Jika berandai-andai malam akan berakhir, sepertinya tidak perlu. Malam akan berlalu meski aku berteriak minta tunggu. Malam akan pergi meski aku merajuk karena ditinggalkan. Malam tidak akan tersentuh meski aku mengiba dan terisak, ia juga tidak akan tertawa. Malam tidak akan mendengarkan pinta tungguku. Ia akan tetap berlalu.



Aku akan tetap berada di waktuku sendiri. Menghitung mundur pelan atau cepat, sama saja. Malam tidak akan lama-lama bersamaku. Tidak percaya? Coba saja.



Malam itu gelap. Semua orang tau. Memang ada bintang, bulan, langit dan isi semesta yang menyuarakan gaung gema kehidupan saat bersiap menutup lelah. Tapi malam tetaplah malam, jati dirinya tak bisa diusik oleh siapa dan apa.



Malam hanyalah teman bagiku, bagi kamu dan kita semua. Ada yang suka menikmatinya dalam diam dan hening. Ada yang bersamanya masih bergulat dengan tumpukan tugas karir atau pendidikan.



Ada yang tengah memadu kasih dalam cumbu dan kebirahian. Ada yang sendiri menikmati gemerlap dalam kerlap. Ada yang diam sibuk menyibukkan diri walau tak sibuk. Ada yang berbincang, hanya berdua atau bersama-sama.




Malam akan semakin asik. Dengan seruput kopi pahit yang terseduh hangat-hangat. Ditemani asbak dan kepulan asap tembakau yang sudah dihirup dalam-dalam. Komplit dengan hingar bingar fakta dan opini, terkemas dalam ruang diskusi yang santai atau menegangkan.



Malam akan semakin gusar dan memusingkan. Bagi orang-orang bermasalah, yang sudah menumpuk banyak kesalahan. Sengaja atau tidak. Ia sedang menunggu kapan akan terciduk para pembela kebenaran, yang belum tentu bersih sesuai tugasnya.


Malam akan dipenuhi banyak tanggung jawab. Menjawab semua tugas yang harus dikerjakan demi banyak orang. Kehidupan orang-orang bertanggung jawan yang pernah atau sedang kita andalkan, sebagai seorang pemimpin.


Bagi seorang melankolis, mungkin malamnya sedang sendu. Bisa saja ia sedang menunggu kekasih yang membingungkan hatinya. Atau sedang terhengal sesak melepaskan patah hati terhebat yang disebabkan manusia paling ia cintai.



Mungkin saja ia sedang memikirkan orangtua yang sedang jauh di kampung halaman. Atau ia sedang kewalahan menghadapi beban tanggung jawab, gampang. Tapi membuatnya nyaris mengibarkan bendera putih kepada Tuhan.


Bagi seorang yang sadar, ia akan pergunakan malam untuk membekali kebutuhannya. Ia sucikan diri dengan air dan kemudian dibentangkannya sejadah. Jika bukan sejadah, mungkin bentuk lain yang menyerupai. Ia tunaikan kewajibannya dan kemudian bercengkrama dengan pemilik malam yang sejati. Menggoda dan merayu agar dimudahkan semua urusan siang dan malamnya. Dimudahkan akhir dari nafasnya untuk kewajiban yang lain di alam yang lain. Mempersiapkan kematian, meski belum tentu besok sudah mati.

Ini hanya tulisan absurd tentang malam dan semua penghuninya. Jika mengusikmu, cukup untuk dibaca saja. Jika ada gusar yang sama didirimu, maka suguhkanlah kebingunganmu disini. Bersama kalimat ini, bersamakukah? Ah tidak. Jika kamu tidak merasakan apa-apa, cukup. Kita memang berbeda. Tapi tidak akan membuatku membencimu.