Kaskus

News

lostcgAvatar border
TS
lostcg
Tedi Kholiludin: Posisi Penghayat Kepercayaan Sama dengan Pemeluk Agama
Tedi Kholiludin:

Posisi Penghayat Kepercayaan Sama dengan Pemeluk Agama



Sun, 03 Mar 2019 - 01:35 WIB

229

Tedi Kholiludin:

Posisi Penghayat Kepercayaan Sama dengan Pemeluk Agama



Setelah menunggu 41 tahun, akhirnya penganut penghayat kepercayaan dapat bernapas lega. Sebab, keyakinan mereka kini sudah tercatat di kolom agama KTP.

Penganut penghayat kepercayaan di beberapa daerah pun sudah menerima KTPelektronik dengan pencantuman keyakinan mereka. Lalu, bagaimana nasib penghayat kepercayaan pascapencantuman keyakinan di KTP? Berikut perbincangan wartawan Suara MerdekaSiswo Ariwibowodengan peneliti senior Yayasan Pemberdayaan Komunitas (YPK) Lembaga Studi Sosial dan Agama (Elsa) Semarang, Dr Tedi Kholiludin.

Bagaimana sebenarnya posisi penghayat kepercayaan di hadapan agama-agama?

Jika ditilik lebih jauh, dari sudut pandang keyakinan, orang-orang yang dikategorikan pemeluk agama dan penghayat kepercayaan sama-sama memiliki sistem kepercayaan. Semua penganut suatu ajaran dengan konten yang pasti berbeda-beda formulasi.

Muncul perdebatan tentang posisi kepercayaan”” dalam relasi dengan agama. Apakah kepercayaan itu bagian dari agama, semacam aliran kebatinan penghayatan, ataukah tidak lain yang selama ini dikenal sebagai agama?

Dalam praktik, ada penghayat yang memandang kepercayaan sebagai nutrisi spiritual yang berbingkai luar bisa Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain.

Namun arus lain menunjukkan apa yang mereka yakini dan disebut kepercayaan adalah formulasi yang sesungguhnya masuk kategori agama. Jadi penganut Sapta Darma atau Sunda Wiwitan, misalnya, akan menyatakan keduanya adalah agama. Karena itu, saya melihat agama dan kepercayaan sama saja dalam pengertian sebagai sistem kepercayaan. Kalau kita menggunakan rumusan sederhana bahwa apa yang disebut agama mengandung 4C — creed (kredo, pernyataan iman), code (kode tindakan atas perilaku), cult (kultus, ibadah) dan community (struktur masyarakat atau komunitas) — maka kita bisa menyimpulkan aliran kepercayaan adalah agama.

Bagaimana pula dalam konteks tata kelola kehidupan bernegara dan berbangsa?

Orang sering menyebut ada “agama yang diakui””, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Padahal, itu kesimpulan yang tak berdasar. Tidak ada undang-undang yang menyebut ada pengakuan terhadap agama-agama tertentu. Dalam UU Nomor 1 PNPS 1965, enam agama itu disebut keyakinan yang mendapatkan jaminan dan fasilitas dari pemerintah.

Jadi bukan diakui untuk menyatakan ada agamaagama di luar enam itu yang tidak diakui.

Pemahaman ini penting dimengerti untuk meneguhkan bahwa di negara kita tidak ada warga negara kelas dua. Semua warga negara yang memiliki hak dan kewajiban sama, tanpa memandang latar belakang agama. Apa yang kemudian disebut penganut aliran kepercayaan, setidaknya pada masa pemerintahan Orde Baru, menghadapi pilihan-pilihan yang sulit; memilih beridentitas satu dari enam agama (atau lima agama pada era Orde Baru) atau dikategorikan sebagai warga “belum beragama”. Pilihan itu berimbas terhadap pencantuman identitas mereka di kartu tanda penduduk (KTP). Mereka yang keukeuh dengan ajaran, memilih mengosongkan kolom agama di KTP ketimbang mengisi dengan identitas agama yang bukan ajaran mereka.

Pilihan itu tak mudah, karena pada 1966 dan satu dasawarsa sesudahnya mengosongkan agama bukan tak berdampak politik.

Mereka diwaspadai sebagai orang yang terlibat Peristiwa 30 September. Seperti kita tahu, pencantuman identitas agama di KTPberimplikasi terhadap hal-hal bersifat administratif lain seperti kartu keluarga dan pencatatan pernikahan.

Ada kasus seorang warga penghayat yang karena identitas agama di KTPtertulis strip (-) mengalami pelbagai kesulitan laiknya mendaftar pegawai negeri sipil dan sebagainya. Perubahan politik pascareformasi memunculkan harapan. Salah satunya kehendak memupus diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan, karena salah satu asas pelayanan negara terhadap warga bersifat nondiskriminatif. Kemudian muncul banyak perdebatan tentang teknis mengakomodasi dan merekognisi, termasuk bagaimana pencantuman identitas di KTP.

Apakah pencantuman itu bisa disebut kemenangan — sebagai pengakuan dan pelegalan atas aktivitas dan keyakinan “keberagamaan” — mereka setelah berjuang sekian lama?

Itu bukan soal menang-kalah. Itu hanya tentang bagaimana menegakkan aturan sesuai dengan cita-cita Pancasila dan UUD 1945. Apa pun kebijakannya, muaranya harus pada cita-cita itu. Kalaulah harus disebut “kemenangan”, ya itu kemenangan kita bersama sebagai bangsa Indonesia yang telah secara bersamasama mengukyhkan fondasi kebangsaan melalui penegakan aturan tanpa pembedaan.

Itu buah perjuangan, tidak hanya kelompok penghayat, meski berdampak langsung terhadap kadang penghayat.

Kemenangan selalu lahir dari kerja sama yang baik. Teman-teman penghayat berada di garis depan, dengan dukungan seluruh elemen protoleransi yang berjuang dengan segala cara; jalur hukum, kampanye di media, negosiasi, riset, dan sebagainya.

Apakah kini dan selanjutnya mereka bakal menerima perlakuan yang sama dengan penganut agamaagama samawi?

Saya agak kurang setuju dengan kategorisasi agama samawi (langit) dan ardli(bumi). Apalagi jika dibarengi konsekuensi: samawi lebih superior daripada agama bumi. Kalau samawi dimaksudkan sebagai “agama wahyu”, semua agama mendasarkan pada sisi pewahyuan, yang mungkin dalam pemahaman dimaknai secara berbeda.

Dari sisi lokus dan geografi penganut, barangkali agak bisa diterima jika ada world religionsdan local religions, agama yang mendunia serta agama yang tumbuh dan terbatas di lingkungan tertentu. Itu pun tak sertamerta diterima, karena yang global sekalipun awalnya bersumber dari yang lokal. Karena itu, kategorisasi itu jika tidak digunakan dengan hati-hati terkadang menyesatkan. Tentang perlakuan pada semua warga negara, tentu mesti tanpa pembedaan. Prinsip pelayanan negara harus tanpa diskriminasi.

Apa ganjalan yang masih mereka hadapi?

Lazim diketahui penghayat kepercayaan tidak homogen. Ada penghayat yang memiliki organisasi, banyak juga yang tak berorganisasi. Ketika Kementerian Dalam Negeri berencana berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai wadah kelompok aliran kepercayaan, muncul kekhawatiran akomodasi hanya akan dilakukan pada yang berorganisasi.

Persoalan detail yang juga potensial muncul adalah identitas apa yang ditulis. Jika hanya ditulis dengan kata “kepercayaan”, bagaimana dengan penghayat yang menginginkan penulisan identitas spesifik, seperti agama Parmalim, Kaharingan, Marapu. Jadi ada potensi memang ketika rekognisi itu hendak didaratkan menjadi aturan bersifat teknis.

Apakah kebijakan pencantuman keyakinan di kolom agama di KTPbisa menghambat potensi kehancuran dan kepunahan aliran kepercayaan?

Saya belum riset mendalam tentang hal itu. Namun dalam beberapa percakapan dengan teman-teman penghayat, ada kesadaran sangat tinggi untuk melanjutkan tongkat estafet ke anak-cucu mereka. Saya berharap, pencantuman kolom identitas kepercayaan di KTPbisa menggenapi semangat itu.

Sejauh saya cermati, aliran kepercayaan atau agama lokal di Indonesia tidak benar-benar punah. Keyakinan betapapun dibungkus baju berbeda, tetap bertahan kukuh di hati dan pikiran mereka karena itulah yang kita sebut iman. Dulu, mereka mungkin harus bernegosiasi dengan keadaan (politik), sehingga harus masuk ke salah satu agama. Namun, sekali lagi, situasi sulit yang mengharuskan mereka melakukan itu.

Pemerintah ketika itu justru memberi jalan bagi warga untuk mengambil pilihan yang mengingkari nurani. Itu tak boleh lagi terjadi. Betapapun pencantuman identitas penghayat kepercayaan itu belum secara otomatis menyelesaikan persoalan kelompok penghayat hingga ke level teknis.

Namun secara substansial ada posisi baru bagi penghayat kepercayaan yang selama ini kerap mendapatkan opresi.

Posisi baru itu sama belaka dengan warga negara lain dalam sebuah tatanan masyarakat yang multikultur.

Akomodasi itu berdampak terhadap identitas yang melekat. Karena itu, tidak hanya diakomodasi, tetapi juga ada ruang untuk emansipasi. Pengakuan perbedaan kelompok juga membutuhkan prinsip pengambilan keputusan politik yang mendorong pengorganisasian kelompok secara otonom di masyarakat. Keputusan itu bisa kita maknai sebagai penyertaan kelompok yang tertindas dalam badan pembuat keputusan yang demokratis. (28)

https://www.suaramerdeka.com/smcetak...SKMjg.whatsapp


Mendingan hapus kolom agama karena nggak ada gunanya
0
1.7K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan