- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ma’ruf Amin: Tameng atau Beban bagi Jokowi?


TS
Hans.Landa
Ma’ruf Amin: Tameng atau Beban bagi Jokowi?
Quote:
Oleh: Greg Fealy (New Mandala)
Apa yang terlihat tampak tak selaras: Presiden Joko Widodo (Jokowi)—yang menginginkan kepresidenannya ditentukan oleh perkembangan ekonomi dan modernisasi Indonesia yang cepat—berdiri dengan canggung di depan media pada tanggal 10 Agustus 2018 lalu, bersama kandidat wakil presiden yang baru diumumkan, Ma’ruf Amin, seorang ulama Islam konservatif berusia 75 tahun, yang mengenakan sarung dan sandal tradisional.
Menjawab kritik atas pilihannya, Jokowi memuji pasangannya sebagai “seorang tokoh yang namanya baik, ulama yang bijaksana yang dihormati di seluruh komunitas Islam.” Dia menyatakan bahwa dengan Ma’ruf sebagai pasangannya, agama dan nasionalisme akan saling melengkapi.
Memang, Ma’ruf Amin adalah ulama yang paling kuat di negara ini. Sejak tahun 2015, ia telah menduduki dua posisi unggulan: Ketua Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di negara itu; dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), badan yang didukung negara untuk mengeluarkan keputusan tentang isu-isu Islam.
Sebelumnya, ia adalah anggota Dewan Penasihat (Wantimpres) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berpengaruh.
Kisah bagaimana Ma’ruf menjadi mitra kepresidenan Jokowi, menceritakan banyak hal tentang dinamika politik Indonesia kontemporer. Seperti yang diamati oleh banyak komentator, upaya presiden untuk memiliki kredibilitas Islam yang lebih kuat adalah alasan utama pemilihan Ma’ruf.
Tetapi untuk menjelaskan mengapa Ma’ruf dipilih—alih-alih salah satu dari banyak pemimpin Islam terkemuka lainnya—maka kita perlu melihat lebih dekat kariernya dan sumber-sumber legitimasinya. Konservatisme telah menjadi elemen yang penting, tetapi bukan berarti itu satu-satunya yang berperan dalam keterpilihannya.
ULAMA POLITIK
Karier Ma’ruf telah didorong sebagian besar oleh kecakapannya sebagai politisi Islam, serta oleh keahliannya dalam hukum Islam. Ia lahir di Tangerang pada tahun 1943 dalam keluarga yang sederhana dan terpandang. Dia adalah satu-satunya anak dari kiai lokal kelas menengah, tetapi tidak memiliki silsilah berdarah biru yang akan menjamin kemajuan yang cepat.
Beberapa pendukungnya yang lebih antusias mengklaim bahwa ia adalah keturunan Syeikh Nawawi dari Banten—salah satu ulama paling terkenal dalam sejarah Indonesia—meskipun biografi Ma’ruf menjelaskan bahwa keturunannya tidak langsung, tetapi “melalui seorang kerabat yang dekat dengan Syeikh.”
Meskipun demikian, ia menikmati hubungan kekerabatannya dengan Syeikh Nawawi dengan menamai pesantrennya di Banten dengan nama Syeikh, dan jarang mengoreksi mereka yang sering memperkenalkannya sebagai keturunan ulama besar.
Dia memulai pendidikannya di sekolah-sekolah Islam setempat, sebelum melanjutkan sekolah menengahnya di pesantren Tebuireng yang terkenal di Jombang, Jawa Timur—pesantren bagi banyak calon pemimpin NU. Orang-orang se-zamannya mengatakan bahwa dia adalah seorang siswa yang cakap, tetapi tidak luar biasa.
Apa yang dia lakukan dengan amat baik adalah hubungan antar-pribadi, dan di Tebuireng dia menjalin hubungan dengan banyak kiai dan sesama santri, yang akan penting bagi kemajuannya. Dia kemudian menyelesaikan gelar sarjana dan master dalam Studi Islam di Universitas Ibn Chaldun di Jawa Barat pada awal tahun 1960-an.

Sebagai seorang dewasa muda, Ma’ruf tinggal di distrik pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang keras, di mana ia menyibukkan diri sebagai seorang pengkhotbah dan guru agama Islam. Penekanannya pada ortodoksi tradisionalis disukai di kalangan masyarakat Betawi yang religius dan sosial konservatif yang mendominasi di pinggiran Jakarta Utara.
Ma’ruf dekat dengan kelompok Idham, tetapi cukup berhati-hati dalam mengambil hati para reformis dengan mengambil beberapa gagasan mereka. Ketika Gus Dur terpilih sebagai Ketua NU pada tahun 1984, Ma’ruf dipandang sebagai kelompok Idham yang dapat diterima oleh para reformis.
Dia mengamankan posisi penting Sekretaris Jenderal (katib aam) hingga Dewan Penasihat Agama NU (Syuriah) pada tahun 1989, sebelum menjadi salah satu wakil ketua dewan pada tahun 1994.
KESALEHAN DAN PATRONASE
Ma’ruf kembali ke politik praktis pada tahun 1998 setelah kejatuhan Soeharto, ketika ia sangat terlibat dalam mendirikan Partai Kebangkitan Nasional (PKB) sebagai kendaraan pemilihan utama NU. Ia kemudian terpilih menjadi anggota parlemen nasional pada tahun 1999.
Hubungannya dengan Gus Dur—yang terpilih sebagai presiden Indonesia pada akhir tahun itu—memburuk selama periode ini, dan ia meninggalkan parlemen pada tahun 2004.
Posisinya di Syuriah NU—Dewan Penasihat Agama organisasi tersebut—membantu mengamankan penunjukan MUI pada tahun 1996—posisi yang segera memungkinkan kemunculannya sebagai tokoh nasional. Dia diangkat menjadi wakil ketua, kemudian ketua, dari Komisi Fatwa MUI yang kuat pada tahun 1996 dan 2000 berturut-turut. Ini bertepatan dengan pertumbuhan pesat di sektor keuangan Islam Indonesia.
Sekali lagi, Ma’ruf mengambil kesempatan untuk memaksimalkan peran untuk dirinya dan MUI. Dia mendorong keputusan MUI untuk menyatakan haramnya bunga bank konvensional, yang membantu mendorong banyak Muslim yang taat ke arah perbankan Islam. Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk di bawah pengawasan Komisi Fatwa 1999, di mana Ma’ruf mengambil alih kepemimpinan eksekutifnya.
Ini membuatnya menempati posisi penting untuk mengatur “ekonomi Islam” yang sedang berkembang. Lembaga keuangan memerlukan keahliannya untuk memandu operasi mereka, dan dia segera memimpin dewan kepatuhan syariah dari banyak pemain terbesar di sektor perbankan dan asuransi Islam, termasuk Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Mega Syariah, Asuransi Jiwasraya, dan Asuransi Jiwa Beringin Sejahtera.
Posisi seperti itu sangat menguntungkan. Menurut laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini tentang kekayaannya, Ma’ruf adalah seorang jutawan dalam bentuk dolar (Rp11,6 miliar), dengan aset yang mencakup 10 properti dan dua mobil mewah.
Pada pertengahan tahun 2000-an, ia telah menjadi ulama terpenting dalam keuangan Islam.
Juga terbukti bahwa Ma’ruf menggunakan pengaruhnya di MUI untuk mempromosikan agenda konservatif—terkadang sektarian—untuk menarik pujian dari kaum Islamis, tetapi menarik kecaman dari Muslim progresif. Dia telah lama menganggap sekte-sekte Muslim seperti Ahmadiyah dan Syiah sebagai “aliran sesat,” dan menonjol dalam kampanye MUI untuk membatasi atau menghentikan kegiatan mereka.
Dia secara pribadi terlibat dalam konferensi dan publikasi MUI yang mencela Syiah, dan—dalam perannya di Wantimpres—membujuk Presiden Yudhoyono sebagian untuk melarang Ahmadiyah. Dia mengambil pandangan sempit, bahkan tidak percaya, kegiatan antaragama, menegakkan sikap MUI yang telah lama dianut bahwa umat Islam tidak boleh mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristen atau terlibat dalam ritual agama lain. Dia juga menentang liberalisasi peraturan yang membatasi pembangunan tempat ibadah, khususnya untuk agama minoritas.
Pandangannya tentang masalah sosial juga konservatif: ia menyerukan pelarangan kegiatan LGBTI di Indonesia dan penuntutan terhadap siapa pun yang terbukti terlibat dalam atau mempromosikan perilaku homoseksual atau transgender. Dia lebih lanjut meminta pemerintah untuk menghentikan pendanaan asing untuk kampanye hak-hak gay.
Tetapi tindakan politisnya yang paling signifikan dalam MUI terjadi pada November 2016 ketika, sebagai ketua, ia mengeluarkan “fatwa agama” bahwa Gubernur Jakarta keturunan Tionghoa, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) telah menghujat Islam dan ulama, dengan mengatakan bahwa Alquran tidak melarang Muslim memilih pemimpin non-Muslim.
Kelompok-kelompok Islam telah lama menentang Ahok, tetapi keputusan MUI tentang masalah penistaan agama memicu mobilisasi besar-besaran terhadap gubernur itu, dan memicu penyelidikan polisi atas pidato Ahok tersebut.
Setelah dua demonstrasi besar-besaran terhadap Ahok pada bulan November dan Desember, gubernur tersebut didakwa dan dipenjara karena menghina Islam. Dengan tindakannya, Ma’ruf menjadi pahlawan bagi mereka yang percaya bahwa agama mereka telah dihina.
Bagi Jokowi—yang dekat dengan Ahok—Ma’ruf muncul sebagai sosok yang bermusuhan, yang menggunakan posisinya dalam MUI dengan niat kuat.
Tak lama setelah kekalahan Ahok, Jokowi mulai rajin merayu Ma’ruf dan NU. Ma’ruf menjadi pengunjung tetap di acara-acara istana, dan Jokowi sering memberi hormat kepada Ma’ruf dengan memberinya tempat spesial dan membawanya dengan hormat mendekat ke kursinya. Ketika Jokowi meluncurkan bank kredit mikro syariah yang didukung pemerintah pada awal tahun 2018, ia memilih pesantren Ma’ruf al-Nawawi di Banten sebagai lokasi cabang pertama.

PENCALONAN WAKIL PRESIDEN
Pilihan Jokowi yang lebih disukai untuk calon wakil presiden bukanlah Ma’ruf, melainkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menteri Pertahanan Mahfud MD. Presiden itu jelas-jelas gelisah bahwa—meskipun menikmati keunggulan besar atas saingan utamanya, Prabowo Subianto—ia masih rentan terhadap kampanye hitam kaum Islamis.
Sikap NU dan PKB terhadap Jokowi mengeras dalam minggu-minggu menjelang batas waktu tanggal 10 Agustus 2018 untuk mencalonkan diri sebagai presiden, seiring preferensi presiden itu untuk Mahfud menjadi lebih jelas.
Cabang-cabang NU menekan kepemimpinan pusat mereka pada akhir Juli dan awal Agustus 2018, untuk memberi ultimatum kepada Jokowi: pilih nahdliyyin (anggota NU) seperti Muhaimin, atau terima risiko penarikan dukungan NU untuk presiden itu.
Pimpinan pusat NU tidak perlu banyak dimotivasi untuk mengajukan masalah ini, karena mereka menganggap Jokowi menerima dukungan NU tanpa ada timbal balik.
Mengacu pada redistribusi tanah negara yang dipuji oleh presiden, seorang eksekutif senior NU mengeluh: “Jokowi telah menjanjikan ribuan hektar lahan untuk NU, tetapi belum mengirimkan satu hektar pun. Dia hanya menggunakan NU dan tidak memberikan apa-apa.”
NU semakin menampakkan sikap tegas secara terang-terangan. Ketuanya, Said Agil Siradj, mengatakan kepada para wartawan bahwa NU tidak menganggap Mahfud sebagai nahdliyyin, karena dia tidak pernah aktif dalam organisasi itu—peringatan yang jelas bagi Jokowi bahwa mereka akan menolak pencalonan Mahfud. Selain itu, para pemimpin PKB dan Ansor yang sebelumnya dikenal sebagai pro-Jokowi mulai meningkatkan kemungkinan konferensi NU luar biasa untuk mempertimbangkan kembali sikap NU terhadap pemilihan presiden itu.

PKB juga dilaporkan bergabung dengan dua partai Islam lainnya dalam mendekati Gubernur Jakarta Anies Baswedan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin “poros ketiga” melawan koalisi Jokowi dan Prabowo, meskipun ia menolak. Dalam upaya untuk menopang dukungan bagi Mahfud, Jokowi memanggil putri Gus Dur, Yenny Wahid, untuk membujuk NU untuk mendukung kandidat yang disukainya, tetapi dia gagal.
Hal-hal muncul pada tanggal 9 Agustus 2018, ketika Jokowi akan secara resmi mengumumkan pasangannya setelah makan siang bersama para pejabat dari mitra koalisinya. Para pemimpin NU dan PKB telah bertemu sebelumnya, memastikan bahwa Jokowi akan mengajukan Mahfud. Mereka sama-sama bertekad untuk mencegah hal ini.
Sadar bahwa Jokowi tidak akan menyetujui Muhaimin, mereka memutuskan bahwa Ma’ruf akan maju sebagai kandidat NU. Jokowi dan Ma’ruf memiliki hubungan yang baik, tetapi tidak hangat, yang didukung oleh kepentingan pribadi satu sama lain dan bukan dengan pertimbangan pribadi.
Dihadapi saat makan siang dengan keberatan kuat terhadap kemungkinan pemilihan Mahfud dari Muhaimin dan ketua partai koalisi lainnya, Jokowi pada menit terakhir mengalah dan menerima saran Muhaimin tentang Ma’ruf sebagai pasangannya.
Mahfud yang dongkol nantinya akan mengatakan kepada media bahwa Muhaimin mengakui bahwa Ma’ruf telah memerintahkannya untuk mencalonkan ketua NU itu, tetapi ada alasan untuk meragukan hal ini. Ma’ruf tidak memiliki “tim sukses” dan belum melobi di dalam NU atau istana untuk posisi itu (yang tidak mengatakan bahwa ia enggan dicalonkan).
Kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa Muhaimin sendiri mendesak Ma’ruf untuk mencalonkan diri agar NU tidak akan kehilangan kesempatan untuk menduduki istana wakil presiden, setelah dua pemimpin sebelumnya—Hasyim Muzadi pada 2004 dan Solahuddin Wahid pada 2009—gagal melakukan itu.
Jokowi memiliki beberapa alasan untuk membatalkan pencalonan Mahfud. Yang paling penting adalah bahwa ia tidak bisa kehilangan dukungan dari NU. Sejauh ini, NU adalah yang paling mendukung dari semua organisasi Islam utama di Indonesia, dan NU memerintahkan sebagian besar pemilih untuk setia kepada kandidat pilihan mereka, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang sangat penting bagi prospeknya.
Masih bisa diperdebatkan apakah NU akan benar-benar meninggalkan Jokowi—karena alternatifnya mungkin bahkan kurang menarik—tetapi Jokowi tidak mau mendorong gertakan mereka.
Faktor-faktor lain termasuk posisi tinggi Ma’ruf di antara kelompok-kelompok Islam dan kemungkinan perlindungan bahwa ia akan menghindarkan Jokowi dari jenis kampanye sektarian yang mematikan, yang telah merusak popularitasnya dalam kampanye 2014 dan secara politis menghancurkan sekutunya, Ahok.
Ma’ruf juga kemungkinan akan meningkatkan dukungan untuk Jokowi di Provinsi Banten dan Jawa Barat, di mana ia dihormati. Terakhir, Ma’ruf yang sudah berusia 75 tahun tidak akan menjadi kandidat pada tahun 2024, dan dengan demikian tidak akan menimbulkan masalah bagi rencana partai koalisinya untuk pemilihan presiden berikutnya.
https://www.matamatapolitik.com/anal...n-bagi-jokowi/
positifny : NU 70-80 jt jd solid k jokowi , isu agama kebal malah bisa counter balik kubu wowo suruh baca alquran
negatif: ahoker ama yg liberal balik badan tp kykny golput drpd ke no 2 itu jumlahnya paling 20-30 jt
-3
2.8K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan