awanbiru308Avatar border
TS
awanbiru308
Militansi Relawan Mengendur di Jokowi, Menguat di Prabowo

27 Februari 2019 11:37 WIB

Hampir saban hari Maman Imanulhaq menerima pertanyaan sama, apakah ada kaus bergambar pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Awalnya pertanyaan itu cukup dijawab, “Tak ada.” Tetapi belakangan Maman mulai jengah.

“Anda kan relawan, relawan harus kreatif. Tak ada dana dari TKN. TKN tugasnya harus memfasilitasi," kata dia, mengulang ucapannya saat berbincang dengan kumparan di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (23/2).

Maman duduk sebagai Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf. Urusan itu bukan bagiannya. Di TKN, Direktur Logistik dan APK dijabat Usra Hendra Harahap.

Tugas Maman bukan untuk mengucurkan uang atau barang, tetapi mengoordinasi antarkelompok relawan agar tak tumpang tindih. Entah bagaimana permintaan logistik berupa kaus dan alat peraga kampanye (APK) tersasar padanya.

Tak semua relawan bekerja efektif. Hanya sekitar 600 kelompok yang militan. Jumlah itu cuma 30 persen dari total relawan. Sebagian lainnya hanya sibuk minta logistik atau berebut selfie dengan Jokowi.

“Banyak yang tidak paham dengan tugas dan fungsi relawan dan TKN,” kata Maman.

Kelompok relawan Jokowi di bawah Jusuf Kalla, Jenggala Center, merasakan hal serupa. Ketua Jenggala Center, Iskandar Mandji, menganggap militansi relawan di 2019 merosot.

“Lebih banyak yang kerja, memang lebih bagus. Tapi semangatnya tidak sama dengan 2014. Sekarang seperti adem-adem saja. Kita sempat bingung juga waktu turun bulan Desember (2018), di bawah itu bingung dan tidak gerak. Terpaksa kami (Jenggala) cover semua di 27 provinsi,” ujar Iskandar.

“Itu yang saya lihat di lapangan dengan pasukan saya. Tak masalah kalau orang partai bilang itu (relawan tak bergerak) tak benar,” imbuhnya.

Indikator sebuah relawan bekerja, cukup sederhana. Ia terjun ke lapangan menggalang pendukung, membuat laporan berkala, dan terlibat skenario operasi penggalangan suara yang disiapkan TKN.

Kelompok relawan Jokowi-Ma’ruf dibagi dalam berbagai klaster. Klaster pertama mencakup B alias Bravo yang merujuk ke Bravo 5 yang dipimpin Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi. Lalu, C atau Cakra, merujuk ke relawan Cakra 19 yang dipimpin eks sekretaris kabinet Andi Widjajanto. Keduanya binaan Luhut Binsar Pandjaitan.

Selanjutnya, D alias Delta yang merupakan beberapa kelompok relawan yang bergerak di Pilpres 2014. Ada 11 kelompok relawan yang masuk ke Delta. Misalnya Projo, Bara JP, Seknas Jokowi, Rumah Koalisi Indonesia Hebat (RKIH) yang kini menjadi Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH), hingga Galang Kemajuan (GK).

Klaster kedua, yaitu kumpulan beberapa kelompok relawan yang relatif kecil seperti pada Pilpres 2014. Mereka membentuk kelompok baru seperti Aliansi Relawan Jokowi (ARJ) atau Tim Relawan Nasional (TRN). Klaster ketiga, ada kelompok relawan yang bekerja independen dan individual, membentuk rumah-rumah kerja seperti Rumah Aspirasi atau Rumah Kerja Relawan yang tersebar di Jawa Barat, Jakarta, hingga Sumatera Barat.

Fakta berbeda terjadi di seberang. Pada 2014, Prabowo boleh saja mengandalkan mesin parpol, sebab mayoritas partai saat itu mendukungnya. Kala itu, kelompok relawan yang mendukung Prabowo tak semasif dan semilitan saat ini.

ubir Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Andre Rosiade yang juga anggota Tim Kampanye Nasional Prabowo-Hatta Rajasa di 2014, mengatakan kelompok relawan mereka bahkan banyak yang sering berinisiatif langsung melakukan kampanye door to door. Padahal jumlah logistik yang disiapkan BPN pada 2019 ini tidak banyak. Namun jumlah relawan tetap membludak.

“Logistik kita di 2014 lumayan ada. Kalau sekarang kan kita duafa benar. Tapi yang terjadi, relawan malah lebih militan,” ujar politikus Gerindra itu.

Saat ini, jumlah kelompok relawan Prabowo-Sandi tercatat sekitar 1.300 kelompok. Mayoritas kelompok relawan merupakan emak-emak. Ada pula kelompok relawan lain yang berbasis generasi milenial atau profesi tertentu.

Direktur Relawan BPN Prabowo-Sandi, Ferry Mursyidan Baldan, menyebut masih banyak kelompok relawan yang belum terdaftar di luar 1.300 kelompok itu. Mereka sudah terbentuk secara swadaya hingga tingkat kabupaten/kota.

BPN membiarkan kelompok-kelompok itu bekerja sesuai karakternya masing-masing. Mereka tak ingin membatasi kerja relawan berdasarkan jumlah mereka.

“Bahkan tiga orang pun sudah saya anggap sebagai kelompok relawan. Tidak usah 100. Misalnya ada 1.000 tapi Anda enggak kenal, gimana? Kan percuma,” ujar Ferry.

Mantan timses Jokowi-JK di Pilpres 2014 itu memiliki sistem pengembangan relawan yang beranak pinak. Biasanya relawan Prabowo-Sandi bergerak dengan target minim, namun lewat pendekatan intens dan personal. Jadi misal minggu ini cuma ada tiga orang, pekan depannya sudah jadi enam orang, pekan depannya lagi menjadi 9, dan seterusnya.

Ferry menilai, para relawan sadar pasangan Prabowo-Sandi tak kuat secara logistik. Mereka hanya melaporkan soal wilayah yang akan digarap. Terkait sarana penunjang, mereka menyiapkan sendiri, sedangkan BPN hanya mengunggah contoh materi kampanye, mulai dari desain baliho atau spanduk hingga berbagai jenis meme.

Master desain ini diunggah di situs Prabowo-Sandi dan bisa diakses kapan pun.

“Relawan-relawan ini tak minta logistik pada kami. Mereka jalan sendiri, cetak sendiri. Mulai dari bikin kaus, spanduk. Disuplai APK ada, tapi tidak pernah banyak,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai kekuatan relawan saat ini berbalik dibanding Pilpres 2014. Sekarang, Jokowi-Ma’ruf mendapat lebih sedikit dukungan relawan dibanding Prabowo-Sandi. Petahana lebih mengandalkan kekuatan parpol pengusung.

Hal tersebut bagian dari karakter politik Indonesia, di mana penantang selalu memiliki keunggulan dalam membangun gerakan organik relawan, sedangkan petahana mengandalkan dukungan partai. Kini Jokowi-Ma’ruf sudah duduk sebagai petahana, sementara Prabowo-Sandi merupakan penantang.

“Lagi pula, yang namanya penantang, euforia relawan akan lebih terasa. Karena mau tidak mau, mereka harus menggunakan relawan untuk menutupi kekuatan partai yang sedikit,” ujar Yunarto.

Soal bagi-bagi jabatan pascamenang pun dinilai normal. Saban rezim selalu melakukannya. Yunarto hanya memberikan catatan, jangan sampai bagi-bagi kue ini menjadi tolok ukur kerelaan bekerja di lapangan. Toh, bagaimana pula mengukur soal kerelaan.

“Sebab (kalau parameternya begitu), akan lebih banyak kecewa. Dari ribuan relawan, berapa sih yang misalnya menjadi komisaris atau menteri,” tutur dia.

Jadi relawan sudah barang tentu tak melulu kerja ikhlas. Namanya juga politik, tak ada makan siang gratis.

https://kumparan.com/@kumparannews/m...uat-di-prabowo

Dana besar tenaga kurang. Mengapa? Karena Capresnya memang banyak kekurangan.
Banyak kekurangan koq didukung?
Karena salah satu keuntungan dari kekurangannya adalah; bisa diatur oleh bohir.
:B

0
2.4K
38
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan