Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

haruglory01Avatar border
TS
haruglory01
Girl At Middle Night



Spoiler for Cerita ini hanya rekayasa belaka,hanya imajinasi dari seorang yang baru mulai belajar menulis,selamat menikmati gan.:




(BAB 1)

Sejak tadi suara itu mengganggunya. Suara seorang perempuan yang penuh desah kemanjaan itu, seakan memanggil Mahmud beberapa kali. Dahi Mahmud berkerut, hatinya bimbang dengan pendengarannya. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah malam.

Mahmud sengaja melupakan suara itu. Ia mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki Adi, teman satu pondokan. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan memanggil Adi yang hendak masuk ke kamar sebelah.
"Di... jam berapa ini?" tanya Mahmud. "Setengah satu kurang," jawab Adi sambil membetulkan celananya. Agaknya ia habis dari kamar mandi untuk buang air. Adi justru berkata, "Kau sendiri kan punya arloji, masa' masih tanya aku?"
"Arlojiku mati! Eh, sebentar, Di !" Mahmud keluar dari kamarnya, tidak sekadar melongokkan kepala. Ia mendekati Adi yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri.
Dengan nada berbisik Mahmud bertanya, "Di, kau tadi waktu ke kamar mandi melihat ada perempuan di sekitar sini?"
"Maksudmu?" Adi berkerut dahi.
"Aku mendengar suara perempuan di samping kamar, la seakan memangil-manggil aku."
"Perek. mungkin!" jawab Adi seenaknya.
Mahmud hanya mendesah. "Aku serius, Di. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena mendengar suaranya." Adi berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu ia ke kamar mandi, ia tidak melihat sekelebat manusia. Pondokan itu sepi.
Maklum sudah lewat tengah malam. Beberapa mahasiswa yang kost di situ kebanyakan sudah tidur. Kalau toh ada, mereka pasti di dalam kamar menekuni bukunya.
"Menurutku, kau hanya terngiang-ngiang cewekmu saja," kata Adi. "Maksudmu, Ayu? Ah, suara Ayu tidak seperti itu."
"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara hatimu saja. Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot memikirkan suara, kau kan bukan penata rekaman!"
Adi masuk, menutup kamarnya. Mahmud mengeluh dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau masuk ke kamarnya. Matanya memandang sekeliling. Oh, pondokan itu amat sepi. Lengang. Didi yang biasanya masih memutar kaset sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah tidur. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Imam dan kamar Indra. Mungkin mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok. Tengkuk kepala meremang lagi, Mahmud bergidik. Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika ia masuk ke kamar dan hendak menutup pintu, ia mendengar suara perempuan dalam desah kemanjaan yang memanggilnya. "Mahmuuud...! Mahmuuud...."
Lampu kamar Mahmud sengaja diredupkan. Ia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada hanya kegelisahan dari kecamuk hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu. Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu terdengar lagi setelah dua menit kemudian.
"Mahmuuud...! Datanglah...!"
Dengan berkerut-kerut dahi, Mahmud bangkit dari rebahannya.
"Suara itu seperti berada di luar jendela," pikir Mahmud. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin membuka jendela, tetapi ragu. Hatinya berkata, "Tidak mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana ia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau memang ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekat namanya."

Kemudian, telinga Mahmud agak ditempelkan pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin, gemerisik dedaunan. Kamar Mahmud memang kamar paling ujung dari sederetan kamar kost-kostan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang biasa dipakai olahraga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring, menempel dinding kamar Mahmud. Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar tembok. Pada bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu tak diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon rambutan milik tetangga belakang pondokan. Sebagian daun dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang hari.
Mahmud sudah tiga menit lebih berdiri di depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Maka, ia kembali ke pembaringan dan merebahkan badan.. Ia kelihatan resah. Batinnya bertanya-tanya, "Mengapa aku mendengar suara itu? Dan, sepertinya memang aku pernah mendengar suara itu. Suara siapa, ya?"
Ada gonggongan anjing dari rumah belakang pondokan. Gonggongan anjing itu mulanya hanya sesekali. Dbaikik dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat. Tetapi, gonggongan anjing itu lama-lama jadi memanjang. Mengalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di pendengaran Mahmud.
"Mahmuuud...! Muuud...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Mahmud...!"
Mahmud segera melompat dari pembaringannya, dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya.
Padahal suara tadi jelas terdengar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Mahmud. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja.
"Brengsek!" geram Mahmud. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi.
Mahmud mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajarnya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu. Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pengetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Mahmud melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya. "Muud...? Mahmud...!"
"Siapa...?!" tanya Mahmud dengan nada kesal, karena ia tahu, bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi. Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Mahmud berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!" "Aku...!"
"Aku siapa?! Sebutkan!" Mahmud sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu.
"Ayu...."
Mata Mahmud jadi membelalak. Kaget. "Ayu...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Ayu akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Mahmud pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Ayu. "Sebentar, Yu...!" kata Mahmud, yang kemudian segera membukakan pintu. "Hah...?!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.

Di luar kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Sepi. Hanya hembusan angin yang dirasakannya begitu dingin dan membuat tubuhnya merinding lagi. Dalam keadaan bingung dan berdebar-debar itu, Mahmud masih menyempatkan diri berpaling ke kanan-kiri, mencari Ayu yang menurutnya bersembunyi. Tapi, tak terlihat bayangan atau sosok seseorang yang bersembunyi. Di kamar mandi? Tak mungkin. Kamar mandi terlalu jauh dari kamar Mahmud jika akan digunakan seseorang untuk berlari dan bersembunyi. Sebelum orang itu sempat bersembunyi, pasti Mahmud sudah melihatnya lebih dahulu.
"Ayu...?!" Mahmud mencoba memanggil perempuan yang dikenalnya kemarin malam itu, tetapi tidak ada jawaban. Makin merinding tubuh Mahmud. dan semakin resah hatinya di sela debaran-debaran mencekam. Karena ditunggu beberapa menit Ayu tidak muncul lagi, bayangannya pun tak terlihat, maka Mahmud pun segera menutup pintu kamarnya dengan hati bertanya-tanya: "Ke mana dia?" Mendadak gerakan penutup pintu itu terhenti. Mata Mahmud sempat menemukan sesuatu yang mencurigakan di lantai depan pintu. Aneh, namun membuatnya penasaran. "Kapas...?!"
Hati semakin resah, kecurigaan kian mengacaukan benaknya. Segumpal kapas jatuh di lantai depan pintu. Sedikit bergerak-gerak karena hembusan angin. Ada rasa ingin tahu yang menggoda hati Mahmud. Maka. dipungutnya kapas itu. Ketika tubuh Mahmud membungkuk untuk mengambil kapas, tiba-tiba angin bertiup sedikit kencang. Kapas itu bergerak, terbang. Masuk ke kamar. Gerakan kapas sempat membuat Mahmud yang tegang terperanjat sekejap. Pintu ditutup, dan kapas itu dipungutnya. Ia segera melangkah ke meja belajarnya, mencari tempat yang terang. Ia memperhatikan kapas itu di bawah penerangan lampu belajarnya.

"Apakah kapas ini milik Ayu?" pikirnya sambil mengamati segumpal kapas yang kurang dari satu genggaman. Ada aroma bau harum yang keluar dari kapas itu. Bau harum itu mengingatkan Mahmud pada jenis parfum yang baru sekali itu ia temukan. Parfum yang dikenakan pada tubuh Ayu. "Aneh?! Mengapa Ayu tidak muncul lagi?" pikirnya setelah setengah jam lewat tak terdengar suara Ayu maupun ketukan pintu.
"Mengapa ia hanya meninggalkan kapas ini? Lalu, kapas untuk apa ini? Apakah Ayu sakit? Apakah ia hanya bermaksud mengingatkan kenangan semalam?" Mahmud tertawa sendiri.
Pelan. Ia kembali berbaring dengan jantung yang berdebar takut menjadi berdebar indah. Kapas itu diletakkan di samping bantalnya, sehingga bau harum yang lembut masih tercium olehnya. Pikiran Mahmud pun mulai menerawang pada satu kenangan manis yang ia peroleh kemarin malam. Kisah itu, sempat pula ia ceritakan kepada Nanda, teman baiknya satu kampus, dan Nanda sempat tergiur oleh cerita tentang Ayu.

***

"Siapa yang mengajakmu ke sana?" tanya Nanda waktu itu. "Pak Hasan! Mungkin dia ingin men-service aku, supaya buku pesanannya cepat kukerjakan. Wah, tapi memang luar biasa, Nan," ujar Mahmud berseri-seri. "Perempuan itu cantiknya mirip seorang ratu!"
"Kau yang memilih sendiri?" Nanda tampak bersemangat.
"Bukan. Dia datang sendiri ke motel-ku. Kurasa, Pak Hasan yang memesankan cewek itu untukku. Atau, barangkali memang service dari motel itu sendiri, entahlah. Yang jelas, dia datang di luar dugaanku. Tak lama kemudian, setelah kami berbasa-basi sebentar, datang juga perempuan lain. Tapi, kutolak. Aku lebih memilih perempuan pertama. Mulus dan sexy sekali dia. Namanya, Ayu. Cantik, kan?!" "Terus...? Terus bagaimana?" desah Nanda tergiur.
"Macan, Mak! Luar biasa romantisnya. Hebat. Baru kali ini aku menemukan perempuan cantik yang punya daya rangsang yang luar biasa! Tujuh malam bersama dia tanpa keluar dari kamar, aku akan betah! Kurasa kau sendiri tidak akan sempat mengenakan pakaianmu lagi kalau sudah bersamanya, Nan!" Nanda tertawa ngakak ketika itu. Ia benar-benar terperangah cerita Mahmud. Khayalannya melambung tinggi ketika Mahmud menceritakan detail kehebatan Ayu.
"Berapa anggaran untuknya?" tanya Nanda dengan gaya kelakar.
"Aku tidak tahu. Mungkin Pak Hasan-lah yang mengurus soal itu. Antara pukul 4 atau 5 pagi, dia pamit. Dia tidak minta bayaran padaku. Ketika kutanya tentang uang taksi, dia hanya tersenyum, lalu pergi."
"Kurasa dia perempuan panggilan kelas atas, Mud!"
"Menurut dugaanku juga begitu! Tapi, itu kan urusan Pak Hasan. Aku mau tanya tentang tarif argo untuk perempuan semacam Ayu, ah... nggak enak. Riskan."
"Beruntung sekali kau mendapat service seperti itu!"
"Makanya konsekuensinya aku harus segera menyelesaikan naskah pesanan Pak Hasan itu! Siapa tahu selesai itu aku dibawanya ke motel tersebut. Kalau ke sana lagi, aku tidak ingin mencari perempuan lain. Hanya Ayu yang kubutuhkan, dan aku juga menghendaki Motel Seruni, tidak mau Motel Mawar, Kenanga, atau yang lainnya. Karena, kenanganku bersama Ayu yang pertama kali ada di Motel Seruni itu!"

***


Malam semakin mengalunkan kesunyian, dan kesunyian itu sendiri menaburkan perasaan cemas. Sedangkan perasaan cemas itu membawa desiran indah bagi sebaris kenangan bersama Ayu. Bau harum dari parfum pada kapas semakin menggoda khayalan Mahmud. Khayalan itulah yang menumbuhkan rasa rindu, rasa ingin bertemu dan rasa ingin bercumbu. Maka, Mahmud pun menggeliat dengan gelisah. Darahnya dibakar oleh khayalannya sendiri. Nafsunya menghentak-hentak jantung, menuntut suatu perbuatan nyata dari birahi yang ada.
Mahmud menjadi bernafsu sekali untuk bertemu dengan Ayu.
"Ayuuu...!" erangnya dari sebuah rintih dari kerinduan.
Dan, kerinduan itu akhirnya menjadi racun pada jiwa Mahmud. Emosinya meluap, meletup-letup, bahkan tak bertakaran lagi. Emosi itu bukan hanya sekadar luapan gairah bercinta saja, melainkan kebencian, kemarahan, kesedihan, semuanya bercampur aduk dan menyiksa jiwa Mahmud.
Ia sempat meremat bantalnya kuat-kuat dengan tubuh gemetar, lalu ditariknya rematan itu dan robeklah kain bantal. Isinya berhamburan, diremas pula dalam suara yang menggeram. Tubuh berkeringat, urat-urat menegang, gemetar dan ia menggemeletukkan gigi kuat-kuat dengan mata mendelik.
Perubahan itu aneh sekali, namun tidak disadari oleh Mahmud. Napasnya terengah-engah seperti orang habis lari jauh. Matanya menjadi liar, ia menggeram beberapa kali, bahkan mengerang seperti seekor monyet buas yang hendak mengamuk.
Sementara itu, sisa kesadarannya sesekali tumbuh, dan membuat Mahmud mampu meredam gejala anehnya itu. Ia sempat bertanya dalam hati, "Mengapa aku jadi begini? Mengapa aku benci pada diri sendiri?" Masa kesadarannya hilang lagi, kembali ia dalam amukan jiwa yang tak terkontrol. Ia mengamuk, berguling-guling di ranjangnya. Tangannya mencakar-cakar kasur, membuat seprei menjadi tercabik-cabik. Bahkan guling pun diremas, digigitnya kuat-kuat bagai beruang lapar. Sampai beberapa saat hal itu dilakukan di luar kesadarannya, kemudian ia terkulai lemas sambil terengah-engah.
"Apa sebenarnya yang kualami ini...?! Oh, badanku sakit sekali...!" keluhnya lirih, nyaris tanpa suara.
Plakkk...!
Mahmud terkejut.
Tiba-tiba ia memukul kepalanya sendiri dengan keras. Ia merasa heran, mengapa tangan kanannya bergerak sendiri menampar wajahnya. Bahkan kini tangan kanan itu mengejang-ngejang, jarinya membentuk cakar yang kokoh.
"Oh, kenapa tanganku ini?!"
Mahmud menjadi tegang dengan mata melotot, memandangi tangan kanannya. Hanya tangan kanannya. Tangan itu sukar dikendalikan. Mahmud ingin melemaskan otot-ototnya, namun tidak berhasil Bahkan sekarang tangan kanannya yang membentuk cakar itu bergerak ke atas. Mendekati wajahnya. Mahmud melawannya, berusaha mengendalikan gerakan itu, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba gerakan tangan itu begitu cepat menghampiri wajahnya dan mencakar wajah itu sendiri.
"Aaaow...!" Mahmud berteriak, namun tidak begitu keras, karena hanya luapan rasa kagetnya saja. Ia masih memandang tangan kanannya dengan mendelik. Tangan itu terasa ingin bergerak lagi mencakarnya, dan Mahmud berusaha melawan kekuatan yang ada pada tangan tersebut. "Gilaaa...!" Mahmud berteriak keras dan semakin ketakutan oleh tangannya sendiri. Ia benar-benar panik dan tak mengerti, mengapa tangannya bergerak di luar kemauannya?

***
Bersambung gan emoticon-Sundul
Diubah oleh haruglory01 28-01-2019 14:21
adekurnia888646
adekurnia888646 memberi reputasi
8
9.4K
93
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan