- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kembalikan Napas Adinda
TS
azizahnoorqolam
Kembalikan Napas Adinda
Aku mengepalkan tangan di atas meja. Amarah ini seakan sudah sampai ubun-ubun. Ibarat gunung merapi yang akan segera mengeluarkan magmanya. Ah, aku telah gagal menyelamatkan seorang wanita dari pernikahan itu. Bukan aku ingin menggagalkan pernikahan itu, yang menjadi masalahnya adalah laki-laki yang akan menjadi mempelai prianya.
Edo, mantan suamiku. Mulutnya pandai bersilat lidah. Rayuan manis bagai madu beracun. Senyuman di bibir itu menyembunyikan taring tajam dan siap mengigit mangsa. Kebanyakan dari mereka adalah wanita muda. Wanita polos yang mudah untuk dikelabui. Selain rayuan, bujukan, dan iming-iming kebahagiaan. Ia pun menggunakan dalih agama untuk menjerat mangsanya.
Maaf aku tak bisa menolongmu.....ujarku dalam hati
***
Satu tahun yang lalu....
Aku frustasi karena pria yang kucintai menikah dengan wanita lain. Hati dan pikiran menjadi kalut. Sakit rasanya. Namun ini semua adalah kesalahanku, karena memutuskan hubungan dengan sang pujaan hati. Padahal, laki-laki itu sangat mencintaiku. Sampai-sampai Ia mengirim pesan singkat ke ponsel Ibu. mengatakan bahwa ini bukan kemauannya, tapi aku.
Hatiku benar-benar kalut saat itu, bingung apa yang harus dilakukan. Penyesalan memang selalu datang diakhir. Kini aku menyadari di hati ini hanya ada dia. Namun semuanya sudah terlambat. Tak ada lagi harapan untukku. Dia sudah mengikat janji suci dengan perempuan pilihan keluarga. Meski sebelum pernikahan itu terjadi. Ia sudah menceritakan tentang diriku pada keluarganya. Ya, setidaknya ia masih berusaha untuk mempertahankan aku yang jelas-jelas telah menyakitinya.
Mengingat semua itu, membuat dadaku sesak. Cinta ini begitu indah. tapi hidupku tidak berhenti sampai di sini. Di depan sana masih terbentang rintangan hidup yang harus dilewati.
“Bismillahirrohmanirrohim ....” mengambil tas di atas meja,”Ma, saskia berangkat dulu, ya. Assalamu’alaikum ...”
“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan, Kia,”
Aku langsung berangkat tanpa menyalami Mama. Soalnya jam sudah menunjukkan pukul 12 siang lewat, takut telat sampai ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Harus dua kali naik kendara. Dari rumah naik angukatan umum nomor 7. Kemudian berhenti di gang yang ada plang Oma Indah lalu naik ojeg menuju ke sekolah. Baru dua hari, mengajar di sana. Jalanan bergelombang seakan telah menjadi teman sepanjang perjalanan. Mungkin karena sekolahan itu terletak di daerah terpencil. Sehingga tidak ada perhatian dari pemerintah. Atau mungkin sebagian dari para penduduk bermatapencaharian sebagai pembuat batu bata. Hingga Truk pengangkut batu bata bolak-balik ke sana. Oleh karena itu, meski pun diperbaiki, lambat laun akan rusak lagi.
“Berhenti di sini, Mang!” aku menghentikan laju ojeg. Turun dan mengambil dompet dari dalam tas,”berapa?”
“Enam ribu, Neng.”
“Ini,” memberikan uang lembar dua ribuan tiga lembar. Setelah menerima ongkos. Tukang ojeg itu kembali mencari penumpang lagi.
Melihat jam tangan. Sudah telat lima belas menit, kupacu langkahku secepat mungkin. Setiba di sekolah, langsung masuk ke kantor. Ternyata kelas sudah dihandle ama Bu Wulan. Tak apalah, ada waktu untuk istirahat sejenak. Aku duduk sendiri. Tiba-tiba seorang pria berkacamata masuk sambil mengucapkan salam. Aku menjawabnya. Tanda tanya menghinggapiku. Siapa pria ini? Tak lama kepala sekolah datang dan memperkenalkan pria berkacamata yang bernama Pak Edo. Dia yang akan mengurusi surat izin sekolah ke Dinas Pendidikan. Aku mendengarkan penjelasan Pak Anwar, selaku kepala di sekolah ini. Ada sedikit masalah dengan izinnya.
Pak Edo itu meminta nomor ponselku untuk berkomunikasi tentang sekolah. Aku menyebutkan sederet angka. Ia memencet nomor yang kusebutkan tadi dan meng-miscall. Satu nomor baru mampir ke ponsel.
“Itu nomorku. Save, ya!”
Aku hanya menganggukkan kepala. Di balik pintu kulihat Bu Wulan sudah keluar dari kelas. Dia tersenyum manis padaku.
“Permisi, aku tinggal dulu ke kelas,” ujarku sambil membawa buku pelajaran dan spidol.
“Oh, ya, silahkan!” ia mempersilahkanku.
Kuayunkan kaki menuju kelas. Anak-anak menatapku dari balik jendela dengan senyum tulusnya.
***
Sejak pertemuan pertama itu, kami sering berkomunikasi. Tak hanya masalah sekolah yang kami bicarakan. Namun juga masalah pribadi. Aku nyaman berbicara dengannya. Perkenalan singkat, tapi telah memberikan kesan mendalam. Entah kenapa?! Tiba-tiba saja aku terpesona pada pria itu. Dia bertanya banyak tentangku, keluarga, dan lain-lain. Aku menjawab dengan sekenanya. Akhir-akhir ini pun, ia sering mengantarku pulang ke rumah.
Memang usia kami terpaut 10 tahun. Jarak yang cukup jauh. Tapi tak apa-lah. Ia pun belum pernah menikah. aku semakin yakin, kalau dia bisa berpikir lebih dewasa dariku dan pengetahuan agamanya, tidak diragukan lagi. Pasti Edo bisa membimbingku kearah yang lebih baik dari yang sekarang. Kami merasakan perasaan yang sama, Cinta. Aku dan dia tak bisa terpisahkan.
Tak butuh waktu lama untuk mengikrarkan janji setia. Hanya dua bulan dari saat pertemuan kami. Ia mengetuk pintu rumahku bersama ibunya. Membawa segenggam kebahagiaan untukku. Angan pun melayang ke angkasa raya. Imajiku merangkai rencana-rencana indah masa depan. Tak ayal aku membayangkan kehidupan yang bahagia bersamanya. Cincin melingkar dengan indah di jemari manis. Hari itu pun aku dan keluarga Edo mendiskusikan hari pernikahan kami. Ia sangat ingin menikahiku secepat mungkin.
“Nak Edo, kapan kira-kira tanggal yang pas untuk pernikahan kalian?” Ayah bertanya pada Edo.
“Bagaimana kalo dua minggu ke depan?” Ia balik bertanya kepada ayahku.
“Apa?! Dua minggu ke depan?” Ayah terkejut bukan kepalang,”apa tidak terlalu cepat, Nak?”
“Ayah, sebaik-baiknya pernikahan adalah yang harus segera dilaksanakan. Jadi itu nggak terlalu cepat menurut saya. Tapi terserah Ayah juga, sih?”
Ayah melirik aku dan ibu, meminta persetujuan. Ibu menganggukkan kepala, demikian juga denganku. Kami menyepakati tanggal yang diajukan oleh calon pengantin pria.
Ya Rabbi, betapa bahagianya hati ini. Aku akan menikah dan menyempurnakan sebagian agamaku. Nanti aku akan memiliki pendamping untuk menunaikan segala ibadahku. Kami menangis bersama di setiap sujud-sujud malam dan memiliki putra-putri yang selalu mengagungkan nama-Mu. Sungguh janji-Mu adalah nyata. Indah pada waktunya.
Tak kuasa kubendung. Setetes air menetes membasahi pipi. Sebuah air mata kebahagiaan.
***
Enam bulan berlalu begitu cepat ...
Aku sedang hamil muda. Sudah hampir genap lima bulan. Selama itu, aku banyak menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam diri, Mas Edo. Amarah tak bisa ia kontrol. Pukulan dan tamparan telah menjadi makanan sehari-hari untukku. Kata-kata kasar terucap begitu saja, hingga terpaksa menulikan pendengaranku. Namun, harus bagaimana lagi? Dia adalah suami yang tetap harusku hormati. Tak mungkin menceritakan perbuatannya pada kedua orang tuaku.
Tok ... tok ... tok ...
Pintu rumah diketuk keras. Seseorang berteriak-teriak, menyuruh untuk cepat membukakan pintu. Aku tahu, itu pasti Mas Edo. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Apa yang terjadi kali ini? Perlahan pintu rumah terbuka. Dan ...
Plakkk.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terpental sejauh satu meter dari tempatku semula. Bekas tamparan itu terasa panas. Saking kerasnya, darah merembes dari sudut bibir. Isak tangis pun pecah seketika. Kupegangi perutku yang sudah terlihat membesar.
Suami yang selama ini selalu aku banggakan karena keshalehan, akhlak, dan kesederhanaannya. Kini berubah sekejap mata. Rasa sayang dan cinta yang dulu pernah diberikan hilang di terpa angin topan. Entah apa yang membuat dia berubah?! Apa ada kesalahan dariku? Hingga membuat ia berubah seperti ini. Kemana sosoknya yang selama ini aku cintai. Aku sayangi, aku rindui.
Tiba-tiba saja ia mencambuk tubuhku dengan sabuk. Tak berdaya menghindar dari cambukan yang bertubi-tubi. Aku hanya diam saja. Tak bisa menghindar. Mulut tak hentinya mengucapkan tasbih dan doa untuk keselamatan janin di dalam perutku. Rasa sakit dan perih menjalar ke seluruh tubuh. Salah satu tanganku mengeluarkan cairan berwarna merah segar.
Lima menit berlalu, Mas Edo berhenti memukuli dan mencambuk. Senyum terhias di bibirnya, menunjukan sebuah kepuasan. Yang lebih menyakiti hatiku, dia tertawa begitu lepasnya.
“Apa yang kau lakukan, Mas? Dimana dirimu yang dulu?” tanyaku pelan sekali, hingga punsemut tak mampu untuk mendengar. Mataku terus mengeluarkan air. Aku terkapar lemas di sudut ruangan.
“Ha ... ha ... Aku puas, sangat puas menyiksamu, Meta,” ia memakai kembali sabuknya. Dan pergi meninggalkanku terkapar begitu saja. Tawanya yang keras masih bisa kudengar hingga di ujung pintu.
***
Cuaca hari ini begitu bersahabat, aku duduk di halaman rumah memandang bunga-bunga yang bermekaran di sana. Tetangga melewati rumahku menyapa dengan ramah. Kadang ada juga yang bertanya tentang memar-memar di wajahku. Tak banyak bicara, hanya senyuman yang bisa aku goreskan di bibir ini. Tak mungkin aku menjelak-jelekan suamiku sendiri pada mereka. Sejatinya aku harus menutupi aib suamiku. Karena aib suami adalah aibku juga. Meski sebenarnya batinku terasa tersiksa.
Usia pernikahanku belum genap satu tahun, tapi bukan kebahagiaan yang kurasakan. Hanya penderitaan dan siksa batin yang aku rasakan. Tak ada kasih sayang lagi dimatanya. Setiap hari Mas Edo hanya menyiksaku. Tak hanya raga, namun batinku juga. Kalau saja bukan karena janin di dalam kandunganku ini. Aku ingin mengakhiri saja semuanya. Kekuatanku dalam menghadapi semua ini sudah di ambang batas kesabaran.
Dua orang laki-laki dan seorang wanita mendekat ke arahku. Aku tak mengenal mereka. Wanita dengan dan-danan mencolok dan baju serba mini. Masuk begitu saja ke arah pekarangan rumahku.
“Selamat pagi! Apa ini rumah Edo?” tanya wanita itu sambil tersenyum. Lipstik merah terang tergores di bibirnya, terlihat menyala seperti api.
“Iya benar,” aku masih tercenung. Dimana Mas Edo bertemu dengan wanita seperti ini?
“Baguslah kalo gue nggak salah? Sebelumnya, kenalkan saya istrinya Edo,” ia mengulurkan tangan padaku.
Bagai petir menggelegar. Aku terkejut. Tak percaya. Mungkin semua ini hanyalah mimpi semata. Tak mungkin Mas Edo sudah menikah? Bukankah ketika menikah Mas Edo belum menikah. Kenyataan apa lagi ini?
***
Ibu memegang pundak dan menyadarkanku dari lamunan masa-masa kelam itu. Beliau duduk di sampingku. Aku tak bisa menahan lagi rasa sesak di dalam hati. Sakit dan perih. Luka itu terlalu dalam dan sulit untuk dilupakan. Apa lagi Reva, anakku sedang berada di ruang ICU. Dia tertabrak sebuah mobil ketika hendak menyebrang.
“Bu, kenapa Tuhan tak memberikanku kebahagiaan? Pernikahan, impian, harapan, dan cita-citaku sudah hancur semua. Sekarang, apakah aku kan kehilangan Reva juga?” aku menangis dipelukan ibu.
“Sabar, Nak! Kita hanya mengikuti apa yang ditentukan-Nya. Kita tak bisa menyangkal dari semua ini. Yakinlah pasti ada kebahagiaan yang sedang Tuhan rencanakan untukmu suatu saat nanti,” Ibu mengelusku dengan lembut.
“Maafkan aku, Ibu! Aku malah membuat ibu selalu repot!”
Ibu tersenyum penuh ketulusan. Tangannya yang sudah tak kencang lagi menghapus air di sudut mataku. Kemudian mencium keningku.
Dari pintu masuk rumah sakit seorang pria berteriak-teriak sambil membawa sabuk. Melihat pria itu, tubuhku langsung gemetar. Melihat aku ketakutan. Ibu langsung merangkulku dalam dekapannya. Trauma itu masih tetap ada. Sabuk itu mengingatkanku pada, Mas Edo.
Meski takut, mataku penasaran dan ingin melihat siapa pria itu? Mas Edo?! Aku kaget melihat Pria itu ternyata Mas Edo. Kenapa dia dikawal oleh polisi dan para perawat? Dia mengamuk sejadi-jadinya. Terpaksa perawat memberikan obat bius. Ia pun pingsan.
Seseorang berbisik padaku. Tanpa diminta.
“Neng, pria itu psikopat. Dia sudah membunuh banyak wanita. Selain itu, dia juga sering main wanita. Makanya dia sekarang mengidap penyakit kelamin. Dia berusaha kabur dari rumah sakit ini. Eh ... usahanya tidak berhasil. Balik lagi deh dia?!” orang itu tersenyum sinis.
Pernyataan orang itu membuatku tersadar akan sesuatu. Tuhan selalu memiliki caranya sendiri untuk membahagiakan hamba-Nya. Apa yang ia tanam, dia sendiri yang akan menuai hasilnya.
Maafkan aku, Yang sudah meragukan-Mu. Aku bersyukur telah terbebas dari Mas Edo. Terima kasih, Rabbi!
Aku sujud syukur seketika itu juga.
Oleh Azizah Noor Qolam
Edo, mantan suamiku. Mulutnya pandai bersilat lidah. Rayuan manis bagai madu beracun. Senyuman di bibir itu menyembunyikan taring tajam dan siap mengigit mangsa. Kebanyakan dari mereka adalah wanita muda. Wanita polos yang mudah untuk dikelabui. Selain rayuan, bujukan, dan iming-iming kebahagiaan. Ia pun menggunakan dalih agama untuk menjerat mangsanya.
Maaf aku tak bisa menolongmu.....ujarku dalam hati
***
Satu tahun yang lalu....
Aku frustasi karena pria yang kucintai menikah dengan wanita lain. Hati dan pikiran menjadi kalut. Sakit rasanya. Namun ini semua adalah kesalahanku, karena memutuskan hubungan dengan sang pujaan hati. Padahal, laki-laki itu sangat mencintaiku. Sampai-sampai Ia mengirim pesan singkat ke ponsel Ibu. mengatakan bahwa ini bukan kemauannya, tapi aku.
Hatiku benar-benar kalut saat itu, bingung apa yang harus dilakukan. Penyesalan memang selalu datang diakhir. Kini aku menyadari di hati ini hanya ada dia. Namun semuanya sudah terlambat. Tak ada lagi harapan untukku. Dia sudah mengikat janji suci dengan perempuan pilihan keluarga. Meski sebelum pernikahan itu terjadi. Ia sudah menceritakan tentang diriku pada keluarganya. Ya, setidaknya ia masih berusaha untuk mempertahankan aku yang jelas-jelas telah menyakitinya.
Mengingat semua itu, membuat dadaku sesak. Cinta ini begitu indah. tapi hidupku tidak berhenti sampai di sini. Di depan sana masih terbentang rintangan hidup yang harus dilewati.
“Bismillahirrohmanirrohim ....” mengambil tas di atas meja,”Ma, saskia berangkat dulu, ya. Assalamu’alaikum ...”
“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan, Kia,”
Aku langsung berangkat tanpa menyalami Mama. Soalnya jam sudah menunjukkan pukul 12 siang lewat, takut telat sampai ke sekolah. Jarak antara rumah dan sekolah cukup jauh. Harus dua kali naik kendara. Dari rumah naik angukatan umum nomor 7. Kemudian berhenti di gang yang ada plang Oma Indah lalu naik ojeg menuju ke sekolah. Baru dua hari, mengajar di sana. Jalanan bergelombang seakan telah menjadi teman sepanjang perjalanan. Mungkin karena sekolahan itu terletak di daerah terpencil. Sehingga tidak ada perhatian dari pemerintah. Atau mungkin sebagian dari para penduduk bermatapencaharian sebagai pembuat batu bata. Hingga Truk pengangkut batu bata bolak-balik ke sana. Oleh karena itu, meski pun diperbaiki, lambat laun akan rusak lagi.
“Berhenti di sini, Mang!” aku menghentikan laju ojeg. Turun dan mengambil dompet dari dalam tas,”berapa?”
“Enam ribu, Neng.”
“Ini,” memberikan uang lembar dua ribuan tiga lembar. Setelah menerima ongkos. Tukang ojeg itu kembali mencari penumpang lagi.
Melihat jam tangan. Sudah telat lima belas menit, kupacu langkahku secepat mungkin. Setiba di sekolah, langsung masuk ke kantor. Ternyata kelas sudah dihandle ama Bu Wulan. Tak apalah, ada waktu untuk istirahat sejenak. Aku duduk sendiri. Tiba-tiba seorang pria berkacamata masuk sambil mengucapkan salam. Aku menjawabnya. Tanda tanya menghinggapiku. Siapa pria ini? Tak lama kepala sekolah datang dan memperkenalkan pria berkacamata yang bernama Pak Edo. Dia yang akan mengurusi surat izin sekolah ke Dinas Pendidikan. Aku mendengarkan penjelasan Pak Anwar, selaku kepala di sekolah ini. Ada sedikit masalah dengan izinnya.
Pak Edo itu meminta nomor ponselku untuk berkomunikasi tentang sekolah. Aku menyebutkan sederet angka. Ia memencet nomor yang kusebutkan tadi dan meng-miscall. Satu nomor baru mampir ke ponsel.
“Itu nomorku. Save, ya!”
Aku hanya menganggukkan kepala. Di balik pintu kulihat Bu Wulan sudah keluar dari kelas. Dia tersenyum manis padaku.
“Permisi, aku tinggal dulu ke kelas,” ujarku sambil membawa buku pelajaran dan spidol.
“Oh, ya, silahkan!” ia mempersilahkanku.
Kuayunkan kaki menuju kelas. Anak-anak menatapku dari balik jendela dengan senyum tulusnya.
***
Sejak pertemuan pertama itu, kami sering berkomunikasi. Tak hanya masalah sekolah yang kami bicarakan. Namun juga masalah pribadi. Aku nyaman berbicara dengannya. Perkenalan singkat, tapi telah memberikan kesan mendalam. Entah kenapa?! Tiba-tiba saja aku terpesona pada pria itu. Dia bertanya banyak tentangku, keluarga, dan lain-lain. Aku menjawab dengan sekenanya. Akhir-akhir ini pun, ia sering mengantarku pulang ke rumah.
Memang usia kami terpaut 10 tahun. Jarak yang cukup jauh. Tapi tak apa-lah. Ia pun belum pernah menikah. aku semakin yakin, kalau dia bisa berpikir lebih dewasa dariku dan pengetahuan agamanya, tidak diragukan lagi. Pasti Edo bisa membimbingku kearah yang lebih baik dari yang sekarang. Kami merasakan perasaan yang sama, Cinta. Aku dan dia tak bisa terpisahkan.
Tak butuh waktu lama untuk mengikrarkan janji setia. Hanya dua bulan dari saat pertemuan kami. Ia mengetuk pintu rumahku bersama ibunya. Membawa segenggam kebahagiaan untukku. Angan pun melayang ke angkasa raya. Imajiku merangkai rencana-rencana indah masa depan. Tak ayal aku membayangkan kehidupan yang bahagia bersamanya. Cincin melingkar dengan indah di jemari manis. Hari itu pun aku dan keluarga Edo mendiskusikan hari pernikahan kami. Ia sangat ingin menikahiku secepat mungkin.
“Nak Edo, kapan kira-kira tanggal yang pas untuk pernikahan kalian?” Ayah bertanya pada Edo.
“Bagaimana kalo dua minggu ke depan?” Ia balik bertanya kepada ayahku.
“Apa?! Dua minggu ke depan?” Ayah terkejut bukan kepalang,”apa tidak terlalu cepat, Nak?”
“Ayah, sebaik-baiknya pernikahan adalah yang harus segera dilaksanakan. Jadi itu nggak terlalu cepat menurut saya. Tapi terserah Ayah juga, sih?”
Ayah melirik aku dan ibu, meminta persetujuan. Ibu menganggukkan kepala, demikian juga denganku. Kami menyepakati tanggal yang diajukan oleh calon pengantin pria.
Ya Rabbi, betapa bahagianya hati ini. Aku akan menikah dan menyempurnakan sebagian agamaku. Nanti aku akan memiliki pendamping untuk menunaikan segala ibadahku. Kami menangis bersama di setiap sujud-sujud malam dan memiliki putra-putri yang selalu mengagungkan nama-Mu. Sungguh janji-Mu adalah nyata. Indah pada waktunya.
Tak kuasa kubendung. Setetes air menetes membasahi pipi. Sebuah air mata kebahagiaan.
***
Enam bulan berlalu begitu cepat ...
Aku sedang hamil muda. Sudah hampir genap lima bulan. Selama itu, aku banyak menemukan kejanggalan-kejanggalan dalam diri, Mas Edo. Amarah tak bisa ia kontrol. Pukulan dan tamparan telah menjadi makanan sehari-hari untukku. Kata-kata kasar terucap begitu saja, hingga terpaksa menulikan pendengaranku. Namun, harus bagaimana lagi? Dia adalah suami yang tetap harusku hormati. Tak mungkin menceritakan perbuatannya pada kedua orang tuaku.
Tok ... tok ... tok ...
Pintu rumah diketuk keras. Seseorang berteriak-teriak, menyuruh untuk cepat membukakan pintu. Aku tahu, itu pasti Mas Edo. Rasa takut menjalar ke seluruh tubuh. Apa yang terjadi kali ini? Perlahan pintu rumah terbuka. Dan ...
Plakkk.
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku terpental sejauh satu meter dari tempatku semula. Bekas tamparan itu terasa panas. Saking kerasnya, darah merembes dari sudut bibir. Isak tangis pun pecah seketika. Kupegangi perutku yang sudah terlihat membesar.
Suami yang selama ini selalu aku banggakan karena keshalehan, akhlak, dan kesederhanaannya. Kini berubah sekejap mata. Rasa sayang dan cinta yang dulu pernah diberikan hilang di terpa angin topan. Entah apa yang membuat dia berubah?! Apa ada kesalahan dariku? Hingga membuat ia berubah seperti ini. Kemana sosoknya yang selama ini aku cintai. Aku sayangi, aku rindui.
Tiba-tiba saja ia mencambuk tubuhku dengan sabuk. Tak berdaya menghindar dari cambukan yang bertubi-tubi. Aku hanya diam saja. Tak bisa menghindar. Mulut tak hentinya mengucapkan tasbih dan doa untuk keselamatan janin di dalam perutku. Rasa sakit dan perih menjalar ke seluruh tubuh. Salah satu tanganku mengeluarkan cairan berwarna merah segar.
Lima menit berlalu, Mas Edo berhenti memukuli dan mencambuk. Senyum terhias di bibirnya, menunjukan sebuah kepuasan. Yang lebih menyakiti hatiku, dia tertawa begitu lepasnya.
“Apa yang kau lakukan, Mas? Dimana dirimu yang dulu?” tanyaku pelan sekali, hingga punsemut tak mampu untuk mendengar. Mataku terus mengeluarkan air. Aku terkapar lemas di sudut ruangan.
“Ha ... ha ... Aku puas, sangat puas menyiksamu, Meta,” ia memakai kembali sabuknya. Dan pergi meninggalkanku terkapar begitu saja. Tawanya yang keras masih bisa kudengar hingga di ujung pintu.
***
Cuaca hari ini begitu bersahabat, aku duduk di halaman rumah memandang bunga-bunga yang bermekaran di sana. Tetangga melewati rumahku menyapa dengan ramah. Kadang ada juga yang bertanya tentang memar-memar di wajahku. Tak banyak bicara, hanya senyuman yang bisa aku goreskan di bibir ini. Tak mungkin aku menjelak-jelekan suamiku sendiri pada mereka. Sejatinya aku harus menutupi aib suamiku. Karena aib suami adalah aibku juga. Meski sebenarnya batinku terasa tersiksa.
Usia pernikahanku belum genap satu tahun, tapi bukan kebahagiaan yang kurasakan. Hanya penderitaan dan siksa batin yang aku rasakan. Tak ada kasih sayang lagi dimatanya. Setiap hari Mas Edo hanya menyiksaku. Tak hanya raga, namun batinku juga. Kalau saja bukan karena janin di dalam kandunganku ini. Aku ingin mengakhiri saja semuanya. Kekuatanku dalam menghadapi semua ini sudah di ambang batas kesabaran.
Dua orang laki-laki dan seorang wanita mendekat ke arahku. Aku tak mengenal mereka. Wanita dengan dan-danan mencolok dan baju serba mini. Masuk begitu saja ke arah pekarangan rumahku.
“Selamat pagi! Apa ini rumah Edo?” tanya wanita itu sambil tersenyum. Lipstik merah terang tergores di bibirnya, terlihat menyala seperti api.
“Iya benar,” aku masih tercenung. Dimana Mas Edo bertemu dengan wanita seperti ini?
“Baguslah kalo gue nggak salah? Sebelumnya, kenalkan saya istrinya Edo,” ia mengulurkan tangan padaku.
Bagai petir menggelegar. Aku terkejut. Tak percaya. Mungkin semua ini hanyalah mimpi semata. Tak mungkin Mas Edo sudah menikah? Bukankah ketika menikah Mas Edo belum menikah. Kenyataan apa lagi ini?
***
Ibu memegang pundak dan menyadarkanku dari lamunan masa-masa kelam itu. Beliau duduk di sampingku. Aku tak bisa menahan lagi rasa sesak di dalam hati. Sakit dan perih. Luka itu terlalu dalam dan sulit untuk dilupakan. Apa lagi Reva, anakku sedang berada di ruang ICU. Dia tertabrak sebuah mobil ketika hendak menyebrang.
“Bu, kenapa Tuhan tak memberikanku kebahagiaan? Pernikahan, impian, harapan, dan cita-citaku sudah hancur semua. Sekarang, apakah aku kan kehilangan Reva juga?” aku menangis dipelukan ibu.
“Sabar, Nak! Kita hanya mengikuti apa yang ditentukan-Nya. Kita tak bisa menyangkal dari semua ini. Yakinlah pasti ada kebahagiaan yang sedang Tuhan rencanakan untukmu suatu saat nanti,” Ibu mengelusku dengan lembut.
“Maafkan aku, Ibu! Aku malah membuat ibu selalu repot!”
Ibu tersenyum penuh ketulusan. Tangannya yang sudah tak kencang lagi menghapus air di sudut mataku. Kemudian mencium keningku.
Dari pintu masuk rumah sakit seorang pria berteriak-teriak sambil membawa sabuk. Melihat pria itu, tubuhku langsung gemetar. Melihat aku ketakutan. Ibu langsung merangkulku dalam dekapannya. Trauma itu masih tetap ada. Sabuk itu mengingatkanku pada, Mas Edo.
Meski takut, mataku penasaran dan ingin melihat siapa pria itu? Mas Edo?! Aku kaget melihat Pria itu ternyata Mas Edo. Kenapa dia dikawal oleh polisi dan para perawat? Dia mengamuk sejadi-jadinya. Terpaksa perawat memberikan obat bius. Ia pun pingsan.
Seseorang berbisik padaku. Tanpa diminta.
“Neng, pria itu psikopat. Dia sudah membunuh banyak wanita. Selain itu, dia juga sering main wanita. Makanya dia sekarang mengidap penyakit kelamin. Dia berusaha kabur dari rumah sakit ini. Eh ... usahanya tidak berhasil. Balik lagi deh dia?!” orang itu tersenyum sinis.
Pernyataan orang itu membuatku tersadar akan sesuatu. Tuhan selalu memiliki caranya sendiri untuk membahagiakan hamba-Nya. Apa yang ia tanam, dia sendiri yang akan menuai hasilnya.
Maafkan aku, Yang sudah meragukan-Mu. Aku bersyukur telah terbebas dari Mas Edo. Terima kasih, Rabbi!
Aku sujud syukur seketika itu juga.
Oleh Azizah Noor Qolam
Diubah oleh azizahnoorqolam 20-02-2019 18:25
anasabila memberi reputasi
1
482
2
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan