Kaskus

Entertainment

faster10Avatar border
TS
faster10
Kebijakan Diskriminatif Rezim Orde Baru: Bersih Diri dan Bersih Lingkungan
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah novel berjudul 'Pulang: Sebuah Novel' karangan Leila S. Chudori yang berlatar kejadian dua generasi: 1968 (kelanjutan peristiwa berdarah G30S/PKI) dan 1998 (runtuhnya rezim Orde Baru). Namun disini penulis akan berfokus pada topik Bersih Diri, Bersih Lingkungan: kebijakan diskriminatif pemerintah yang berkuasa saat itu pada eks-tahanan politik dan keturunannya. Baiklah, dengan ditemani secangkir kopi dan sepiring cemilan, mari kita masuk pada topik utama kita kali ini.

Kebijakan Diskriminatif Rezim Orde Baru: Bersih Diri dan Bersih Lingkungan

Bersih Diri, Bersih Lingkungan adalah sebuah kebijakan yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru lewat Departemen Dalam Negeri yang mana pada saat itu, Eks-tahanan politik (ditahan karena dianggap berhaluan politik kiri atau sering disebut komunis, baik sebagai anggota ataupun simpatisan) suami atau istri Eks-tahanan politik, dan keturunan-keturunan Eks-tahanan politik dilarang untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan (berpolitik maupun menjadi PNS) ataupun memiliki profesi yang dianggap dapat mempengaruhi masyarakat seperti TNI/POLRI, guru, pendeta dan lain-lain. Kebijakan diskriminatif pemerintah ini ditandai dengan pembuatan Kartu Tanda Penduduk khusus bagi orang-orang yang 'tidak bersih diri' dan 'tidak bersih lingkungan', pada KTP mereka akan tertera tulisan ET (Eks-tahanan politik). Hal tersebut membuat sang pemilik KTP akan dipersulit melakukan aktifitas apapun yang berhubungan dengan pemerintah, seperti melamar kerja ke BUMN (Badan Usaha Milik Negara) ataupun menuntut ilmu di perguruan tinggi negeri yang pada dasarnya adalah hak setiap orang untuk memperoleh pendidikan.

Pada beberapa kesempatan, penulis berhasil mewawancarai salah seorang yang pernah berada pada zaman itu. Saat itu, narasumber yang ingin melamar kerja di salah satu perusahaan BUMN di Bandung, Jawa Barat harus melewati litsus (penelitian khusus). Penelitian khusus ini dilakukan dengan menelusuri jejak leluhur sang calon pegawai hingga 2-3 generasi di atasnya untuk mengetahui apakah pernah ada riwayat 'komunis' atau riwayat 'G30S/PKI' dalam keluarga sang calon pegawai. Pada tahap ini, narasumber yang penulis wawancarai berhasil melewati tahap ini dan dianggap sudah 'bersih diri' dan 'bersih lingkungan'. Sampai sejauh ini, penulis masih belum berhasil mewawancarai narasumber yang pernah merasakan langsung sistem ini diterapkan padanya (orang-orang yang dianggap tidak bersih diri dan lingkungan).

Kebijakan ini memang sangat mendiskriminasi orang-orang ET pada saat itu, bukan saja mereka, bahkan orang-orang yang tidak bersalah seperti istri dan keturunannya juga ikut merasakan dampak dari aturan ini. Selain itu, banyak orang-orang yang kebetulan sedang berada di negara 'komunis' seperti Cekoslovakia, Rusia, Kuba dan lain-lain yang status kewarganegaraannya di cabut pemerintah karena dianggap terlibat komunis, walau faktanya mereka disana sedang menuntut ilmu, bekerja, ataupun hal-hal lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan komunis.

Salah seorang yang pernah merasakan menjadi bagian dari Eks-tahanan politik adalah sastrawan terkenal Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Ia pernah ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik (sebelumnya pernah ditahan 3 tahun sebagai tahanan Kolonial Belanda dan 1 tahun pada masa Orde Lama), lalu bebas dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.

Selain diperlakukan tidak adil di mata hukum, para ET juga harus menanggung sanksi sosial seperti dikucilkan di dalam lingkungan sosialnya. Banyak masyarakat yang memandang sinis pada para Eks-tahanan politik padahal mereka yang mendapatkan predikat 'ET' itu mayoritas tanpa melalui proses hukum yang jelas dan transparan. Pada tahun 1998, setelah kejatuhan sang pemimpin Orde Baru: Presiden Soeharto, para ET yang sebelumnya mendapat diskriminasi berat mulai di terima kembali di lingkungan sosialnya dan juga mulai mendapatkan kembali haknya sebagai 'rakyat Indonesia'. Namun, banyak para ET yang terjebak di luar negeri dan tak bisa kembali ke Indonesia pada zama Orde Baru yang memutuskan untuk menetap disana dan tak kembali lagi ke Indonesia walaupun kebijakan bersih diri dan bersih lingkungan sudah ditiadakan.
 
 Akhir kata, Terimakasih! Adios Amigos
Diubah oleh faster10 24-01-2019 21:45
2
1.8K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan