- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Raining In My Heart #SaatnyaMoveOn


TS
vitawulandari
Raining In My Heart #SaatnyaMoveOn



Spoiler for story:
Denting bel pintu membuat Marina mengalihkan perhatiannya dari kesibukannya membungkus biskuit-biskuit cokelat yang akan diberikannya kepada Arya Manifesto, kekasihnya sebagai hadiah Valentine. Marina mengelap tangan di handuk yang tergantung di dekat lemari dan beranjak ke pintu.
“Bukankah dia bilang satu jam lagi?”gumamnya pada diri sendiri.
Tetapi begitu membuka pintu, bukan Arya yang berada di balik pintu. Abang gojek menyodorkan sebuah kotak merah muda berhias pita. Sebuah kartu kecil tertempel di bagian sampingnya. Senyum Marina merekah begitu membaca tulisan di sana.
Marina menutup pintu dan masuk kembali ke kamarnya. Ia meletakkan kotak itu di meja dan membuka pitanya dengan hati-hati. Matanya melebar melihat isi kotak itu. Sepasang sarung tangan wol pink, topi wol pink, syal pink, dan penghangat telinga yang juga berwarna pink. Masing-masing memiliki nama Marina yang dijahit dengan benang berwarna emas. Ternyata Arya memiliki selera yang bagus, puji Marina dalam hati.
“Gimana penampilanku?”, tanya Marina ketika Arya datang menjemputnya satu jam kemudian. Ia memutuskan mengenakan topi, syal, dan sarung tangan pemberian kekasihnya, dan memadukan dengan jaket panjang hitam.
Arya memandanginya dari ujung kepala ke ujung kaki dan tersenyum.
“Sejauh ini, di antara semua pacarku, kamu yang paling cantik” pujinya.
Marina meringis. “Udah mirip Lisa Blackpink belom? By the way terima kasih hadiahnya..”
“Aku senang kamu menyukainya,”
Kemudian ia membawa Marina kesedan putih yang diparkir di depan rumahnya.
“Masuklah, wahai penyiar idola sejuta umat”katanya.
Marina masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. Ketika Arya juga sudah duduk di balik kemudi, Marina mengacungkan toples berhiaskan pita pink ke depan wajah kekasihnya.
“Apa ini?” tanya Arya mengangkat alisnya.
“Hadiah Valentine. Ayo buka. Aku bikin sendiri.”
Arya membuka toples itu dan melihat isinya. Ternyata Marina membuat biskuit cokelat dengan berbagai bentuk dan berhias topping, termasuk biskuit berbentuk hati yang bertuliskan Happy Valentine My Lovely Arya Manifesto.
“Wah kamu bisa bikin kue?” tanya Arya sambil mengagumi bentuk-bentuk biskuit di dalam toples itu.
Marina mengangguk.
“Sedikit-sedikit. Aku juga akan memberikan satu toples untuk penyiar dan produser di radioku.”
“Kamu akan memberikan biskuit yang sama?”
“Iya. Aku bikin banyak biskuit,” kata Marina polos.
Arya memalingkan wajah dan mendesah.
“Kamu juga menuliskan pesan-pesan pribadi seperti ini?” tanyanya sambil mengacungkan kartu dan potongan biskuit bertuliskan namanya.
Marina diam sejenak, lalu berkata agak malu.
“Ya enggaklah. Kurasa aku menghabiskan terlalu banyak waktu menghias biskuitmu sampai nggak sempat menghias biskuit yang lain. Jadi aku hanya memberi mereka biskuit polos dengan kartu ucapan Valentine.”
Mendengar itu Arya tersenyum, lalu mengangguk.
“Bagus, setidaknya biskuitku lebih bagus daripada biskuit yang lain.”
Arya segera menyalakan mesin mobil dan mereka pun melaju menyusuri jalanan yang mulai padat merayap.
“Sungguh, kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini,”kata Marina dengan wajah berseri-seri dan senyum lebar ketika menyadari Arya membawanya ke Paralayang, salah satu kawasan wisata di kota Batu.
Arya meliriknya dan berkata, “Tapi melihat wajahmu sekarang, sepertinya pilihan yang tepat."
“Aku suka liat pemandangan kota Batu dari sini, benar-benar menakjubkan! ” kata Marina dengan mata berbinar-binar.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa... mm, gimana ya mengatakannya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Kalau lagi stress, setengah jam berada disini perasaanku jauh lebih baik.”kata Arya sambil memandang kerlap kerlip lampu dibawah sana.
"Foto dulu yuuuk, mana kameramu?"
Arya menyerahkan kameranya dan Marina segera mencegat seorang wanita yang berjalan depan mereka sambil mendorong kereta bayi.
"Senyuuum donk mas.."
"Kapan aku pernah nggak tersenyum saat bersamamu?"
"Mmm.. Nggak pernah sih"
Wanita itu mengambil beberapa jepretan. Marina menerima kameranya kembali, sambil menunduk mengucapkan teimakasih.
"Bayinya lucu" kata Marina sambil menyesap thai tea-nya.
"Bayi apa?" tanya Arya bingung.
"Bayi yang tadi. Wanita yang memotret kita tadi membawa bayi. Kamu nggak liat?"
Arya menggeleng. Ia memang melihat wanita itu mendorong kereta bayi, tapi tidak memperhatikan bayi di dalamnya.
"Mas Arya, kamu ingin punya anak berapa? Maksudku kalau udah nikah nanti" tanya Marina secara tiba-tiba.
"Astaga Marina, tidakkah terlalu cepat untuk nikah, kita kan baru jadian.."
"Idihh jangan konyol, aku nggak mengajakmu menikah. Aku cuma nanya"
"Hahaha baiklah. Berapa ya? Bentar aku pikir dulu. Astaga aku belum mikir sampai sana. Kamu sendiri?"
"Mmm.. yang jelas lebih dari satu. Aku anak tunggal dan aku sering merasa kesepian. Mungkin dua atau tiga. Gimana menurutmu?"
"Terserah kamu, sayang... " jawab Arya sambil merangkul pundak kekasihnya.
Kepala Marina berputar ke kiri dan ke kanan. Matanya mencari-cari di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang di kampus. Ia tidak melihat Arya. Laki-laki itu tidak datang menjemputnya. Marina tidak tahu apakah ia harus merasa cemas atau kesal. Mungkinkah terlambat? Sebaiknya ia duduk dan menunggu sebentar. Mungkin Arya terjebak kemacetan.
Setengah jam kemudian masih belum terlihat batang hidung Arya. Marina mengeluarkan ponsel dan memencet beberapa tombol. Ia menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sejenak. Tetap tidak bisa tersambung. Ponsel Arya tidak aktif. Marina menggigit bibir dan kembali memandang berkeliling. Ia akan menunggu sebentar lagi.
Setengah jam lagi berlalu. Marina menunduk menatap sneaker-nya. Arya belum muncul dan kemungkinan besar tidak akan muncul. Sebaiknya ia pulang sekarang. Marina mendengus dan keluar dari gedung kampus sambil menjinjing tasnya.
Ruangan studio Elfara 98.6 FMsudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu itu masih menyala karena masih ada Marina di sana. Gadis itu memasang headset dan mulai mendekatkan bibirnya ke microphone.
Marina duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menatap lekat-lekat script siaran di mejanya.
Ada di mana Arya sekarang? Sudah tiga bulan dia menghilang. Tentu saja Marina sudah berusaha menghubungi ponsel Arya, tetapi benda itu ternyata tidak pernah dinyalakan. Dengan berurai air mata, Marina mulai menulis.
Marina menangis tersedu-sedu. Ia merasa dadanya sakit sekali, susah bernapas, darahnya seolah-olah membeku begitu saja.
"Marina, kamu nggak papa? Minum ya.."
Dini, produser program Radio Night Showmasuk ke studio sambil menyodorkan sebotol air mineral.
"Masih belum move on dari mantan? Come on Marina, berhentilah menunggu kabar dari orang yang sengaja kabur" kata Dini sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Marina dengan ujung jarinya.
"Aku nggak bisa mbak. Aku sudah tutup setiap cela, namun hatiku selalu berteriak menahan lara"
Marina kembali terisak. Dini bangkit dari kursinya, memeluk Marina dengan kedua tangannya.
"Tak bisa dipaksa, jika memang tak ada lagi rasa. Tak guna ditunggu, jika tak lagi merasakan rindu. Lupakan Arya. Itu jalan tunggal menuju bahagiamu"
Marina duduk bersandar di ruang tunggu rumah sakit. Ia datang kesini untuk menjenguk sepupunya yang baru saja melahirkan.
Dengan enggan ia melirik jam tangannya. Ia harus kembali ke stasiun radio. Ia harus siaran. Ia bangkit dan meraih tasnya. Ketika ia menegakkan tubuh, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di sudut ruangan.
Arya Manifesto...
Laki-laki itu sedang berbicara sambil tersenyum kepada ibunya. Ya Tuhan, sudah berapa lama ia tidak melihat senyum itu?
Marina menelan ludah dengan susah payah. Ia bergegas menuju pintu sebelum Arya sempat melihatnya. Ketika hampir mencapai pintu, ia menabrak seorang perawat. Tanpa menoleh, Marina menggumamkan permintaan maaf dan segera melarikan diri dari tempat itu.
Marina berhenti melangkah dan menyadari nafasnya terengah-engah. Apakah tadi ia berjalan cepat sekali? Ia duduk di sebuah bangku panjang di taman rumah sakit dan mengatur nafas.
“Marina?”
Kepala Marina berputar dan matanya terbelalak ketika mendapati Arya berdiri di sana. Di depannya.
“Mas Arya,”bisiknya serak.
Beberapa saat mereka saling diam. Membiarkan suara-suara di sekitar mereka mengisi kesunyian. Terdengar bunyi mobil-mobil berlalu-lalang, para pejalan kaki yang berbicara dan tertawa. Marina memang merasa sangat gugup, tapi anehnya sekaligus merasa tenang. Berada di dekat mantannya itu selalu membuatnya tenang.
“Ini pasti sangat berat bagimu,” kata Arya tiba-tiba memecah keheningan.
Marina tidak menjawab. Tidak bergerak. Matanya menatap ke depan. Kosong.
“Aku minta maaf telah meninggalkanmu tanpa kabar,” lanjut Arya. Suaranya agak bergetar.
Mereka kembali berdiam diri. Kemudian Arya mengangkat wajah dan menoleh ke arah Marina.
“Ada yang ingin kukatakan padamu. Karena itu aku mengejarmu sampai ke sini.”
Marina masih tidak mau menatap mantannya. Hatinya masih begitu sakit mengingat betapa kejamnya laki-laki itu terhadapnya.
“Besok aku akan menjalani operasi.”
“Operasi apa?” tanya Marina.
Arya tidak langsung menjawab. Dengan suara berat akhirnya ia menjawab.
“Aku... Aku mengidap penyakit jantung. Aku harus menjalani perawatan intensive sampai mendapatkan jantung baru. Itulah alasanku pergi meninggalkanmu"
Marina berusaha mengendalikan nafasnya yang terputus-putus.
“Marina..”
Marina menoleh. Arya menatapnya, lalu tersenyum. Senyum yang selalu disukai Marina. Tapi sayangnya Marina tidak bisa membalas senyumannya. Hatinya terlalu hancur untuk tersenyum.
“Aku senang bisa mengenalmu. Terima kasih.”
Kali ini Marina tidak mampu mengalihkan tatapannya dari mata Arya. Lalu tiba-tiba Arya menarik Marina ke dalam pelukannya.
“Aku nggak pernah menyesal mengenalmu,” gumam Arya sekali lagi.
Marina menelan ludah dan air matanya sudah nyaris jatuh. Arya melonggarkan pelukannya dan mundur selangkah supaya bisa menatap mata Marina.
“Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja kan?,” katanya.
Marina menggeleng. Ia tidak sanggup berjanji. Ia tahu ini kata-kata perpisahan. Marina menggigit bibirnya. Wajah Arya terlihat buram di matanya karena terhalang air mata.
Namun akhirnya Marina mengangguk.
Arya tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan membelai kepala Marina.
“Terima kasih. Selamat tinggal, Marina.”
Jangan pergi... Kumohon jangan pergi....
Marina ingin meneriakkan kata-kata itu, tapi suaranya tidak bisa keluar. Ia hanya bisa memohon dalam hati sementara Arya membalikkan tubuh dan berjalan pergi. Marina tidak bisa lagi menahan tangis. Ia membekap mulut dengan kedua tangannya.
Pegangan pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkeraman Marina. Butuh keberanian besar untuk masuk ke kamar rawat Arya. Ia harus menguasai dirinya terlebih dahulu. Marina memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui Arya dengan wajah basah karena air mata.
Marina membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Ia menghampiri ranjang Arya, lalu meraih tangan Arya dan menggenggamnya. Tangan itu terasa dingin.
"Jangan menghilang lagi, sebab hilangmu merusak suasana hati. Jangan pergi tanpa kabar lagi, sebab pergimu selalu saja meninggalkan sepi. Jika kau tidak bisa menguatkan aku dengan ada disampingku, jangan lemahkan aku dengan keberadaan yang tidak menentu."ujar Marina berusaha tidak menangis.
"Doakan semoga operasiku berhasil ya.." bisik Arya lemah. Dengan tangan satunya ia menyentuh pipi Marina yang mulai basah.
"Aku akan menunggumu. Semoga operasinya berhasil. Dan berjanjilah, kembalilah padaku.."
Mata Arya berkaca-kaca, namun ia tersenyum dan menempelkan bibirnya yang dingin ke pipi Marina sejenak sebelum masuk ke ruang operasi.
Seumur hidup baru kali ini Marina merasa begitu tegang. Ia menunduk menatap lantai. Operasi transplantasi jantung bukan operasi sepele. Sudah lima jam operasinya berjalan, namun belum ada tanda apapun.
Berapa lama lagi?
Semoga ia baik-baik saja.
Semoga ia...
Dokter keluar dengan wajah lelah, memotong doa Marina. Bunyi panjang dan datar dari dalam ruang operasi membuat hatinya seakan diremas. Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang terlihat di sana.
"Kami sudah berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan. Jantung baru sudah berada dalam tubuh Arya. Namun jantung itu menolak berdetak"
Marina merasa pandangannya kabur. Sayup-sayup terdengar suara dokter berkata tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.
Sejak hari itu, Arya tidak akan pernah sadarkan diri lagi.
“Bukankah dia bilang satu jam lagi?”gumamnya pada diri sendiri.
Tetapi begitu membuka pintu, bukan Arya yang berada di balik pintu. Abang gojek menyodorkan sebuah kotak merah muda berhias pita. Sebuah kartu kecil tertempel di bagian sampingnya. Senyum Marina merekah begitu membaca tulisan di sana.
Marina menutup pintu dan masuk kembali ke kamarnya. Ia meletakkan kotak itu di meja dan membuka pitanya dengan hati-hati. Matanya melebar melihat isi kotak itu. Sepasang sarung tangan wol pink, topi wol pink, syal pink, dan penghangat telinga yang juga berwarna pink. Masing-masing memiliki nama Marina yang dijahit dengan benang berwarna emas. Ternyata Arya memiliki selera yang bagus, puji Marina dalam hati.
★ ★ ★
“Gimana penampilanku?”, tanya Marina ketika Arya datang menjemputnya satu jam kemudian. Ia memutuskan mengenakan topi, syal, dan sarung tangan pemberian kekasihnya, dan memadukan dengan jaket panjang hitam.
Arya memandanginya dari ujung kepala ke ujung kaki dan tersenyum.
“Sejauh ini, di antara semua pacarku, kamu yang paling cantik” pujinya.
Marina meringis. “Udah mirip Lisa Blackpink belom? By the way terima kasih hadiahnya..”
“Aku senang kamu menyukainya,”
Kemudian ia membawa Marina kesedan putih yang diparkir di depan rumahnya.
“Masuklah, wahai penyiar idola sejuta umat”katanya.
Marina masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. Ketika Arya juga sudah duduk di balik kemudi, Marina mengacungkan toples berhiaskan pita pink ke depan wajah kekasihnya.
“Apa ini?” tanya Arya mengangkat alisnya.
“Hadiah Valentine. Ayo buka. Aku bikin sendiri.”
Arya membuka toples itu dan melihat isinya. Ternyata Marina membuat biskuit cokelat dengan berbagai bentuk dan berhias topping, termasuk biskuit berbentuk hati yang bertuliskan Happy Valentine My Lovely Arya Manifesto.
“Wah kamu bisa bikin kue?” tanya Arya sambil mengagumi bentuk-bentuk biskuit di dalam toples itu.
Marina mengangguk.
“Sedikit-sedikit. Aku juga akan memberikan satu toples untuk penyiar dan produser di radioku.”
“Kamu akan memberikan biskuit yang sama?”
“Iya. Aku bikin banyak biskuit,” kata Marina polos.
Arya memalingkan wajah dan mendesah.
“Kamu juga menuliskan pesan-pesan pribadi seperti ini?” tanyanya sambil mengacungkan kartu dan potongan biskuit bertuliskan namanya.
Marina diam sejenak, lalu berkata agak malu.
“Ya enggaklah. Kurasa aku menghabiskan terlalu banyak waktu menghias biskuitmu sampai nggak sempat menghias biskuit yang lain. Jadi aku hanya memberi mereka biskuit polos dengan kartu ucapan Valentine.”
Mendengar itu Arya tersenyum, lalu mengangguk.
“Bagus, setidaknya biskuitku lebih bagus daripada biskuit yang lain.”
Arya segera menyalakan mesin mobil dan mereka pun melaju menyusuri jalanan yang mulai padat merayap.
★ ★ ★
“Sungguh, kamu nggak perlu membawaku ke tempat ini,”kata Marina dengan wajah berseri-seri dan senyum lebar ketika menyadari Arya membawanya ke Paralayang, salah satu kawasan wisata di kota Batu.
Arya meliriknya dan berkata, “Tapi melihat wajahmu sekarang, sepertinya pilihan yang tepat."
“Aku suka liat pemandangan kota Batu dari sini, benar-benar menakjubkan! ” kata Marina dengan mata berbinar-binar.
“Aku paling suka berada di tempat yang tinggi, karena aku akan merasa... mm, gimana ya mengatakannya? Rasanya begitu jauh dari peradaban. Rasanya seperti meninggalkan beban di tanah dan kita melayang bebas. Kalau lagi stress, setengah jam berada disini perasaanku jauh lebih baik.”kata Arya sambil memandang kerlap kerlip lampu dibawah sana.
"Foto dulu yuuuk, mana kameramu?"
Arya menyerahkan kameranya dan Marina segera mencegat seorang wanita yang berjalan depan mereka sambil mendorong kereta bayi.
"Senyuuum donk mas.."
"Kapan aku pernah nggak tersenyum saat bersamamu?"
"Mmm.. Nggak pernah sih"
Wanita itu mengambil beberapa jepretan. Marina menerima kameranya kembali, sambil menunduk mengucapkan teimakasih.
"Bayinya lucu" kata Marina sambil menyesap thai tea-nya.
"Bayi apa?" tanya Arya bingung.
"Bayi yang tadi. Wanita yang memotret kita tadi membawa bayi. Kamu nggak liat?"
Arya menggeleng. Ia memang melihat wanita itu mendorong kereta bayi, tapi tidak memperhatikan bayi di dalamnya.
"Mas Arya, kamu ingin punya anak berapa? Maksudku kalau udah nikah nanti" tanya Marina secara tiba-tiba.
"Astaga Marina, tidakkah terlalu cepat untuk nikah, kita kan baru jadian.."
"Idihh jangan konyol, aku nggak mengajakmu menikah. Aku cuma nanya"
"Hahaha baiklah. Berapa ya? Bentar aku pikir dulu. Astaga aku belum mikir sampai sana. Kamu sendiri?"
"Mmm.. yang jelas lebih dari satu. Aku anak tunggal dan aku sering merasa kesepian. Mungkin dua atau tiga. Gimana menurutmu?"
"Terserah kamu, sayang... " jawab Arya sambil merangkul pundak kekasihnya.
★ ★★
Kepala Marina berputar ke kiri dan ke kanan. Matanya mencari-cari di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang di kampus. Ia tidak melihat Arya. Laki-laki itu tidak datang menjemputnya. Marina tidak tahu apakah ia harus merasa cemas atau kesal. Mungkinkah terlambat? Sebaiknya ia duduk dan menunggu sebentar. Mungkin Arya terjebak kemacetan.
Setengah jam kemudian masih belum terlihat batang hidung Arya. Marina mengeluarkan ponsel dan memencet beberapa tombol. Ia menempelkan ponsel ke telinga dan menunggu sejenak. Tetap tidak bisa tersambung. Ponsel Arya tidak aktif. Marina menggigit bibir dan kembali memandang berkeliling. Ia akan menunggu sebentar lagi.
Setengah jam lagi berlalu. Marina menunduk menatap sneaker-nya. Arya belum muncul dan kemungkinan besar tidak akan muncul. Sebaiknya ia pulang sekarang. Marina mendengus dan keluar dari gedung kampus sambil menjinjing tasnya.
★ ★ ★
Ruangan studio Elfara 98.6 FMsudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu itu masih menyala karena masih ada Marina di sana. Gadis itu memasang headset dan mulai mendekatkan bibirnya ke microphone.
Marina duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menatap lekat-lekat script siaran di mejanya.
Ada di mana Arya sekarang? Sudah tiga bulan dia menghilang. Tentu saja Marina sudah berusaha menghubungi ponsel Arya, tetapi benda itu ternyata tidak pernah dinyalakan. Dengan berurai air mata, Marina mulai menulis.
Mas Arya,
Andai kau tau, sebenarnya aku tidak pernah baik-baik saja.
Sampai detik ini,
Sesekali bayangmu selalu datang dalam sebentuk rindu
Dan aku?
Aku harus bersusah payah menanggungnya dengan sendu.
Secepat itukah kau lupa,
Kau pernah mengetuk pintu hatiku
Kau pernah menyebutku sebagai suatu kebahagiaan
Kau pernah menjadikanku seseorang yang kau anggap special
Dan kau pernah memintaku jangan pergi.
Baru saja aku membuka hati dan mempersilahkanmu masuk
Baru saja namamu kusebut dalam doaku sebagai yang kupinta
Baru saja aku berharap suatu saat segala mimpi jadi kenyataan.
Tapi dengan begitu kejamnya kau pergi
Tanpa sepatah kata
Tanpa berita
Tanpa cerita.
Seketika nuraniku mengatakan bahwa aku harus banyak belajar
Entah itu belajar menerima kenyataan
Atau belajar menjadi pemeran skenario Tuhan.
Untuk apapun itu,
Kelak pasti akan ku temukan jalan
Entah akan berujung kepadamu
Atau seseorang yang lebih baik darimu.
Terimakasih atas hari-hari yang pernah kita lalui. Terimakasih atas malam-malam yang pernah dipenuhi senyum. Terimakasih atas senja yang menjadi bait puisi. Terimakasih atas hujan yang pernah mengantarkan kerinduan. Terimakasih atas kenangan indah, meskipun akhirnya meninggalkan luka.
Love,
Marina.
Andai kau tau, sebenarnya aku tidak pernah baik-baik saja.
Sampai detik ini,
Sesekali bayangmu selalu datang dalam sebentuk rindu
Dan aku?
Aku harus bersusah payah menanggungnya dengan sendu.
Secepat itukah kau lupa,
Kau pernah mengetuk pintu hatiku
Kau pernah menyebutku sebagai suatu kebahagiaan
Kau pernah menjadikanku seseorang yang kau anggap special
Dan kau pernah memintaku jangan pergi.
Baru saja aku membuka hati dan mempersilahkanmu masuk
Baru saja namamu kusebut dalam doaku sebagai yang kupinta
Baru saja aku berharap suatu saat segala mimpi jadi kenyataan.
Tapi dengan begitu kejamnya kau pergi
Tanpa sepatah kata
Tanpa berita
Tanpa cerita.
Seketika nuraniku mengatakan bahwa aku harus banyak belajar
Entah itu belajar menerima kenyataan
Atau belajar menjadi pemeran skenario Tuhan.
Untuk apapun itu,
Kelak pasti akan ku temukan jalan
Entah akan berujung kepadamu
Atau seseorang yang lebih baik darimu.
Terimakasih atas hari-hari yang pernah kita lalui. Terimakasih atas malam-malam yang pernah dipenuhi senyum. Terimakasih atas senja yang menjadi bait puisi. Terimakasih atas hujan yang pernah mengantarkan kerinduan. Terimakasih atas kenangan indah, meskipun akhirnya meninggalkan luka.
Love,
Marina.
Marina menangis tersedu-sedu. Ia merasa dadanya sakit sekali, susah bernapas, darahnya seolah-olah membeku begitu saja.
"Marina, kamu nggak papa? Minum ya.."
Dini, produser program Radio Night Showmasuk ke studio sambil menyodorkan sebotol air mineral.
"Masih belum move on dari mantan? Come on Marina, berhentilah menunggu kabar dari orang yang sengaja kabur" kata Dini sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi Marina dengan ujung jarinya.
"Aku nggak bisa mbak. Aku sudah tutup setiap cela, namun hatiku selalu berteriak menahan lara"
Marina kembali terisak. Dini bangkit dari kursinya, memeluk Marina dengan kedua tangannya.
"Tak bisa dipaksa, jika memang tak ada lagi rasa. Tak guna ditunggu, jika tak lagi merasakan rindu. Lupakan Arya. Itu jalan tunggal menuju bahagiamu"
★ ★ ★
Marina duduk bersandar di ruang tunggu rumah sakit. Ia datang kesini untuk menjenguk sepupunya yang baru saja melahirkan.
Dengan enggan ia melirik jam tangannya. Ia harus kembali ke stasiun radio. Ia harus siaran. Ia bangkit dan meraih tasnya. Ketika ia menegakkan tubuh, matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya di sudut ruangan.
Arya Manifesto...
Laki-laki itu sedang berbicara sambil tersenyum kepada ibunya. Ya Tuhan, sudah berapa lama ia tidak melihat senyum itu?
Marina menelan ludah dengan susah payah. Ia bergegas menuju pintu sebelum Arya sempat melihatnya. Ketika hampir mencapai pintu, ia menabrak seorang perawat. Tanpa menoleh, Marina menggumamkan permintaan maaf dan segera melarikan diri dari tempat itu.
Marina berhenti melangkah dan menyadari nafasnya terengah-engah. Apakah tadi ia berjalan cepat sekali? Ia duduk di sebuah bangku panjang di taman rumah sakit dan mengatur nafas.
“Marina?”
Kepala Marina berputar dan matanya terbelalak ketika mendapati Arya berdiri di sana. Di depannya.
“Mas Arya,”bisiknya serak.
Beberapa saat mereka saling diam. Membiarkan suara-suara di sekitar mereka mengisi kesunyian. Terdengar bunyi mobil-mobil berlalu-lalang, para pejalan kaki yang berbicara dan tertawa. Marina memang merasa sangat gugup, tapi anehnya sekaligus merasa tenang. Berada di dekat mantannya itu selalu membuatnya tenang.
“Ini pasti sangat berat bagimu,” kata Arya tiba-tiba memecah keheningan.
Marina tidak menjawab. Tidak bergerak. Matanya menatap ke depan. Kosong.
“Aku minta maaf telah meninggalkanmu tanpa kabar,” lanjut Arya. Suaranya agak bergetar.
Mereka kembali berdiam diri. Kemudian Arya mengangkat wajah dan menoleh ke arah Marina.
“Ada yang ingin kukatakan padamu. Karena itu aku mengejarmu sampai ke sini.”
Marina masih tidak mau menatap mantannya. Hatinya masih begitu sakit mengingat betapa kejamnya laki-laki itu terhadapnya.
“Besok aku akan menjalani operasi.”
“Operasi apa?” tanya Marina.
Arya tidak langsung menjawab. Dengan suara berat akhirnya ia menjawab.
“Aku... Aku mengidap penyakit jantung. Aku harus menjalani perawatan intensive sampai mendapatkan jantung baru. Itulah alasanku pergi meninggalkanmu"
Marina berusaha mengendalikan nafasnya yang terputus-putus.
“Marina..”
Marina menoleh. Arya menatapnya, lalu tersenyum. Senyum yang selalu disukai Marina. Tapi sayangnya Marina tidak bisa membalas senyumannya. Hatinya terlalu hancur untuk tersenyum.
“Aku senang bisa mengenalmu. Terima kasih.”
Kali ini Marina tidak mampu mengalihkan tatapannya dari mata Arya. Lalu tiba-tiba Arya menarik Marina ke dalam pelukannya.
“Aku nggak pernah menyesal mengenalmu,” gumam Arya sekali lagi.
Marina menelan ludah dan air matanya sudah nyaris jatuh. Arya melonggarkan pelukannya dan mundur selangkah supaya bisa menatap mata Marina.
“Berjanjilah padaku, kamu akan baik-baik saja kan?,” katanya.
Marina menggeleng. Ia tidak sanggup berjanji. Ia tahu ini kata-kata perpisahan. Marina menggigit bibirnya. Wajah Arya terlihat buram di matanya karena terhalang air mata.
Namun akhirnya Marina mengangguk.
Arya tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan membelai kepala Marina.
“Terima kasih. Selamat tinggal, Marina.”
Jangan pergi... Kumohon jangan pergi....
Marina ingin meneriakkan kata-kata itu, tapi suaranya tidak bisa keluar. Ia hanya bisa memohon dalam hati sementara Arya membalikkan tubuh dan berjalan pergi. Marina tidak bisa lagi menahan tangis. Ia membekap mulut dengan kedua tangannya.
★ ★ ★
Pegangan pintu dari besi itu terasa dingin dalam cengkeraman Marina. Butuh keberanian besar untuk masuk ke kamar rawat Arya. Ia harus menguasai dirinya terlebih dahulu. Marina memejamkan mata. Jangan menangis. Jangan menemui Arya dengan wajah basah karena air mata.
Marina membuka pintu dan melangkah masuk. Bau rumah sakit tidak pernah menyenangkan. Ia menghampiri ranjang Arya, lalu meraih tangan Arya dan menggenggamnya. Tangan itu terasa dingin.
"Jangan menghilang lagi, sebab hilangmu merusak suasana hati. Jangan pergi tanpa kabar lagi, sebab pergimu selalu saja meninggalkan sepi. Jika kau tidak bisa menguatkan aku dengan ada disampingku, jangan lemahkan aku dengan keberadaan yang tidak menentu."ujar Marina berusaha tidak menangis.
"Doakan semoga operasiku berhasil ya.." bisik Arya lemah. Dengan tangan satunya ia menyentuh pipi Marina yang mulai basah.
"Aku akan menunggumu. Semoga operasinya berhasil. Dan berjanjilah, kembalilah padaku.."
Mata Arya berkaca-kaca, namun ia tersenyum dan menempelkan bibirnya yang dingin ke pipi Marina sejenak sebelum masuk ke ruang operasi.
Seumur hidup baru kali ini Marina merasa begitu tegang. Ia menunduk menatap lantai. Operasi transplantasi jantung bukan operasi sepele. Sudah lima jam operasinya berjalan, namun belum ada tanda apapun.
Berapa lama lagi?
Semoga ia baik-baik saja.
Semoga ia...
Dokter keluar dengan wajah lelah, memotong doa Marina. Bunyi panjang dan datar dari dalam ruang operasi membuat hatinya seakan diremas. Ia mengangkat kepala dan menatap monitor penunjuk detak jantung. Hanya ada garis lurus yang terlihat di sana.
"Kami sudah berusaha melakukan apa yang bisa kami lakukan. Jantung baru sudah berada dalam tubuh Arya. Namun jantung itu menolak berdetak"
Marina merasa pandangannya kabur. Sayup-sayup terdengar suara dokter berkata tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan.
Sejak hari itu, Arya tidak akan pernah sadarkan diri lagi.
★ ★ ★ E N D ★ ★ ★


"Aku pernah menempatkanmu di samping
Menjadikanmu sebagai seorang pendamping
Hingga kau berhenti berjalan
Memberiku kekuatan diantara ketiadaan
Kau tak perlu khawatir,
Kepergianmu hanya perihal jarak,
Dalam hatiku kau tak sedikitpun beranjak"



Originally stories by vitawulandari
Kesamaan nama & tempat hanya kebetulan
Diubah oleh vitawulandari 07-01-2020 21:27






swiitdebby dan 8 lainnya memberi reputasi
9
7.2K
Kutip
77
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan