- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Mungupas Target Tax Ratio 16 Persen ala Prabowo: Ideal tapi Tak Realistis
TS
ikardus
Mungupas Target Tax Ratio 16 Persen ala Prabowo: Ideal tapi Tak Realistis
tirto.id - Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto saat debat perdana yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta Selasan, 17 Januari menyatakan akan menaikkan tax ratio Indonesia yang saat ini berada di angka 11,5 persen menjadi 16 persen. Prabowo melakukannya untuk menggenjot penerimaan negara sehingga ia dapat menaikkan gaji Aparat Sipil Negara (ASN).
Ide tersebut dilontarkan Prabowo saat menjawab pertanyaan Ira Koesno tentang mewujudkan birokrasi yang bebas dari korupsi dalam debat yang mengulas tema soal hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Saat itu, Ira Koesno, moderator debat pilpres menjelaskan untuk menduduki jabatan publik, seringkali dibutuhkan biaya yang tinggi. Kondisi ini yang bisa memicu perilaku korupsi oleh penyelenggara negara.
Solusi yang ditawarkan Prabowo adalah dengan meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan aparat melalui kenaikan tax ratio. Dalam debat, ia menjelaskan secara rinci target kenaikan tax ratio itu.
“Berkali-kali saya sampaikan di ruang publik. Akar masalahnya adalah penghasilan pegawai negeri dan birokrat itu kurang. Tidak realistis. Kalau memimpin pemerintahan, saya akan perbaiki kualitas hidup dengan realistis. Uangnya dari mana? Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang di [angka] 10 persen,” kata Prabowo.
Pernyataan Prabowo tentu ada benarnya. Sebab, tax ratio di angka 16 persen bukanlah hal baru lantaran telah lama direkomendasikan oleh lembaga internasional, seperti World Bank dan IMF.
Apalagi kinerja tax ratio selama ini dalam tren terus menurun, setidaknya sejak 2012. Dari sebelumnya 11,36 persen turun menjadi 10,75 persen pada 2015. Lalu, turun lagi menjadi 10,36 persen, naik tipis ke 10,8 persen pada 2017, dan naik lagi menjadi 11,6 persen pada 2018.
Berdasarkan data Bank Dunia, kinerja rasio pajak Indonesia juga menjadi salah satu yang terendah di dunia. Angkanya bahkan paling rendah jika dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 13-15 persen dari PDB.
Gara-gara rasio pajak Indonesia yang rendah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sempat malu. Sebab, standar rasio pajak di suatu negara yang pantas adalah 15 persen. Sri Mulyani mengatakan akan memperbaikinya dengan melanjutkan berbagai reformasi perpajakan yang akan semakin dipercepat utamanya sejak dilaksanakannya tax amnesty sehingga telah didapatkan data informasi pajak baru sejak akhir tahun 2016 lalu.
Karena itu, Kementerian Keuangan pun menetapkan target 15 persen rasio pajak untuk dicapai pada tahun 2020.
Ekonom cum Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo mengatakan jika peningkatan rasio pajak sebesar 16 persen bisa dilakukan. Strateginya, kata politikus PAN ini, pasangan Prabowo-Sandi akan melakukan pengurangan tarif pajak.
Drajad merujuk pada konsep Kurva Laffer oleh Arthur B. Laffer, ekonom Amerika Serikat (AS) yang pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan. Konsep ini menyatakan penerimaan perpajakkan besar karena tarif rendah dan sebaliknya.Konsep Kurva Laffer ini .Namun, Drajad lebih suka menyebutnya sebagai tarif pajak yang kompetitif dari perhitungan tarif optimal.
Alasan ini, kata Drajad, juga menjelaskan mengapa konsep Sandiaga Uno untuk menurunkan tarif pajak bagi pribadi hingga UMKM tidak bertentangan dengan kepentingan meningkatkan tax ratio.
“Kalau tarif pajak rendah, mereka akan malu kok masih ngemplang pajak. Buat apa menyogok lagi? Kalau tarif pajak kompetitif, perusahaan yang memindahkan keuntungan ke luar negeri akan rugi,” kata Drajad saat dihubungi reporter Tirto.
Sebaliknya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN( Jokowi-Ma'ruf, Jhony G Plate menampik bila tax ratio pemerintah saat ini disebut rendah. Ia mengatakan penerimaan pajak dari 2014 ke 2018 telah meningkat sebanyak 20 persen.
Menurut Jhony rendahnay rasio pajak lebih disebabkan karena kenaikan penerimaan pajak yang lebih rendah dibanding kenaikan PDB. Sebab, kata anggota Komisi XI DPR RI ini, tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB.
“Jadi jangan seenaknya ngomong tax ratio 16 persen. Kami juga senang kalau bisa menaikkan ke angka itu. Tapi harus rasional. Kami akan mengusahakan peningkatan PDB seimbang dengan penerimaan pajak,” kata politikus Nasdem ini.
Lagi pula, kata Jhony, saat ini penerimaan pajak pemerintah sudah semakin baik. Sebab, hal itu didukung reformasi pajak melalui kehadiran tax amnesty dan Automatic Exchange of Information (AEOI). Ia mengklaim kedua program itu telah berhasil meningkatkan basis pajak saat ini.
Berikut data penerimaan perpajakan
- 2014 sebesar Rp 1.146,9 triliun
- 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun
- 2016 sebesar Rp 1.285,0 triliun
- 2017 sebesar Rp 1.343,5 triliun
- 2018 sebesar Rp 1.548,5 triliun
- 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun (APBN)

Infografik CI Penerimaan Negara Dari Pajak
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai sistem perpajakan Indonesia tidak dapat disederhanakan dengan konsep perhitungan tarif optimal.
Sebab, kata Yustinus, setiap orang menerima pengurangan dan insentif yang telah ditetapkan pemerintah sehingga tarifnya pun berbeda-beda.
Selain itu, Yustinus menilai tarif pajak Indonesia dibanding negara lain tergolong masuk akal. Belum lagi, penurunan tarif tidak selalu diikuti dengan kenaikan tax ratio.
“Secara empirik tidak bisa dicari korelasi apakah tarif pajak turun, akan ada kenaikan pajak. Di Indonesia juga perlu diuji. Waktu 2009 kita turunkan tarif PPh, malah tax ratio-nya turun,” kata Yustinus.
Yustinus juga membenarkan bila kue penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi hasil PDB. Namun, ia menyoroti hal itu sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah menggenjot perekonomian yang tengah stagnan.
“Pemerirtah, kan, obral insentif supaya ekonomi maju. Jadi tidak heran mengorbankan pajak juga,” kata Yustinus.
Terkait reformasi perpajakan, Yustinus mengatakan bila tingkat kepatuhan pajak mengalami peningkatan lantaran membaiknya kesadaran masyarakat dan administrasi.
Namun, Yustinus menganggap kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak dapat diklaim begitu saja sebagai keberhasilan.
“Jokowi dengan JK dan Ma’aruf itu beda. Apa yang sedang dilakukan harus terus dievaluasi dan dikritik, meskipun Jokowi pegang kekuasaan,” kata Yustinus.
Mengutip Kristian Agung Prasetyo, seorang Widyaiswara Muda Pusdiklat Pajak dalam artikel berjudul "Quo Vadis Tax Ratio Indonesia" (2014), rasio pajak yang rendah disebabkan karena penerimaan pajak yang rendah.
Terdapat sejumlah faktor yang membuat penerimaan negara tak maksimal, mulai dari banyaknya wajib pajak yang tidak melaporkan seluruh penghasilannya, ada wajib pajak yang menyimpan asetnya di luar negeri, sehingga tidak dapat bisa dipungut pajaknya. Selain itu, adanya perusahaan multinasional yang melakukan transfer pricing, atau mengalihkan penghasilan ke negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah hingga upaya-upaya penghindaran pajak.
Insentif pajak dari pemerintah guna menarik investasi asing bisa juga membuat penerimaan pajak menjadi turun seperti keringanan pajak, penghapusan pajak dan sebagainya. Selain itu, penerimaan pajak tak maksimal diakibatkan administrasi pajak yang ada masih belum efektif.
Di atas kertas, menaikkan tarif pajak berpotensi menaikkan rasio pajak. Namun, konsekuensi dari menaikkan tarif pajak akan membuat beban masyarakat dan dunia usaha semakin berat.

Bisakah Tarif Turun, Rasio Pajak Naik?
Selama masa kampanye, Prabowo-Sandiaga sempat mengungkapkan beberapa kebijakannya terkait penerimaan pajak. Mereka berjanji menurunkan tarif pajak penghasilan, baik wajib pajak (WP) badan maupun WP non badan. Mereka juga menyebutkan tarif baru. Untuk wajib pajak badan atau perusahaan, paslon nomor urut 2 ini akan menurunkan pajak penghasilan badan menjadi 17 persen dari sebelumnya 25 persen.
Baca juga:
Di Balik Kritikan Prabowo ke Jokowi: Rasio Pajak & Cara Bebas Utang
Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai Prabowo-Sandiaga selama ini cukup banyak mengeluarkan janji untuk meringankan beban masyarakat, terutama dari sisi perpajakan. Mulai dari, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) rumah pertama, penghapusan pajak sepeda motor, hingga pembebasan pajak UMKM pelaku bisnis digital untuk dua tahun pertama.
“Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan. Apalagi tingkat kepatuhan kita juga masih rendah, dan basis pajak kita belum bertambah signifikan,” katanya kepada Tirto.
Menurut Yustinus, mengerek rasio pajak hingga 16 persen bukanlah perkara mudah. Apalagi, jika dibarengi dengan keringanan pajak. Hasrat menggenjot rasio pajak dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak.
Baca juga:
Apakah Kemudahan & Keringanan Pajak Bikin Patuh Wajib Pajak?
Apa yang disampaikan Yustinus bisa jadi benar. Misalnya kebijakan keringanan pajak dari Presiden AS Donald Trump. Trump banyak mengeluarkan keringanan pajak, bagi korporasi maupun individu. Untuk pajak individu, tarif pajak tertinggi turun dari 39,6 persen menjadi 37 persen dengan masa berlaku hingga 2025. Sementara untuk pajak badan turun dari 35 persen menjadi 21 persen mulai awal 2018.
Kebijakan Trump memang membuahkan hasil. Pertumbuhan PDB AS misalnya tercatat sekitar 3 persen, di atas prediksi awal sebesar 2 persen. Dari tingkat pengangguran, angkanya menurun menjadi 3,7 persen atau di bawah prediksi awal 4,4 persen.
Namun dari sisi penerimaan negara, hasilnya malah sebaliknya. Penerimaan negara AS pada 2018 hanya naik 0,44 persen menjadi US$3,32 triliun. Hasil itu cukup jauh dari kinerja 2017, di mana penerimaan negara AS mampu tumbuh 1,43 persen.
Pertumbuhan penerimaan negara AS di bawah Trump pada 2018 itu juga menjadi paling rendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, defisit anggaran terhadap PDB juga menjadi yang paling tinggi dalam waktu lima tahun terakhir, yakni sebesar 3,8 persen.
Kondisi ini juga membuat rasio pajak AS terus menurun dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2016, rasio pajak AS tercatat 17,6 persen. Tahun berikutnya turun tipis menjadi 17,2 persen. Pada 2018, rasio pajak turun menjadi 16,4 persen.
(tirto.id - Ekonomi)
sumber https://tirto.id/target-tax-ratio-16...realistis-dePK
Ide tersebut dilontarkan Prabowo saat menjawab pertanyaan Ira Koesno tentang mewujudkan birokrasi yang bebas dari korupsi dalam debat yang mengulas tema soal hukum, HAM, korupsi, dan terorisme.
Saat itu, Ira Koesno, moderator debat pilpres menjelaskan untuk menduduki jabatan publik, seringkali dibutuhkan biaya yang tinggi. Kondisi ini yang bisa memicu perilaku korupsi oleh penyelenggara negara.
Solusi yang ditawarkan Prabowo adalah dengan meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan aparat melalui kenaikan tax ratio. Dalam debat, ia menjelaskan secara rinci target kenaikan tax ratio itu.
“Berkali-kali saya sampaikan di ruang publik. Akar masalahnya adalah penghasilan pegawai negeri dan birokrat itu kurang. Tidak realistis. Kalau memimpin pemerintahan, saya akan perbaiki kualitas hidup dengan realistis. Uangnya dari mana? Saya akan tingkatkan tax ratio yang sekarang di [angka] 10 persen,” kata Prabowo.
Pernyataan Prabowo tentu ada benarnya. Sebab, tax ratio di angka 16 persen bukanlah hal baru lantaran telah lama direkomendasikan oleh lembaga internasional, seperti World Bank dan IMF.
Apalagi kinerja tax ratio selama ini dalam tren terus menurun, setidaknya sejak 2012. Dari sebelumnya 11,36 persen turun menjadi 10,75 persen pada 2015. Lalu, turun lagi menjadi 10,36 persen, naik tipis ke 10,8 persen pada 2017, dan naik lagi menjadi 11,6 persen pada 2018.
Berdasarkan data Bank Dunia, kinerja rasio pajak Indonesia juga menjadi salah satu yang terendah di dunia. Angkanya bahkan paling rendah jika dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 13-15 persen dari PDB.
Gara-gara rasio pajak Indonesia yang rendah, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku sempat malu. Sebab, standar rasio pajak di suatu negara yang pantas adalah 15 persen. Sri Mulyani mengatakan akan memperbaikinya dengan melanjutkan berbagai reformasi perpajakan yang akan semakin dipercepat utamanya sejak dilaksanakannya tax amnesty sehingga telah didapatkan data informasi pajak baru sejak akhir tahun 2016 lalu.
Karena itu, Kementerian Keuangan pun menetapkan target 15 persen rasio pajak untuk dicapai pada tahun 2020.
Ekonom cum Dewan Pakar Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Dradjad Wibowo mengatakan jika peningkatan rasio pajak sebesar 16 persen bisa dilakukan. Strateginya, kata politikus PAN ini, pasangan Prabowo-Sandi akan melakukan pengurangan tarif pajak.
Drajad merujuk pada konsep Kurva Laffer oleh Arthur B. Laffer, ekonom Amerika Serikat (AS) yang pernah menjadi anggota Economic Policy Advisory Board dari Presiden Ronald Reagan. Konsep ini menyatakan penerimaan perpajakkan besar karena tarif rendah dan sebaliknya.Konsep Kurva Laffer ini .Namun, Drajad lebih suka menyebutnya sebagai tarif pajak yang kompetitif dari perhitungan tarif optimal.
Alasan ini, kata Drajad, juga menjelaskan mengapa konsep Sandiaga Uno untuk menurunkan tarif pajak bagi pribadi hingga UMKM tidak bertentangan dengan kepentingan meningkatkan tax ratio.
“Kalau tarif pajak rendah, mereka akan malu kok masih ngemplang pajak. Buat apa menyogok lagi? Kalau tarif pajak kompetitif, perusahaan yang memindahkan keuntungan ke luar negeri akan rugi,” kata Drajad saat dihubungi reporter Tirto.
Sebaliknya, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN( Jokowi-Ma'ruf, Jhony G Plate menampik bila tax ratio pemerintah saat ini disebut rendah. Ia mengatakan penerimaan pajak dari 2014 ke 2018 telah meningkat sebanyak 20 persen.
Menurut Jhony rendahnay rasio pajak lebih disebabkan karena kenaikan penerimaan pajak yang lebih rendah dibanding kenaikan PDB. Sebab, kata anggota Komisi XI DPR RI ini, tax ratio adalah perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB.
“Jadi jangan seenaknya ngomong tax ratio 16 persen. Kami juga senang kalau bisa menaikkan ke angka itu. Tapi harus rasional. Kami akan mengusahakan peningkatan PDB seimbang dengan penerimaan pajak,” kata politikus Nasdem ini.
Lagi pula, kata Jhony, saat ini penerimaan pajak pemerintah sudah semakin baik. Sebab, hal itu didukung reformasi pajak melalui kehadiran tax amnesty dan Automatic Exchange of Information (AEOI). Ia mengklaim kedua program itu telah berhasil meningkatkan basis pajak saat ini.
Berikut data penerimaan perpajakan
- 2014 sebesar Rp 1.146,9 triliun
- 2015 sebesar Rp 1.240,4 triliun
- 2016 sebesar Rp 1.285,0 triliun
- 2017 sebesar Rp 1.343,5 triliun
- 2018 sebesar Rp 1.548,5 triliun
- 2019 sebesar Rp 1.786,4 triliun (APBN)

Infografik CI Penerimaan Negara Dari Pajak
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai sistem perpajakan Indonesia tidak dapat disederhanakan dengan konsep perhitungan tarif optimal.
Sebab, kata Yustinus, setiap orang menerima pengurangan dan insentif yang telah ditetapkan pemerintah sehingga tarifnya pun berbeda-beda.
Selain itu, Yustinus menilai tarif pajak Indonesia dibanding negara lain tergolong masuk akal. Belum lagi, penurunan tarif tidak selalu diikuti dengan kenaikan tax ratio.
“Secara empirik tidak bisa dicari korelasi apakah tarif pajak turun, akan ada kenaikan pajak. Di Indonesia juga perlu diuji. Waktu 2009 kita turunkan tarif PPh, malah tax ratio-nya turun,” kata Yustinus.
Yustinus juga membenarkan bila kue penerimaan pajak tidak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi hasil PDB. Namun, ia menyoroti hal itu sebagai konsekuensi dari upaya pemerintah menggenjot perekonomian yang tengah stagnan.
“Pemerirtah, kan, obral insentif supaya ekonomi maju. Jadi tidak heran mengorbankan pajak juga,” kata Yustinus.
Terkait reformasi perpajakan, Yustinus mengatakan bila tingkat kepatuhan pajak mengalami peningkatan lantaran membaiknya kesadaran masyarakat dan administrasi.
Namun, Yustinus menganggap kerja Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak dapat diklaim begitu saja sebagai keberhasilan.
“Jokowi dengan JK dan Ma’aruf itu beda. Apa yang sedang dilakukan harus terus dievaluasi dan dikritik, meskipun Jokowi pegang kekuasaan,” kata Yustinus.
Mengutip Kristian Agung Prasetyo, seorang Widyaiswara Muda Pusdiklat Pajak dalam artikel berjudul "Quo Vadis Tax Ratio Indonesia" (2014), rasio pajak yang rendah disebabkan karena penerimaan pajak yang rendah.
Terdapat sejumlah faktor yang membuat penerimaan negara tak maksimal, mulai dari banyaknya wajib pajak yang tidak melaporkan seluruh penghasilannya, ada wajib pajak yang menyimpan asetnya di luar negeri, sehingga tidak dapat bisa dipungut pajaknya. Selain itu, adanya perusahaan multinasional yang melakukan transfer pricing, atau mengalihkan penghasilan ke negara lain yang tarif pajaknya lebih rendah hingga upaya-upaya penghindaran pajak.
Insentif pajak dari pemerintah guna menarik investasi asing bisa juga membuat penerimaan pajak menjadi turun seperti keringanan pajak, penghapusan pajak dan sebagainya. Selain itu, penerimaan pajak tak maksimal diakibatkan administrasi pajak yang ada masih belum efektif.
Di atas kertas, menaikkan tarif pajak berpotensi menaikkan rasio pajak. Namun, konsekuensi dari menaikkan tarif pajak akan membuat beban masyarakat dan dunia usaha semakin berat.

Bisakah Tarif Turun, Rasio Pajak Naik?
Selama masa kampanye, Prabowo-Sandiaga sempat mengungkapkan beberapa kebijakannya terkait penerimaan pajak. Mereka berjanji menurunkan tarif pajak penghasilan, baik wajib pajak (WP) badan maupun WP non badan. Mereka juga menyebutkan tarif baru. Untuk wajib pajak badan atau perusahaan, paslon nomor urut 2 ini akan menurunkan pajak penghasilan badan menjadi 17 persen dari sebelumnya 25 persen.
Baca juga:
Di Balik Kritikan Prabowo ke Jokowi: Rasio Pajak & Cara Bebas Utang
Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai Prabowo-Sandiaga selama ini cukup banyak mengeluarkan janji untuk meringankan beban masyarakat, terutama dari sisi perpajakan. Mulai dari, penurunan tarif pajak penghasilan (PPh), penghapusan pajak bumi dan bangunan (PBB) rumah pertama, penghapusan pajak sepeda motor, hingga pembebasan pajak UMKM pelaku bisnis digital untuk dua tahun pertama.
“Penurunan tarif pajak dalam jangka pendek akan menurunkan penerimaan. Apalagi tingkat kepatuhan kita juga masih rendah, dan basis pajak kita belum bertambah signifikan,” katanya kepada Tirto.
Menurut Yustinus, mengerek rasio pajak hingga 16 persen bukanlah perkara mudah. Apalagi, jika dibarengi dengan keringanan pajak. Hasrat menggenjot rasio pajak dalam jangka pendek jelas hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak.
Baca juga:
Apakah Kemudahan & Keringanan Pajak Bikin Patuh Wajib Pajak?
Apa yang disampaikan Yustinus bisa jadi benar. Misalnya kebijakan keringanan pajak dari Presiden AS Donald Trump. Trump banyak mengeluarkan keringanan pajak, bagi korporasi maupun individu. Untuk pajak individu, tarif pajak tertinggi turun dari 39,6 persen menjadi 37 persen dengan masa berlaku hingga 2025. Sementara untuk pajak badan turun dari 35 persen menjadi 21 persen mulai awal 2018.
Kebijakan Trump memang membuahkan hasil. Pertumbuhan PDB AS misalnya tercatat sekitar 3 persen, di atas prediksi awal sebesar 2 persen. Dari tingkat pengangguran, angkanya menurun menjadi 3,7 persen atau di bawah prediksi awal 4,4 persen.
Namun dari sisi penerimaan negara, hasilnya malah sebaliknya. Penerimaan negara AS pada 2018 hanya naik 0,44 persen menjadi US$3,32 triliun. Hasil itu cukup jauh dari kinerja 2017, di mana penerimaan negara AS mampu tumbuh 1,43 persen.
Pertumbuhan penerimaan negara AS di bawah Trump pada 2018 itu juga menjadi paling rendah dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, defisit anggaran terhadap PDB juga menjadi yang paling tinggi dalam waktu lima tahun terakhir, yakni sebesar 3,8 persen.
Kondisi ini juga membuat rasio pajak AS terus menurun dalam tiga tahun terakhir ini. Pada 2016, rasio pajak AS tercatat 17,6 persen. Tahun berikutnya turun tipis menjadi 17,2 persen. Pada 2018, rasio pajak turun menjadi 16,4 persen.
(tirto.id - Ekonomi)
sumber https://tirto.id/target-tax-ratio-16...realistis-dePK
0
2.1K
10
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan