Kaskus

News

ikardusAvatar border
TS
ikardus
Berdasar Pengalaman, Bisakah Naikkan Tax Ratio dengan Tarif Pajak Turun ala Prabowo?
tirto.id - Debat pilpres 2019 putaran pertama yang berlangsung di Hotel Bidakara, Kamis (17/01/2019) mendapat respons beragam dari publik. Ada yang menilai debat berjalan kurang menarik dan kaku. Ada juga yang bilang tidak nyambung, bahkan melenceng dari tema.

Sementara solusi dari Prabowo adalah dengan meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan aparat melalui kenaikan tax ratio. Dalam debat, ia menjelaskan secara rinci target kenaikan tax ratio itu.

“Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang berada di 10 persen, bahkan lebih rendah. Kami akan kembalikan tax ratio minimal 16 persen,” tegas Prabowo.

Bisakah Tarif Turun, Rasio Pajak Naik?
Selama masa kampanye, Prabowo-Sandiaga sempat mengungkapkan beberapa kebijakannya terkait penerimaan pajak. Mereka berjanji menurunkan tarif pajak penghasilan, baik wajib pajak (WP) badan maupun WP non badan. Mereka juga menyebutkan tarif baru. Untuk wajib pajak badan atau perusahaan, paslon nomor urut 2 ini akan menurunkan pajak penghasilan badan menjadi 17 persen dari sebelumnya 25 persen.

Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai Prabowo-Sandiaga selama ini cukup banyak mengeluarkan janji untuk meringankan beban masyarakat, terutama dari sisi perpajakan. Mulai dari, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) rumah pertama, penghapusan pajak sepeda motor, hingga pembebasan pajak UMKM pelaku bisnis digital untuk dua tahun pertama.

“Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan. Apalagi tingkat kepatuhan kita juga masih rendah, dan basis pajak kita belum bertambah signifikan,” katanya kepada Tirto.

Dia menilai penurunan tarif PPh tak selamanya berdampak baik terhadap rasio pajak dalam jangka pendek. Pernyataan tersebut dilontarkan setelah berkaca dari kasus di beberapa negara lain, seperti Rusia, Thailand, China dan terbaru, AS.

Rusia pernah menurunkan tarif PPh badan dari 24 persen ke 20 persen pada 2009. Hanya saja, rasio pajak Negeri Beruang Merah itu turun dari 16 persen terhadap PDB menjadi 13 persen terhadap PDB. Begitu pula dengan Thailand, penurunan tarif PPh yang sempat drastis dari 30 persen menjadi 23 persen menyebabkan rasio pajak turun dari 17,6 persen ke 16,5 persen.

Berkaca dari pengalaman, Indonesia ternyata mengalami hal yang sama. Penurunan PPh badan dari 30 persen ke 25 persen pada 2010 lalu nyatanya menggerus rasio pajak dari 13 persen menjadi hanya 10,9 persen.

Yang terbaru kebijakan keringanan pajak dari Presiden AS Donald Trump. Trump banyak mengeluarkan keringanan pajak, bagi korporasi maupun individu. Untuk pajak individu, tarif pajak tertinggi turun dari 39,6 persen menjadi 37 persen dengan masa berlaku hingga 2025. Sementara untuk pajak badan turun dari 35 persen menjadi 21 persen mulai awal 2018.

Kebijakan Trump memang membuahkan hasil. Pertumbuhan PDB AS misalnya tercatat sekitar 3 persen, di atas prediksi awal sebesar 2 persen. Dari tingkat pengangguran, angkanya menurun menjadi 3,7 persen atau di bawah prediksi awal 4,4 persen.

Namun dari sisi penerimaan negara, hasilnya malah sebaliknya. Penerimaan negara AS pada 2018 hanya naik 0,44 persen menjadi US$3,32 triliun. Hasil itu cukup jauh dari kinerja 2017, di mana penerimaan negara AS mampu tumbuh 1,43 persen.

Pertumbuhan penerimaan negara AS di bawah Trump pada 2018 itu juga menjadi paling rendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, defisit anggaran terhadap PDB juga menjadi yang paling tinggi dalam waktu lima tahun terakhir, yakni sebesar 3,8 persen.

Kondisi ini juga membuat rasio pajak AS terus menurun dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2016, rasio pajak AS tercatat 17,6 persen. Tahun berikutnya turun tipis menjadi 17,2 persen. Pada 2018, rasio pajak turun menjadi 16,4 persen.

sumber https://tirto.id/bisakah-naikkan-tax...a-prabowo-deHv

Berbenah Sistem Dulu

Secara teori, penurunan tarif PPh badan seharusnya akan memperluas basis pajak. Namun, jika peluang ini tidak dimanfaatkan dengan baik, penurunan tarif menyebabkan penerimaan pajak dalam jangka pendek bisa terpangkas. Maka itu, pemerintah perlu melakukan antisipasi.

Menurut dia, faktor terpenting sebelum memangkas PPh adalah sistem administrasi perpajakan yang harus dibuat sesederhana mungkin agar masyarakat mau membayar pajak.

Selain itu, jika administrasinya bagus, DJP bisa membidik potensi penerimaan pajak selain PPh karena kini basis perpajakan sudah kian meluas.

"Tarif memang perlu disesuaikan, meski memang penurunan tarif PPh ini bukan satu-satunya faktor (pendorong rasio pajak), tetapi tetap harus hati-hati formulasi dan implementasinya, karena sekali turun, sulit naik lagi," terang dia.

Kalau pemerintah tetap kukuh menurunkan tarif pajak, hal itu seharusnya dilakukan dalam dua tahap. Salah satunya, menurunkan tarif PPh dari 25 persen ke 22 persen. Jika dalam dua tahun evaluasinya sudah bagus, maka tarif PPh badan bisa diturunkan ke 18 persen.

Indonesia, imbuh Yustinus, harus bergerak ke angka tersebut agar bisa dibandingkan dengan Singapura yang menetapkan angka tarif PPh badan 17 persen.

Hanya saja, proses legislasi di DPR bisa menjadi hambatan agar penurunan tarif PPh bisa terjadi. "Apalagi hak legislasi mutlak dibutuhkan karena harus revisi UU," tambah dia.

Setali tiga uang, Ketua HIPMI Tax Center Ajib Hamdani mengatakan korelasi antara penurunan tarif pajak dan rasio pajak merupakan sesuatu yang masih diperdebatkan. Sebab, dalam jangka pendek, penerimaan tarif PPh malah akan menurunkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB, meski penurunan tarif PPh juga menjadi angin segar bagi investasi.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi...badan-kemudian
Diubah oleh ikardus 09-02-2019 20:25
0
2.8K
46
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan