- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Melacak Jejak Kelahiran El Clasico (VERSI KOMPREHENSIF)


TS
madridzoners116
Melacak Jejak Kelahiran El Clasico (VERSI KOMPREHENSIF)

Kita sudah terbiasa untuk menyebut bahwa laga antara Real Madrid dan Barcelona sebagai "El Clasico". Melihat apa yang sudah dicapai kedua klub itu sepanjang sejarahnya, tajuk itu memang sama sekali tidak berlebihan.
Kedua klub itu memang merupakan produk terbaik persepakbolaan Spanyol. Dengan deretan pemain kelas dunia yang menjadi penggawanya, kedua klub itu pun kemudian mampu meraih prestasi serta reputasi yang membuat mereka menjadi seperti sekarang ini.
Menyebut laga Real Madrid dan Barcelona sebagai "El Clasico" pun menjadi sebuah hal yang otomatis. Namun, kapan dan bagaimana sebenarnya laga ini menjadi El Clasico untuk pertama kalinya?
11 Juni 1943, Barcelona bertandang ke Estadio Chamartin, kandang Real Madrid. Ketika itu Stadion Santiago Bernabeu memang belum dibangun. Sebelum Bernabeu dibuka pada 1947, Estadio Chamartin-lah rumah El Real sejak tahun 1924.
Pertandingan hari itu adalah leg kedua semifinal Copa del Generalissimo. Sekarang, turnamen ini dikenal dengan sebutan Copa del Rey. Ketika itu, ia disebut sebagai "Copa del Generalissimo" karena pemimpin tertinggi Spanyol adalah seorang jenderal bengis bernama Francisco Franco.
Ketika itu, bukan Barcelona maupun Real Madrid yang merupakan kekuatan utama persepakbolaan Spanyol, melainkan Atletico Bilbao (sekarang Athletic Bilbao). Kedua tim sama-sama sudah lama tidak menjadi juara di kompetisi domestik dan sebenarnya, pertandingan hari itu tidak memiliki nilai prestise apa-apa selain untuk menentukan siapa yang bakal melaju ke final Piala Spanyol.
Barcelona datang ke Chamartin dengan mengantongi keunggulan 3-0 pada laga kandang yang sebelumnya dihelat di Camp de Les Corts --Camp Nou baru mulai digunakan pada 1957. Membalikkan keadaan, buat Madrid, setelah kalah tiga gol tentunya bukan perkara mudah. Barcelona baru saja mengalaminya saat disingkirkan Juventus di perempat final Liga Champions beberapa hari lalu.
Itulah mengapa, optimisme merekah di dada anak-anak asuh Angel Mur. Pokoknya, hanya keajaiban --atau hal-hal di luar nalar lainnya-- yang bakal bisa membuat Barcelona kalah di tangan Real Madrid.
Celakanya, hari itu adalah satu dari sekian banyak hari di mana "keajaiban dan hal-hal di luar nalar lainnya" terjadi. Hari itu, Real Madrid mampu membayar lunas defisit tiga gol dan bahkan membuatnya menjadi keunggulan agregat tujuh gol. Ya, di papan skor Chamartin hari itu, skor yang terpampang seusai peluit panjang berbunyi adalah Real Madrid 11, Barcelona 1.
11-1? Ya, 11-1.
Itulah rekor kemenangan Real Madrid atas Barcelona sampai sekarang ini. Akan tetapi, coba tanyakan pada penggemar Real Madrid mana pun tentang kemenangan itu. Tidak ada dari mereka yang bangga atau bahkan sudi mengakui keberadaan skor tersebut. Pasalnya, mereka tahu betul bahwa kemenangan itu tidak mereka raih dengan peluh mereka sendiri.
***
Saat Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, Spanyol memang tidak ambil bagian di dalamnya. Bukan karena mereka merupakan negara netral seperti Swiss, tetapi karena mereka sudah disibukkan dengan Perang Saudara yang terjadi antara 1936-1939.
Meski begitu, perang saudara itu adalah sebuah proxy war antara pihak-pihak yang kemudian terlibat baku tembak di Perang Dunia. Kelompok Republikan yang berhaluan politik kiri serta didukung Uni Soviet berperang melawan kelompok Nasionalis yang berhaluan politik kanan serta didukung Nazi Jerman dan Italia-nya Benito Mussolini.
Perang itu dimulai saat Angkatan Bersenjata Republik Spanyol menyatakan diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan sah Presiden Manuel Azana yang terpilih secara demokratis untuk memimpin Republik Kedua Spanyol pada 1936.
Kelompok Nasionalis pimpinan Jose Sanjurjo itu didukung oleh kelompok-kelompok konservatif lain seperti Konfederasi Kelompok-kelompok Sayap Kanan Otonom Spanyol (CEDA), kelompok Katolik konservatif Carlismo, dan kelompok Falangis pimpinan Francisco Franco. Sanjurjo sendiri akhirnya terbunuh dan perlawanan kelompok Nasionalis diambil alih oleh Franco.
Awalnya, kelompok Nasionalis dapat dengan mudah menguasai kota-kota seperti Pamplona, Burgos, Zaragoza, Valladolid, Cadiz, Cordoba, dan Sevilla. Sementara, kota-kota seperti Madrid, Barcelona, Valencia, Malaga, dan Bilbao berhasil dipertahankan oleh kelompok Republikan. Perang Saudara yang terjadi kemudian adalah pertempuran untuk memperebutkan lima kota penting tersisa itu.

Kota Barcelona sendiri menjadi front terakhir pertempuran. Pada dasarnya, memang tidak mudah untuk menjinakkan kota yang dari sebelumnya saja sudah menjadi simbol otonomi khusus Catalunya. Akhirnya, seiring dengan ditaklukannya Barcelona, Perang Saudara berakhir dan rezim fasis Franco pun dimulai.
Sebagaimana pemimpin fasis lainnya, Franco tidak memperkenankan kebinekaan. Daerah-daerah yang selama ini meminta otonomi khusus, Catalunya, Basque, dan Galicia, menjadi daerah yang paling keras menerima opresi sang jenderal. Pokoknya, di Spanyol semua harus menunggal di bawah identitas Castilla, sebuah wilayah tempat Kota Madrid berada.
Segala hal, mulai dari bahasa sampai karya seni yang menunjukkan identitas kedaerahan dilarang. "Uniknya", seperti halnya Joseph Stalin yang aslinya adalah orang Georgia dan Adolf Hitler yang sebenarnya adalah orang Austria, Franco lahir dan besar di Galicia. Dia seperti ingin mengompensasi rasa malu terhadap asal-usulnya dengan memaksa wilayah lain untuk menanggalkan pula identitas asli mereka.
Di bawah Franco, sepak bola memang menjadi salah satu cara paling aman untuk mengekspresikan ke-Catalunya-an atau ke-Basque-an seseorang. Ketika Barcelona dan Athletic Bilbao turun berlaga, mereka menjadi perwakilan orang-orang yang terepresi di dunia nyata. Kemenangan Barcelona dan Bilbao pun kemudian dimaknai sebagai kemenangan orang-orang Catalunya dan Basque itu sendiri.
Franco bukannya tidak paham akan hal ini. Sebagai seorang pemimpin fasis, dia tahu betul apa arti olahraga, khususnya sepak bola, bagi perpolitikan. Dua rekannya, Mussolini dan Hitler, pernah secara banal menggunakan olahraga sebagai ajang untuk menegaskan kekuasaan mereka, yakni pada Piala Dunia 1934 dan Olimpiade 1936.
Hari itu, 11 Juni 1943, Franco melakukan hal serupa. Tahu bahwa usia kediktatorannya masih prematur dan rentan, dia menggunakan Real Madrid untuk melakukan pekerjaan kotor untuknya. Dengan menghancurkan Barcelona, secara tidak langsung Franco juga bakal membungkam orang-orang Catalunya yang sampai saat itu masih berisik.
Di Les Corts, para pemain Real Madrid memang mendapat sambutan yang tidak ramah. Setiap kali pemain-pemain bersergam putih menguasai bola, para suporter yang hadir pasti langsung menyoraki dan menyiuli mereka. Para pemain Madrid pun akhirnya menyerah dan atas hal ini, Barcelona pun kemudian didenda oleh federasi.
Melihat apa yang terjadi di Les Corts, seorang jurnalis Marca, Ernesto Teus, kemudian menuliskan sebuah reviu yang membuat para pemain serta suporter Real Madrid mendidih. Oleh Teus yang seorang Madridista itu, para pemain Los Blancos dinilai lembek dan tidak punya insting membunuh.
Maka dari itu, ketika para pemain Barcelona datang ke Chamartin, sambutan “meriah” yang diterima para pemain Real Madrid di Les Corts pun dilipatgandakan. Di tribun, para suporter Real Madrid menjadi sosok-sosok haus darah yang tak bosan-bosannya menyerukan ancaman pembunuhan bagi para pemain Barcelona.
Namun, hal itu belum seberapa. Di ruang ganti, para pemain Barcelona didatangi oleh seseorang – ada yang menyebut “seseorang” itu sebagai tangan kanan Franco – dan “diberi tahu” bahwa mereka seharusnya berterima kasih karena masih diizinkan menjadi bagian dari Spanyol dan bermain sepak bola.
Tiga puluh menit laga berjalan, Real Madrid memimpin dengan keunggulan dua gol. Namun, seorang pemain Barcelona kemudian diusir wasit atas sebuah pelanggaran yang seharusnya tidak berbuah usiran. Baru setelah itu pertandingan benar-benar berhenti menjadi pertandingan dan berubah menjadi sebuah pembantaian.
Pada lima belas menit terakhir babak pertama, gawang Lluis Miro bobol enam kali. Skor 8-0 pun terpampang di papan skor saat turun minum, dan kemudian harus rela dibobol tiga kali lagi pada babak kedua. Sementara, Barcelona hanya mampu mencetak satu gol ke gawang tim tuan rumah.
Miro sendiri pada pertandingan itu tidak berani berada terlalu dekat dengan gawang. Pasalnya, dia terus-terusan diteriaki dan dilempari dengan benda-benda keras seperti koin dan silet.
Seusai pertandingan, Presiden Barcelona, Enrique Pinyero Queralt, langsung mengundurkan diri. Pasalnya, dia sebenarnya adalah boneka Franco di Barcelona yang ditunjuk untuk mengawal depolitisasi klub. Tak hanya itu, sebelum pertandingan, Pinyero juga sudah menyurati pihak klub Real Madrid agar tensi pertandingan bisa diturunkan. Setelah upayanya itu gagal, Pinyero mundur.

Tak hanya Pinyero, salah satu orang berpengaruh lain yang begitu terpukul atas kejadian ini adalah Juan Antonio Samaranch. Seperti halnya Pinyero, Samaranch juga merupakan seorang loyalis Franco.
Samaranch adalah seorang jurnalis yang meski punya haluan politik ekstrem kanan, masih percaya bahwa olahraga seharusnya tetap harus diselenggarakan di dalam koridor sportivitas. Sebagai orang Barcelona, yang tak terima dengan perlakuan yang diterima Blaugrana di Chamartin, Samaranch kemudian menulis sebuah artikel yang mengutuk hal tersebut.
Hasilnya? Juan Antonio Samaranch dilarang untuk menulis selama 10 tahun lamanya. Samaranch sendiri nantinya bakal punya karier menterang di dunia olahraga, termasuk ketika dia menjadi Ketua Komite Olimpiade Internasional. Pria kelahiran 17 Juni 1920 ini wafat tahun 2010 lalu di usia 89 tahun.
***
Di partai puncak, Real Madrid akhirnya takluk dari Athletic Bilbao yang diperkuat Telmo Zarra. Adapun, meski berhasil menjadi juara Copa del Generalissimo pada 1946, mereka tidak mampu menjadi juara liga sampai musim 1953/54. Sekeras apapun rezim Franco berusaha mengatur kemenangan Madrid, Barcelona dan Bilbao-lah yang menjadi kekuatan dominan.
Ketika Madrid akhirnya menjadi juara liga, mereka sudah berada di bawah kepemimpinan Santiago Bernabeu Yeste dan semenjak itu mereka baru benar-benar menjadi klub kesayangan Franco. Dengan skuat bertabur bintang, mereka melebarkan kekuasaan tak hanya di Spanyol saja, melainkan sampai ke Benua Eropa.
Oleh Franco, keberhasilan Real Madrid itu dipolitisasi habis-habisan. Ia dijadikan bukti betapa berhasilnya rezim fasis Franco di Spanyol. Sampai kematiannya pada 1975, Franco tak pernah berhenti memerangi Barcelona dan Athletic Bilbao. Itulah mengapa, saat sang jenderal mangkat, rakyat Catalunya dan Basque berpesta pora.
Kini, Athletic Bilbao yang masih bersikeras untuk menggunakan pemain lokal Basque saja memang sudah tertinggal jauh dari Barcelona dan Real Madrid. Itulah mengapa, meski secara historis Athletic Bilbao adalah satu dari tritunggal suci persepakbolaan Spanyol, hanya laga antara Real Madrid dan Barcelona sajalah yang berhak menyandang tajuk “El Clasico”.
SUMBER : https://kumparan.com/@kumparanbola/m...ran-el-clasico
-1
2.2K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan