- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
C.O.N : B.A.D; Nightchild Of The Wateland


TS
archzentrall
C.O.N : B.A.D; Nightchild Of The Wateland
Oke gan, ane balik lagi. kemaren ane sempet buat thread juga judulnya LUMAN:AWAKEN, namun ane fikir untuk menunda cerita itu dan membuat cerita baru nih dia
(READ PLEASE)
CERITA INI TIDAK BERMAKSUD UNTUK MENGUBAH SEJARAH, MAKA DARI ITU MOHON MAAF SEBELUMNYA JIKA DALAM CERITA INI ADA YANG TERSINGGUNG, DAN PULA ANE MELARANG POSNTINGAN CERITA INI DI PUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI ATAU PUN COMMERCIAL TANPA ADA IZIN DARI ANE, JADI MOHON KERJASAMANYA
oke tanpa basa basi ini ceritanya moga moga agan dan sista pada suka
JUDUL : CONQUERORS OF NUSANTARA (C.O.N)
SUB JUDUL : BATTLE AGAINST DESTINY (B.A.D) : NIGHTCHILD OF THE WASTELAND
oke gan makasih waktunya sudah mau baca cerita ane , hopelly agan pada dan sista pada suka ama ceritanya
dan jangan luma kasih commentnnya dan cendol kalo agan ikhlas hehe
(READ PLEASE)
CERITA INI TIDAK BERMAKSUD UNTUK MENGUBAH SEJARAH, MAKA DARI ITU MOHON MAAF SEBELUMNYA JIKA DALAM CERITA INI ADA YANG TERSINGGUNG, DAN PULA ANE MELARANG POSNTINGAN CERITA INI DI PUBLISH UNTUK KEPENTINGAN PRIBADI ATAU PUN COMMERCIAL TANPA ADA IZIN DARI ANE, JADI MOHON KERJASAMANYA
oke tanpa basa basi ini ceritanya moga moga agan dan sista pada suka
JUDUL : CONQUERORS OF NUSANTARA (C.O.N)
SUB JUDUL : BATTLE AGAINST DESTINY (B.A.D) : NIGHTCHILD OF THE WASTELAND
Quote:
Chapter 1
THE BURNING VILLAGE
“Upeti, upeti...UPETIIII!!!.. Sial.”
Kesal seorang pemuda berteriak dalah hatinya yang penuh rasa benci atas semua realita yang ia lihat akan kehidupan sebenarnya para rakyat jelata yang tak berdaya melawan keserahan para bangsawan.
“Para Bajingan itu, mereka hanya duduk di kediaman megah mereka tanpa memikirkan orang lain yang menderita. Para rakyat jelata yang bekerja sepanjang waktu.. tapi... hasil dari kerja keras mereka diambil begitu saja oleh para bajingan itu. Ya, bajingan itu, para bangsawan yang dititipkan sedikit kemegahan dan kemakmuran oleh sang pencipta. Namun, mereka menyalahgunakan amanat yang dititipkan dari sang pencipta hanya untuk kepuasan semata di dunia yang kejam ini. Para bajingan yang sangat aku benci itu. Mereka semua harus ku bantai,termasuk keluarga ku sendiri... ya keluarga ku sendiri....dan juga diriku ini.” guman sang pemuda dalam hatinya yang gundah, penuh dengan amarah dan kebencian.
Sang pemuda tadi berjalan mendekati seorang anak lelaki dengan pakaian kumuh dan tubuh yang sangat mengkhawatirkan, anak lelaki tadi hanya terdiam duduk disebuah gubuk yang sudah tak layak untuk dihuni.
“Hey, bocah. Tak perlu takut kepadaku, dimanakah orang tua mu, sehingga kau terlantar seperti ini.” tanya sang pemuda tadi kepada anak lelaki yang tengah melihatnya dengan wajah ketakutan.
“Orang..tua.. orang.. tua ham..ba sudah..tiada... tu..an.” Jawab si anak lelaki tadi dengan bibir yang sudah susah untuk bicara.
“Kamu sudah sangat kelaparan, bocah. Baiklah, makanlah pisang ini. Setidaknya ini dapat mengganjal perutmu yang sudah kesong itu sampai kau dapat mencari makanan mu sendiri.” Ungkap sang pemuda tadi sembari mengeluarkan dua sisir pisang dari kantung hitam yang ia bawa.
Tampa pikir panjang si anak lelaki tadi bangkit dan makan dengan rakusnya sampai sampai ia susah untuk menelan pisang yang ia makan.
“Tak usah buru-buru, bocah. Makanlah secara seksama dan minumlah air ini.” Tegur sang pemuda tadi mengeluarkan sebuah bambu kecil yang berisi air.
Si anak kecil tadi langsung meminum habis air yang diberikan sang pemuda tadi, dan tanpa ia sadari bawah pisang yang diberikan sang pemuda tadi sudah habis ia makan.
“Tuan maafkan hamba, hamba telah menghabiskan makanan dan minuman yang telah tuan berikan.” Kata si anak lelaki meminta maaf dengan kepala bersujud di hadapan sang pemuda tadi.
“Hey bocah. Aku bukan lah tuhan yang harus kau beri sujud. Aku hanyalah manusa kotor yang tak layak untuk hidup didunia yang indah dan kejam ini. Dan pula makanan dan minuman tadi memang untuk mu, karena jika kau tak menghabiskan makanan tadi dan menyimpanya, maka nyawa mulah yang akan melayang, dibunuh oleh para rakyat lain yang kelaparan.”Jelas sang pemuda tadi.
“Maafkan hamba tuan. Dan saya sangat berterima kasih tuan telah memberikan saya makan.”
“Baiklah, mulai sekarang lindungilah carilah makanan dan lindungi dirimu sendiri, bocah. Sudah waktunya aku tuk pergi.” Kata sang pemuda tadi berdiri dan hendak berjalan, namun tiba-tiba si anak lelaki tadi menggenggam tangan sang pemuda dan bertanya kepadanya.
“Tuan, bila boleh saya tau, siapakah nama tuan... maafkan hamba sudah tidak sopan tuan.” Tanya si anak lelaki tadi, berharap seorang pemuda yang menolongnya menjawab pertanyaanya.
“Tak masalah, namaku... namaku Azroel. Baiklah selamat tinggal, bocah.” Jawab sang pemuda sembari berjalan ke arah timur meninggalkan si anak lelaki tadi.
“Tuan, nama hamba adalah Zavier, suatu hari nanti hamba pasti akan membalas budi semua yang telah tuan berikan kepada hamba.” Teriak si anak lelaki tadi sembari melambaikan tangan dengan wajah yang kegirangan.
“Bocah sialan, maafkan lah aku telah berbohong. Jika kamu tahu bahwa sebenarnya akulah. Bukan, tapi keluargaku lah yang telah merebut kebahagian mu dan juga semua orang yang ada di desa itu, desa Kawah Kencana, salah satu dari puluhan desa yang menderita oleh keluargaku.” Ungkap sang pemuda tadi dari dalam hatinya.
Angin siang menerbak tubuh sang pemuda tadi yang tak lain Azroel, dengan wajah tampan dan bola mata coklat indah yang menyembunyikan air mata yang ia tahan. Azrielda berjalan melewati jalan setapak dengan jubah hitam yang ia pakai untuk menyembuyikan jati dirinya yang sebenarnya. Ia berjalan lurus ke arah timur melewati perkebunan penduduk Desa Kawah Kencana yang subur. Namun, para petani desa tak pernah merasakan kenikmatan yang mereka petik dari hasil kerja keras mereka bertani. Karena semua hasil panen mereka diberikan kepada sang bajingan terhormat gubernur Anggardiva 3, yang tak lain ayah dari Azroel. Karena setiap hari para prajurit yang ditugaskan oleh sang gubernur akan mengawasi mereka, supaya tak ada penyelundupan. Itulah sebabnya para petani dan penduduk desa lainnya sengsara.
Tak terasa ia berjalan dengan kepala yang selalu berfikir mencari jalan keluar untuk membebaskan para rakyat di desa dari cengkraman kejam sang gubernur, Azroel sudah sampai disebuah gerbang yang dijaga para tentara kerajaan dengan perlengkapan perang yang mematikan.
“Cih, akhirnya sampai juga aku di sebuah tempat yang penuh dengan dosa ini.” Ungkap Azroel dalam hatinya.
“Selamat datang kembali, tuan Muda Anggardiva IV.” Sapa para penjaga yang tengah berkumpul hendak pergi entah kemana, dengan perlengkapan perang yang terlihat mereka siap bergi untuk berperang. Azroel berfikir bahwa mereka pergi ke kerajaan karena panggilan raja untuk berperang, tanpa berfikir negatif ia lanjut berjalan setelah menjawab sapaan para tentara kerajaan tadi, menuju sebuah rumah termegah yang tak lain kediam sang gubernur dan juga rumahnya sendiri.
“Putra sulungku, akhirnya engkau kemabali setelah berkelana untuk menjadi seorang ksatria.” Sapa seorang pria tua berkenakan pakaian yang penuh dengan kemewahan yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Gubernur Anggardiva 3.
“Iya, Ayahanda. Para tentara tadi, apakah gerangan sang raja agung hingga memanggil prajurit yang bertugas di daerah yang ayahanda pimpin, apakah ada peperangan besar yang tengah terjadi diluar sana.” celoteh Azroel.
“Tidak ada putra sulungku, akulah yang memerintahkan mereka untuk memberikan pelajaran kepada para sampa diluar sana yang tak mampu membayar upeti bulan ini.” Ungkap Sang Gubernur.
“Apa? Memberikan pelajaran. Tunggu, bukankah itu berarti para tentara banjigan tadi akan membuat sebuah petaka kepada desa yang mereka kunjugi.” batin Azroel berkata sembari ia mengganti jubah hitam yang ia kenakan dengan pakain mewah seperti yang ayahnya kenakan.
“Jika aku boleh tau, desa mana yang berani menentang kuasa Ayahanda?”
“Sebuah desa kecil di barat yang kebayakan penduduknya bertani, kalau tidak salah desa itu bernama Kawah Kencana, lalu kenapa kau bertanya. Anakku?” Tanya Sang Gubernur.
“Sial, tak salah lagi Desa yang barusaja aku kunjungi, dilihat dari manapun desa tadi tentu saja tak akan bisa membayar upeti yang diberikan si bajingan dihadapanku ini.” Guman Azroel dalah hatinya.
Tanpa fikir panjang ia segera berlari keluar dan bergegas menunggangi seekor kuda.
“Anakku, engaku hendak pergi kemana?” Teriak sang gubernur kepada anaknya yang baru saja datang dan sekarang telah pergi kembali tanpa sepatah kata apapun.
Tanpa mengiraukan ayahnya yang berteriak memanggilnya, Azroel terus mempercepat langkahnya membelah angin siang menuju ke arah barat dimana Desa Kawah Kencana terletak.
“Si gubernur bajingan tadi apa tak punyak otak, bagaimana pula para penduduk desa bisa membayar upeti, bisa makan sehari sekali pun mereka sudah bersyukur, dasar bajingan tak berguna, suatu hari nanti aku pasti akan membunuhmu, ayah sialan.” Gertaknya dalam hatinya yang penuh kebencian kepada ayahnya sendiri.
“Aku harus bergegas semoga saja masih sempat aku menyelamatkan beberapa penduduk desa.” Ungkapnya dalam hati.
Tak lama kemudia, dengan kecepatan angin, Azroel sudah melihat perkebunan desa Kawah Kencana. Dan ia sangat terkejut ada kebulan asap yang berasan tak lain dari Desa Kawah Kencana.
“Sialan, apa yang telah para bajingan itu lakukan kapada para penduduk desa.”
Dan alahkah terkejutnya Azroel setelah ia sampai di pemukiman Desa Kawah Kencana, pemandangan yang ia hadapi sangat membuat semua bulu kuduknya berdiri, pemandangan miris ketika ia melihat rumah-rumah para penduduk desa terbakar oleh kobaran api yang melahap satu-persatu rumah para penduduk desa, yang bagi mereka adalah salah satu harta paling berhaga yang mereka miliki dikehidupan yang kejam ini.
Azroel turun dari kuda yang ia tunggangi tadi, dan bergegas berlari ke arah kobaran api yang tengah berkobar menjilat semua rumah penduduk desa, ia berlari melewati mayat-mayat penduduk desa yang terbunuh karena tusukan pedang yang tak lain mereka bertarung hingga titik darah penghabisan untuk melindungi desa tercinta mereka.
Azroel terus berlari dan berteriak dengan wajah berlinangan air mata yang sudah lama ia tahan dan terus ia tahan hingga sekarang pada akhirnya air mata tadi menetes membanjiri wajahnya.
“Siapapun jawablah aku, HEYYY... Jawablah aku, Zabier.... Zabierr...Zabierrr dimana kau. Hoyyy.... Zabier... jawab ini aku.... aku.... ini aku..... ZABIERRR.....” Teiak Azroel mencari seorang anak lelaki bernama Zabier yang tak lain anak lelaki yang ia berimakan pagi tadi.
Tiba-tiba Azroel meliha sesosok anak lelaki yang tengah duduk disebuah gubuk yang tengah terbakan, dengan tubuh dan wajah babak belur dan penuh dengan luka, dimana tangan kananya memegang sebilah pisau. Azroel menyadari bahwa anak lelaki itu tak lain adalah Zabier.
“Zabier, Zabierr.. itukah kau. Syukurlah engkau selamat Zabier.” Ungkap senang Azroel, melihat Zabier masih hidup meski ia tengah sekarat.
“Tuan Azroel ...” Tiba-tiba wajah Zabier berubah menjadi wajah yang penuh dengan kemurkaan dan kebencian dari wajah yang tersenyum ketia ia mendengar seorang yang sangat ia hormati datang menyelamatkannya.
“Kau...kau...kau...KAU BUKAN LAH TUAN AZROEL...BAJINGAN.” Teriak Zabier yang tiba-tiba bangkit dengan menggenggam sebelah pisau di tanga kanannya.
“Tenang lah Zabier ini aku...ini aku Azroel.” kata Azroel dengan wajah penuh air mata.
“Baju itu...baju itu..baju ituuuuu..... baju itu bukan lah baju para rakyat jelata sepertiku, baju itu adalah baju para bajingan di kota sana..... baju itu baju para petinggi yang membuat kami semua sengsara, liat lah sekeliling mu, inilah balasan untuk kami yang telah bekerja keras setiap hari memberika tenaga dan juga harta kepada orang sepertimu BANGSAWAN BAJINGAN...”
“Zabierrr...ini aku AZROEL...” Tiba-tiba para tentara datang.
“Tuan muda Anggardiva 4, apa yang sedang anda lakukan di desa kotor ini.” Ungkap salah satu tentara.
“ANGG....GARR....DI...VA....EM...PAT...jadi itulah nama aslimu, tuan Azroel.” Bentak Zabriel dengan tubuh bergetar.
“Tunggu dulu Zavier, dengarkan aku dulu..”
“Berisik...Beraninya kau mempermainkanku bajingan....seharusnya aku tak mudah percaya kepada pendatang yang tiba tiba memberiku makanan....Ternyata kau adalah anak dari si Gubernur Bajingan kitu....MATILAH KAU ANGGARDIVA...” Teriak Zabier menghunuskan pisau yang ia pegang kepada Azroel, bukanya menghindar, Azroel malah berlari kearah Zabier yang sedang murka, dan..
“Streeettttt.....” Darah mulai keluar dari tubuh Azroel, bukanya mundur untuk melepaskan pisau yang tertancap di tubuhnya. Azroel malah memeluk Zabier yang tengah bingung terdiam entah apa yang sedang ada dalam fikirannya.
“Nah. Zabier, apakah kamu sudah puas bisa menusuk salah satu bajingan yang kau benci itu.” tanya Azroel dengan pisau yang masih tertancap ditubuhnya. Darah mengalir dari perutnya dan juga dari mulutnya, dimana ia berbicara sambil mengeluarkan darah segar.
“Kenapa...kenapa tuan tidak menghindar....kenapa?” Tanya Zabier dengan wajah berlinang air mata.
“Jawablah dulu pertanyaaku Zabier...”
“Aku...aku...aku belum puas .... aku belum puas sama sekali.... tuan.”
“Seperti itukah, Zabier. Nah Zabier, tataplah mataku.”Perintah Azroel kepada Zabier yang menurut untuk melihat perintah Azroel.
“Dengarkan aku baik-baik Zabier. Jika aku mati disini, siapa lagi orang yang akan membantumu untuk membunuh para bajingan itu.”
“Maksud tuan...”
“Zabriel, kau adalah satu-satunya temanku di dunia ini, maka dari itu marilah kita bersatu untuk membunuh para bangsawan bajingan itu. Bagaimana, Zabier.”
“Teman? Maksud tuan, Teman itu apa ?”
“Orang seperjuangan, dan juga orang yang aku percayai, maka janganlah panggi aku tuan, panggilah aku Azroel.”
“Baiklah tuan, tapi bagaimana dengan luka anda?”
“Itu tidak ma...”
“Tuan muda, apakah anda terluka..” Tiba-tba salah seorang tentara menyapanya dari belakang.
“Pergilah kalian bajingan....pulanglah kesarang kalian...PERGIIII....” Perintah Azroel kepada para tentara yang mulai mundur menjauh dan pergi.
“Maafkan aku Zavier...aku telah berbohong kepadamu....dan juga aku tidak sempat menyelamatkan desa ini...” Kata Azroel kemudian ia memandangi langit yg mulai senja dan berteriak.
“SIALLLLL....”
Tak lama setelah itu Zavier mencabut pisau dan menyobek bajunya sendiri yang ia gunakan untuk memperban luka Azroel.
Kemudian, setelah lukanya telah tertutup semua, Azroel langsung bergegas menaiki kudanya.
“Anda maju pergi kemana,tuan.”
“Tentu saja membayar apa yang telah gubernur bajingan itu berikan kepada desa ini.”
“Tapi, tuan luka anda masih....”
“Sudahlah Zavier, jangan fikirkan aku. Lebih baik kau juga bergegas, kita akan memberikan bajingan itu pelajaran.”
“Baiklah, tuan.”
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan desa Kawah Kencana dengan tujuan kota Nirwana diarah timur yang tak lain kota dimana ayahnya tinggal. Dengan kecepatan angin yang diiringi dengan hati yang penuh dengan rasa balas dendam, mereka berdua melaju bagaikan angin yang siap mengobrak-abrik apapun yang menghadangnya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di kota Niwana, para penjaga bersiap menghadang mereka, namun Azroel tidak gentar dengan banyaknya prajurit yang menghadangnya, ia terus maju dengan berteriak.
“MINGGIRLAH....KALIAN....BAJINGAN.” Dengan terus melaju, Azroel meruntuhkan satu persatu penjaga yang mengadangnya. Ia terus melaju hingga ia sampai di sebuah rumah termegah di kota tersebut. Ia kemudia turun dan bergegas masuk kerumah megah tadi, dimana didalam rumah itu ada ayahnya yang sedang berdiri mengunggunya.
“Anakku..Anggardiva 4 apa yang telah kau lakukan di desa kumuh tadi.”
Tanpa menghiraukan apa yang ayahnya katakan ia terus berjalan mendekati ayahnya dan mengepalkan tangan kanannya, dan kemudian “jabbb......” Azroel memukul pipi kiri ayahnya, yang membuat sang gubernur terlempar jauh dan membentur tembok.
“APA YANG KAU LAKUKAN ANAK DURHAKA” Teriak Sang Gubernur yang mulai berdiri dan berteriak ke arah Azroel.
“Heh? Apa yang aku lakukan. Seharusnya yang harus bertanya itu adalah aku, apa yang kau laukan sehikangga tega menghancurkan sebuah desa dimana para penduduk bisa hidup?”
“Hah! Tentu saja karena mereka tidak membayar upe...”
“Membayar upeti dengan apa, jika untuk makan saja mereka susah. Karena semua yang mereka punya kau ambil habis, bajingan.”
“Lancang sekali kau, anak durhaka. Pergilah dari sini, kau bukan lah anaku lagi.”
“Bagus sekali, aku sudah terbebas dari jeratan keluarga bajingan ini. Namun, camkan ini bajingan. Namaku bukanlah Anggardiva lagi, namaku adalah Azroel. Dimana suatu hari nanti aku akan kembali untuk membunuhmu, bajingan.”
“PERGI KAU.”
Tanpa sepatah kata apapun, Azroel pergi meniggalkan rumah tadi, ia kembali kepada kuda yang ia kendarai dan juga Zabier yang tengah dikepung para prajurit kerajaan.
“Minggir kalian.” kata Azroel kepada tentara yang tengan mengepung temannya itu. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan kota Nirwana.
Di dalam rumah megah, sang gubernur memanggil tiga orang prajurit untuk menghadapnya.
“Kalian bertiga, kejar dan bunuhlah kedua orang tadi yang berani mempermalukanku.”
“Tapi Tuan muda Anggardiva adalah...”
“Dia bukanlah anaku lagi, dia bukanlah Anggardiva 4, dia adalah bajingan bernama Azroel. Cepat kejar dan bunuh mereka.”
“Baik, tuan.” Kata para prajurit yang bergegas menginggalkan sang gubernur dan pergi mengejar Azroel dan Zavier.
“Kalian tak akan selamat, kalian akan segera mati, terutama kau bajingan, Azroel!!!” Kesal Sang Gubernur.
Diluar sana, dimana hari sudah mulai malam, dua orang pria yang menunggangi seekor kuda tengah berjalan perlahan entah kemana tujuan mereka.
“Tuan...”
“Hentikan, Zavier. Aku bukan lah tuanmu, aku adalah temanmu.”
“Maafkan lah aku, seharusnya aku mempercayaimu, namu aku....”
“Kubilah sudahlah Zavier aku...aku..aku...”
Tiba-tiba Azroel jatuh dari kuda dan tampa mereka sadari sudah ada tiga orang prajurit yang bersiap untuk membunuh mereka.
“Sial, aku sudah tak bisa bergeraklagi, dan juga aku tak punya senjata untuk melawan.” Kata Azroel.
“Menyerahlah, pengkhianat. Gubernur Anggardiva 3, telah memerintahkan kami untuk membunuhmu, maka diam dan....” Sebelum seorang prajuti tadi selesai berbicara, ada sebuah kepulan asap yang memenuhi area sekitar mereka, dan tiba-tiba ada seseorang yang bergerak mendekati Azroel dan Zavier.
“Bocah, cepatlah naik. Biarkan aku membawa anak muda ini naik.”
“Tapi, anda siapa?”
“Sudah jangan banyak bicara, sebelum asap ini habis, cepat kau naik. Pria ini harus segera dirawat. Maka dari itu bergegaslah, kau bocah.”
“Baiklah, tuan.”
Zavier tanpa fikir panjang menaiki kereta yang disediakan oleh seorang kakek tua tadi, dan disebelehanya ada Azroel yang sudah tak sadarkan diri, mereka bertiga bergegas maju menuju kearah selatan.
THE BURNING VILLAGE
“Upeti, upeti...UPETIIII!!!.. Sial.”
Kesal seorang pemuda berteriak dalah hatinya yang penuh rasa benci atas semua realita yang ia lihat akan kehidupan sebenarnya para rakyat jelata yang tak berdaya melawan keserahan para bangsawan.
“Para Bajingan itu, mereka hanya duduk di kediaman megah mereka tanpa memikirkan orang lain yang menderita. Para rakyat jelata yang bekerja sepanjang waktu.. tapi... hasil dari kerja keras mereka diambil begitu saja oleh para bajingan itu. Ya, bajingan itu, para bangsawan yang dititipkan sedikit kemegahan dan kemakmuran oleh sang pencipta. Namun, mereka menyalahgunakan amanat yang dititipkan dari sang pencipta hanya untuk kepuasan semata di dunia yang kejam ini. Para bajingan yang sangat aku benci itu. Mereka semua harus ku bantai,termasuk keluarga ku sendiri... ya keluarga ku sendiri....dan juga diriku ini.” guman sang pemuda dalam hatinya yang gundah, penuh dengan amarah dan kebencian.
Sang pemuda tadi berjalan mendekati seorang anak lelaki dengan pakaian kumuh dan tubuh yang sangat mengkhawatirkan, anak lelaki tadi hanya terdiam duduk disebuah gubuk yang sudah tak layak untuk dihuni.
“Hey, bocah. Tak perlu takut kepadaku, dimanakah orang tua mu, sehingga kau terlantar seperti ini.” tanya sang pemuda tadi kepada anak lelaki yang tengah melihatnya dengan wajah ketakutan.
“Orang..tua.. orang.. tua ham..ba sudah..tiada... tu..an.” Jawab si anak lelaki tadi dengan bibir yang sudah susah untuk bicara.
“Kamu sudah sangat kelaparan, bocah. Baiklah, makanlah pisang ini. Setidaknya ini dapat mengganjal perutmu yang sudah kesong itu sampai kau dapat mencari makanan mu sendiri.” Ungkap sang pemuda tadi sembari mengeluarkan dua sisir pisang dari kantung hitam yang ia bawa.
Tampa pikir panjang si anak lelaki tadi bangkit dan makan dengan rakusnya sampai sampai ia susah untuk menelan pisang yang ia makan.
“Tak usah buru-buru, bocah. Makanlah secara seksama dan minumlah air ini.” Tegur sang pemuda tadi mengeluarkan sebuah bambu kecil yang berisi air.
Si anak kecil tadi langsung meminum habis air yang diberikan sang pemuda tadi, dan tanpa ia sadari bawah pisang yang diberikan sang pemuda tadi sudah habis ia makan.
“Tuan maafkan hamba, hamba telah menghabiskan makanan dan minuman yang telah tuan berikan.” Kata si anak lelaki meminta maaf dengan kepala bersujud di hadapan sang pemuda tadi.
“Hey bocah. Aku bukan lah tuhan yang harus kau beri sujud. Aku hanyalah manusa kotor yang tak layak untuk hidup didunia yang indah dan kejam ini. Dan pula makanan dan minuman tadi memang untuk mu, karena jika kau tak menghabiskan makanan tadi dan menyimpanya, maka nyawa mulah yang akan melayang, dibunuh oleh para rakyat lain yang kelaparan.”Jelas sang pemuda tadi.
“Maafkan hamba tuan. Dan saya sangat berterima kasih tuan telah memberikan saya makan.”
“Baiklah, mulai sekarang lindungilah carilah makanan dan lindungi dirimu sendiri, bocah. Sudah waktunya aku tuk pergi.” Kata sang pemuda tadi berdiri dan hendak berjalan, namun tiba-tiba si anak lelaki tadi menggenggam tangan sang pemuda dan bertanya kepadanya.
“Tuan, bila boleh saya tau, siapakah nama tuan... maafkan hamba sudah tidak sopan tuan.” Tanya si anak lelaki tadi, berharap seorang pemuda yang menolongnya menjawab pertanyaanya.
“Tak masalah, namaku... namaku Azroel. Baiklah selamat tinggal, bocah.” Jawab sang pemuda sembari berjalan ke arah timur meninggalkan si anak lelaki tadi.
“Tuan, nama hamba adalah Zavier, suatu hari nanti hamba pasti akan membalas budi semua yang telah tuan berikan kepada hamba.” Teriak si anak lelaki tadi sembari melambaikan tangan dengan wajah yang kegirangan.
“Bocah sialan, maafkan lah aku telah berbohong. Jika kamu tahu bahwa sebenarnya akulah. Bukan, tapi keluargaku lah yang telah merebut kebahagian mu dan juga semua orang yang ada di desa itu, desa Kawah Kencana, salah satu dari puluhan desa yang menderita oleh keluargaku.” Ungkap sang pemuda tadi dari dalam hatinya.
Angin siang menerbak tubuh sang pemuda tadi yang tak lain Azroel, dengan wajah tampan dan bola mata coklat indah yang menyembunyikan air mata yang ia tahan. Azrielda berjalan melewati jalan setapak dengan jubah hitam yang ia pakai untuk menyembuyikan jati dirinya yang sebenarnya. Ia berjalan lurus ke arah timur melewati perkebunan penduduk Desa Kawah Kencana yang subur. Namun, para petani desa tak pernah merasakan kenikmatan yang mereka petik dari hasil kerja keras mereka bertani. Karena semua hasil panen mereka diberikan kepada sang bajingan terhormat gubernur Anggardiva 3, yang tak lain ayah dari Azroel. Karena setiap hari para prajurit yang ditugaskan oleh sang gubernur akan mengawasi mereka, supaya tak ada penyelundupan. Itulah sebabnya para petani dan penduduk desa lainnya sengsara.
Tak terasa ia berjalan dengan kepala yang selalu berfikir mencari jalan keluar untuk membebaskan para rakyat di desa dari cengkraman kejam sang gubernur, Azroel sudah sampai disebuah gerbang yang dijaga para tentara kerajaan dengan perlengkapan perang yang mematikan.
“Cih, akhirnya sampai juga aku di sebuah tempat yang penuh dengan dosa ini.” Ungkap Azroel dalam hatinya.
“Selamat datang kembali, tuan Muda Anggardiva IV.” Sapa para penjaga yang tengah berkumpul hendak pergi entah kemana, dengan perlengkapan perang yang terlihat mereka siap bergi untuk berperang. Azroel berfikir bahwa mereka pergi ke kerajaan karena panggilan raja untuk berperang, tanpa berfikir negatif ia lanjut berjalan setelah menjawab sapaan para tentara kerajaan tadi, menuju sebuah rumah termegah yang tak lain kediam sang gubernur dan juga rumahnya sendiri.
“Putra sulungku, akhirnya engkau kemabali setelah berkelana untuk menjadi seorang ksatria.” Sapa seorang pria tua berkenakan pakaian yang penuh dengan kemewahan yang tak lain adalah ayahnya sendiri, Gubernur Anggardiva 3.
“Iya, Ayahanda. Para tentara tadi, apakah gerangan sang raja agung hingga memanggil prajurit yang bertugas di daerah yang ayahanda pimpin, apakah ada peperangan besar yang tengah terjadi diluar sana.” celoteh Azroel.
“Tidak ada putra sulungku, akulah yang memerintahkan mereka untuk memberikan pelajaran kepada para sampa diluar sana yang tak mampu membayar upeti bulan ini.” Ungkap Sang Gubernur.
“Apa? Memberikan pelajaran. Tunggu, bukankah itu berarti para tentara banjigan tadi akan membuat sebuah petaka kepada desa yang mereka kunjugi.” batin Azroel berkata sembari ia mengganti jubah hitam yang ia kenakan dengan pakain mewah seperti yang ayahnya kenakan.
“Jika aku boleh tau, desa mana yang berani menentang kuasa Ayahanda?”
“Sebuah desa kecil di barat yang kebayakan penduduknya bertani, kalau tidak salah desa itu bernama Kawah Kencana, lalu kenapa kau bertanya. Anakku?” Tanya Sang Gubernur.
“Sial, tak salah lagi Desa yang barusaja aku kunjungi, dilihat dari manapun desa tadi tentu saja tak akan bisa membayar upeti yang diberikan si bajingan dihadapanku ini.” Guman Azroel dalah hatinya.
Tanpa fikir panjang ia segera berlari keluar dan bergegas menunggangi seekor kuda.
“Anakku, engaku hendak pergi kemana?” Teriak sang gubernur kepada anaknya yang baru saja datang dan sekarang telah pergi kembali tanpa sepatah kata apapun.
Tanpa mengiraukan ayahnya yang berteriak memanggilnya, Azroel terus mempercepat langkahnya membelah angin siang menuju ke arah barat dimana Desa Kawah Kencana terletak.
“Si gubernur bajingan tadi apa tak punyak otak, bagaimana pula para penduduk desa bisa membayar upeti, bisa makan sehari sekali pun mereka sudah bersyukur, dasar bajingan tak berguna, suatu hari nanti aku pasti akan membunuhmu, ayah sialan.” Gertaknya dalam hatinya yang penuh kebencian kepada ayahnya sendiri.
“Aku harus bergegas semoga saja masih sempat aku menyelamatkan beberapa penduduk desa.” Ungkapnya dalam hati.
Tak lama kemudia, dengan kecepatan angin, Azroel sudah melihat perkebunan desa Kawah Kencana. Dan ia sangat terkejut ada kebulan asap yang berasan tak lain dari Desa Kawah Kencana.
“Sialan, apa yang telah para bajingan itu lakukan kapada para penduduk desa.”
Dan alahkah terkejutnya Azroel setelah ia sampai di pemukiman Desa Kawah Kencana, pemandangan yang ia hadapi sangat membuat semua bulu kuduknya berdiri, pemandangan miris ketika ia melihat rumah-rumah para penduduk desa terbakar oleh kobaran api yang melahap satu-persatu rumah para penduduk desa, yang bagi mereka adalah salah satu harta paling berhaga yang mereka miliki dikehidupan yang kejam ini.
Azroel turun dari kuda yang ia tunggangi tadi, dan bergegas berlari ke arah kobaran api yang tengah berkobar menjilat semua rumah penduduk desa, ia berlari melewati mayat-mayat penduduk desa yang terbunuh karena tusukan pedang yang tak lain mereka bertarung hingga titik darah penghabisan untuk melindungi desa tercinta mereka.
Azroel terus berlari dan berteriak dengan wajah berlinangan air mata yang sudah lama ia tahan dan terus ia tahan hingga sekarang pada akhirnya air mata tadi menetes membanjiri wajahnya.
“Siapapun jawablah aku, HEYYY... Jawablah aku, Zabier.... Zabierr...Zabierrr dimana kau. Hoyyy.... Zabier... jawab ini aku.... aku.... ini aku..... ZABIERRR.....” Teiak Azroel mencari seorang anak lelaki bernama Zabier yang tak lain anak lelaki yang ia berimakan pagi tadi.
Tiba-tiba Azroel meliha sesosok anak lelaki yang tengah duduk disebuah gubuk yang tengah terbakan, dengan tubuh dan wajah babak belur dan penuh dengan luka, dimana tangan kananya memegang sebilah pisau. Azroel menyadari bahwa anak lelaki itu tak lain adalah Zabier.
“Zabier, Zabierr.. itukah kau. Syukurlah engkau selamat Zabier.” Ungkap senang Azroel, melihat Zabier masih hidup meski ia tengah sekarat.
“Tuan Azroel ...” Tiba-tiba wajah Zabier berubah menjadi wajah yang penuh dengan kemurkaan dan kebencian dari wajah yang tersenyum ketia ia mendengar seorang yang sangat ia hormati datang menyelamatkannya.
“Kau...kau...kau...KAU BUKAN LAH TUAN AZROEL...BAJINGAN.” Teriak Zabier yang tiba-tiba bangkit dengan menggenggam sebelah pisau di tanga kanannya.
“Tenang lah Zabier ini aku...ini aku Azroel.” kata Azroel dengan wajah penuh air mata.
“Baju itu...baju itu..baju ituuuuu..... baju itu bukan lah baju para rakyat jelata sepertiku, baju itu adalah baju para bajingan di kota sana..... baju itu baju para petinggi yang membuat kami semua sengsara, liat lah sekeliling mu, inilah balasan untuk kami yang telah bekerja keras setiap hari memberika tenaga dan juga harta kepada orang sepertimu BANGSAWAN BAJINGAN...”
“Zabierrr...ini aku AZROEL...” Tiba-tiba para tentara datang.
“Tuan muda Anggardiva 4, apa yang sedang anda lakukan di desa kotor ini.” Ungkap salah satu tentara.
“ANGG....GARR....DI...VA....EM...PAT...jadi itulah nama aslimu, tuan Azroel.” Bentak Zabriel dengan tubuh bergetar.
“Tunggu dulu Zavier, dengarkan aku dulu..”
“Berisik...Beraninya kau mempermainkanku bajingan....seharusnya aku tak mudah percaya kepada pendatang yang tiba tiba memberiku makanan....Ternyata kau adalah anak dari si Gubernur Bajingan kitu....MATILAH KAU ANGGARDIVA...” Teriak Zabier menghunuskan pisau yang ia pegang kepada Azroel, bukanya menghindar, Azroel malah berlari kearah Zabier yang sedang murka, dan..
“Streeettttt.....” Darah mulai keluar dari tubuh Azroel, bukanya mundur untuk melepaskan pisau yang tertancap di tubuhnya. Azroel malah memeluk Zabier yang tengah bingung terdiam entah apa yang sedang ada dalam fikirannya.
“Nah. Zabier, apakah kamu sudah puas bisa menusuk salah satu bajingan yang kau benci itu.” tanya Azroel dengan pisau yang masih tertancap ditubuhnya. Darah mengalir dari perutnya dan juga dari mulutnya, dimana ia berbicara sambil mengeluarkan darah segar.
“Kenapa...kenapa tuan tidak menghindar....kenapa?” Tanya Zabier dengan wajah berlinang air mata.
“Jawablah dulu pertanyaaku Zabier...”
“Aku...aku...aku belum puas .... aku belum puas sama sekali.... tuan.”
“Seperti itukah, Zabier. Nah Zabier, tataplah mataku.”Perintah Azroel kepada Zabier yang menurut untuk melihat perintah Azroel.
“Dengarkan aku baik-baik Zabier. Jika aku mati disini, siapa lagi orang yang akan membantumu untuk membunuh para bajingan itu.”
“Maksud tuan...”
“Zabriel, kau adalah satu-satunya temanku di dunia ini, maka dari itu marilah kita bersatu untuk membunuh para bangsawan bajingan itu. Bagaimana, Zabier.”
“Teman? Maksud tuan, Teman itu apa ?”
“Orang seperjuangan, dan juga orang yang aku percayai, maka janganlah panggi aku tuan, panggilah aku Azroel.”
“Baiklah tuan, tapi bagaimana dengan luka anda?”
“Itu tidak ma...”
“Tuan muda, apakah anda terluka..” Tiba-tba salah seorang tentara menyapanya dari belakang.
“Pergilah kalian bajingan....pulanglah kesarang kalian...PERGIIII....” Perintah Azroel kepada para tentara yang mulai mundur menjauh dan pergi.
“Maafkan aku Zavier...aku telah berbohong kepadamu....dan juga aku tidak sempat menyelamatkan desa ini...” Kata Azroel kemudian ia memandangi langit yg mulai senja dan berteriak.
“SIALLLLL....”
Tak lama setelah itu Zavier mencabut pisau dan menyobek bajunya sendiri yang ia gunakan untuk memperban luka Azroel.
Kemudian, setelah lukanya telah tertutup semua, Azroel langsung bergegas menaiki kudanya.
“Anda maju pergi kemana,tuan.”
“Tentu saja membayar apa yang telah gubernur bajingan itu berikan kepada desa ini.”
“Tapi, tuan luka anda masih....”
“Sudahlah Zavier, jangan fikirkan aku. Lebih baik kau juga bergegas, kita akan memberikan bajingan itu pelajaran.”
“Baiklah, tuan.”
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan desa Kawah Kencana dengan tujuan kota Nirwana diarah timur yang tak lain kota dimana ayahnya tinggal. Dengan kecepatan angin yang diiringi dengan hati yang penuh dengan rasa balas dendam, mereka berdua melaju bagaikan angin yang siap mengobrak-abrik apapun yang menghadangnya.
Tak lama kemudian mereka telah sampai di kota Niwana, para penjaga bersiap menghadang mereka, namun Azroel tidak gentar dengan banyaknya prajurit yang menghadangnya, ia terus maju dengan berteriak.
“MINGGIRLAH....KALIAN....BAJINGAN.” Dengan terus melaju, Azroel meruntuhkan satu persatu penjaga yang mengadangnya. Ia terus melaju hingga ia sampai di sebuah rumah termegah di kota tersebut. Ia kemudia turun dan bergegas masuk kerumah megah tadi, dimana didalam rumah itu ada ayahnya yang sedang berdiri mengunggunya.
“Anakku..Anggardiva 4 apa yang telah kau lakukan di desa kumuh tadi.”
Tanpa menghiraukan apa yang ayahnya katakan ia terus berjalan mendekati ayahnya dan mengepalkan tangan kanannya, dan kemudian “jabbb......” Azroel memukul pipi kiri ayahnya, yang membuat sang gubernur terlempar jauh dan membentur tembok.
“APA YANG KAU LAKUKAN ANAK DURHAKA” Teriak Sang Gubernur yang mulai berdiri dan berteriak ke arah Azroel.
“Heh? Apa yang aku lakukan. Seharusnya yang harus bertanya itu adalah aku, apa yang kau laukan sehikangga tega menghancurkan sebuah desa dimana para penduduk bisa hidup?”
“Hah! Tentu saja karena mereka tidak membayar upe...”
“Membayar upeti dengan apa, jika untuk makan saja mereka susah. Karena semua yang mereka punya kau ambil habis, bajingan.”
“Lancang sekali kau, anak durhaka. Pergilah dari sini, kau bukan lah anaku lagi.”
“Bagus sekali, aku sudah terbebas dari jeratan keluarga bajingan ini. Namun, camkan ini bajingan. Namaku bukanlah Anggardiva lagi, namaku adalah Azroel. Dimana suatu hari nanti aku akan kembali untuk membunuhmu, bajingan.”
“PERGI KAU.”
Tanpa sepatah kata apapun, Azroel pergi meniggalkan rumah tadi, ia kembali kepada kuda yang ia kendarai dan juga Zabier yang tengah dikepung para prajurit kerajaan.
“Minggir kalian.” kata Azroel kepada tentara yang tengan mengepung temannya itu. Kemudian mereka berdua pergi meninggalkan kota Nirwana.
Di dalam rumah megah, sang gubernur memanggil tiga orang prajurit untuk menghadapnya.
“Kalian bertiga, kejar dan bunuhlah kedua orang tadi yang berani mempermalukanku.”
“Tapi Tuan muda Anggardiva adalah...”
“Dia bukanlah anaku lagi, dia bukanlah Anggardiva 4, dia adalah bajingan bernama Azroel. Cepat kejar dan bunuh mereka.”
“Baik, tuan.” Kata para prajurit yang bergegas menginggalkan sang gubernur dan pergi mengejar Azroel dan Zavier.
“Kalian tak akan selamat, kalian akan segera mati, terutama kau bajingan, Azroel!!!” Kesal Sang Gubernur.
Diluar sana, dimana hari sudah mulai malam, dua orang pria yang menunggangi seekor kuda tengah berjalan perlahan entah kemana tujuan mereka.
“Tuan...”
“Hentikan, Zavier. Aku bukan lah tuanmu, aku adalah temanmu.”
“Maafkan lah aku, seharusnya aku mempercayaimu, namu aku....”
“Kubilah sudahlah Zavier aku...aku..aku...”
Tiba-tiba Azroel jatuh dari kuda dan tampa mereka sadari sudah ada tiga orang prajurit yang bersiap untuk membunuh mereka.
“Sial, aku sudah tak bisa bergeraklagi, dan juga aku tak punya senjata untuk melawan.” Kata Azroel.
“Menyerahlah, pengkhianat. Gubernur Anggardiva 3, telah memerintahkan kami untuk membunuhmu, maka diam dan....” Sebelum seorang prajuti tadi selesai berbicara, ada sebuah kepulan asap yang memenuhi area sekitar mereka, dan tiba-tiba ada seseorang yang bergerak mendekati Azroel dan Zavier.
“Bocah, cepatlah naik. Biarkan aku membawa anak muda ini naik.”
“Tapi, anda siapa?”
“Sudah jangan banyak bicara, sebelum asap ini habis, cepat kau naik. Pria ini harus segera dirawat. Maka dari itu bergegaslah, kau bocah.”
“Baiklah, tuan.”
Zavier tanpa fikir panjang menaiki kereta yang disediakan oleh seorang kakek tua tadi, dan disebelehanya ada Azroel yang sudah tak sadarkan diri, mereka bertiga bergegas maju menuju kearah selatan.
oke gan makasih waktunya sudah mau baca cerita ane , hopelly agan pada dan sista pada suka ama ceritanya
dan jangan luma kasih commentnnya dan cendol kalo agan ikhlas hehe
Diubah oleh archzentrall 31-01-2019 05:17


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan