadirkan sisi lain dari pembangunan infrastruktur yang begitu masif pada rezim Joko Widodo – Jusuf Kalla. Di balik banyak pembangunan PLTU batubara, terdapat korban-korban dari kalangan petani, nelayan, dan kelompok rentan lain.
Sexy Killers menunjukkan para korban "pembunuhan" batubara itu terentang dari hulu hingga hilir. Dari lokasi penambangan sampai tempat batubara itu digunakan.
Di lokasi penambangan di Kaltim, misalnya, petani dari Jawa dan Bali yang melakukan transmigrasi pada zaman Orde Baru kini harus berhadapan dengan industri penambangan batubara. Mereka tergusur atau tercemar.
"Dulu sebelum ada bangunan batubara, sawah tidak rusak. Tidak amburadul. Sekarang sejak ada tambang, rakyat kecil malah sengsara. Yang enak, rakyat yang besar. Ongkang-ongkang kaki terima uang. Kalau kita terima apa? Terima imbasnya. Lumpur.." kata seorang petani yang tak disebut namanya.
Lubang-lubang bekas tambang yang ditinggalkan kini juga meminta tumbal. Menurut Sexy Killers, pada kurun 2011 – 2018 ada 32 orang mati tenggelam di bekas lubang tambang di Kaltim. Secara nasional pada kurun 2014-2018 terdapat 115 orang mati.
Spoiler for BANYAK TUMBAL:
Spoiler for TUMBAL:
Banyak Tumbal
Dari lokasi penambangan, pengangkutan batubara itu terus memakan lebih banyak tumbal ketika diangkut menuju lokasi PLTU di Jawa dan Bali. Di Batang, Jawa Tengah, petani tergusur dan tidak bisa leluasa memasuki sawahnya.
Nelayan juga terkepung PLTU sehingga sumber penghidupannya terancam. Terumbu karang hancur karena tumpahan batu bara atau jangkar kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara.
"Nek PLTU berdiri, anakku arep digowo mrindi? Wis ora ono maneh tempat Indonesia, Pak. Gara-gara wong sing pinter kuwi, gununge didol. Segoro arep ditanduri wesi," seorang nelayan bersuara dengan agak berteriak lalu menepuk dada menahan amarahnya dalam bahasa Jawa.
Dalam terjemahan bebas, komentar itu berarti: "Bila PLTU berdiri, anakku mau dibawa ke mana? Tak ada tempat lagi di Indonesia. Gara-gara orang pinter, gunung dijual. Laut ditanami besi."
Di tempat lain, asap PLTU batubara itu bahkan telah merenggut nyawa warga sekitar, seperti di Palu, Sulawesi Tengah. Sexy Killers menghadirkan getir tangis para korban di balik gemerlap lampu yang dinikmati warga sehari-hari.
Di Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, hadirnya PLTU juga membawa sejumlah masalah bagi warga setempat. Laporan Greenpeace Indonesia pada April 2018 menyebutkan PLTU Celukan Bawang yang beroperasi sejak 2015 itu menimbulkan empat dampak.
Pertama, ganti rugi tanah belum selesai yang antara lain karena nilai ganti rugi tidak layak dan proses tidak transparan.
Kedua, hancurnya mata pencaharian --terutama untuk petani dan nelayan tangkap.
Ketiga, kerusakan lingkungan di darat dan di laut akibat limbah sisa pembakaran. Keempat, terganggunya kesehatan warga --terutama sakit pernapasan yang diperburuk tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan.
Ironisnya, PLTU Celukan Bawang sebenarnya tidak pernah masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di Bali. Menurut RUPTL Nasional, Bali termasuk provinsi dengan rasio elektrifikasi tertinggi di Indonesia, 100 persen, bersama DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Bandingkan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) 70 persen atau Papua, 65 persen.
Saat ini, beban puncak kebutuhan listrik Bali mencapai 825 megawatt. Adapun total pasokan listrik sudah melebihi, yaitu 1.248 megawatt.
Ketika pasokan listrik Bali sudah berlebih dan PLTU Celukan Bawang sudah menimbulkan banyak dampak buruk bagi warga setempat, di tempat yang sama justru akan dibangun PLTU tahap II.
Dari lokasi penambangan, pengangkutan batubara itu terus memakan lebih banyak tumbal ketika diangkut menuju lokasi PLTU di Jawa dan Bali. Di Batang, Jawa Tengah, petani tergusur dan tidak bisa leluasa memasuki sawahnya.
Nelayan juga terkepung PLTU sehingga sumber penghidupannya terancam. Terumbu karang hancur karena tumpahan batu bara atau jangkar kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara.
"Nek PLTU berdiri, anakku arep digowo mrindi? Wis ora ono maneh tempat Indonesia, Pak. Gara-gara wong sing pinter kuwi, gununge didol. Segoro arep ditanduri wesi," seorang nelayan bersuara dengan agak berteriak lalu menepuk dada menahan amarahnya dalam bahasa Jawa.
Dalam terjemahan bebas, komentar itu berarti: "Bila PLTU berdiri, anakku mau dibawa ke mana? Tak ada tempat lagi di Indonesia. Gara-gara orang pinter, gunung dijual. Laut ditanami besi."
Di tempat lain, asap PLTU batubara itu bahkan telah merenggut nyawa warga sekitar, seperti di Palu, Sulawesi Tengah. Sexy Killers menghadirkan getir tangis para korban di balik gemerlap lampu yang dinikmati warga sehari-hari.
Di Celukan Bawang, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, hadirnya PLTU juga membawa sejumlah masalah bagi warga setempat. Laporan Greenpeace Indonesia pada April 2018 menyebutkan PLTU Celukan Bawang yang beroperasi sejak 2015 itu menimbulkan empat dampak.
Pertama, ganti rugi tanah belum selesai yang antara lain karena nilai ganti rugi tidak layak dan proses tidak transparan.
Kedua, hancurnya mata pencaharian --terutama untuk petani dan nelayan tangkap.
Ketiga, kerusakan lingkungan di darat dan di laut akibat limbah sisa pembakaran. Keempat, terganggunya kesehatan warga --terutama sakit pernapasan yang diperburuk tidak adanya pemantauan mengenai dampak kesehatan.
Ironisnya, PLTU Celukan Bawang sebenarnya tidak pernah masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) di Bali. Menurut RUPTL Nasional, Bali termasuk provinsi dengan rasio elektrifikasi tertinggi di Indonesia, 100 persen, bersama DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten. Bandingkan dengan Nusa Tenggara Timur (NTT) 70 persen atau Papua, 65 persen.
Saat ini, beban puncak kebutuhan listrik Bali mencapai 825 megawatt. Adapun total pasokan listrik sudah melebihi, yaitu 1.248 megawatt.
Ketika pasokan listrik Bali sudah berlebih dan PLTU Celukan Bawang sudah menimbulkan banyak dampak buruk bagi warga setempat, di tempat yang sama justru akan dibangun PLTU tahap II.
Spoiler for Buka:
Tercengang, bahkan dari nama-nama kepemilikan tambang batubara tak luput dari nama Keseluruhan Calon Presiden dan Wakil presiden.





Spoiler for Yuk Yang Mau Berkontribusi Terhadap Alam Khususnya di Demak, Kudus Semarang dan sekitarnya. Datang Kesini.:
Spoiler for RAWAT BUMI:


Spoiler for buka:
16
18.9K
Kutip
107
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan