- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
YLKI: Cukai Rokok Tidak Naik Berdampak BPJS Kesehatan Defisit


TS
sukhoivsf22
YLKI: Cukai Rokok Tidak Naik Berdampak BPJS Kesehatan Defisit
Jumat, 11 Januari 2019 19:45

tribunnews
Tulus Abadi.
WARTA KOTA, PALMERAH---
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesi atau YLKI menilai
cukai rokok tidak dinaikan pada
2018-2019 menjadi salah satu
penyebab keuangan BPJS
Kesehatan mengalami defisit.
YLKI menyatakan jika dirunut
kaitan keuangan BPJS
Kesehatan defisit bisa dimulai
dari harga rokok yang murah
hingga melonjaknya kasus
penyakit tidak menular.
"Buntut dari melambungnya
penyakit tidak menular adalah
kinerja BPJS Kesehatan yang
makin empot-empotan. Dan
klimaksnya mengalami financial
bleeding (defisit) yang pada
2018 mencapai Rp 16,5 triliun,"
kata Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia , Tulus Abadi, seperti
dilansir Antaranews.com,
Jumat (11/1/2019).
Tulus Abadi mengatakan,
kenaikan cukai rokok sangat
minim yaitu sebesar 10,14
persen pada 2017 dan tidak
dinaikkan sama sekali pada
2018 dan 2019.
Dengan kondisi tersebut saat
ini besaran tarif cukai rokok
baru mencapai 38 persen dari
harga ritel.
Padahal amanat UU tentang
Cukai, cukai rokok bisa
dinaikkan hingga 57 persen.
Bahkan rata-rata internasional
untuk cukai rokok berdasarkan
standar Badan Kesehatan
Dunia (WHO) berada pada 75
persen dari harga ritel.
Rendahnya cukai rokok ini
menyebabkan harga rokok di
pasaran menjadi sangat
murah, bahkan bisa dibeli
secara satuan atau ketengan
yang mudah dibeli oleh
kelompok rentan seperti anak-
anak, remaja, dan kalangan
rumah tangga miskin.
Data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2018 menunjukkan
peningkatan prevalensi
merokok pada usia 10 sampai
18 tahun, atau dalam kategori
anak-anak, dari 7,2 persen
pada 2013 menjadi 9,1 persen
pada 2018.
Tulus mengatakan, lebih dari
35 persen orang Indonesia
adalah perokok dan 70
persennya merupakan perokok
pasif, dan 70 persen perokok
berasal dari kalangan keluarga
miskin.
Rokok memang bukan satu-
satunya penyebab penyakit
tidak menular, namun
kebiasaan merokok menjadi
salah satu sebab terbesar dari
penyakit katastropik yang
terus meningkat di Indonesia
dari tahun ke tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 juga
menunjukkan kenaikan pada
prevalensi penyakit tidak
menular seperti penyakit
kanker dari 1,4 persen pada
2013 menjadi 1,8 persen di
2018; stroke dari 7 persen
menjadi 10,9 persen; penyakit
ginjal kronik dari 2 persen
menjadi 3,8 persen; dan
diabetes melitus dari 6,9
persen menjadi 8,5 persen.
Melambungnya prevalensi
penyakit tidak menular ini
berkolerasi dengan gaya hidup
seperti merokok, minimnya
aktivitas fisik, minim asupan
buah dan sayur, serta
konsumsi minuman beralkohol.
"Meningkatnya prevalensi
penyakit tidak menular adalah
bukti pemerintah tidak
melakukan pengendalian
konsumsi rokok, yang secara
de facto merupakan pencetus
utama meningkatnya
prevalensi penyakit tidak
menular," kata Tulus.
Beban pembiayaan terbesar
program Jaminan Kesehatan
Nasional yang harus
ditanggung BPJS Kesehatan
berasal dari penyakit
katastropik yang salah satunya
disebabkan oleh konsumsi
rokok.
Anggota Komnas
Pengendalian Tembakau, Jalal,
menolak mentah-mentah
apabila ada seseorang yang
mengatakan cukai rokok
menyumbang pemasukan
negara.
Menurut dia hasil cukai atau
pajak denda yang didapat dari
rokok masih lebih kecil
jumlahnya dibandingkan nilai
kerugian dari dampak negatif
yang dihasilkan oleh rokok.
"Cukai itu denda dan nilainya
sangat jauh dari kerusakan
yang ditimbulkan. Sebanyak
Rp149 triliun yang didapat dari
cukai rokok, tapi kerugian
kesehatan akibat rokok
sebesar Rp 596 triliun," kata
Jalal.
Editor: Aloysius Sunu D
Sumber: Antara
http://wartakota.tribunnews.com/2019...ehatan-defisit

tribunnews
Tulus Abadi.
WARTA KOTA, PALMERAH---
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesi atau YLKI menilai
cukai rokok tidak dinaikan pada
2018-2019 menjadi salah satu
penyebab keuangan BPJS
Kesehatan mengalami defisit.
YLKI menyatakan jika dirunut
kaitan keuangan BPJS
Kesehatan defisit bisa dimulai
dari harga rokok yang murah
hingga melonjaknya kasus
penyakit tidak menular.
"Buntut dari melambungnya
penyakit tidak menular adalah
kinerja BPJS Kesehatan yang
makin empot-empotan. Dan
klimaksnya mengalami financial
bleeding (defisit) yang pada
2018 mencapai Rp 16,5 triliun,"
kata Ketua Pengurus Harian
Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia , Tulus Abadi, seperti
dilansir Antaranews.com,
Jumat (11/1/2019).
Tulus Abadi mengatakan,
kenaikan cukai rokok sangat
minim yaitu sebesar 10,14
persen pada 2017 dan tidak
dinaikkan sama sekali pada
2018 dan 2019.
Dengan kondisi tersebut saat
ini besaran tarif cukai rokok
baru mencapai 38 persen dari
harga ritel.
Padahal amanat UU tentang
Cukai, cukai rokok bisa
dinaikkan hingga 57 persen.
Bahkan rata-rata internasional
untuk cukai rokok berdasarkan
standar Badan Kesehatan
Dunia (WHO) berada pada 75
persen dari harga ritel.
Rendahnya cukai rokok ini
menyebabkan harga rokok di
pasaran menjadi sangat
murah, bahkan bisa dibeli
secara satuan atau ketengan
yang mudah dibeli oleh
kelompok rentan seperti anak-
anak, remaja, dan kalangan
rumah tangga miskin.
Data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2018 menunjukkan
peningkatan prevalensi
merokok pada usia 10 sampai
18 tahun, atau dalam kategori
anak-anak, dari 7,2 persen
pada 2013 menjadi 9,1 persen
pada 2018.
Tulus mengatakan, lebih dari
35 persen orang Indonesia
adalah perokok dan 70
persennya merupakan perokok
pasif, dan 70 persen perokok
berasal dari kalangan keluarga
miskin.
Rokok memang bukan satu-
satunya penyebab penyakit
tidak menular, namun
kebiasaan merokok menjadi
salah satu sebab terbesar dari
penyakit katastropik yang
terus meningkat di Indonesia
dari tahun ke tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) 2018 juga
menunjukkan kenaikan pada
prevalensi penyakit tidak
menular seperti penyakit
kanker dari 1,4 persen pada
2013 menjadi 1,8 persen di
2018; stroke dari 7 persen
menjadi 10,9 persen; penyakit
ginjal kronik dari 2 persen
menjadi 3,8 persen; dan
diabetes melitus dari 6,9
persen menjadi 8,5 persen.
Melambungnya prevalensi
penyakit tidak menular ini
berkolerasi dengan gaya hidup
seperti merokok, minimnya
aktivitas fisik, minim asupan
buah dan sayur, serta
konsumsi minuman beralkohol.
"Meningkatnya prevalensi
penyakit tidak menular adalah
bukti pemerintah tidak
melakukan pengendalian
konsumsi rokok, yang secara
de facto merupakan pencetus
utama meningkatnya
prevalensi penyakit tidak
menular," kata Tulus.
Beban pembiayaan terbesar
program Jaminan Kesehatan
Nasional yang harus
ditanggung BPJS Kesehatan
berasal dari penyakit
katastropik yang salah satunya
disebabkan oleh konsumsi
rokok.
Anggota Komnas
Pengendalian Tembakau, Jalal,
menolak mentah-mentah
apabila ada seseorang yang
mengatakan cukai rokok
menyumbang pemasukan
negara.
Menurut dia hasil cukai atau
pajak denda yang didapat dari
rokok masih lebih kecil
jumlahnya dibandingkan nilai
kerugian dari dampak negatif
yang dihasilkan oleh rokok.
"Cukai itu denda dan nilainya
sangat jauh dari kerusakan
yang ditimbulkan. Sebanyak
Rp149 triliun yang didapat dari
cukai rokok, tapi kerugian
kesehatan akibat rokok
sebesar Rp 596 triliun," kata
Jalal.
Editor: Aloysius Sunu D
Sumber: Antara
http://wartakota.tribunnews.com/2019...ehatan-defisit
0
1.8K
17


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan