- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ditunggu! Dewan Pakar PKPI Minta Maaf ke Gatot N, Susul 2 Intelektual ProJo pd Din


TS
kangmantri
Ditunggu! Dewan Pakar PKPI Minta Maaf ke Gatot N, Susul 2 Intelektual ProJo pd Din
Judul Lengkap : Ditunggu! Dewan Pakar PKPI Minta Maaf ke Gatot Nurmantyo, Susul 2 Intelektual Pro Jokowi pada Din

itoday - Sikap negarawan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo tampaknya menjadi duri bagi “intelektual partisan” yang ikut bertarung mendukung salah satu capres pada Pilpres 2019. Upaya Gatot Nurmantyo untuk mengingatkan semua pihak agar tidak menggunakan isu mempertentangkan Islam dengan Pancasila terkait Pilpres 2019, terus disoal intelektual partisan yang kebetulan berpihak ke capres petahana Joko Widodo.
Aktivis liberal pro Jokowi, Denny Siregar menuding pernyataan Gatot (menanggapi statement mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang menyebut Pilpres 2019 perang antara ideology Pancasila vs Khilafah) dilatarbelakangi ilusi Gatot soal kebangkitan PKI. Dalam tulisan bertajuk “Gatot Nurmantyo dan Ilusi PKI versus Islam”, Deny Siregar menyatakan bahwa bagi Gatot PKI adalah biang segala masalah. Desi juga mengaitkan pernyataan Gatot dengan munculnya tudingan bahwa ada gerakan Khilafah di belakang kubu Prabowo Subianto yang menguat pasca dibubarkannya HTI pada 2017.
Tidak hanya Deny Siregar, Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Teddy Gusnaidi seperti kehilangan kendali menyebut Gatot Nurmantyo telah membuat framing bahwa ideologi Khilafah ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. Tulisan Teddy yang bertajuk “Gatot Nurmantyo, Jangan Anda Framing bahwa Ideologi Khilafah ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. Ngawur Anda!”, jauh dari tulisan yang mengedepankan intelektual, bahkan tak pantas ditulis oleh seorang anggota dewan pakar sebuah partai politik. Tulisan Teddy lebih menonjolkan isi hati seorang pendukung capres yang “terluka” karena kubunya tergores sikap nasionalis Gatot Nurmantyo.
Memakai dasar argument apa Teddy di awal tulisannya menyebut “Gatot Nurmantyo membela ideology khilafah”? Terlalu ceroboh jika Teddy menyimpulkan komentar Gatot di sosmed “Jangan lupakan sejarah dan jangan mau dipecah belah sama orang-orang yang haus kekuasaan !!!!”, sebagai bukti bahwa Gatot membela ideology khilafah. Bukankah penegasan Gatot yang mengomentari statement Hendropriyono soal Pancasila vs Khilafah tidak dalam konteks membela ideology khilafah. Penegasan Gatot seharusnya dibaca sebagai upaya seorang negarawan yang mengingatkan anak bangsa agar tidak menggunakan isu yang mempertentangkan Islam dan Pancasila dalam Pilpres ataupun Pemilu. Ringkasnya, jika Hendropriyono tidak mengeluarkan statement Pancasila vs Khilafah, bisa dipastikan Gatot tidak akan bersuara. Kalau pernyataan Gatot mengarah ke Hendropriyono yang berada di kubu petahana, hal itu karena justru Hendropriyono lah yang memulai menggunakan isu yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Gatot dalam posisi tidak ingin anak bangsa yang sedang menyongsong Pilpres terpecah belah karena dihajar isu pertentangan Islam dan Pancasila. Apakah karena pernyataan itu dikeluarkan oleh pihak yang satu kubu pengusung capres petahana, sehingga Teddy mati-matian membuat pembelaan?
Dalam tulisan itu, Teddy juga menarik kesimpulan yang sangat tak berdasar, yakni sikap Gatot yang dinilai berlawanan dengan penguasa itu sebagai buah dari ketidakpuasan karena diberhentikan secara mendadak oleh Presiden Jokowi dari jabatan Panglima TNI dan gagal menjadi capres. “Ini sangat berbahaya kalau seorang mantan Panglima TNI yang gagal menjadi Capres dan gagal mendapatkan panggung politik, menganggap ideologi khilafah kelompok radikal ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. “Sangat-sangat berbahaya dan sangat tidak pantas. Seharusnya sebagai seorang mantan TNI yang punya jiwa Pancasila, mendukung apa yang dilakukan oleh rakyat menghadang Ideologi Khilafah, jangan karena sakit hati dengan Jokowi lalu dia membuat framing seolah-olah khilafah itu Islam,” demikian tulis Teddy.
Tahu apa Teddy Teddy Gusnaidi soal hubungan Islam dan khilafah, sehingga menuding Gatot membuat framing seolah-olah khilafah itu Islam? Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin telah menegaskan bahwa walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Quran adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/Khalifatullah fil ardh). Penegasan Din itu dalam konteks upaya mencegah penggunaan isu keagamaan dalam momen Pilpres 2019, senada dengan pernyataan Gatot Nurmantyo sebelumnya.
Satu barisan dengan Teddy Gusnaidi, sama-sama pendukung capres petahana, Rais Syuriah PCNU Australia, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dan dosen FISIP UIN Syarief Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, seragam mengecam pernyataan Din Syamsuddin tersebut. “Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini keliru karena tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dengan khalifah. Point kedua (rilis Din Syamsuddin) amat fatal kelirunya: tidak ada satupun ayat Qur’an yang menggunakan istilah Khilafah. Yang ada itu soal Khalifah. MUI gagal paham bedakan keduanya. Parah!,” tulis Gus Nadir di akun Twitter @na_dirs. Ironisnya, cuitan Gus Nadir itu dibenarkan Burhanuddin Muhtadi. Di akun Twitter @BurhanMuhtadi, Burhanuddin menulis: “Setuju Gus. Poin kedua itu salah fatal. Saya kaget juga Pak Din bisa menyamakan khilafah sebagai sistem dengan khalifah? Masak beliau ngga tahu ya?”
“Serangan” Burhanuddin ke Din Syamsuddin semakin ngawur. Di akun Twitter, Burhan kembali menyinggung Din lewat tulisannya yang dipublikasikan dalam Brill and Asian Journal of Social Science, 2009. Dari situ, Burhan mencatat bahwa masuknya aktivis-aktivis HTI ke Muhammadiyah dan MUI terjadi saat era kepemimpinan Din.
Kecaman dua intelektual pro Jokowi itu memaksa Din Syamsuddin membuat klarifikasi. Din menyebut pernyataan Burhanuddin Muhtadi mislead and misleading. Din memastikan tidak ada aktivis HTI masuk ke Muhammadiyah apalagi jadi pengurus, yang ada anggota Muhammadiyah (seperti juga dari ormas-ormas lain) keluar masuk HTI. Kalau di MUI, HTI memang salah satu elemen umat Islam yang selalu diundang dalam Forum Ukhuwah Islamiyah sejak era Ketua Umum KH. Ali Yafie sd Ketua Umum KH. Sahal Mahfudz. “Mengapa hal ini Anda munculkan terkait upaya saya mengklarifikasi secara akademik tentang khilafah. Kalau mau kritik, fokuskan pada substansi pemikiran, jangan personal, karena itu terkesan tidak akademik,” tulis Din.
Pertarungan gagasan antara intelektual pro Jokowi dengan intelektual non partisan pun berakhir anti klimaks. Burhanuddin Muhtadi meminta maaf kepada Din Syamsuddin. Burhan menuturkan pernyataannya tersebut hanya ingin merespons kicauan Nadirsyah mengenai khilafah dan khalifah. Nadirsyah Hosen akhirnya juga ikut membuat permohonan maaf tertulis. Nadirsyah mengaku ditegur oleh kakaknya, Nadra Hosen, lantaran kritikannya yang membuat tokoh Muhammadiyah dan MUI geram. Senada dengan Burhan, Nadirsyah juga berkelit bahwa komentarnya itu merespon statatemen aktivis Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya di social media.
Walhasil, jika Nadirsyah Hosen dan Burhanuddin Muhtadi sudah meminta maaf kepada Din Syamsuddin soal narasi hubungan Islam dan Khilafah, sudah seharusnya Teddy Gusnaidi dan juga Denny Siregar juga meminta maaf ke Gatot Nurmantyo. Dalam dunia intelektual, perang gagasan adalah lumrah, dan selanjutnya meminta maaf atas kesalahan adalah ciri khas seorang intelektual yang berwawasan terbuka menerima kritik.
Bagaimana Teddy Gusnaidi dan Denny Siregar? Jangan sampai muncul tudingan bahwa kalian berdua adalah buzzer petahana yang mengaku intelektual sehingga bebas menebar tudingan dan fitnah kepada pihak lain yang ingin mengingatkan penguasa. Dalam hal ini pengamat politik yang juga praktisi hukum Arman Garuda Nusantara sempat menyindir kapasitas intelektual Teddy Gusnaidi. “Yang ngawur itu bukan Pak Jenderal TNI (Purn) @Nurmantyo_Gatot , bung @TeddyGusnaidi , tapi orang yang saya capture tweetnya ini. Mosok Pak @jokowi diibaratkan sama dengan Luna Maya? Apa gak sekalian aja ente samakan dengan Lucinta Luna? Kebanyakan bergaul dgn Kim Jong Un sih ente..,” tulis Arman di akun Twitter @armangn8. @armangn8 melampirkan capture pernyataan Teddy di akun @TeddyGusnaidi: “Jokowi itu ibarat Luna Maya, gak dandan aja udah cantik. Beda dengan @prabowo.”
Ngeri-ngeri Sedap...
I-Today

itoday - Sikap negarawan mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo tampaknya menjadi duri bagi “intelektual partisan” yang ikut bertarung mendukung salah satu capres pada Pilpres 2019. Upaya Gatot Nurmantyo untuk mengingatkan semua pihak agar tidak menggunakan isu mempertentangkan Islam dengan Pancasila terkait Pilpres 2019, terus disoal intelektual partisan yang kebetulan berpihak ke capres petahana Joko Widodo.
Aktivis liberal pro Jokowi, Denny Siregar menuding pernyataan Gatot (menanggapi statement mantan Kepala BIN AM Hendropriyono yang menyebut Pilpres 2019 perang antara ideology Pancasila vs Khilafah) dilatarbelakangi ilusi Gatot soal kebangkitan PKI. Dalam tulisan bertajuk “Gatot Nurmantyo dan Ilusi PKI versus Islam”, Deny Siregar menyatakan bahwa bagi Gatot PKI adalah biang segala masalah. Desi juga mengaitkan pernyataan Gatot dengan munculnya tudingan bahwa ada gerakan Khilafah di belakang kubu Prabowo Subianto yang menguat pasca dibubarkannya HTI pada 2017.
Tidak hanya Deny Siregar, Dewan Pakar Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Teddy Gusnaidi seperti kehilangan kendali menyebut Gatot Nurmantyo telah membuat framing bahwa ideologi Khilafah ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. Tulisan Teddy yang bertajuk “Gatot Nurmantyo, Jangan Anda Framing bahwa Ideologi Khilafah ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. Ngawur Anda!”, jauh dari tulisan yang mengedepankan intelektual, bahkan tak pantas ditulis oleh seorang anggota dewan pakar sebuah partai politik. Tulisan Teddy lebih menonjolkan isi hati seorang pendukung capres yang “terluka” karena kubunya tergores sikap nasionalis Gatot Nurmantyo.
Memakai dasar argument apa Teddy di awal tulisannya menyebut “Gatot Nurmantyo membela ideology khilafah”? Terlalu ceroboh jika Teddy menyimpulkan komentar Gatot di sosmed “Jangan lupakan sejarah dan jangan mau dipecah belah sama orang-orang yang haus kekuasaan !!!!”, sebagai bukti bahwa Gatot membela ideology khilafah. Bukankah penegasan Gatot yang mengomentari statement Hendropriyono soal Pancasila vs Khilafah tidak dalam konteks membela ideology khilafah. Penegasan Gatot seharusnya dibaca sebagai upaya seorang negarawan yang mengingatkan anak bangsa agar tidak menggunakan isu yang mempertentangkan Islam dan Pancasila dalam Pilpres ataupun Pemilu. Ringkasnya, jika Hendropriyono tidak mengeluarkan statement Pancasila vs Khilafah, bisa dipastikan Gatot tidak akan bersuara. Kalau pernyataan Gatot mengarah ke Hendropriyono yang berada di kubu petahana, hal itu karena justru Hendropriyono lah yang memulai menggunakan isu yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila. Gatot dalam posisi tidak ingin anak bangsa yang sedang menyongsong Pilpres terpecah belah karena dihajar isu pertentangan Islam dan Pancasila. Apakah karena pernyataan itu dikeluarkan oleh pihak yang satu kubu pengusung capres petahana, sehingga Teddy mati-matian membuat pembelaan?
Dalam tulisan itu, Teddy juga menarik kesimpulan yang sangat tak berdasar, yakni sikap Gatot yang dinilai berlawanan dengan penguasa itu sebagai buah dari ketidakpuasan karena diberhentikan secara mendadak oleh Presiden Jokowi dari jabatan Panglima TNI dan gagal menjadi capres. “Ini sangat berbahaya kalau seorang mantan Panglima TNI yang gagal menjadi Capres dan gagal mendapatkan panggung politik, menganggap ideologi khilafah kelompok radikal ISIS dan Hizbut Tahrir adalah Islam. “Sangat-sangat berbahaya dan sangat tidak pantas. Seharusnya sebagai seorang mantan TNI yang punya jiwa Pancasila, mendukung apa yang dilakukan oleh rakyat menghadang Ideologi Khilafah, jangan karena sakit hati dengan Jokowi lalu dia membuat framing seolah-olah khilafah itu Islam,” demikian tulis Teddy.
Tahu apa Teddy Teddy Gusnaidi soal hubungan Islam dan khilafah, sehingga menuding Gatot membuat framing seolah-olah khilafah itu Islam? Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin telah menegaskan bahwa walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al-Quran adalah ajaran Islam yang mulia (manusia mengemban misi menjadi Wakil Tuhan di Bumi/Khalifatullah fil ardh). Penegasan Din itu dalam konteks upaya mencegah penggunaan isu keagamaan dalam momen Pilpres 2019, senada dengan pernyataan Gatot Nurmantyo sebelumnya.
Satu barisan dengan Teddy Gusnaidi, sama-sama pendukung capres petahana, Rais Syuriah PCNU Australia, Nadirsyah Hosen (Gus Nadir) dan dosen FISIP UIN Syarief Hidayatullah, Burhanuddin Muhtadi, seragam mengecam pernyataan Din Syamsuddin tersebut. “Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini keliru karena tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dengan khalifah. Point kedua (rilis Din Syamsuddin) amat fatal kelirunya: tidak ada satupun ayat Qur’an yang menggunakan istilah Khilafah. Yang ada itu soal Khalifah. MUI gagal paham bedakan keduanya. Parah!,” tulis Gus Nadir di akun Twitter @na_dirs. Ironisnya, cuitan Gus Nadir itu dibenarkan Burhanuddin Muhtadi. Di akun Twitter @BurhanMuhtadi, Burhanuddin menulis: “Setuju Gus. Poin kedua itu salah fatal. Saya kaget juga Pak Din bisa menyamakan khilafah sebagai sistem dengan khalifah? Masak beliau ngga tahu ya?”
“Serangan” Burhanuddin ke Din Syamsuddin semakin ngawur. Di akun Twitter, Burhan kembali menyinggung Din lewat tulisannya yang dipublikasikan dalam Brill and Asian Journal of Social Science, 2009. Dari situ, Burhan mencatat bahwa masuknya aktivis-aktivis HTI ke Muhammadiyah dan MUI terjadi saat era kepemimpinan Din.
Kecaman dua intelektual pro Jokowi itu memaksa Din Syamsuddin membuat klarifikasi. Din menyebut pernyataan Burhanuddin Muhtadi mislead and misleading. Din memastikan tidak ada aktivis HTI masuk ke Muhammadiyah apalagi jadi pengurus, yang ada anggota Muhammadiyah (seperti juga dari ormas-ormas lain) keluar masuk HTI. Kalau di MUI, HTI memang salah satu elemen umat Islam yang selalu diundang dalam Forum Ukhuwah Islamiyah sejak era Ketua Umum KH. Ali Yafie sd Ketua Umum KH. Sahal Mahfudz. “Mengapa hal ini Anda munculkan terkait upaya saya mengklarifikasi secara akademik tentang khilafah. Kalau mau kritik, fokuskan pada substansi pemikiran, jangan personal, karena itu terkesan tidak akademik,” tulis Din.
Pertarungan gagasan antara intelektual pro Jokowi dengan intelektual non partisan pun berakhir anti klimaks. Burhanuddin Muhtadi meminta maaf kepada Din Syamsuddin. Burhan menuturkan pernyataannya tersebut hanya ingin merespons kicauan Nadirsyah mengenai khilafah dan khalifah. Nadirsyah Hosen akhirnya juga ikut membuat permohonan maaf tertulis. Nadirsyah mengaku ditegur oleh kakaknya, Nadra Hosen, lantaran kritikannya yang membuat tokoh Muhammadiyah dan MUI geram. Senada dengan Burhan, Nadirsyah juga berkelit bahwa komentarnya itu merespon statatemen aktivis Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya di social media.
Walhasil, jika Nadirsyah Hosen dan Burhanuddin Muhtadi sudah meminta maaf kepada Din Syamsuddin soal narasi hubungan Islam dan Khilafah, sudah seharusnya Teddy Gusnaidi dan juga Denny Siregar juga meminta maaf ke Gatot Nurmantyo. Dalam dunia intelektual, perang gagasan adalah lumrah, dan selanjutnya meminta maaf atas kesalahan adalah ciri khas seorang intelektual yang berwawasan terbuka menerima kritik.
Bagaimana Teddy Gusnaidi dan Denny Siregar? Jangan sampai muncul tudingan bahwa kalian berdua adalah buzzer petahana yang mengaku intelektual sehingga bebas menebar tudingan dan fitnah kepada pihak lain yang ingin mengingatkan penguasa. Dalam hal ini pengamat politik yang juga praktisi hukum Arman Garuda Nusantara sempat menyindir kapasitas intelektual Teddy Gusnaidi. “Yang ngawur itu bukan Pak Jenderal TNI (Purn) @Nurmantyo_Gatot , bung @TeddyGusnaidi , tapi orang yang saya capture tweetnya ini. Mosok Pak @jokowi diibaratkan sama dengan Luna Maya? Apa gak sekalian aja ente samakan dengan Lucinta Luna? Kebanyakan bergaul dgn Kim Jong Un sih ente..,” tulis Arman di akun Twitter @armangn8. @armangn8 melampirkan capture pernyataan Teddy di akun @TeddyGusnaidi: “Jokowi itu ibarat Luna Maya, gak dandan aja udah cantik. Beda dengan @prabowo.”
Ngeri-ngeri Sedap...
I-Today
0
1.7K
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan