- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Penderita skizofrenia melonjak, pemasungan masih mengancam


TS
singa.banci
Penderita skizofrenia melonjak, pemasungan masih mengancam
Quote:
Skizofrenia dan depresi merupakan gangguan jiwa yang bisa diobati. Tetapi, sebanyak 14 persen penderita skizofrenia justru masih mengalami pemasungan, sementara sekitar 14,4 juta penderita depresi di Indonesia tak menjalani pengobatan.
Gambaran skizofrenia berhasil diceritakan dalam film A Beautiful Mind besutan sineas Ron Howard tentang kehidupan matematikawan jenius asal Amerika, John Nash. Peraih Nobel di bidang ekonomi itu, bahkan berhalusinasi dengan teman bayangan.
Di Indonesia, pencipta lagu "Poco-poco", Arie Sapulette, mengidap skizofrenia selama 18 tahun belakangan. Tak mampu beraktivitas normal, Arie hanya mendekam di kamarnya dan beberapa kali berteriak tanpa alasan yang jelas, seperti laporan Kompas.com saat mengunjungi rumahnya.
National Health Service di Inggris menyebutkan skizofrenia adalah penyakit gangguan jiwa yang mengubah perilaku, pikiran, dan kesehatan penderitanya. Skizofren, sebutan untuk penderita skizofrenia, memiliki struktur otak yang berbeda dari kebanyakan manusia.
Penyebab skizofrenia tak diketahui hingga kini, tapi beragam faktor seperti kondisi fisik, genetik, mental, dan lingkungan mampu membuat skizofren makin parah.
Gejalanya seperti halusinasi atau delusi seperti mendengar suara-suara, tak mampu berkonsentrasi, tak memiliki gairah hidup, dan antisosial. Di beberapa kasus, penderita skizofrenia dapat bertindak ekstrim seperti membunuh keluarga.
Selain skizofrenia, gangguan jiwa yang juga patut mendapat perhatian adalah depresi. Jika pemantik skizofrenia sulit ditelusuri, depresi lazimnya berkaitan dengan peristiwa tertentu dalam perubahan hidup seseorang, seperti kematian. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hanya 9 persen di antaranya yang ke dokter.
Stigma orang gila yang disematkan kepada penderita gangguan jiwa, membuat mereka dianggap sebagai aib keluarga dan diasingkan dari dunia luar. Tak hanya skizofren, penderita depresi berat pun kerap dicibir.
Padahal, keduanya adalah penyakit yang perlu disembuhkan.

Skizofren dan ancaman pemasungan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan 7 dari 1.000 rumah tangga di Indonesia memiliki anggota dengan gangguan skizofrenia, merujuk data Riset Kesehatan Dasar 2018. Angka ini melonjak tiga kali lipat dibandingkan lima tahun lalu.
Bali dan Yogyakarta mencatat rekor tertinggi masing-masing 11,1 dan 10,4 permil. Sementara angka terkecil ditemukan di Riau yakni 2,8 permil. Meski demikian, bukan berarti penderita skizofrenia lebih banyak di Bali dan Yogyakarta.
“Angka tersebut menunjukkan treatment gap. Provinsi yang angka (penderita) tinggi sudah terpapar banyak program kesehatan jiwa. Ketika disurvei, orang lebih tahu kondisinya seperti apa,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat, Eka Viora, saat dihubungi Beritagar.id.
Eka melanjutkan, banyak keluarga yang belum paham penyakit skizofrenia. Orang yang terindikasi penyakit ini sering dianggap terserang ilmu hitam atau guna-guna.

Meski mayoritas penderita skizofrenia sadar akan pentingnya berobat, 14 persen di antaranya masih dipasung oleh anggota keluarga atau masyarakat di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka yang dipasung tinggal di perdesaan.
Eka menjelaskan pemasungan penderita gangguan jiwa karena minimnya pengetahuan bagaimana menyikapi penderita skizofrenia. Selain itu, ada ketakutan dari keluarga maupun masyarakat kalau si penderita berbuat onar.
“Ini stigma. Mereka dipasung karena mungkin pernah ngamuk, bakar rumah, membunuh, atau lainnya. Bahkan, ada yang sudah keluar rumah sakit jiwa (menerima pengobatan), ketika pulang dipasung,” ucap Eka.
Padahal, penderita gangguan jiwa bisa diobati dan sembuh. Sehingga, tak menjadi ancaman sosial di masyarakat.
“Masyarakat mestinya sadar ini gangguan jiwa bukan karena mitos gaib. Kalau sadar, bisa dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit. Tapi yang terjadi sekarang, dibawa ke dukun,” ujarnya.

Selain skizofrenia, ada ancaman depresi
Seorang pekerja swasta di Yogyakarta, AS (29), sempat mengalami depresi saat ditinggal ayahnya meninggal, enam tahun lalu. AS sempat merawat ayahnya selama 10 tahun saat mengalami stroke hingga ajal menjemput.
AS sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal.
“Seperti gelap, tidak tahu arah, dan hilang semangat hidup. Untuk apa hidup kalau Bapak tidak ada? Rasanya tidak ada orang yang menyayangiku,” ucap AS saat bercerita kepada Beritagar.id pada Kamis (31/1/2019).
Perubahan perilaku AS tampak selama setahun. Ia makin tak nafsu makan, insomnia, kurang mampu berkonsentrasi. AS bergelut dengan depresinya selama tiga tahun.
“Ketika aku sedih dan bingung, aku melakukan hal-hal yang membahayakan diriku. Aku tidak konsentrasi saat menyetir, bahkan aku juga pernah tidur di Pantai Parangtritis berhari-hari. Aku tidak tahu kenapa,” ujarnya.
Kehilangan ayahnya, buat AS, seperti kehilangan belahan jiwanya. Sang ayah hadir lebih dekat dengannya ketimbang ibu. Ia menemaninya berbelanja baju, hingga memasak untuknya.
Jika pemantik skizofrenia sulit ditelusur, biasanya depresi berkaitan dengan peristiwa tertentu dalam perubahan hidup seseorang, seperti kematian. Depresi adalah gangguan mental emosional yang terus berlanjut dalam periode tertentu.
Seperti dalam kasus skizofrenia, depresi juga sering disalahpahami. Dikait-kaitkan dengan klenik dan mitos.
Di sisi lain, banyak penderita depresi tak berobat. Hanya 9 persen di antaranya yang mau merujuk ke dokter. Kesadaran minum obat untuk mengatasi depresi masih sangat rendah, seperti di Bali (6 persen) dan Nusa Tenggara Timur (5,9 persen).
AS termasuk penderita depresi yang aktif mencari tahu soal penyakitnya baik ke psikolog maupun ke psikiater. Tak banyak penderita depresi aktif berobat seperti dirinya. Selain konsultasi, AS termasuk rajin mengonsumsi obat penenang saat dirinya depresi dan tak bisa tidur.
“Aku cerita ke psikolog dan dia menganggap aku belum bisa menerima (kematian). Aku juga ke RSUD Sardjito dan bertemu psikiater, dan mulai ditanya prosesnya seperti apa,” kisah AS mengenai kondisinya.

Pengobatan sudah tersedia
Eka mengimbau masyarakat yang mengalami perubahan perilaku, pikir, dan perasaan segera berobat ke dokter untuk mengetahui jenis penyakitnya. Masyarakat pun tak perlu ragu akan biaya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dapat membayar biaya pengobatan gangguan jiwa.
“Dulu orang miskin susah pengobatan, sekarang bisa menggunakan BPJS asal terdaftar sebagai orang miskin atau membayar premi (untuk kelas menengah ke atas),” kata Eka.
Pengobatan pun bisa dilakukan di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau Puskesmas. Di Indonesia, ada 43 rumah sakit jiwa di 22 provinsi. Tapi, tak perlu khawatir karena Puskesmas sudah mencapai pelosok negeri.
Puskesmas sudah punya tenaga kesehatan jiwa, dan rumah sakit pun sudah ada di kabupaten. Bahkan, menurut Eka, angka depresi di Indonesia sebenarnya termasuk lebih rendah dari angka di dunia karena akses pelayanannya sudah mulai terbuka.
Di Puskesmas pun disediakan obat untuk penderita gangguan jiwa, seperti obat insomnia, antidepresan, dan obat untuk panik, obsesif, cemas, psikotik, parkinson, dan mania. Mayoritas Puskesmas sudah memiliki obat tersebut.
Obat telah membantu AS melewati masa kelamnya yang dihantui insomnia dan kecemasan berlebih. Ia juga melakukan beragam terapi, seperti menulis dan melukis. Teman-teman di sekelilingnya yang memahami penyakit AS juga membantu kesembuhan dirinya setelah tiga tahun berjuang. Kini, AS dapat kembali beraktivitas.
Gambaran skizofrenia berhasil diceritakan dalam film A Beautiful Mind besutan sineas Ron Howard tentang kehidupan matematikawan jenius asal Amerika, John Nash. Peraih Nobel di bidang ekonomi itu, bahkan berhalusinasi dengan teman bayangan.
Di Indonesia, pencipta lagu "Poco-poco", Arie Sapulette, mengidap skizofrenia selama 18 tahun belakangan. Tak mampu beraktivitas normal, Arie hanya mendekam di kamarnya dan beberapa kali berteriak tanpa alasan yang jelas, seperti laporan Kompas.com saat mengunjungi rumahnya.
National Health Service di Inggris menyebutkan skizofrenia adalah penyakit gangguan jiwa yang mengubah perilaku, pikiran, dan kesehatan penderitanya. Skizofren, sebutan untuk penderita skizofrenia, memiliki struktur otak yang berbeda dari kebanyakan manusia.
Penyebab skizofrenia tak diketahui hingga kini, tapi beragam faktor seperti kondisi fisik, genetik, mental, dan lingkungan mampu membuat skizofren makin parah.
Gejalanya seperti halusinasi atau delusi seperti mendengar suara-suara, tak mampu berkonsentrasi, tak memiliki gairah hidup, dan antisosial. Di beberapa kasus, penderita skizofrenia dapat bertindak ekstrim seperti membunuh keluarga.
Selain skizofrenia, gangguan jiwa yang juga patut mendapat perhatian adalah depresi. Jika pemantik skizofrenia sulit ditelusuri, depresi lazimnya berkaitan dengan peristiwa tertentu dalam perubahan hidup seseorang, seperti kematian. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hanya 9 persen di antaranya yang ke dokter.
Stigma orang gila yang disematkan kepada penderita gangguan jiwa, membuat mereka dianggap sebagai aib keluarga dan diasingkan dari dunia luar. Tak hanya skizofren, penderita depresi berat pun kerap dicibir.
Padahal, keduanya adalah penyakit yang perlu disembuhkan.

Skizofren dan ancaman pemasungan
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan 7 dari 1.000 rumah tangga di Indonesia memiliki anggota dengan gangguan skizofrenia, merujuk data Riset Kesehatan Dasar 2018. Angka ini melonjak tiga kali lipat dibandingkan lima tahun lalu.
Bali dan Yogyakarta mencatat rekor tertinggi masing-masing 11,1 dan 10,4 permil. Sementara angka terkecil ditemukan di Riau yakni 2,8 permil. Meski demikian, bukan berarti penderita skizofrenia lebih banyak di Bali dan Yogyakarta.
“Angka tersebut menunjukkan treatment gap. Provinsi yang angka (penderita) tinggi sudah terpapar banyak program kesehatan jiwa. Ketika disurvei, orang lebih tahu kondisinya seperti apa,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Pusat, Eka Viora, saat dihubungi Beritagar.id.
Eka melanjutkan, banyak keluarga yang belum paham penyakit skizofrenia. Orang yang terindikasi penyakit ini sering dianggap terserang ilmu hitam atau guna-guna.

Meski mayoritas penderita skizofrenia sadar akan pentingnya berobat, 14 persen di antaranya masih dipasung oleh anggota keluarga atau masyarakat di sekitarnya. Kebanyakan dari mereka yang dipasung tinggal di perdesaan.
Eka menjelaskan pemasungan penderita gangguan jiwa karena minimnya pengetahuan bagaimana menyikapi penderita skizofrenia. Selain itu, ada ketakutan dari keluarga maupun masyarakat kalau si penderita berbuat onar.
“Ini stigma. Mereka dipasung karena mungkin pernah ngamuk, bakar rumah, membunuh, atau lainnya. Bahkan, ada yang sudah keluar rumah sakit jiwa (menerima pengobatan), ketika pulang dipasung,” ucap Eka.
Padahal, penderita gangguan jiwa bisa diobati dan sembuh. Sehingga, tak menjadi ancaman sosial di masyarakat.
“Masyarakat mestinya sadar ini gangguan jiwa bukan karena mitos gaib. Kalau sadar, bisa dibawa ke Puskesmas atau rumah sakit. Tapi yang terjadi sekarang, dibawa ke dukun,” ujarnya.

Selain skizofrenia, ada ancaman depresi
Seorang pekerja swasta di Yogyakarta, AS (29), sempat mengalami depresi saat ditinggal ayahnya meninggal, enam tahun lalu. AS sempat merawat ayahnya selama 10 tahun saat mengalami stroke hingga ajal menjemput.
AS sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal.
“Seperti gelap, tidak tahu arah, dan hilang semangat hidup. Untuk apa hidup kalau Bapak tidak ada? Rasanya tidak ada orang yang menyayangiku,” ucap AS saat bercerita kepada Beritagar.id pada Kamis (31/1/2019).
Perubahan perilaku AS tampak selama setahun. Ia makin tak nafsu makan, insomnia, kurang mampu berkonsentrasi. AS bergelut dengan depresinya selama tiga tahun.
“Ketika aku sedih dan bingung, aku melakukan hal-hal yang membahayakan diriku. Aku tidak konsentrasi saat menyetir, bahkan aku juga pernah tidur di Pantai Parangtritis berhari-hari. Aku tidak tahu kenapa,” ujarnya.
Kehilangan ayahnya, buat AS, seperti kehilangan belahan jiwanya. Sang ayah hadir lebih dekat dengannya ketimbang ibu. Ia menemaninya berbelanja baju, hingga memasak untuknya.
Jika pemantik skizofrenia sulit ditelusur, biasanya depresi berkaitan dengan peristiwa tertentu dalam perubahan hidup seseorang, seperti kematian. Depresi adalah gangguan mental emosional yang terus berlanjut dalam periode tertentu.
Seperti dalam kasus skizofrenia, depresi juga sering disalahpahami. Dikait-kaitkan dengan klenik dan mitos.
Di sisi lain, banyak penderita depresi tak berobat. Hanya 9 persen di antaranya yang mau merujuk ke dokter. Kesadaran minum obat untuk mengatasi depresi masih sangat rendah, seperti di Bali (6 persen) dan Nusa Tenggara Timur (5,9 persen).
AS termasuk penderita depresi yang aktif mencari tahu soal penyakitnya baik ke psikolog maupun ke psikiater. Tak banyak penderita depresi aktif berobat seperti dirinya. Selain konsultasi, AS termasuk rajin mengonsumsi obat penenang saat dirinya depresi dan tak bisa tidur.
“Aku cerita ke psikolog dan dia menganggap aku belum bisa menerima (kematian). Aku juga ke RSUD Sardjito dan bertemu psikiater, dan mulai ditanya prosesnya seperti apa,” kisah AS mengenai kondisinya.

Pengobatan sudah tersedia
Eka mengimbau masyarakat yang mengalami perubahan perilaku, pikir, dan perasaan segera berobat ke dokter untuk mengetahui jenis penyakitnya. Masyarakat pun tak perlu ragu akan biaya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) dapat membayar biaya pengobatan gangguan jiwa.
“Dulu orang miskin susah pengobatan, sekarang bisa menggunakan BPJS asal terdaftar sebagai orang miskin atau membayar premi (untuk kelas menengah ke atas),” kata Eka.
Pengobatan pun bisa dilakukan di rumah sakit jiwa, rumah sakit umum, atau Puskesmas. Di Indonesia, ada 43 rumah sakit jiwa di 22 provinsi. Tapi, tak perlu khawatir karena Puskesmas sudah mencapai pelosok negeri.
Puskesmas sudah punya tenaga kesehatan jiwa, dan rumah sakit pun sudah ada di kabupaten. Bahkan, menurut Eka, angka depresi di Indonesia sebenarnya termasuk lebih rendah dari angka di dunia karena akses pelayanannya sudah mulai terbuka.
Di Puskesmas pun disediakan obat untuk penderita gangguan jiwa, seperti obat insomnia, antidepresan, dan obat untuk panik, obsesif, cemas, psikotik, parkinson, dan mania. Mayoritas Puskesmas sudah memiliki obat tersebut.
Obat telah membantu AS melewati masa kelamnya yang dihantui insomnia dan kecemasan berlebih. Ia juga melakukan beragam terapi, seperti menulis dan melukis. Teman-teman di sekelilingnya yang memahami penyakit AS juga membantu kesembuhan dirinya setelah tiga tahun berjuang. Kini, AS dapat kembali beraktivitas.
SUMBER
ayo perhatikan keluarga masing2
jika ada yang mengalami skizofrenia
segera bawa ke rumah sakit
zaman sekarang sudah beda dengan zaman dulu
zaman dulu kan ga ada obatnya

sekarang sudah bisa di obati
jika ada keluarga yang menderita skizofrenia
dia bilang apapun, ia kan saja
jgn buat dia stress
tapi jangan di percaya apa yang dikatakannya
masa percaya sama perkataan orang gila

sekian infonya
semoga berita ini membantu



8
4.6K
Kutip
38
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan