- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
The Economist Kritik Jokowi, Seperti Apa Kondisi Sebenarnya?


TS
hanna.anisa
The Economist Kritik Jokowi, Seperti Apa Kondisi Sebenarnya?
Quote:

Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) mendapat kritik pedas dari media ekonomi internasional, The Economist yang berbasis di London dalam sebuah artikel.
Dalam kritiknya hal yang paling disorot adalah kurang berhasilnya pemerintah untuk menarik minat investor untuk berinvestasi di dalam negeri. Majalah tersebut menjelaskan bahwa para investor justru malah ragu untuk berinvestasi di Indonesia.
Benarkah demikian?
Bila melihat data dari Badan Kordinasi Penanaman Modal, minat investor asing untuk masuk ke tanah air sepanjang 2014-2018 memang tidak lebih baik daripada periode 2011-2014. Terlihat dari angka pertumbuhan Foreign Direct Investment (FDI) yang berada pada rentang 7%-19% selama pemerintahan Jokowi, di mana lebih rendah daripada masa pemerintahan sebelumnya yang berada di rentang 14%-31%.
Seperti yang diketahui, nilai FDI merupakan jumlah investasi langsung pihak asing melalui Badan Kordinasi Penaman Modal (BKPM).

Artinya, minat investor memang relatif lesu. Padahal, selama berkuasa hingga saat ini, pembangunan terlihat gencar dilakukan. Terpantau megaproyek seperti Jalan Tol Trans Jawa, Jalan Tol Trans Sumatera, Jalan Trans Papua, dan sejumlah bendungan gencar dikebut pada pemerintahan Jokowi.
Normalnya memang pembangunan infrastruktur akan mengundang minat investor untuk masuk. Sebab, dengan infrastruktur yang memadai akan melancarkan rantai pasokan yang berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi.
Namun memang, hasil dari pembangunan infrastruktur tidak dapat dirasakan secara instan. Terlebih lagi hingga sekarang, masih banyak proyek yang belum 100% rampung.
Berkaca pada anggaran tahun 2018, The Economist menilai Jokowi telah "berubah arah". Perhatian pemerintah terbagi sehingga membuat anggaran belanja modal untuk infrastruktur justru menurun, dan digantikan dengan belanja subsidi.
Memang benar, anggaran belanja modal taun 2018 banyak dipangkas, bahkan berkurang hingga 11% dari 2017. Sepanjang 2018, realisasi belanja modal hanya 90%, merupakan salah satu yang terendah di tahun itu. Sebagai gantinya subsidi membengkak, dimana realisasinya 138% dari APBN. Terlebih subsidi BBM dan LPG yang kebobolan lebih dari dua kali lipat (207%) dari APBN.
Anggaran Belanja Pemerintah 2015-2018 (Rp Triliun)

Harga minyak dunia yang naik dan keperkasaan dolar diduga menjadi alasan pemerintah harus menggali kocek lebih dalam demi memenuhi kebutuhan subsidi dalam negeri. Memang pada saat itu harga dolar sedang di atas angin karena suku bunga acuan The Fed yang naik hingga 4 kali. Tercatat rata-rata tahunan harga 1 US$ adalah Rp 14.229.
Namun harusnya nilai ekspor non-migas juga mendapat keuntungan dari tingginya nilai dolar pada 2018. Sebab, nilai ekspor non-migas juga ikut meningkat, yang bisa menambah pendapatan negara dari pajak ekspor.
Sayangnya, surplus perdagangan RI di 2018 malah mencatatkan nilai yang terendah sepanjang masa kekuasaan Jokowi. Dalangnya lagi-lagi harga komoditas yang merosot, dimana harga minyak sawit anjlok 15,26% dan karet amblas 16,26% sepanjang 2018. Bila saja ketergantungan ekspor non migas terhadap harga-harga komoditas dapat dikurangi, pasti hasilnya akan berbeda.
Surplus Non-Migas RI (US$ miliar)

Besarnya pengaruh harga komoditas juga menunjukkan bahwa barang-barang ekspor dari Indonesia masih kurang nilai tambah. Data pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik juga memperlihatkan hal yang senada. Rata-rata pertumbuhan produksi pada periode 2015-2017 ternyata hanya sebesar 4,5%, yang mana lebih kecil daripada periode 2012-2014 yang sebesar 4,9%.
Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar dan Sedang (%)

Nampaknya memang benar jika pemerintah perlu menaruh perhatian lebih pada industri manufaktur, seperti yang ditulis The Economist.
"Ketika Jokowi menjabat, Bank Dunia menghitung bahwa tingkat pertumbuhan potensial Indonesia adalah 5,5%. Cara terbaik untuk meningkatkan jumlah itu adalah dengan menghidupkan kembali sektor manufaktur, meniru negara-negara Asia lainnya dengan menjadi bagian dari rantai pasokan global," demikian isi artikel The Economist, Kamis (25/1/2019).
SUMBER
THE ECONOMIST MASUK KELOMPOK KAMPRET KAH ???
SAMPAI BERANI MENGKRITIK JOKOWI!!!
GANYANG THE ECONOMIST



2
2.3K
Kutip
9
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan