- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Kepala BNPT: Ba'asyir "Hardcore", Tak Mau Ikut Program Deradikalisasi


TS
ikardus
Kepala BNPT: Ba'asyir "Hardcore", Tak Mau Ikut Program Deradikalisasi
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ( BNPT) Suhardi Alius menuturkan, Abu Bakar Ba'asyir termasuk dalam kategori narapidana terorisme dengan paham radikal yang kuat.
Pasalnya Ba'asyir selama di tahanan menolak untuk mengikuti program deradikalisasi sebagai salah satu mekanisme pembebasan narapidana terorisme, bersyarat maupun murni.
"Hardcore, tetap menolak sama sekali tidak mau ikut itu (program deradikalisasi), karena kan bertentangan. Hardcore sama sekali enggak mau," ujar Suhardi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Baca juga: Pakar Hukum: Syarat Ikrar Setia NKRI Berlaku untuk Bebas Bersyarat Baasyir
Menurut Suhardi, program deradikalisasi diterapkan bagi seluruh narapidana terorisme. Kemudian pemerintah membentuk tim assessment yang terdiri dari BNPT, Lapas, Kejaksaan Agung dan Densus 88.
Tim tersebut bertugas melakukan monitoring atau pengawasan secara periodik terkait ideologi radikal sebelum narapidana terorisme diberikan pembebasan bersyarat.
"Ada program deradikalisasi yang kami terapkan pada napi terorisme. Tapi ada juga orang-orang yang hardcore itu tidak mau melaksanakan program deradikalisasi," kata Suhardi.
Suhardi mengatakan, narapidana terorisme yang masih memiliki paham radikal berpotensi mempengaruhi orang lain ketika bebas.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengurangi iedologi atau paham radikal yang dimiliki seseorang. Oleh sebab itu, kata Suhardi, program deradikalisasi diterapkan di dalam dan di luar Lapas.
"Orang jadi radikal itu butuh waktu panjang, enggak setahun dua tahun. Jangan berharap mereka divonis menjalani hukuman, dua-tiga tahun berubah, no way," ucap dia.
Baca juga: Sekjen PDI-P Yakin Pembatalan Pembebasan Baasyir Tak Ganggu Elektabilitas Jokowi
"Makanya program deradikalisasi BNPT itu di dalam lapas dan luar lapas, bukan cuma napiter dan mantan napiter, tapi sekeluarganya, karena mereka semua sebenarnya terpapar (paham radikal)," tutur Suhardi.
Seminggu sebelum rencana pembebasan, Kordinator Kuasa Hukum Abu Bakar Baasyir, Ahmad Michdan, pernah mengatakan mereka pun berencana agar Abu Bakar Baasyir terlibat dalam program deradikalisasi pemerintah terhadap mantan terorisme. Menurut dia, pemahamam Abu Bakar Baasyir tentang agama mampuni untuk menanggulangi terorisme.
"Selain itu, beliau kan pendakwah, jadi tidak akan berhenti berdakwah Tetapi pastinya kami belum juga tahu, karena untuk jalan pun ustadz susah, jadi kalau ada yang minta nasihat pasti akan diberikan pencerahan," kata Ahmad Michdan saat ditemui di Jakarta Selatan pada Sabtu, 19 Januari 2019.
Pada 16 Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ba'asyir sebagai Amir Jamaah Anshorud Tauhid (JAT) terbukti merencanakan atau menggerakkan pelatihan militer bersama Dulmatin alias Yahyah Ibrahim alias Joko Pitono.
Perencanaan yang dilakukan Ba'asyir termasuk mendanai kegiatan. Ba'asyir terbukti mengumpulkan dana dari berbagai pihak, seperti dari Hariadi Usman sebesar Rp 150 juta dan Dr Syarif Usman sebesar Rp 100 juta.
Baca juga: 5 Poin Isi Pertemuan Kuasa Hukum Baasyir dan Fadli Zon
Ba'asyir juga dinyatakan terbukti menghasut untuk melakukan perbuatan teror. Hasutan itu diwujudkan para peserta pelatihan dengan melakukan penyerangan dengan senjata api kepada polisi dan fasilitas umum.
Dari semua pertimbangan dan fakta persidangan itu, majelis hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara. Ba'asyir ditahan di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Kemudian pada akhir 2018, kuasa hukum Ba'asyir yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) mengajukan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan perhitungan TPM, Ba'asyir sudah menjalani 2/3 masa hukumannya, sebagai syarat pemberian pembebasan bersyarat, pada 13 Desember 2018.
sumber https://nasional.kompas.com/read/201...deradikalisasi
Pasalnya Ba'asyir selama di tahanan menolak untuk mengikuti program deradikalisasi sebagai salah satu mekanisme pembebasan narapidana terorisme, bersyarat maupun murni.
"Hardcore, tetap menolak sama sekali tidak mau ikut itu (program deradikalisasi), karena kan bertentangan. Hardcore sama sekali enggak mau," ujar Suhardi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/1/2019).
Baca juga: Pakar Hukum: Syarat Ikrar Setia NKRI Berlaku untuk Bebas Bersyarat Baasyir
Menurut Suhardi, program deradikalisasi diterapkan bagi seluruh narapidana terorisme. Kemudian pemerintah membentuk tim assessment yang terdiri dari BNPT, Lapas, Kejaksaan Agung dan Densus 88.
Tim tersebut bertugas melakukan monitoring atau pengawasan secara periodik terkait ideologi radikal sebelum narapidana terorisme diberikan pembebasan bersyarat.
"Ada program deradikalisasi yang kami terapkan pada napi terorisme. Tapi ada juga orang-orang yang hardcore itu tidak mau melaksanakan program deradikalisasi," kata Suhardi.
Suhardi mengatakan, narapidana terorisme yang masih memiliki paham radikal berpotensi mempengaruhi orang lain ketika bebas.
Butuh waktu bertahun-tahun untuk mengurangi iedologi atau paham radikal yang dimiliki seseorang. Oleh sebab itu, kata Suhardi, program deradikalisasi diterapkan di dalam dan di luar Lapas.
"Orang jadi radikal itu butuh waktu panjang, enggak setahun dua tahun. Jangan berharap mereka divonis menjalani hukuman, dua-tiga tahun berubah, no way," ucap dia.
Baca juga: Sekjen PDI-P Yakin Pembatalan Pembebasan Baasyir Tak Ganggu Elektabilitas Jokowi
"Makanya program deradikalisasi BNPT itu di dalam lapas dan luar lapas, bukan cuma napiter dan mantan napiter, tapi sekeluarganya, karena mereka semua sebenarnya terpapar (paham radikal)," tutur Suhardi.
Seminggu sebelum rencana pembebasan, Kordinator Kuasa Hukum Abu Bakar Baasyir, Ahmad Michdan, pernah mengatakan mereka pun berencana agar Abu Bakar Baasyir terlibat dalam program deradikalisasi pemerintah terhadap mantan terorisme. Menurut dia, pemahamam Abu Bakar Baasyir tentang agama mampuni untuk menanggulangi terorisme.
"Selain itu, beliau kan pendakwah, jadi tidak akan berhenti berdakwah Tetapi pastinya kami belum juga tahu, karena untuk jalan pun ustadz susah, jadi kalau ada yang minta nasihat pasti akan diberikan pencerahan," kata Ahmad Michdan saat ditemui di Jakarta Selatan pada Sabtu, 19 Januari 2019.
Pada 16 Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Ba'asyir sebagai Amir Jamaah Anshorud Tauhid (JAT) terbukti merencanakan atau menggerakkan pelatihan militer bersama Dulmatin alias Yahyah Ibrahim alias Joko Pitono.
Perencanaan yang dilakukan Ba'asyir termasuk mendanai kegiatan. Ba'asyir terbukti mengumpulkan dana dari berbagai pihak, seperti dari Hariadi Usman sebesar Rp 150 juta dan Dr Syarif Usman sebesar Rp 100 juta.
Baca juga: 5 Poin Isi Pertemuan Kuasa Hukum Baasyir dan Fadli Zon
Ba'asyir juga dinyatakan terbukti menghasut untuk melakukan perbuatan teror. Hasutan itu diwujudkan para peserta pelatihan dengan melakukan penyerangan dengan senjata api kepada polisi dan fasilitas umum.
Dari semua pertimbangan dan fakta persidangan itu, majelis hakim PN Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 15 tahun penjara. Ba'asyir ditahan di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.
Kemudian pada akhir 2018, kuasa hukum Ba'asyir yang tergabung dalam Tim Pengacara Muslim (TPM) mengajukan pembebasan bersyarat.
Berdasarkan perhitungan TPM, Ba'asyir sudah menjalani 2/3 masa hukumannya, sebagai syarat pemberian pembebasan bersyarat, pada 13 Desember 2018.
sumber https://nasional.kompas.com/read/201...deradikalisasi
0
2.6K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan