syauqullAvatar border
TS
syauqull
TERPECAHNYA KESULTANAN CIREBON


       
Kerajaan Cirebon adalah Kerajaan Islam terbesar dan pertama di Jawa Barat. Dalam proses perkembangannya Kerajaan Cirebon mengalami kemajuan yang sangat pesat di bidang perdagangan dan penyebaran Agama Islam. Cirebon memiliki letak yang sangat strategis karena pelabuhan di Cirebon disinggahi pedagang-pedagang dari luar. Tak dapat di sangkal Cirebon pernah menjadi  pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar bangsa, lokasinya terletak di bibir pantai antara Jawa Tengah dan Jawa Barat .


       
Lewat Sunan Gunung Jati Kerajaan Cirebon menjadi kerajaan yang merdeka dari Kerajaan Padjajaran yang kemudian Sunan Gunung Jati menjadi raja pertama di Kerajaan Cirebon. Dalam konteks berikutnya Sunan Gunung Jati menyebarkan dakwahnya di Jawa Barat dan menjadi dari salah satu anggota Wali Songo.  Kerajaan Cirebon mengalami masa puncak kejayaannya pada masa Sunan Gunung Jati karena pada masa pemerintahannya Kerajaan Cirebon menjadi kerajaan besar dan menjadi pusat agama islam di Jawa Barat, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga Kerajaan Cirebon berhasil mengusir Bangsa Portugis di Sunda Kelapa. Namun disamping masa keemasan Kerajaan Cirebon, pada akhir abad 17 mengalami kemundran. Faktor kemunduran Kerajaan Cirebon ialah kedatangan Bangsa Eropa yaitu Bangsa Belanda dengan persatuan dagangnya yaitu VOC .


       
Disisi lain yang menyebabkan kemunduran Kerajaan Cirebon yaitu menjadi perebutan kekuasaan antara Mataram dan Kesultanan Banten sehingga Kerajaan Cirebon mengalami kekosongan kekuasaan, karena rajanya ditahan di Mataram sehingga membuat terpecahnya kerajaan tersebut menjadi dua kerajaan yaitu Kesultanan Kasepuhan dengan sultannya Pangeran Martawijaya dan Kesultanan Kanoman dengan sultannya Pangeran Kertawijaya, sedangkan anak yang ketiga Pangeran Wangsakerta hanya menjadi Panembahan di Kesultanan Kasepuhan. Pada tanggal 7 Januari 1681 Kerajaan Cirebon mengadakan perjanjian dengan VOC yang membuat  Kerajaan Cirebon mengalami keruntuhan.


       
Sepeninggal Sunan Gunung Jati, kedaulatan dan kewibawaan Kerajaan Cirebon terus berlanjut hingga kurang lebih satu abad sepeninggalan beliau. Kerajaan Cirebon mulai mundur ketika dijabat oleh Panembahan Girilaya karena sepeninggalan Panembahan Ratu 1, para penggantinya tidak memiliki kualifikasi yang cakap sebagai leader, di samping secara eksternal, kekuatan Mataram dan Banten mengalami perubahan sikap dalam memandang keberadaan Cirebon, yang tidak lagi sebagai kerajaan yang di hormati dan berwibawa sebagai mana pada masa Sunan Gunung Jati dan Panembahan Ratu 1.


     
 Pada masanya Cirebon dalam posisi terjepit karena dua kekuasaan yang sama-sama berambisi menjadi dipertuan agung di tanah Jawa. Disebelah timur, penguasa Mataram, dipimpin oleh Sunan Amangkurat 1 yang penuh dengan ambisi kekuasaan. Sementara disebelah barat, Banten di pimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa yang bercita-cita menjadikan Banten negara Islam yang terkuat di Jawa. Pada tahun 1649 ketika Pangeran  Girilaya di undang datang ke Mataram bersama dua orang putranya kemudian mereka tidak diperkenankan kembali ke Cirebon, karena di anggap Cirebon lebih berpihak ke Banten, hal ini menyebabkan di Kerajaan Cirebon mengalami kekosongan pemerintahan. Sultan Ageng Tirtayasa sangat marah melihat kondisi Cirebon  yang tidak lagi merdeka dan menganggap dirinya pelindung penguasa Cirebon sebagai kerabatnya yang harus dibebaskan, kemudian ia segera mengatur siasat untuk melawan Mataram . Di ibu kota Mataram, Amangkurat 1 kewalahan menghadapi pemberontakan Trunojoyo dan akhirnya Amangkurat 1 melarikan diri, ketika Keraton Mataram di kuasai oleh Trunojoyo, Panembahan Girilaya meminta kepada Trunojoyo untuk membawa kedua putranya ke Banten, kemudian kedua putra mahkota diberangkatkan dari Kediri ke Banten yang kemudian Pangeran Wangsakerta yang tinggal di Cirebon datang juga ke Banten. Sesampainya di Banten kemudian Sultan Ageng Tirtayasa membagi Keraton Cirebon menjadi dua yaitu Keraton Kasepuhan dan Keraton Kanoman, hal inilah mulai ada tanda-tanda keruntuhan Kesultanan Cirebon, Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Kasepuhan dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Kanoman, sedangkan Pangeran Wangsakerta menjadi Panembahan. Faktor yang kedua yaitu konflik internal bermula ketika Pangeran Syamsudin Martawijaya sebagai putra tertua dengan adiknya Pangeran Kertawijaya menuntut agar tahta Kerajaan Cirebon jatuh kepadanya karena ia beranggapan sebagai pewaris yang syah. Sebagai puncaknya ia menyampaikan keinginannya ke VOC, inilah titik awal VOC ikut campur di Kerajaan Cirebon.




       
Kedatangan VOC inilah juga sebagai faktor lain runtuhnya Kerajaan Cirebon. Sesudah faktor pertama dan kedua di dalam pemerintahan Kerajaan tersebut, pemerintah Kolonial Belanda semakin ikut campur dalam mengatur Cirebon, sehingga surutlah peranan dari keraton-keraton Cirebon.  Adanya VOC yang kian getol menginginkan menaklukan Kerajaan Cirebon memang telah lama diincar, namun usaha awalnya ketika masa Syarif Hidayatullah hingga Panembahan Ratu II tidak berhasil. Barulah sepeninggal Panembahan Ratu II, Cirebon kian di landa krisis politik dan pemerintahan. Kedudukannya yang juga semakin terancam dari Mataram, Banten dan VOC. Hubungan Cirebon dan VOC pada awalnya memang terjadi sebagai rekan dalam hal perdagangan dan perjanjian-perjanjian dalam meningkatkan usaha dagang antara keduanya. Namun VOC rupanya menginginkan lebih dari Cirebon, dan ingin menguasai Cirebon seluruhnya.


       
Pada awal perpecahan di Keraton Kasepuhan, VOC memang belum ikut campur, namun barulah pada Keraton Kanoman, VOC mulai menerapkan politik Devide Et Impire nya. Hasilnya Keraton Kanoman yang di duduki Sultan Anom IV ingin memisahkan diri dengan membuat Kesultanan baru yang di beri nama Keraton Kacirebonan, dengan demikian di Cirebon mempunyai tiga Keraton dan hal tersebut membuat kekuasaan Kerajaan Cirebon menjadi sangat lemah.


   
    VOC banyak memanfaatkan dari konflik-konflik di Keraton Cirebon sehingga terjadi pula beberapa perjanjian-perjanjian antara pihak Kerajaan Cirebon  dengan VOC. Diantaranya yakni perjanjian 7 Januari 1681. Yang hasil dari keduaya yaitu ekonomi dan perdagangan kian dikuasai dan di monopoli oleh VOC. Menurut sejarawan Belanda H.T. Colenbrander menjawab makna di balik perjanjian persahabatan antara Cirebon dan VOC tersebut, menandakan kemenangan VOC dalam membawa sekaligus menjadikan Cirebon ada di bawah pengaruhnya, dengan demikian  ia berkuasa membuat hukum dibolehkannya impor opium dan candu serta ekspor gula, lada sebagai komoditas utama di Cirebon .


       
Kerajaan Belanda kemudian untuk pertama kalinya secara definitif menempatkan seorang Residen yang berprofesi sebagai pedagang yaitu Marten Samson pada tahun 1685 . Residen adalah wakil Belanda yang bertugas mengawasi dalam hal administratif, yudikatif, legislatif serta menjembatani antara Gubernur Jendral dengan para Sultan.




       
Tahun 1800, ketika VOC bubar dan digantikan oleh pemerintahan Belanda, Gubernur Jendral Daendels menetapkan langkah strategis yakni dengan di keluarkannya Reglement op het beheer van de Cheribonsche landen pada 2 Februari 1809, isinya yaitu semua sultan-sultan yang ada di Cirebon yang sedang berkuasa dicabut masa kekuasaannya, dan mereka semua di jadikan pegawai kolonial Belanda. Kemudian Cirebon menjadi Karesidenan, wilayah Karesidenan Cirebon meliputi : Indramayu, Gebang, daerah Kesultanan Cirebon yang meliputi Majalengka, Kuningan, Galuh, Limbangan, dan Sukapura. Pada tanggal 5 Januari 1819 keluar besluit Komisaris Jendral Hindia Belanda NO.23 yang menetapkan Karesidenan Cirebon terdiri dari lima Kabupaten yaitu: Kabupaten Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Kuningan dan Galuh. Dengan demikian selesailah kekuasaan Kerajaan Cirebon.


       
Pada masa ini juga kondisi perekonomian Cirebon makin terpuruk, karena pegawai VOC bertindak semena-mena dalam menarik pajak, imbasnya pada tahun 1719-1812 rakyat Cirebon mengalami bencana kelaparan dan wabah penyakit. Titik kulminasi dari keadaan yang memperhatinkan ini  adalah pecahnya pemberontakan Cirebon yang berlangsung dari tahun 1806-1818 dipimpin oleh tokoh-tokoh keturunan keraton, di antaranya Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serit dan Pangeran Suryanagara yang sejak awal tidak suka dengan intervensi Belanda. Walaupun pada akhirnya pemberontakan ini dapat di padamkan, namun telah  menelan kerugian yang sangat besar di pihak Belanda.


     
  Terjadinya keruntuhan di Kerajaan Cirebon di sebabkan  oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internalnya yaitu perebutan kekuasaan antara anak-anak Pangeran Girilaya yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, Pangeran wangsakerta. Faktor eksternalnya yaitu ikut campur tangannya Sultan Banten dan VOC, dari campur tangan Sultan Banten Kerajaan Cirebon dibagi menjadi dua yaitu Keraton Kanoman dan Keraton Kasepuhan. Yang pada perpecahan ini pula mulai ikut campur tangan VOC. Meski awalnya hanya kerjasama dalam hal perdagangan, namun akhirnya VOC ingin memonopoli perdagangan di Cirebon.


       
Perjanjian yang dilakukan Cirebon dengan VOC pada akhirnya menyebabkan VOC ikut campur dalam pemerintahan Kesultanan Cirebon. Sehingga faktor keruntuhan Kesultanan Cirebon di pengaruhi oleh campur tangan VOC, hasil akhir dari keikut sertaan VOC puncaknya yaitu VOC menghapuskan Pemerintahan Kesultanan Cirebon dan menggantinya dengan Gemeente Charbon. Bangsawan Kesultanan Cirebon yang tidak sepaham dengan politik di Kesultanan Cirebon kemudian keluar dari keraton dan mendirikan Pesantren-pesantren dan membuat kekuatan baru untuk melawan Belanda.

Diubah oleh syauqull 11-03-2018 07:11
0
13.7K
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan