TS
ariyanyusuf
Cerita Zombie Indonesia - Zombie Apocalypse-
Hi guys! balik lagi sama gua... oh ya ini lanjutannya cerita yang kemaren.. sengaja emang, pindah thread dan ganti judul postnya, biar mudah ditemukan.. iya bener yang kemaren itu human error, judul thread sama judul cerita aku buat sama. Jadi gitulah rada-rada pekok. Maklumlah masih newbie jadinya kalo jalan masih ngraba-raba. Jangan mikir ngeres
Episode sebelumnya disini
Untuk bagian yang ini gua gunain Sudut Pandang Orang Ketiga Guys biar fell semua tokohnya dapet.
Oh ya, Saran dan Kritik di perlukan. Ato yang mau nyumbang Alur Cerita juga boleh. Terlebih yang mau ngasih
Ganti cover
The Plane Crashed -Kehancuran Negeri-
Genre: Zombie Apocalypse, Aksi, Petualagan, Thriller, Gore.
Story by : Ariyan Yusuf
Chapter 2
Lobby Bandara
07.43 p.m
"Ark!" Kenzi terkejut saat menyadari dirinya menabrak sesuatu hingga jatuh, ia menengok keasal suara tadi, seseorang terkapar disampingnya. Ia terdiam heran, melihat pria itu merangkak menjauh darinya.
Rifaldi dan Clara berhenti, sedikit meningkatkan kewaspadaan jika terjadi sesuatu, menengok pria itu bertingkah aneh.
Pria itu tersentak panik, kedua tangannya memukul mukul udara kosong, "Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku! Jangan!" Ujarnya dengan mata terpejam erat tanpa berniat melihat kearahnya.
Kenzi mengambil kembali ranselnya, jatuh akibat tabrakan pria itu.
"Berisik! tenanglah aku normal, sialan!" Tukasnya sebal. Tak niatan membantu sedikitpun, melihat dia mengenakan setelan jas sangat rapih itu saja membuatnya enek, sangat memuakkan dipandang mata. Dasar, ia benci keformalan.
Sorot netranya tak sengaja mengarah ke depan, tepatnya di belakang pria yang ia tabrak tadi."Woy pak tua!, berapa banyak yang mengejarmu!?" Tanya Kenzi sinis.
Beranjak pergi dari sana, tak ingin mendengar jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
Clara mulai khawatir menyadari Rifaldi masih di belakang, membantu pria tadi. Gerombolan orang aneh itu makin mengeliminasi jarak diantara mereka.
"Lari bodoh! mereka semakin dekat!" Teriak Kenzi tajam menoleh, mereka berdua masih berkutat di belakang sana.
Faldi bersama pria tadi menyusul, lari dengan kecepatan tinggi, mengikuti rute yang di lewati Kenzi dan Clara.
Orang yang menabrak Kenzi tadi pun ikuti lari bersamanya, entah siapa nama orang itu, tak satupun dari mereka yang peduli, tidak untuk sekarang, dengan situasi ini, bahkan itu Rifaldi sendiri.
"Ada pintu di depan!" Ucap Rifaldi, menoleh kearah Kenzi setelah berhasil menyusul, anak itu mengangguk paham. Mereka mempercepat langkahnya melewati satu demi satu lantai marmer lobby bandara.
Tidak butuh waktu lama mereka sampai, berhenti tepat didepan pintu ruangan yang hanya besekatkan kaca. Diatas pintu kaca itu tertera tulisan tempat penjualan tiket. Pandangan mereka semua tak lepas dari orang-orang belingsatan mengejar mereka. Beberapa dari mereka ada yang terjatuh hingga terinjak-injak yang lain.
"Cih, sial terkunci!" Ujar Rifaldi panik mendorong pintu yang terkunci rapat, adrenalinnya terpacu, diikuti detak jantung bertambah cepat, terhimpit situasi bahaya. Segala cara ia lakukan demi membukanya, Entah itu mendorong, mendobrak, memukul, menendang. Apapun terserah, asalkan terbuka. Namun anehnya tak ada tanda-tanda pintu yang terbuat dari kaca itu akan pecah atau setidaknya retak.
"Cepat!...cepat! mereka semakin dekat!" Ujar Clara dengan suara bergetar makin gelisah, tak terbayang apa jadinya jika 'mereka' sampai lebih dulu.
Rifaldi beserta Kenzi semakin beringas saja mendobrak dan menendang pintu berkali-kali, frustasi
"Shit! apa-apaan pintu ini!"
"Ayo lari saja!" Saran Clara tak sabar dan histeris, orang-orang itu hanya tinggal sepuluh meter sebelum meraih mereka semua.
"Fal pancal bersamaan, udah mau terbuka!" Komando Kenzi melihat pengaitnya mulai longgar.
"Oh ok-ok!" Jawabnya cepat, menyadari masih ada secercah harapan.
Bruak!
"Oh yeah!" Teriak mereka bersamaan, melihat pintu terbuka kasar, meninggalkan mata pengunci dan handle alumunium yang patah terlepas.
"Masuk-masuk cepat!" Seru Rifaldi berjaga.
Setelah memastikan semua masuk ke dalam, ia kembali menutup pintunya rapat-rapat.
"Sekarang apa?" Tanya Rifaldi kebingungan menahan pintu dari dorongan orang luar. Satu hal yang sangat fatal, Dobrakan tadi telah menghancurkan penguncinya.
"Tak mungkin kita menahannya terlalu lama!"
Ia dibuat risih, begitu juga ngeri melihat pemandangan didepan matanya, orang-orang itu berusaha menggigit dan mengais-ngais kaca pembatas yang entah sampai kapan akan bertahan, menyisahkan noda merah yang mengotori kaca bening didepannya.
Bruak! Prak!
"Mereka semakin banyak! Ini tak akan bertahan lama!" Rifaldi melepas sabuknya, menggunakannya sebagai tali yang diikatkan pada handle kedua pintu. Clara mendekat berinisiatif membantu, meskipun ia sadar tenaganya tidak seberapa.
"Almari!" Tunjuk Clara melihat almari besar tak jauh darinya.
"tahan sebentar!" Seru Kenzi mengerti apa yang dipikirkan gadis itu.
"Oi pak tua, bantu dorong almari!" Lanjutnya menoleh kearah pria paruh baya disamping Rifaldi. Melihat ukurannya tak mungkin ia menyeretnya sendirian.
"O-oh baiklah!" Rifaldi bersama Clara makin dibuat kerepotan menangani kebrutalan dari luar yang memaksa masuk. Terlebih dengan pemandangan itu. Itu benar-benar mimpi buruk sejati.
"Dasar Gila!, ini benar-benar gila!"
Urat-urat Faldi berkontraksi menunjukkan eksistensinya, menghiasi tangan hingga dahi mahasiswa itu. Kedua kakinya jauh makin terdorong, ia rasa sol sepatunya tak mampu lagi menghadapi kuatnya beban yang timbul dari banyaknya orang aneh diluar. "Ken cepatlah!" Ujarnya mulai tak sabar.
"Damn! Ini sangat berat!" Rutuk Kenzi masih mendorong almarinya kuat-kuat mengakibatkan derit gesekan yang memenuhi seluruh ruangan, akan tetapi suara geraman dari luar jauh lebih keras.
Tak sedikit peluh membasahi wajahnya mengumpul pada dagu hingga jatuh kelantai.
Kenzi menoleh cepat, mengedarkan pandangan mencari sesuatu, tak ada apupun yang ia lihat di belakang sana, hanya ada kursi-kursi, teller kemudian pintu gudang dan juga beberapa almari berikut papan pengumuman, tak ada hal aneh atau kejanggalan apapun. Atau mungkin ia salah dengar.
"Ada apa? Ayo lebih kuat! Hampir sampai!" Tukas Pria Dewasa bersama Kenzi.
"Kuharap bukan bualan pak tua, lakukan saja!" Entah kenapa ia bertambah semangat mendengarnya, meskipun ia benci mengakui hal itu.
Hanya tinggal berapa inci lagi untuk sampai. Sebelum semuanya berakhir seperti yang diinginkan.
"Fal tarik! Biarkan saja sebentar!" Seru Kenzi. Rifaldi melakukan apa yang sahabatnya itu katakan tanpa banyak bertanya. Bantu menarik memposisikan hingga sejajar dengan pintu.
"Hah! Hah! Bagus! kurasa ini cukup berat menahan mereka masuk" Lontar Rifaldi dengan nafas tak beraturan, duduk bersandar pada Almari besar yang mereka gunakan untuk menahan pintu. Rasa lelah terbayar sudah, setidaknya untuk beberapa saat kedepan mereka aman, sebelum memikirkan rencana-recana lain untuk semua ini.
Srakk..
Pak tua yang tadi menarik semua horden untuk menutupi kaca jendela pembatas, agar orang-orang dari luar tak melihat apapun yang ada di dalam sini.
"Kenapa? Kenapa semua jadi seperti ini?" Clara menatap Faldi dengan raut wajah sendu, membuatnya tak tega menatap lebih lama gadis itu.
Ia tak mengerti harus ngomong apa, sejujurnya ia juga tak begitu paham. apa yang tengah dialami mereka saat ini.
Ia hanya bisa menerka-nerka sebab akibat situasi genting ini, namun ia masih kurang yakin untuk mengutarakan pikirakannya.
"Dua jam lalu semua masih normalkan"
"Kupikir kejadian aneh ini muncul bertepatan setelah pesawat jatuh itu" lanjut Kenzi meletakkan tas ransel besarnya dilantai. Mengambil sesuatu darinya, sebuah botol minum, berisi air mineral. Ia menenggak langsung hingga setengah dari asalnya, meredakan sensasi kering dan haus pada tenggorokan.
"Kapan aku bisa pulang? Ada oleh-oleh yang harus aku berikan pada adikku" ujar Clara lirih, duduk berlutut menumpukan kepalanya diantara lutut kaki. Terdengar isakan tangis keluar dari mulut gadis itu.
Rifaldi dan Kenzi tak tau lagi harus bicara apa. Mereka tidak tau harus berbuat apa, jika sejak awal mereka tahu jika liburan yang menyenangkan akan berakhir seperti ini, niscaya mereka tak akan kesini selamanya.
"Pak tua! Mau?" Ujar Kenzi, menunjukan botol minuman miliknya yang tinggal setengah. Ia cukup yakin pria itu tak bawa apapun. Dia menganguk cepat mendengar perkataan Kenzi. Ia melemparkan botol itu, dan dengan mudahnya ditangkap.
"Makasih" Ucapnya tulus, meneguk minuman pemberian tadi.
Rifaldi tersenyum tipis, meskipun terlihat membenci dan perkataannya terkadang kasar namun sebenarnya dia baik di balik sikap cueknya.
"Nama saya Herman" ujarnya setelah selesai minum,
"Tak ada yang tanya pak tua!"
08.53 p.m.
"Aku akan keliling sebentar, kurasa tadi aku dengar suara langkah kaki" ujar Kenzi beranjak, suara tadi benar-benar mengusik rasa penasarannya.
"Benarkah? kalo gitu aku ikut!" Rifaldi berdiri.
"Aku juga" timpal Clara tak mau kalah.
"Lebih baik disini nanti bahaya!" Peringat Kenzi.
"Karna itu kita harus tetap bersama!"
"Setidaknya kan kita bisa saling membantu, meskipun aku tau aku tidak akan banyak membantu, lagi pula aku tak mau bersama orang yang tak kukenal disini sendiri" lanjutnya
"Haah! terserahlah!" ia tersenyum mendengar itu. Pak tua tadi bangkit berdiri melihat yang lain mulai melangkah pergi.
Mereka bergerak menyusuri lobby ruang tunggu, mengecek seluruh sisi ruangan tersebut. Lampu-lampu mulai meredup sejak tadi. Kehabisan tenaga yang tersimpan sebagai cadangan.
Buagh
Kenzi jatuh berlutut sambil mencengkram perutnya erat, meringis menahan sakit berlebih. Diantara rasa sakitnya ia menoleh keatas, tepatnya seseorang yang berdiri disamping, menyembunyi diri di balik almari meja teller.
"Ken!" Clara jongkok memegangi pundak Kenzi, untuk menengok keadaan sahabatnya.
"Apa yang kau lakukan, bodoh!?" Tanya Rifaldi dengan nada tinggi kearah sang pelaku pemukulan temannya, ia cukup terkejut atas tindakan itu. Wajah orang itu tak terlihat karena situasi yang gelap. terlebih dia menundukan wajahnya dalam.
"Pergi! Pergi dari sini!" Teriaknya kencang, meskipun begitu ada getaran ketakutan dibalik teriakan tadi. Ia mendongak kearah mereka, buliran air mata membasahi kedua pipi orang itu disertai isakan tangis pilu.
Rifaldi tertegun.
"Kenapa kau memukulnya?" Tanya Clara bangkit berdiri memapah Kenzi. Anak itu masih meringis kesakitan.
Rifaldi sedikit heran, kenapa dari tadi dia yang selalu mendapatkan masalah. Tapi bukan berarti ia ingin dapat masalah juga ya.
"Kalian akan menyerang seperti orang-orang diluar sana!" Gadis itu kembali mengeratkan pegangannya pada tongkat pemukul yang biasa di bawa oleh para satpam. Ia tak paham dari mana gadis itu mendapatkannya.
"Mana mungkin, kami melakukan hal bodoh seperti itu!" Tukas Kenzi menatap tajam gadis didepannya masih dengan suara yang tercekat.
"Tapi buktinya seperti itu kan! Orang-orang diluar sana" Timpalnya cepat tak mau kalah.
"Dengar! Kami masih waras!" Ujar Kenzi melepas pegangan pada Kenzi, ia mulai bisa berdiri tegak kembali.
Clara mendekap gadis didepannya. Menenangkannya, ia rasa gadis itu masih seumuran dengannya."Kau sendirian disini?"
"Aku bersama seseorang"
Setelah lebih tenang gadis itu membawa mereka ke orang yang tadi ia sebutkan, menuju ke arah gudang tempat mereka bersembunyi.
Hanya gelap dan pengap yang mereka semua rasakan, ruangan itu hanya berisi tumpukan karton dan barang-barang lain, dari yang tertata rapi hingga berserakan.
Pak Herman tersentak melihat keadaan pria berseragam yang tidur terlentang dilantai. Dia mundur mengambil jarak. Mereka semua heran."Bahaya! Keluarkan dia dari sini" ujar pak Herman lantang.
Hahaha.. maaf lama guys terlena oleh liburan tahun baru
Episode sebelumnya disini
Untuk bagian yang ini gua gunain Sudut Pandang Orang Ketiga Guys biar fell semua tokohnya dapet.
Oh ya, Saran dan Kritik di perlukan. Ato yang mau nyumbang Alur Cerita juga boleh. Terlebih yang mau ngasih
Ganti cover
The Plane Crashed -Kehancuran Negeri-
Genre: Zombie Apocalypse, Aksi, Petualagan, Thriller, Gore.
Story by : Ariyan Yusuf
Chapter 2
Lobby Bandara
07.43 p.m
Quote:
"Ark!" Kenzi terkejut saat menyadari dirinya menabrak sesuatu hingga jatuh, ia menengok keasal suara tadi, seseorang terkapar disampingnya. Ia terdiam heran, melihat pria itu merangkak menjauh darinya.
Rifaldi dan Clara berhenti, sedikit meningkatkan kewaspadaan jika terjadi sesuatu, menengok pria itu bertingkah aneh.
Pria itu tersentak panik, kedua tangannya memukul mukul udara kosong, "Jangan bunuh aku! Jangan bunuh aku! Jangan!" Ujarnya dengan mata terpejam erat tanpa berniat melihat kearahnya.
Kenzi mengambil kembali ranselnya, jatuh akibat tabrakan pria itu.
"Berisik! tenanglah aku normal, sialan!" Tukasnya sebal. Tak niatan membantu sedikitpun, melihat dia mengenakan setelan jas sangat rapih itu saja membuatnya enek, sangat memuakkan dipandang mata. Dasar, ia benci keformalan.
Sorot netranya tak sengaja mengarah ke depan, tepatnya di belakang pria yang ia tabrak tadi."Woy pak tua!, berapa banyak yang mengejarmu!?" Tanya Kenzi sinis.
Beranjak pergi dari sana, tak ingin mendengar jawaban dari pertanyaan yang ia lontarkan.
Clara mulai khawatir menyadari Rifaldi masih di belakang, membantu pria tadi. Gerombolan orang aneh itu makin mengeliminasi jarak diantara mereka.
"Lari bodoh! mereka semakin dekat!" Teriak Kenzi tajam menoleh, mereka berdua masih berkutat di belakang sana.
Faldi bersama pria tadi menyusul, lari dengan kecepatan tinggi, mengikuti rute yang di lewati Kenzi dan Clara.
Orang yang menabrak Kenzi tadi pun ikuti lari bersamanya, entah siapa nama orang itu, tak satupun dari mereka yang peduli, tidak untuk sekarang, dengan situasi ini, bahkan itu Rifaldi sendiri.
"Ada pintu di depan!" Ucap Rifaldi, menoleh kearah Kenzi setelah berhasil menyusul, anak itu mengangguk paham. Mereka mempercepat langkahnya melewati satu demi satu lantai marmer lobby bandara.
Tidak butuh waktu lama mereka sampai, berhenti tepat didepan pintu ruangan yang hanya besekatkan kaca. Diatas pintu kaca itu tertera tulisan tempat penjualan tiket. Pandangan mereka semua tak lepas dari orang-orang belingsatan mengejar mereka. Beberapa dari mereka ada yang terjatuh hingga terinjak-injak yang lain.
"Cih, sial terkunci!" Ujar Rifaldi panik mendorong pintu yang terkunci rapat, adrenalinnya terpacu, diikuti detak jantung bertambah cepat, terhimpit situasi bahaya. Segala cara ia lakukan demi membukanya, Entah itu mendorong, mendobrak, memukul, menendang. Apapun terserah, asalkan terbuka. Namun anehnya tak ada tanda-tanda pintu yang terbuat dari kaca itu akan pecah atau setidaknya retak.
"Cepat!...cepat! mereka semakin dekat!" Ujar Clara dengan suara bergetar makin gelisah, tak terbayang apa jadinya jika 'mereka' sampai lebih dulu.
Rifaldi beserta Kenzi semakin beringas saja mendobrak dan menendang pintu berkali-kali, frustasi
"Shit! apa-apaan pintu ini!"
"Ayo lari saja!" Saran Clara tak sabar dan histeris, orang-orang itu hanya tinggal sepuluh meter sebelum meraih mereka semua.
"Fal pancal bersamaan, udah mau terbuka!" Komando Kenzi melihat pengaitnya mulai longgar.
"Oh ok-ok!" Jawabnya cepat, menyadari masih ada secercah harapan.
Bruak!
"Oh yeah!" Teriak mereka bersamaan, melihat pintu terbuka kasar, meninggalkan mata pengunci dan handle alumunium yang patah terlepas.
"Masuk-masuk cepat!" Seru Rifaldi berjaga.
Setelah memastikan semua masuk ke dalam, ia kembali menutup pintunya rapat-rapat.
"Sekarang apa?" Tanya Rifaldi kebingungan menahan pintu dari dorongan orang luar. Satu hal yang sangat fatal, Dobrakan tadi telah menghancurkan penguncinya.
"Tak mungkin kita menahannya terlalu lama!"
Ia dibuat risih, begitu juga ngeri melihat pemandangan didepan matanya, orang-orang itu berusaha menggigit dan mengais-ngais kaca pembatas yang entah sampai kapan akan bertahan, menyisahkan noda merah yang mengotori kaca bening didepannya.
Bruak! Prak!
"Mereka semakin banyak! Ini tak akan bertahan lama!" Rifaldi melepas sabuknya, menggunakannya sebagai tali yang diikatkan pada handle kedua pintu. Clara mendekat berinisiatif membantu, meskipun ia sadar tenaganya tidak seberapa.
"Almari!" Tunjuk Clara melihat almari besar tak jauh darinya.
"tahan sebentar!" Seru Kenzi mengerti apa yang dipikirkan gadis itu.
"Oi pak tua, bantu dorong almari!" Lanjutnya menoleh kearah pria paruh baya disamping Rifaldi. Melihat ukurannya tak mungkin ia menyeretnya sendirian.
"O-oh baiklah!" Rifaldi bersama Clara makin dibuat kerepotan menangani kebrutalan dari luar yang memaksa masuk. Terlebih dengan pemandangan itu. Itu benar-benar mimpi buruk sejati.
"Dasar Gila!, ini benar-benar gila!"
Urat-urat Faldi berkontraksi menunjukkan eksistensinya, menghiasi tangan hingga dahi mahasiswa itu. Kedua kakinya jauh makin terdorong, ia rasa sol sepatunya tak mampu lagi menghadapi kuatnya beban yang timbul dari banyaknya orang aneh diluar. "Ken cepatlah!" Ujarnya mulai tak sabar.
"Damn! Ini sangat berat!" Rutuk Kenzi masih mendorong almarinya kuat-kuat mengakibatkan derit gesekan yang memenuhi seluruh ruangan, akan tetapi suara geraman dari luar jauh lebih keras.
Tak sedikit peluh membasahi wajahnya mengumpul pada dagu hingga jatuh kelantai.
Kenzi menoleh cepat, mengedarkan pandangan mencari sesuatu, tak ada apupun yang ia lihat di belakang sana, hanya ada kursi-kursi, teller kemudian pintu gudang dan juga beberapa almari berikut papan pengumuman, tak ada hal aneh atau kejanggalan apapun. Atau mungkin ia salah dengar.
"Ada apa? Ayo lebih kuat! Hampir sampai!" Tukas Pria Dewasa bersama Kenzi.
"Kuharap bukan bualan pak tua, lakukan saja!" Entah kenapa ia bertambah semangat mendengarnya, meskipun ia benci mengakui hal itu.
Hanya tinggal berapa inci lagi untuk sampai. Sebelum semuanya berakhir seperti yang diinginkan.
"Fal tarik! Biarkan saja sebentar!" Seru Kenzi. Rifaldi melakukan apa yang sahabatnya itu katakan tanpa banyak bertanya. Bantu menarik memposisikan hingga sejajar dengan pintu.
"Hah! Hah! Bagus! kurasa ini cukup berat menahan mereka masuk" Lontar Rifaldi dengan nafas tak beraturan, duduk bersandar pada Almari besar yang mereka gunakan untuk menahan pintu. Rasa lelah terbayar sudah, setidaknya untuk beberapa saat kedepan mereka aman, sebelum memikirkan rencana-recana lain untuk semua ini.
Srakk..
Pak tua yang tadi menarik semua horden untuk menutupi kaca jendela pembatas, agar orang-orang dari luar tak melihat apapun yang ada di dalam sini.
"Kenapa? Kenapa semua jadi seperti ini?" Clara menatap Faldi dengan raut wajah sendu, membuatnya tak tega menatap lebih lama gadis itu.
Ia tak mengerti harus ngomong apa, sejujurnya ia juga tak begitu paham. apa yang tengah dialami mereka saat ini.
Ia hanya bisa menerka-nerka sebab akibat situasi genting ini, namun ia masih kurang yakin untuk mengutarakan pikirakannya.
"Dua jam lalu semua masih normalkan"
"Kupikir kejadian aneh ini muncul bertepatan setelah pesawat jatuh itu" lanjut Kenzi meletakkan tas ransel besarnya dilantai. Mengambil sesuatu darinya, sebuah botol minum, berisi air mineral. Ia menenggak langsung hingga setengah dari asalnya, meredakan sensasi kering dan haus pada tenggorokan.
"Kapan aku bisa pulang? Ada oleh-oleh yang harus aku berikan pada adikku" ujar Clara lirih, duduk berlutut menumpukan kepalanya diantara lutut kaki. Terdengar isakan tangis keluar dari mulut gadis itu.
Rifaldi dan Kenzi tak tau lagi harus bicara apa. Mereka tidak tau harus berbuat apa, jika sejak awal mereka tahu jika liburan yang menyenangkan akan berakhir seperti ini, niscaya mereka tak akan kesini selamanya.
"Pak tua! Mau?" Ujar Kenzi, menunjukan botol minuman miliknya yang tinggal setengah. Ia cukup yakin pria itu tak bawa apapun. Dia menganguk cepat mendengar perkataan Kenzi. Ia melemparkan botol itu, dan dengan mudahnya ditangkap.
"Makasih" Ucapnya tulus, meneguk minuman pemberian tadi.
Rifaldi tersenyum tipis, meskipun terlihat membenci dan perkataannya terkadang kasar namun sebenarnya dia baik di balik sikap cueknya.
"Nama saya Herman" ujarnya setelah selesai minum,
"Tak ada yang tanya pak tua!"
08.53 p.m.
Quote:
"Aku akan keliling sebentar, kurasa tadi aku dengar suara langkah kaki" ujar Kenzi beranjak, suara tadi benar-benar mengusik rasa penasarannya.
"Benarkah? kalo gitu aku ikut!" Rifaldi berdiri.
"Aku juga" timpal Clara tak mau kalah.
"Lebih baik disini nanti bahaya!" Peringat Kenzi.
"Karna itu kita harus tetap bersama!"
"Setidaknya kan kita bisa saling membantu, meskipun aku tau aku tidak akan banyak membantu, lagi pula aku tak mau bersama orang yang tak kukenal disini sendiri" lanjutnya
"Haah! terserahlah!" ia tersenyum mendengar itu. Pak tua tadi bangkit berdiri melihat yang lain mulai melangkah pergi.
Mereka bergerak menyusuri lobby ruang tunggu, mengecek seluruh sisi ruangan tersebut. Lampu-lampu mulai meredup sejak tadi. Kehabisan tenaga yang tersimpan sebagai cadangan.
Buagh
Kenzi jatuh berlutut sambil mencengkram perutnya erat, meringis menahan sakit berlebih. Diantara rasa sakitnya ia menoleh keatas, tepatnya seseorang yang berdiri disamping, menyembunyi diri di balik almari meja teller.
"Ken!" Clara jongkok memegangi pundak Kenzi, untuk menengok keadaan sahabatnya.
"Apa yang kau lakukan, bodoh!?" Tanya Rifaldi dengan nada tinggi kearah sang pelaku pemukulan temannya, ia cukup terkejut atas tindakan itu. Wajah orang itu tak terlihat karena situasi yang gelap. terlebih dia menundukan wajahnya dalam.
"Pergi! Pergi dari sini!" Teriaknya kencang, meskipun begitu ada getaran ketakutan dibalik teriakan tadi. Ia mendongak kearah mereka, buliran air mata membasahi kedua pipi orang itu disertai isakan tangis pilu.
Rifaldi tertegun.
"Kenapa kau memukulnya?" Tanya Clara bangkit berdiri memapah Kenzi. Anak itu masih meringis kesakitan.
Rifaldi sedikit heran, kenapa dari tadi dia yang selalu mendapatkan masalah. Tapi bukan berarti ia ingin dapat masalah juga ya.
"Kalian akan menyerang seperti orang-orang diluar sana!" Gadis itu kembali mengeratkan pegangannya pada tongkat pemukul yang biasa di bawa oleh para satpam. Ia tak paham dari mana gadis itu mendapatkannya.
"Mana mungkin, kami melakukan hal bodoh seperti itu!" Tukas Kenzi menatap tajam gadis didepannya masih dengan suara yang tercekat.
"Tapi buktinya seperti itu kan! Orang-orang diluar sana" Timpalnya cepat tak mau kalah.
"Dengar! Kami masih waras!" Ujar Kenzi melepas pegangan pada Kenzi, ia mulai bisa berdiri tegak kembali.
Clara mendekap gadis didepannya. Menenangkannya, ia rasa gadis itu masih seumuran dengannya."Kau sendirian disini?"
"Aku bersama seseorang"
Setelah lebih tenang gadis itu membawa mereka ke orang yang tadi ia sebutkan, menuju ke arah gudang tempat mereka bersembunyi.
Hanya gelap dan pengap yang mereka semua rasakan, ruangan itu hanya berisi tumpukan karton dan barang-barang lain, dari yang tertata rapi hingga berserakan.
Pak Herman tersentak melihat keadaan pria berseragam yang tidur terlentang dilantai. Dia mundur mengambil jarak. Mereka semua heran."Bahaya! Keluarkan dia dari sini" ujar pak Herman lantang.
Hahaha.. maaf lama guys terlena oleh liburan tahun baru
Diubah oleh ariyanyusuf 24-01-2019 03:08
1
1.9K
Kutip
5
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan