Ilustrasi perempuan bekerja depresi. | TheVisualsYouNeed /Shutterstock
Perempuan dengan jam kerja ekstra panjang rentan mengalami depresi. Namun, hal yang sama tidak berlaku untuk laki-laki.
Berapa waktu kerja yang terlalu lama?
Menurut riset dari University College London, perempuan yang bekerja lebih dari 55 jam per minggu punya kecenderungan menderita depresi daripada perempuan yang bekerja dengan standar 35 hingga 40 jam seminggu.
Laki-laki tidak punya kecenderungan sama walau mereka bekerja lama. Kerentanan terhadap depresi baru muncul ketika mereka bekerja di akhir pekan.
Para peneliti menduga, hal ini berbeda antar-gender karena fakta bahwa bahkan ketika perempuan tidak bekerja, mereka dibebani dengan tugas-tugas rumah tangga.
Temuan ini menurut penulis utama riset, Gill Weston menunjukkan perlunya dukungan yang lebih besar bagi perempuan dengan waktu kerja lama.
"Ini adalah studi observasional, walaupun kami tak bisa menetapkan penyebabnya, kami tahu banyak perempuan menghadapi beban tambahan melakukan bagian yang lebih besar dari pekerjaan rumah tangga daripada laki-laki, sehingga total jam kerjanya lebih lama, menambah tekanan waktu dan tanggung jawab yang luar biasa," kata Weston dinukil
UPI.
Weston dan tim juga menemukan bahwa perempuan yang menikah dan punya anak cenderung lebih cenderung bekerja berjam-jam lebih lama daripada perempuan lajang. Sementara laki-laki yang sudah menikah lebih cenderung bekerja lembur di kantor daripada kaum Adam yang belum berkeluarga.
Hasil ini terungkap setelah peneliti mengamati data lebih dari 23 ribu orang dewasa Inggris. Mereka diamati sejak 2009 untuk penelitian, yang diterbitkan dalam Jurnal BMJ Epidemiology and Community Health.
Perempuan yang bekerja lebih lama dari 55 jam seminggu memiliki gejala depresi 7,3 persen lebih besar. Gejala itu meliputi perasaan tidak berharga atau tidak mampu, dibandingkan perempuan yang bekerja dengan jam standar.
Bekerja di akhir pekan dikaitkan dengan risiko depresi yang lebih tinggi, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Kaum Hawa yang bekerja setiap atau di sebagian besar akhir pekan memiliki 4,6 persen lebih banyak gejala depresi daripada perempuan yang hanya bekerja di hari kerja. Sementara di kalangan laki-laki, angka ini hanya 3,4 persen.
Pada kenyataannya, laki-laki cenderung bekerja lebih lama daripada perempuan. Hampir setengah dari laki-laki yang disurvei, bekerja lebih dari 40 jam seminggu.
Tidak sampai satu dari empat perempuan yang disurvei demikian. Hampir setengah dari mereka malah bekerja paruh waktu, dibandingkan dengan hanya satu dari tujuh laki-laki.
"Temuan kami tentang gejala depresi di kalangan perempuan yang bekerja dengan jam kerja ekstra panjang mungkin juga dijelaskan oleh potensi beban ganda yang dialami oleh perempuan ketika jam kerja mereka yang panjang ditambahkan pada waktu mereka dalam pekerjaan rumah tangga," tulis peneliti.
Theresa Nguyen, vice president program dan kebijakan Mental Health America mengonfirmasi hal ini. "Ada tekanan dari masyarakat, dan tekanan dari diri kami sendiri. Sebagai perempuan, kami merasa khawatir jauh dari keluarga saat bekerja," kata Nguyen.
Beban ganda yang diemban perempuan ini menurut Nguyen berperan dalam memicu depresi. Untuk itu perempuan perlu menentukan batasan. "Misal Anda tak menjawab surel pada jam-jam tertentu, atau di akhir pekan," tuturnya.
Peneliti pun menegaskan, "Temuan kami harus mendorong pengusaha dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan intervensi demi mengurangi beban perempuan tanpa membatasi partisipasi penuh mereka dalam bekerja, dan untuk meningkatkan kondisi kerja psikososial."
Bagaimanapun, praktik kerja yang lebih simpatik bisa bermanfaat baik bagi pekerja maupun bagi pengusaha, juga bagi kedua jenis kelamin.