- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Diskriminasi Kampus dan Pengakuan 'Kesalehan' Dosen Bercadar


TS
eggydurjana
Diskriminasi Kampus dan Pengakuan 'Kesalehan' Dosen Bercadar

Dosen bahasa Inggris di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Dr Hayati Syafri, memilih melapor kepada Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat (Sumbar) terkait kejadian yang menimpanya. Hayati tidak diizinkan pihak kampus untuk mengajar selama semester genap tahun ajaran 2017/2018 karena keputusannya mengenakan cadar.
Pada Rabu (14/3) siang, suami dari Hayati, yakni Zulferi, mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Sumatra Barat untuk menyampaikan laporan terkait kebijakan tentang cadar yang dijalankan IAIN Bukittinggi. Asisten Ombudsman Sumbar Yunesa Rahman menyebutkan, pelapor menyayangkan sikap kampus yang tidak memberikan kesempatan mengajar bagi Hayati selama semester ini. Bahkan, lanjut Yunesa, sanksi yang diterima Hayati hanya disampaikan secara lisan.
“Suratnya hanya diperlihatkan dan tidak diberikan salinan dan tidak boleh difoto dan berlaku surut sejak Februari lalu,” kata Yunesa.
Hayati sebenarnya baru mengenakan cadar selama tiga bulan terakhir. Pihak IAIN Bukittinggi pun sempat memberikan surat teguran kepada Hayati pada Desember 2017 lalu yang isinya meminta Hayati mematuhi kode etik berpakaian bagi dosen. Hayati diminta kembali ke gaya berbusana sebelumnya.
“Yang dipermasalahkan, beliau tidak diberikan jam mengajar karena menggunakan cadar, hanya dengan surat dekan,” ujar Yunesa.
Zulferi mendatangi Ombudsman RI Perwakilan Sumbar dengan membawa fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) Hayati, lampiran kronologi laporan, surat keputusan (SK) pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS), dan salinan surat teguran yang disampaikan dekan.
Ombudsman RI, lanjut Yunesa, menerima laporan yang disampaikan Zulferi dan akan mempelajarinya. Yunesa juga mengakui, Ombudsman menyoroti kebijakan kampus yang mengaitkan antara aturan berpakaian dengan kesempatan untuk mendapatkan pelayanan akademik.
“Karena dalam surat edaran dekan disebutkan bahwa yang tidak mematuhinya tidak akan diberikan layanan akademik. Kami cari apa kaitannya,” katanya.
Ombudsman RI, kata Yunesa, merasa keluhan yang disampaikan Hayati perlu ditanggapi karena efeknya tidak hanya dirasakan Hayati, tetapi juga mahasiswi di IAIN Bukittinggi yang mengenakan cadar. Ombudsman RI pun akan menelusuri kaitan antara aturan berpakaian dengan hak mahasiswi dan dosen untuk mendapatkan layanan akademik.
Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno belum mau memberikan respons atas kebijakan IAIN Bukittinggi yang mengimbau dosen dan mahasiswi agar tak bercadar. Irwan memilih untuk berkoordinasi terlebih dulu dengan pihak kampus terkait latar belakang kebijakan ini. “Saya belum bisa komentar. Nanti, ya, dipelajari dulu,” ujarnya di Istana Gubernur Sumbar.
Kepala Biro Administrasi Umum Akademik dan Kemahasiswaan IAIN Bukittinggi Syahrul Wirda menerangkan, imbauan yang diterbitkan kampusnya sesuai dengan kode etik yang disepakati seluruh sivitas akademika. Sesuai kesepakatan itu, kata Syahrul, IAIN Bukittinggi tidak melarang penggunaan cadar bagi mahasiswi dan dosen di lingkungan akademik.
Kampus hanya menjalankan langkah persuasif bagi mahasiswi dan dosen bercadar untuk mengikuti ketentuan berbusana sesuai kode etik kampus.
Poin yang menjadi bahan pertimbangan kampus, kata Syahrul, adalah upaya untuk menghindari justifikasi bahwa penggunaan cadar menunjukkan tingkat keislaman yang paling sempurna bagi seorang Muslimah. “Kadang yang kami takutkan, mereka posisikan diri bahwa yang bercadar itu yang benar. Itu tidak mau kita. Jangan justifikasi orang yang tidak bercadar belum sempurna Islamnya,” ujar Syahrul, Selasa (13/3).
Syahrul tak menampik bahwa imbauan tata cara berbusana yang diterbitkan pihak kampus berkaitan dengan isu terorisme dan radikalisme. Namun, bagi dia, imbauan bagi mahasiswi dan dosen agar tidak mengenakan cadar murni ketentuan kode etik kampus saja. “Tidak ada kaitannya dengan isu radikalisme," katanya.
Syahrul menegaskan, IAIN Bukittinggi menolak penggunaan diksi “pelarangan cadar”. Dia pun memilih penggunaan kata “imbauan” untuk menjelaskan kebijakan soal cadar di lingkungan kampus.
Mengenai penonaktifan Hayati, Syahrul menyebutkan, pihak kampus hanya ingin agar dosen tersebut menaati aturan. Sebab, pimpinan kampus memandang penggunaan cadar bagi seorang dosen akan menghambat proses akademik di kelas.
Bahkan, Syahrul mengklaim sudah mendapatkan masukan dari mahasiswa yang mengatakan mereka merasa kurang nyaman ketika diajar oleh dosen yang mengenakan cadar.
“Ada pihak yang tidak merasa nyaman. Dia guru bahasa Inggris. Dia mengajar anak-anak speaking, perlu kelihatan. Kita perlu identitas. Makanya, kalau di kampus, kami minta tolong kode etik kampus dipatuhi. Sampai hari ini dia belum mau,” kata Syahrul.
Dia pun menegaskan, sampai saat ini Hayati tidak diberhentikan sebagai dosen IAIN Bukittinggi maupun dicopot jabatan akademik yang diembannya. Meski begitu, IAIN Bukittinggi tetap melakukan upaya persuasif bagi Hayati agar mau kembali mengajar dengan ketentuan berbusana yang diminta pihak kampus.
Dr Hayati Syafri tak bisa menerima alasan kampus yang menjatuhkan sanksi kepada dirinya karena berpakaian cadar. Apalagi, kampus menuding Hayati telah memberikan pengaruh tidak baik terhadap lingkungan. Sebagai pengguna cadar, Hayati disangka ingin menunjukkan bahwa tingkat keislamannya paling sempurna.
“Saya tidak merasa paling baik dan paling saleh dalam menjalankan syariat Islam. Saya cuma ingin diberi izin bercadar di kampus karena kampus adalah miniatur dan contoh bagi kehidupan di masyarakat,” kata Hayati, Rabu (14/3).
Kini, Hayati terpaksa harus berdiam di rumah setelah pihak kampus menjatuhkan sanksi nonaktif mengajar selama masih mengenakan cadar. Dosen bahasa Inggris itu pun tidak bisa lagi bertatap muka dengan para mahasiswanya di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
Polemik cadar di IAIN Bukittinggi bermula dari penerbitan surat imbauan bagi dosen dan mahasiswi agar tidak mengenakan cadar di lingkungan kampus. Dalam surat edaran tertanggal 20 Februari 2018 yang ditandatangani Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Bukittinggi tersebut, kampus meminta mahasiswa dan mahasiswi untuk mengenakan pakaian sesuai kode etik yang dijalankan IAIN Bukittinggi.
Di butir pertama, surat edaran meminta seluruh sivitas akademika bersikap sopan santun. Butir kedua menjelaskan aturan berpakaian bagi mahasiswi, yakni memakai pakaian longgar, jilbab tidak tipis dan tidak pendek, tidak bercadar atau masker atau penutup wajah, dan memakai sepatu serta kaus kaki.
Sementara, butir ketiga diperuntukkan bagi mahasiswa, yakni memakai celana panjang bukan tipe celana pensil, baju lengan panjang atau pendek bukan kaus, rambut tidak gondrong, dan memakai sepatu serta kaus kaki.
“Bagi yang tidak mematuhi, tidak diberikan layanan akademik,” demikian bunyi kalimat dalam surat edaran tersebut. Akibat kukuh mengenakan cadar, Hayati pun terpaksa diminta libur dari aktivitas mengajar sejak awal semester ini.
Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis beranggapan, perguruan tinggi harus membuka ruang dialog soal kebijakan penggunaan cadar di lingkungan kampus.
Cholis meminta IAIN Bukittinggi meniru langkah yang dilakukan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang mencabut surat perintah pembinaan khusus kepada mahasiswi bercadar.
“Perlu meniru Yogyakarta. Perguruan tinggi perlu membuka ruang dialog,” kata Cholil.
Dosen Kajian Wilayah Timur Tengah Islam di Universitas Indonesia (UI) itu pun mengingatkan, perguruan tinggi adalah tempat berkumpulnya para akademisi. Dengan demikian, sangat mungkin menciptakan ruang dialog dan diskusi mengenai kebijakan kampus. Cholil juga meminta agar permasalahan cadar hanya dikaitkan dengan isu cara pakaian di kampus, bukan kriminalitas maupun asusila.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir mengimbau seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk tidak melakukan diskriminasi. Imbauan itu diungkapkan Nasir merujuk pada aturan larangan penggunaan cadar di perguruan tinggi. “Bagi saya, jangan pernah lakukan diskriminasi di lingkungan kampus,” kata Nasir. (wilda fizriyani, Pengolah: eh ismail).
http://m.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/03/15/p5m3ky440-diskriminasi-kampus-dan-pengakuan-kesalehan-dosen-bercadar-part2



buset tong belain tradisi yahudi sampe segitunya yak


0
5.8K
118


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan