- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Islam Harus Berani Mengakui Radikalisme yang Terjadi atas Namanya


TS
pasti2periode
Islam Harus Berani Mengakui Radikalisme yang Terjadi atas Namanya
judul kepanjangan
Cegah Serangan ala Christchurch, Islam Harus Berani Mengakui Radikalisme yang Terjadi atas Namanya
SUMBER
SUMBER
Cegah Serangan ala Christchurch, Islam Harus Berani Mengakui Radikalisme yang Terjadi atas Namanya
Quote:
Yahya Cholil Staquf, sekretaris jenderal Nahdlatul Ulama, menulis untuk media Inggris The Telegraph. Lewat tulisannya, Staquf menyerukan dialog yang sulit namun jujur, antara Muslim dan non-Muslim untuk mengatasi elemen ortodoksi Islam yang usang dan bermasalah yang mendasari pandangan dunia Islam, yang kemudian memicu kekerasan di kedua sisi. Staquf juga menegaskan, jika umat Islam tidak menyikapi prinsip utama tradisi Islam yang mendorong kekerasan, siapa pun dapat memanfaatkan mereka untuk agenda ekstremisme.
Bagaimana kita, Muslim dan non-Muslim secara bersama-sama, dapat mencegah kekejaman pembantaian seperti yang telah terjadi di Christchurch? Ketika saya menyaksikan orang Selandia Baru dari semua latar belakang agama berkabung, ini telah menjadi pertanyaan di benak saya. Sejauh ini, ada beberapa jawaban yang mendekati kebenaran.
Apa yang diungkapkan oleh pembantaian itu adalah perlunya pemahaman yang jelas tentang weaponisasi identitas etnis, agama, dan politik yang terjadi di seluruh dunia. Inilah tujuan jahat pelaku penembakan Christchurch: berkontribusi pada polarisasi Barat dan fenomena sejenis di dunia Muslim. Tindakannya, yang sangat mirip dengan ISIS dan kelompok teror Islam lainnya, diperhitungkan untuk meningkatkan permusuhan dan kecurigaan yang sudah ada terhadap Muslim di Barat. Serangannya juga dirancang untuk mendapat respons dari kelompok Islamis dan karenanya memicu siklus kekerasan balasan.
Kita tidak boleh membiarkannya atau siapapun berhasil. Solidaritas lintas ras, agama, budaya, dan politik untuk mengatasi krisis global ini adalah satu-satunya jawaban. Tetapi ini berarti dengan tegas mengakui faktor-faktor penyebab dari kekerasan yang kita saksikan di banyak belahan dunia. Sebagai seorang Muslim, ini menuntun saya ke pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang sulit namun jujur.
Mengapa, misalnya, pelaku penembakan menggunakan senjata dengan nama Charles Martel, yang mengalahkan tentara Muslim di Poitiers, Prancis, tahun 732 Masehi? Jelas dari manifestonya bahwa tersangka secara terang-terangan mendukung supremasi kulit putih. Namun banyak referensi sejarah yang terkandung di dalamnya juga merupakan bukti atas fiksasi terhadap hampir 1400 tahun konflik bersenjata antara Muslim dan non-Muslim, dan kesadaran akut peristiwa gelombang penaklukan Muslim, yang berulang kali mengancam akan membanjiri Eropa.
Dari sana, fiksasi pelaku serangan beralih ke peristiwa yang lebih baru: serangan terorisme berulang di Eropa. Sebagai contoh, pelaku secara khusus merujuk pada kematian Ebba Akerlund, gadis Swedia berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror Islamis tahun 2017.
Meski menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi banyak orang, hal ini membutuhkan lebih banyak fokus.Penargetan umat Islam saat Salat Jumat di Christchurch terjadi setelah hampir dua dasawarsa di mana kekejaman Islam telah menjadi fitur yang menyebar dari buletin berita di seluruh dunia. Pembantaian di Selandia Baru kemungkinan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks yang lebih luas ini, di mana Islam telah identik dengan teror di benak banyak orang non-Muslim.
Sedihnya, dari perspektif Islamis, kekejaman Christchurch hanyalah bagian dari siklus kekerasan kuno. Tentu saja, sebagian besar orang di Eropa tidak memandang diri mereka “berperang” dengan Islam. Tetapi bagi sebagian besar Muslim, ini hanya karena orang Barat telah menikmati kedamaian sebagai pemenang, yang ingin dilawan oleh kelompok Islamis. Inilah mengapa serangan Christchurch adalah momen berbahaya.
Mengakhiri siklus kekerasan membutuhkan penanganan tidak hanya terhadap ideologi dan motivasi seseorang seperti pelaku penembakan Christchurch, tetapi juga kerangka kerja historis yang dijunjungnya bersama banyak umat Muslim lainnya juga. Hal itu ialah bahwa Muslim dan non-Muslim akan tetap berada dalam keadaan konflik permanen, sampai akhir zaman (menurut para Islamis) atau hingga lenyapnya Islam (menurut para pendukung “kontra-jihad”).
Di antara umat Muslim dan non-Muslim, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi elemen ortodoksi Islam yang usang dan bermasalah yang mendasari pandangan dunia Islam, yang memicu kekerasan di kedua sisi. Organisasi Muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama di Indonesia, di mana saya menjadi Sekretaris Jenderal, telah mulai melakukan hal itu.
Kami mengakui bahwa kebenarannya adalah bahwa doktrin, tujuan, dan strategi jihadis dapat ditemukan pada prinsip-prinsip spesifik ortodoks, Islam yang otoritatif, dan praktik historisnya. Ini termasuk bagian-bagian Syariah yang mempromosikan supremasi Islam, mendorong permusuhan terhadap non-Muslim, dan membutuhkan pembentukan kekhalifahan. Unsur-unsur tersebut, yang masih diajarkan oleh sebagian besar lembaga Sunni dan Syiah, telah menyerukan konflik abadi.
Menjadi pandangan tegas kami bahwa, jika umat Islam tidak menyikapi prinsip utama tradisi Islam yang mendorong kekerasan ini, siapa pun, kapanpun, dapat memanfaatkan mereka untuk menentang apa yang mereka klaim sebagai hukum tidak sah dan membantai sesama warga negara mereka, terlepas dari apakah mereka hidup di dunia Islam atau Barat. Inilah yang menghubungkan begitu banyak peristiwa terkini, mulai dari Suriah hingga jalanan di London.
Terdapat kebutuhan mendesak untuk diskusi jujur dan terbuka tentang masalah ini. Inilah sebabnya saya khawatir ketika melihat elit politik dan intelektual Barat melakukan weaponisasi terhadap istilah “Islamofobia,” untuk mempercepat analisis dari fenomena kompleks yang mengancam seluruh umat manusia. Sebagai contoh, pada kenyataannya tidak benar dan kontraproduktif untuk mendefinisikan Islamofobia sebagai “berakar pada rasisme,” seperti yang diusulkan oleh All-Party Parliamentary Group on British Muslims. Faktanya, penyebaran ekstremisme dan teror Islamis telah berkontribusi pada kebangkitan Islamofobia di seluruh dunia non-Muslim.
Itulah mengapa sangat penting untuk menantang “pola pikir Muslim” yang masih bertahan, yang didasarkan pada permusuhan dan kecurigaan terhadap non-Muslim, dan seringkali merasionalisasi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Jika tidak, non-Muslim akan terus diradikalisasi oleh serangan Islam dan oleh migrasi Muslim skala besar ke Barat.
Kami menyerukan kepada orang-orang di kedua sisi kesenjangan politik di Barat, dari semua agama dan yang tidak beragama, untuk meninggalkan praktik weaponisasi Islam demi keuntungan partisan, dan bergabung dengan kami dalam perjuangan putus asa untuk mereformasi prinsip ortodoksi Islam yang usang dan bermasalah, alih-alih meneruskan warisan tragis kebencian dan kekerasan kepada generasi yang akan datang
Bagaimana kita, Muslim dan non-Muslim secara bersama-sama, dapat mencegah kekejaman pembantaian seperti yang telah terjadi di Christchurch? Ketika saya menyaksikan orang Selandia Baru dari semua latar belakang agama berkabung, ini telah menjadi pertanyaan di benak saya. Sejauh ini, ada beberapa jawaban yang mendekati kebenaran.
Apa yang diungkapkan oleh pembantaian itu adalah perlunya pemahaman yang jelas tentang weaponisasi identitas etnis, agama, dan politik yang terjadi di seluruh dunia. Inilah tujuan jahat pelaku penembakan Christchurch: berkontribusi pada polarisasi Barat dan fenomena sejenis di dunia Muslim. Tindakannya, yang sangat mirip dengan ISIS dan kelompok teror Islam lainnya, diperhitungkan untuk meningkatkan permusuhan dan kecurigaan yang sudah ada terhadap Muslim di Barat. Serangannya juga dirancang untuk mendapat respons dari kelompok Islamis dan karenanya memicu siklus kekerasan balasan.
Kita tidak boleh membiarkannya atau siapapun berhasil. Solidaritas lintas ras, agama, budaya, dan politik untuk mengatasi krisis global ini adalah satu-satunya jawaban. Tetapi ini berarti dengan tegas mengakui faktor-faktor penyebab dari kekerasan yang kita saksikan di banyak belahan dunia. Sebagai seorang Muslim, ini menuntun saya ke pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang sulit namun jujur.
Mengapa, misalnya, pelaku penembakan menggunakan senjata dengan nama Charles Martel, yang mengalahkan tentara Muslim di Poitiers, Prancis, tahun 732 Masehi? Jelas dari manifestonya bahwa tersangka secara terang-terangan mendukung supremasi kulit putih. Namun banyak referensi sejarah yang terkandung di dalamnya juga merupakan bukti atas fiksasi terhadap hampir 1400 tahun konflik bersenjata antara Muslim dan non-Muslim, dan kesadaran akut peristiwa gelombang penaklukan Muslim, yang berulang kali mengancam akan membanjiri Eropa.
Dari sana, fiksasi pelaku serangan beralih ke peristiwa yang lebih baru: serangan terorisme berulang di Eropa. Sebagai contoh, pelaku secara khusus merujuk pada kematian Ebba Akerlund, gadis Swedia berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror Islamis tahun 2017.
Meski menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi banyak orang, hal ini membutuhkan lebih banyak fokus.Penargetan umat Islam saat Salat Jumat di Christchurch terjadi setelah hampir dua dasawarsa di mana kekejaman Islam telah menjadi fitur yang menyebar dari buletin berita di seluruh dunia. Pembantaian di Selandia Baru kemungkinan tidak akan dapat dipahami jika dipisahkan dari konteks yang lebih luas ini, di mana Islam telah identik dengan teror di benak banyak orang non-Muslim.
Sedihnya, dari perspektif Islamis, kekejaman Christchurch hanyalah bagian dari siklus kekerasan kuno. Tentu saja, sebagian besar orang di Eropa tidak memandang diri mereka “berperang” dengan Islam. Tetapi bagi sebagian besar Muslim, ini hanya karena orang Barat telah menikmati kedamaian sebagai pemenang, yang ingin dilawan oleh kelompok Islamis. Inilah mengapa serangan Christchurch adalah momen berbahaya.
Mengakhiri siklus kekerasan membutuhkan penanganan tidak hanya terhadap ideologi dan motivasi seseorang seperti pelaku penembakan Christchurch, tetapi juga kerangka kerja historis yang dijunjungnya bersama banyak umat Muslim lainnya juga. Hal itu ialah bahwa Muslim dan non-Muslim akan tetap berada dalam keadaan konflik permanen, sampai akhir zaman (menurut para Islamis) atau hingga lenyapnya Islam (menurut para pendukung “kontra-jihad”).
Di antara umat Muslim dan non-Muslim, terdapat kebutuhan mendesak untuk mengatasi elemen ortodoksi Islam yang usang dan bermasalah yang mendasari pandangan dunia Islam, yang memicu kekerasan di kedua sisi. Organisasi Muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama di Indonesia, di mana saya menjadi Sekretaris Jenderal, telah mulai melakukan hal itu.
Kami mengakui bahwa kebenarannya adalah bahwa doktrin, tujuan, dan strategi jihadis dapat ditemukan pada prinsip-prinsip spesifik ortodoks, Islam yang otoritatif, dan praktik historisnya. Ini termasuk bagian-bagian Syariah yang mempromosikan supremasi Islam, mendorong permusuhan terhadap non-Muslim, dan membutuhkan pembentukan kekhalifahan. Unsur-unsur tersebut, yang masih diajarkan oleh sebagian besar lembaga Sunni dan Syiah, telah menyerukan konflik abadi.
Menjadi pandangan tegas kami bahwa, jika umat Islam tidak menyikapi prinsip utama tradisi Islam yang mendorong kekerasan ini, siapa pun, kapanpun, dapat memanfaatkan mereka untuk menentang apa yang mereka klaim sebagai hukum tidak sah dan membantai sesama warga negara mereka, terlepas dari apakah mereka hidup di dunia Islam atau Barat. Inilah yang menghubungkan begitu banyak peristiwa terkini, mulai dari Suriah hingga jalanan di London.
Terdapat kebutuhan mendesak untuk diskusi jujur dan terbuka tentang masalah ini. Inilah sebabnya saya khawatir ketika melihat elit politik dan intelektual Barat melakukan weaponisasi terhadap istilah “Islamofobia,” untuk mempercepat analisis dari fenomena kompleks yang mengancam seluruh umat manusia. Sebagai contoh, pada kenyataannya tidak benar dan kontraproduktif untuk mendefinisikan Islamofobia sebagai “berakar pada rasisme,” seperti yang diusulkan oleh All-Party Parliamentary Group on British Muslims. Faktanya, penyebaran ekstremisme dan teror Islamis telah berkontribusi pada kebangkitan Islamofobia di seluruh dunia non-Muslim.
Itulah mengapa sangat penting untuk menantang “pola pikir Muslim” yang masih bertahan, yang didasarkan pada permusuhan dan kecurigaan terhadap non-Muslim, dan seringkali merasionalisasi kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Jika tidak, non-Muslim akan terus diradikalisasi oleh serangan Islam dan oleh migrasi Muslim skala besar ke Barat.
Kami menyerukan kepada orang-orang di kedua sisi kesenjangan politik di Barat, dari semua agama dan yang tidak beragama, untuk meninggalkan praktik weaponisasi Islam demi keuntungan partisan, dan bergabung dengan kami dalam perjuangan putus asa untuk mereformasi prinsip ortodoksi Islam yang usang dan bermasalah, alih-alih meneruskan warisan tragis kebencian dan kekerasan kepada generasi yang akan datang
SUMBER
SUMBER
Diubah oleh pasti2periode 28-03-2019 08:38
6
6.3K
Kutip
127
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan