Kanak Melawan Perancis
Orang-orang Kanak melawan Perancis sejak jauh hari sebelum FLNKS dibentuk. Misalnya, pada 1878, orang-orang Kanak menyerang pemukiman Perancis. Serangan ini kemudian menjadi dalih militer Perancis untuk menyerang balik Kanak.
Akibatnya, sekitar 1.000 dari 25 ribu orang Kanak tewas, sementara 200 dari 16 ribu orang Eropa dalam rangkaian konflik semasa tersebut. Saling serang antara Kanak dan Perancis juga terjadi lagi pada 1917 dan 1967.
Pada 1956, orang Kanak diberi status warga negara. Kaledonia Baru, yang semula koloni, menjadi wilayah Perancis. Setahun berikutnya, Kanak mendapat hak pilih.
Tapi, itu bukan hal utama yang diinginkan Kanak. Pada 1980-an, salah satu pemimpin FLNKS Éloi Machoro menghancurkan kotak suara dengan kapak. Pada 1988, kelompok pro-kemerdekaan menyerang kantor polisi dan menyandera 25 orang di sebuah gua di daerah Ouvea.
Machoro tewas dibunuh penembak jitu Perancis. Sedangkan dalam penyerangan di Ouvea, aparat Perancis menewaskan 19 orang Kanak. Dalam peristiwa itu, enam aparat Perancis juga tewas.
FLNKS berhasil memasukkan Kaledonia Baru dalam Daftar Pemerdekaan PBB kategori Wilayah non-Pemerintahan Sendiri alias Komisi 24, dua tahun sebelum penyanderaan Oeuvea. Melanesia Spearhead Group (MSG), organisasi negara Melanesia (Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan Papua Nugini) berperan penting dalam membuat Kaledonia Baru diterima. Pada 1989, Kaledonia Baru menjadi anggota MSG. FLNKS mendirikan kantor pemerintahan dalam pengasingan (
government in exile) di Vanuatu.
Setelah peristiwa Ouvea, negosiasi antara pemerintah Perancis, loyalis Perancis yang diwakili partai Rassemblement Pour la Caledonie dans la Republique (RPCR), dan kelompok pro-kemerdekaan yang diwakili FLNKS berujung
Kesepakatan Matignonyang menetapkan periode transisi selama sepuluh tahun. Kesepakatan itu menjanjikan referendum bakal dilaksanakan untuk menentukan kemerdekaan Kaledonia Baru pada 1998.

Tapi, tidak semua orang Kanak menyambut Kesepakatan Matignon. Penandatangan Kesepakatan Matignon dari pihak FLNKS, Jean-Marie Tjibaou, tewas dibunuh orang Kanak. Sebagaimana ditulis Nic MacLellan dalam "The Noumea Accord and Decolonisation in Kaledonia Baru" (1999) yang dimuat
Journal of Pacific History, pada pertengahan 1990-an, kelompok pro dan anti kemerdekaan di Kaledonia Baru menyetujui tidak akan ada referendum pada 1998.
Pada 1998, Kesepakatan Noumea yang diteken Perancis, FLNKS, dan RPCR menyatakan "transisi 15-20 tahun lebih lanjut sebelum referendum penentuan nasib sendiri untuk Kaledonia Baru berpeluang mengarah pada 'emansipasi' wilayah".
Setelah perundingan yang alot dan tekanan negara sekawasan, Perancis menetapkan bahwa referendum kemerdekaan Kaledonia Baru akan dilaksanakan pada 4 November 2018. Hasilnya sudah dijelaskan di atas: sebagian besar orang menolak Kaledonia Baru merdeka.
Tapi, selisih antara yang menolak dan menyetujui Kaledonia Baru merdeka tidak begitu besar. Selisih itu pun lebih kecil dari selisih hasil survei sebelumnya. Ini kabar yang menggembirakan FLNKS sebab Kesepakatan Nouméa menyaratkan referendum bakal digelar lagi pada 2020 dan 2022.
Menhan: Papua Tidak Boleh Merdeka
Indonesia bukan tak punya pengalaman soal referendum. Pada 1999, Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) memberi mandat kepada Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) untuk mengampanyekan referendum kemerdekaan Aceh. Pada masa ini, pelbagai spanduk dan poster bertuliskan "Referendum" dipasang seantero Aceh. Sejumlah pejabat daerah mendukung usulan itu. Pada November 1999, sekitar satu juta orang menghadiri demonstrasi menuntut referendum di Banda Aceh.
Desakan untuk mengadakan referendum sebetulnya sudah muncul sebelum 1998, tahun ketika Soeharto lengser dari jabatan presiden. Tapi, seruan itu mendapat momentum besar ketika referendum digelar di Timor Timur (Timtim), koloni Portugal yang kemudian dianeksasi Indonesia sejak 1976.
Presiden Habibie menekan kebijakan referendum pada Januari 1999. Referendum yang digelar pada 30 Agustus 1999 menunjukkan sebanyak 78,50 persen rakyat Timtim memilih memisahkan diri dari Indonesia. Timtim alias Timor Leste berdaulat penuh pada 2002.
Namun, tak pernah ada referendum di Aceh. Perdamaian antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka disepakati lewat perjanjian Helsinki yang diadakan pada Agustus 2005. Tapi, kesepakatan itu diambil setelah Pemerintah Indonesia mengirim aparat militernya dalam serangkaian operasi militer pada Januari 1999. Pada 2003-2004, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pasca-Tsunami Aceh 2004, kekuatan GAM pun melemah.
Catatan
Amnesty Internationalmenyebutkan sekitar 200 ribu orang Aceh terpaksa tinggal di kamp pengungsian. Sementara 2.879 anggota GAM tewas sejak Mei 2003 dan 147 warga sipil meregang nyawa sejak Mei 2003 hingga Februari 2004.

Ryamizard Ryacudu (kini Menteri Pertahanan) mengatakan Papua tidak boleh merdeka, meskipun ada petisi yang menyatakan kehendak orang Papua untuk Referendum. Dia pun menyatakan PBB agar tidak bertindak seperti ketika mereka menangani persoalan Timtim.
"Ah, PBB kan harus adil. Jangan kayak dulu tuh Timor Timur enggak ada adil, macam-macam. PBB harus hormati kedaulatan negara Indonesia. Harus. Kalau enggak menghormati negara kita, kita ngapain masuk PBB,"
ujarRyamizard.
Sedangkan demonstrasi yang menyuarakan penuntasan pelanggaran HAM di Papua atau penentuan nasib sendiri bangsa Papua kerap
direpresi aparat atau dihalang-halangi organisasi masyarakat "anti-separatisme".
Tak jarang mereka yang menyuarakan tuntutan-tuntutan tersebut tewas. Berdasarkan laporan Amnesty International yang bertajuk "
Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati: Pembunuhan dan Impunitas di Papua" (2018), telah terjadi 69 kasus
pembunuhan di Papua yang berkategori di luar hukum (
unlawful killing) antara Januari 2010 hingga Februari 2018. Sebanyak 95 manusia tewas dalam pembunuhan tersebut.
Dari 69 kasus tersebut, 28 kasus dengan 39 korban tewas terkait dengan kegiatan politik, termasuk menyuarakan kemerdekaan atau isu referendum bagi Papua.