- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Andai xxx Bisa Ngomong. Tulisan yang Nampar Pipi Kita Bolak-Balik.


TS
Tobitobii
Andai xxx Bisa Ngomong. Tulisan yang Nampar Pipi Kita Bolak-Balik.
Ane nemuin tulisan di Kompasiana yang rada aneh, nyleneh tapi menohok banget, tapi bikin senyum2 sendiri dan kadang "menampar" kita.
Warning: artikelnya puanjaaaang....
Tapi bagus.
Ane copas dimari yeee, halaman 1 dan 2 nya.
Hak cipta milik penulis, bukan ane.
Lumayan buat nambah2 cendol gan.
Ini link tulisannya kalo agans mau langsung baca: klik di sini gan
=============================================================
Judul: Sebuah Curahan Hati, "Ya, ini aku..."
Penulis Kompasiana: Chris Ryan
Ya, akhirnya.
Penguasa Tunggal jagat raya ini menganugerahkanku nyawa nan murni serta daya hakiki untuk berkeluh kesah. Ya, kau tak salah baca. Dia mengaruniakanku kuasa wicara atas segala rasa nan membuncah ini, menumpuk, secuil demi secuil, dalam dekapan waktu yang seolah tak peduli, jauh dan dingin.
Hingga, kini ia terejawantah dalam untaian kata, bertali-tali, yang entah di mana ujungnya. Mengalir dari pusat diri ini. Kesejatian dari upaya giat tiada tara, yang tak jarang kau pandang sebelah mata.
Ya, kini aku merasa sedikit lega. Aku sudah curahkan sepersekian dari ketidaknyamananku, kepadamu...
---
Oh, yang benar saja, hapus tujuh belas kerutan di dahimu itu!
Cih, aku jijik. Entah kau pura-pura, ataukah engkau memang senaif itu.
Hah, saat ini aku tak acuh.
---
Terima kasih, wahai Tuhan, Engkau telah berkenan menaklukkan ruang-waktu dan seluruh unsur alam serta panca indra, agar aku yang papa ini, berwujud, langsung di benak manusiaku. Rasa syukur dan pujianku setinggi angkasa, sedalam samudra, tertuju pada-Mu.
---
Sungguh, kehangatan dan kedamaian meliputiku saat perhatianku tertuju pada-Nya.
Tapi, ah, mengapa aura suram, lembab dan pengap yang terasa, jika tiba-tiba aku membicarakanmu? Ah, apa peduliku. Aku sudah akrab dengan rasa ini, sehingga sudah jadi dagingku.
Oh, lumayan. Sekarang kernyitan dahimu sudah empat belas. Haruskah kulanjutkan keluhan getir ini, ataukah kau sudah sedikit tercerahkan pasal siapa aku ini?
Hmm. Sekarang sudah tinggal sembilan. Jujur saja, kau tampak lebih rupawan jika wajahmu tak kusut dan bebas dari semua kerutan itu.
Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Cikal bakalku bermula beratus-ratus tahun silam dalam buaian sebuah budaya, bernama Melayu.
Oh, sekarang tinggal tujuh. Bagus.
Diriku terus berkembang dari waktu ke waktu. Warna dan corakku kian beragam. Dan aku lambat laun tapi pasti, mulai berbeda dengan diriku saat itu.
Kau tahu, sudah tabiatku untuk selalu membuka diri. Aku bukanlah sesuatu yang jumud. Tinggal di antara diri-diri yang asing, yang selalu datang silih berganti. Bagiku, sudah sewajarnya aku berkenalan dengan mereka.
Mereka sungguh ganjil dalam pandanganku, tapi sekaligus membuka cakrawala baru pandanganku. Sungguh dunia ini luas, dan keanekaragaman benar-benar tak terelakkan. Khazanahku semakin kaya dengan persentuhan dengan diri-diri lain, yang asing dengan diriku.
Sebagian dari unsur mereka kubiarkan menyelinap dalam diriku, dan kubentuk sedemikian rupa dengan jiwaku. Mereka begitu menyatu sempurna dalam diriku, sehingga kau mungkin tak menyadarinya.
Lima kerutan. Bagus.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin matang dan digdaya dalam mengungkapkan banyak hal yang terbetik di hati dan pikiranmu. Dari yang terkecil, terhalus, tersederhana hingga yang terbesar, tergamblang dan terumit. Apa pun yang mungkin berkelebat dalam alam pikirmu, aku mampu mewujudkannya dalam untaian kata yang meluncur mulus dari mulutmu.
Aku mampu menampung segala niat, tujuan, rasa dengan segala nuansanya, beserta gagasan yang berlompatan dengan tidak sabar dan kegirangan dalam pikiranmu, bahkan yang terliar dan teraneh sekalipun, lalu membawakannya pada pikiran yang lain dan mewujudkannya di sana, persis seperti apa yang kau ciptakan di pikiranmu, sampai ke rincian terkecilnya.
Pernahkah air matamu meleleh saat kisah pilu menyentuh batinmu? Atau bahkan menganak sungai saat kenestapaannya kau rasakan tak tertahankan?
Atau pernahkah kau berguling-guling di lantai dan perutmu sakit karena tak kuat menahan tawa? Pernahkah kau terbahak-bahak, diselingi cekikikan sembari agak megap-megap mencuri napas karena sibuk menghasilkan suara berlenggek yang khas, dan mampu menulari orang lain yang mendengarnya?
Tentu tak lucu bukan, jika kau sekonyong-konyong tertawa di siang bolong atau di tengah malam tanpa sebab? Kurasa tak ada yang mau dikatai sebagai orang gila baru, bukan?
Sesuatu yang menggelitik sanubarimu, perasaan yang geli yang sukar kau terangkan dengan kata-kata, tapi secara umum, kau menyebutnya sebagai "lucu".
Lalu kau tertawa. Wajar.
Tahukah kau apa yang membuatmu bisa begitu?
Hah, tak hilang juga kerutan itu.
Kesal sekali aku. Padahal sudah sejelas itu.
Tunggu.
Ya, begitu.
Bagus. Terus.
Ya.
Baik, kulihat kerutan dahimu sudah hilang. Tapi ada seberkas keraguan yang masih menggelayut di sana.
Siapa aku?
Atau haruskah kubilang, "Apakah aku?"
Hmm. Ternyata kau tak sepandir yang kukira, ya.
Sambungannya klik di sini gan
Warning: artikelnya puanjaaaang....
Tapi bagus.
Ane copas dimari yeee, halaman 1 dan 2 nya.
Hak cipta milik penulis, bukan ane.
Lumayan buat nambah2 cendol gan.

Ini link tulisannya kalo agans mau langsung baca: klik di sini gan
=============================================================
Judul: Sebuah Curahan Hati, "Ya, ini aku..."
Penulis Kompasiana: Chris Ryan
Ya, akhirnya.
Penguasa Tunggal jagat raya ini menganugerahkanku nyawa nan murni serta daya hakiki untuk berkeluh kesah. Ya, kau tak salah baca. Dia mengaruniakanku kuasa wicara atas segala rasa nan membuncah ini, menumpuk, secuil demi secuil, dalam dekapan waktu yang seolah tak peduli, jauh dan dingin.
Hingga, kini ia terejawantah dalam untaian kata, bertali-tali, yang entah di mana ujungnya. Mengalir dari pusat diri ini. Kesejatian dari upaya giat tiada tara, yang tak jarang kau pandang sebelah mata.
Ya, kini aku merasa sedikit lega. Aku sudah curahkan sepersekian dari ketidaknyamananku, kepadamu...
---
Oh, yang benar saja, hapus tujuh belas kerutan di dahimu itu!
Cih, aku jijik. Entah kau pura-pura, ataukah engkau memang senaif itu.
Hah, saat ini aku tak acuh.
---
Terima kasih, wahai Tuhan, Engkau telah berkenan menaklukkan ruang-waktu dan seluruh unsur alam serta panca indra, agar aku yang papa ini, berwujud, langsung di benak manusiaku. Rasa syukur dan pujianku setinggi angkasa, sedalam samudra, tertuju pada-Mu.
---
Sungguh, kehangatan dan kedamaian meliputiku saat perhatianku tertuju pada-Nya.
Tapi, ah, mengapa aura suram, lembab dan pengap yang terasa, jika tiba-tiba aku membicarakanmu? Ah, apa peduliku. Aku sudah akrab dengan rasa ini, sehingga sudah jadi dagingku.
Oh, lumayan. Sekarang kernyitan dahimu sudah empat belas. Haruskah kulanjutkan keluhan getir ini, ataukah kau sudah sedikit tercerahkan pasal siapa aku ini?
Hmm. Sekarang sudah tinggal sembilan. Jujur saja, kau tampak lebih rupawan jika wajahmu tak kusut dan bebas dari semua kerutan itu.
Aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Cikal bakalku bermula beratus-ratus tahun silam dalam buaian sebuah budaya, bernama Melayu.
Oh, sekarang tinggal tujuh. Bagus.
Diriku terus berkembang dari waktu ke waktu. Warna dan corakku kian beragam. Dan aku lambat laun tapi pasti, mulai berbeda dengan diriku saat itu.
Kau tahu, sudah tabiatku untuk selalu membuka diri. Aku bukanlah sesuatu yang jumud. Tinggal di antara diri-diri yang asing, yang selalu datang silih berganti. Bagiku, sudah sewajarnya aku berkenalan dengan mereka.
Mereka sungguh ganjil dalam pandanganku, tapi sekaligus membuka cakrawala baru pandanganku. Sungguh dunia ini luas, dan keanekaragaman benar-benar tak terelakkan. Khazanahku semakin kaya dengan persentuhan dengan diri-diri lain, yang asing dengan diriku.
Sebagian dari unsur mereka kubiarkan menyelinap dalam diriku, dan kubentuk sedemikian rupa dengan jiwaku. Mereka begitu menyatu sempurna dalam diriku, sehingga kau mungkin tak menyadarinya.
Lima kerutan. Bagus.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin matang dan digdaya dalam mengungkapkan banyak hal yang terbetik di hati dan pikiranmu. Dari yang terkecil, terhalus, tersederhana hingga yang terbesar, tergamblang dan terumit. Apa pun yang mungkin berkelebat dalam alam pikirmu, aku mampu mewujudkannya dalam untaian kata yang meluncur mulus dari mulutmu.
Aku mampu menampung segala niat, tujuan, rasa dengan segala nuansanya, beserta gagasan yang berlompatan dengan tidak sabar dan kegirangan dalam pikiranmu, bahkan yang terliar dan teraneh sekalipun, lalu membawakannya pada pikiran yang lain dan mewujudkannya di sana, persis seperti apa yang kau ciptakan di pikiranmu, sampai ke rincian terkecilnya.
Pernahkah air matamu meleleh saat kisah pilu menyentuh batinmu? Atau bahkan menganak sungai saat kenestapaannya kau rasakan tak tertahankan?
Atau pernahkah kau berguling-guling di lantai dan perutmu sakit karena tak kuat menahan tawa? Pernahkah kau terbahak-bahak, diselingi cekikikan sembari agak megap-megap mencuri napas karena sibuk menghasilkan suara berlenggek yang khas, dan mampu menulari orang lain yang mendengarnya?
Tentu tak lucu bukan, jika kau sekonyong-konyong tertawa di siang bolong atau di tengah malam tanpa sebab? Kurasa tak ada yang mau dikatai sebagai orang gila baru, bukan?
Sesuatu yang menggelitik sanubarimu, perasaan yang geli yang sukar kau terangkan dengan kata-kata, tapi secara umum, kau menyebutnya sebagai "lucu".
Lalu kau tertawa. Wajar.
Tahukah kau apa yang membuatmu bisa begitu?
Hah, tak hilang juga kerutan itu.
Kesal sekali aku. Padahal sudah sejelas itu.
Tunggu.
Ya, begitu.
Bagus. Terus.
Ya.
Baik, kulihat kerutan dahimu sudah hilang. Tapi ada seberkas keraguan yang masih menggelayut di sana.
Siapa aku?
Atau haruskah kubilang, "Apakah aku?"
Hmm. Ternyata kau tak sepandir yang kukira, ya.
Sambungannya klik di sini gan
Diubah oleh Tobitobii 27-03-2019 14:13
1
1.3K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan