- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Rekam Jejak ‘Pao An Tui’ Tentara Cina di Indonesia


TS
bangzaldi
Rekam Jejak ‘Pao An Tui’ Tentara Cina di Indonesia

MATA INDONESIA, JAKARTA – Hingga sekarang, belum ada sejarah yang menjawab teka-teki soal keberadaan laskar bersenjata etnis Cina, Pao An Tui (PAT) di Indonesia. Tulisan-tulisan informasi mengenai PAT yang ada saat ini cenderung masih ‘setengah hati’ mengungkap cerita asli yang mampu memuaskan ‘syahwat’ para pembaca.
Seperti tulisan wartawan keturunan Tionghoa kelahiran Pasuruan, Kwee Thiam Tjing. Yang berjudul “Indonesia Dalem Bara dan Api”, catatan perang kemerdekaan 1945-1950.
Tulisan tersebut tak banyak berkata tentang kehadiran PAT kali pertama. Kwee Thiam pun tak memunculkan alasan mengapa ‘hansip’ bersenjata itu dituduh kaki tangan Belanda.
Terbesit pertanyaan apakah ada kaitan kemunculan Pao An Tui dengan pembantaian masyarakat Tionghoa di sejumlah kota? Menurut Chalmers A. Johnson, dalam Peasant nationalism and communist power: the emergence of revolutionary China, menuliskan ada perbedaan penyebutan kata Pao An Tui.
Saat itu Belanda menyebutnya dengan Pau An Tui dan Pan An Tui. Kadang pula disebut Poh An Tui atau Bao An Dui.
Rupanya, Chalmes mengatakan sebelum kedatangan Jepang, PAT yang sering diartikan Barisan Penjaga Lingkungan ini, kali pertama dikerahkan untuk milisi distrik (hsien) di daratan Cina. Chalmers menyebut dalam bukunya PAT berada di bawah pemerintahan nasional pimpinan Chiang Kai Sek.
Ketika Jepang datang, PAT disebut pasukan boneka Nippon. Hal itu dibuktikan saat Jepang membentuk T’ungchou Officers School di pinggiran Beijing, dan diberi nama PAT.
Di Shantung, PAT menjaga desa-desa yang di luar kontrol pasukan Jepang. Namun ia tidak menyebutkan keberadaan PAT di Indonesia.
Karena tidak ada informasi valid kapan dan kelompok Tionghoa mana yang kali pertama membentuk PAT.
PAT di Indonesia
Sebelum kedatangan Jepang, masyarakat Cina di Indonesia terpecah menjadi tiga yakni, kelompok Sinpo yang berorientasi ke negeri leluhur, Chung Hua Hui pro-Belanda, dan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pro Indonesia.
Sayang, Jepang membubarkan semuanya dan membentuk Hua Chiao Tsung Hui (HCTH). Pada 15 Oktober 1945, atau setelah Jepang meyerah kepada sekutu, masyarakat Tionghoa di Jakarta kembali membentuk kelompok baru, Chung Hwa Tsung Hui (CHTH) yang pro Kuomintang alias tidak ada kaum peranakan kaya raya.
Kondisi pun kembali berubah saat kedatangan kembali Belanda. Hal ini memicu perlawanan di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Para penjahat membentuk laskar liar yang tak berinduk ke mana pun, dan bergerak sesuka hati.
Mereka membiayai diri dengan cara apa saja. Jumlah mereka sangat banyak, dan terdapat di semua wilayah. Di Tangerang, milisi Muslim keturunan Arab membentuk Laskar Hitam — cikal bakal DI/TII — untuk melawan Belanda dan Republik. Mereka hadir bertujuan membentuk negara Islam.
Laskar Hitam inilah yang menculik Menteri Pertahanan Otto Iskandar Dinata dan membunuhnya di Pantai Mauk.
Sebuah informasi yang sulit diklarifikasi menyebutkan Chung Hua Hui Tangerang membentuk PAT sebagai sayap militer, dan para tuan tanah membentuk tentara. Keduanya punya tujuan sama, yakni membentuk negara Capitanate of Tangerang dengan dukungan Belanda.
Ketegangan etnis Cina dan pribumi pun terjadi setelah Pertempuran 10 Nopember 1945, pribumi dan laskar liar mulai menyerang etnis Tionghoa di kota-kota mereka. Penyebabnya adalah orasi radio Bung Tomo beberapa hari selepas pertempuran 10 Nopember 1945.
Bung Tomo menuduh Cina memihak Belanda. Ia mengobarkan sentimen anti Cina. Orasi Bung Tomo itu didengar banyak orang dan memicu gelombang serangan terhadap etnis Cina.
Situasi ini membuat etnis Tionghoa berada dalam posisi sulit. Dwicipta mengangkat suasana ini dalam sebuah cerpen berjudul Pao An Tui.
Bung Tomo berdalih, tudingan itu disampaikan setelah mendengar laporan Soemarsono — pemimpin Pemuda Republik — yang pasukannya berhadapan dengan Pao An Tui. Semua itu ditulis Soemarsono dalam memoirnya.
Tuduhan itu membuat marah Siaw Giok Tjhan, pejuang kemerdekaan Indonesia dari etnis Tionghoa, dan berbalik menuduh Bung Tomo fasis. Ia mengutus orang-orangnya untuk menemui Bung Tomo dan menjelaskan posisi etnis Cina.
Pertanyaannya, sejak kapan etnis Cina Surabaya membentuk PAT? Andjarwati Noordjanah, anggota Komunitas Tionghoa di Surabaya, mengungkapkan bahwa Belanda terlibat dalam aktivitas pembentukan kembali perkumpulan Cina di Surabaya.
Kata dia, sebagian tokoh Tionghoa Surabaya berpihak ke Republik. Lainnya tidak. Saat pembentukan PAT yang disponsori Belanda itulah kelompok pro-Republik memboikot.
Stigma pro-Belanda telah menempel di kening etnis Cina. Di Medan, dengan bantuan oknum TKR, laskar liar membantai etnis Tionghoa sepanjang Desember 1945. Puluhan orang tewas dalam peristiwa ini.

Kejadian itu memantik respon masyarakat Tionghoa Medan untuk membentuk PAT. Awalnya, anggota PAT Medan sangat sedikit, bersenjata ala kadarnya, dan miskin pengalaman tempur.
Namun mereka gagal melindungi masyarakatnya. Seorang anggota polisi militer Belanda, AJ Van Veen menulis “Pada Desember 1945, komunitas Cina berinisiatif melawan serangan. Mereka membentuk PAT, dengan Lim Seng sebagai komandan. Maret 1946, PAT mendekati Inggris untuk memperoleh senjata.”
Puncaknya akhir Januari 1946, setelah serangkaian pembantaian mengerikan, 12 ribu Cina Medan turun ke jalan untuk memprotes pembantaian. Mereka membawa spanduk bertuliskan Republik Mengkhianati Kami.
Abdul Baqir Zein, dalam Etnis Cina dalam potret pembauran di Indonesia, menulis bahwa komandan pasukan Inggris Jenderal Ted Kelly melatih 110 pemuda Cina. Hanya dalam waktu singkat PAT menjadi milisi andal. Mereka menguasai taktik perang kota dan memiliki senjata lengkap, yang membuat laskar rakyat kewalahan.
Kwee Thiam Tjing menulis; PAT Medan menjadikan wijk (permukiman) Cina sebagai wilayah aman. Namun berembus kabar Jenderal Ted Kelly juga menggunakan mereka sebagai informan dan mata-mata.
Yang terjadi kemudian adalah aksi balas dendam. PAT, yang merasa kuat, menyerbu Bagan Siapi-api, mereka meneror dan membantai pribumi. Komandan Divisi I Tebing Tinggi Achmad Tahir naik pitam, dan memerintahkan pasukan Djamin Ginting membalas. Lim Seng terdesak dan mundur ke Medan.
Pembantaian juga terjadi di Tangerang pada 3 Juni 1946. Informasi penyebab kerusuhan simpang siur. Rosihan Anwar menulis penyebabnya adalah penurunan bendera merah putih yang dilakukan etnis Cina pro Belanda. Informasi lainnya Laskar Hitam mengobarkan perang suci.
Sekitar 600 orang terbantai di Tangerang, ribuan lainnya mengungsi ke gedung Sin Ming Hui di Jl Gajah Mada. Koran-koran menulis PAT berupaya membalas serangan itu, tapi kalah jumlah dan terbantai. Laporan lain menyebutkan PAT hanya berupaya membantu rakyat mengungsi.
Khusus Pembantaian Tangerang, Siaw Giok Tjhan dan Liem Koen Hian menolak manyalahkan Republik. Ia menuduh Belanda melakukan semua itu. Kwee Kek Beng yang anti-Republik, mengkritik keras pemerintahan Soekarno.
Republik tahu tidak seluruh etnis Tionghoa pro-Belanda, tapi bagaimana mengidentifikasi mereka yang pro-Indonesia dan bukan. Di lapis bawah, rakyat hanya tahu Tionghoa antek Belanda.
Pada bulan-bulan berikut sampai pertengahan 1947, pembantaian juga terjadi di berbagai kota di Jawa; Jember, Salatiga, Bobotsari, Purbalingga, Cilacap, Gombong, Lumajang, Tegal, Pekalongan, Jalaksana, Purwokerto, dan Malang.

Dalam suasana seperti ini, Tionghoa di Jawa menjadi defenceless minority. Solusi satu-satunya bagi mereka adalah membentuk Pao An Tui di setiap kota di Jawa. Foto-foto dalam arsip Belanda memperlihatkan Pao An Tui mendapat latihan militer dari Belanda.
Diubah oleh bangzaldi 05-02-2019 10:43
0
13.2K
47


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan