historia.idAvatar border
TS
historia.id
Mengawasi Anak-Anak Cendana
Amanat Soeharto untuk menjaga anak-anaknya, dilaksanakan dengan sepenuh hati dan tanpa ragu oleh Benny Moerdani.



BENNY MOERDANI pernah menerima pesan khusus dari Presiden Soeharto. Amanat ini menyangkut sesuatu yang amat berharga bagi relung sukma sang presiden: keluarga. Soeharto meminta Benny untuk menjaga anak-anaknya karena dia sendiri sibuk.

“Ben, kamu harus membantu saya mengawasi anak-anak saya. Saya tak ada waktu,” demikian dituturkan pendiri lembaga CSIS yang juga orang dekat Benny, Jusuf Wanandi, dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965–1998. Perkataan senada berulangkali dilontarkan Soeharto kepada Benny antara 1974–1983.

Karena begitu besar kepercayaan Soeharto, maka Benny dijadikan tangan kanan dengan fungsi ganda. Tak hanya berperan sebagai Asisten Intel di institusi ABRI, tetapi Benny juga harus bertugas mengamankan keluarga Soeharto, termasuk anak-anaknya. Soal menjaga keamanan Soeharto dan keluarganya, Benny Moerdani cukup berhasil. Di tangan Benny, tak ada yang berani menyentuh apalagi mengganggu Keluarga Cendana – sebutan keluarga besar Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat.

Baca juga: Benny Moerdani, penjaga setia penguasa Orde Baru

Tapi untuk menangani anak-anak Cendana, tunggu dulu. Ini ternyata bukan perkara yang mudah ditangani Benny. Kepada stafnya di Badan Intelijen Strategis (BAIS), Marsekal Muda (Purn.) Teddy Rusdy, Benny sempat berkeluh kesah.

“Kalau itu menyangkut bisnis, hal demikian bisa memukul balik Pak Harto. Itu yang kami sampaikan kepada anak-anak Pak Harto. Tapi bagi anak-anak, yang mereka kehendaki harus kita turuti dan bantu,” kata Teddy kepada Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.

Kelakuan bisnis anak-anak Soeharto memang sempat menjadi sorotan yang mencemaskan. Namun selama Soeharto masih berkuasa, menyelidiki lebih jauh hal itu adalah tabu. George Junus Aditjondro dalam penelitiannya mengungkap keterlibatan anak-anak Soeharto dalam praktik korupsi dimulai pada pertengahan 1970-an hingga 1980-an. Saat itu, anak-anak Soeharto yang beranjak dewasa ingin menjadi pelaku bisnis aktif atau sekedar rent seeker (pemburu rente).

“Lima dari enam keturunan Soeharto mulai membangun perusahaan-perusahaan yang diumpani oleh kontrak-kontrak pemerintah, disokong oleh berbagai badan pemerintah atau sekedar menggunakan fasilitas umum,” tulis George dalam Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga.

Salah satu kasus yang paling menyolok adalah penggunaan kapal pendarat milik Angkatan Laut untuk mengapalkan hewan ternak dari Queensland, Australia ke pertanian Tapos, Jawa Barat milik putera tertua Soeharto, Sigit Hardjojudanto. Kapal itu sendiri digunakan setelah menurunkan pasukan TNI untuk menduduki Timor Timur (kini Timor Leste) pada Desember 1975. Kejadian ini sampai bikin Letnan Jenderal (Purn.) Jasin mencak-mencak dan mempersoalkannya. Namun upaya Jasin redup begitu saja.

Baca juga: M. Jasin penantang Soeharto

Guna mencegah blunder di kemudian hari, Benny berusaha menertibkan kegiatan bisnis dan perilaku hedonis anak-anak presiden. Sebagaimana dituturkan Jusuf Wanandi, Benny pernah mendapati Sigit menghabiskan dua juta dolar Amerika Serikat dalam semalam suntuk di meja kasino. Benny mengatakan kepada Sigit bahwa uang sebanyak itu dapat membantu usaha mengentaskan rakyat miskin di Indonesia atau menyantuni para janda dan anak tentara yang tewas di Timor Timur. Sebagai pelajaran, Benny terpaksa menahan paspor Sigit agar tak lagi main judi di luar negeri.

Sigit bukan satu-satunya yang pernah merasakan pedasnya kata-kata Benny. Teguran menohok juga pernah dialamatkan kepada Siti Hardiyanti Rukmana —putri sulung Soeharto— yang akrab disapa Tutut. Benny menghardik Tutut karena hendak memberikan kuliah kepada mahasiswa teknik Universitas Diponegoro perihal teknologi pembangunan jalan tol. Tutut saat itu memang tengah menggeluti bisnis jalan tol.

Baca juga: Balada Benny Moerdani dan nyonya Cendana

Yang jadi soal, Tutut secara akademis tak menyelesaikan pendidikan S-1-nya di Universitas Trisakti. Dia pun masih terbilang pemain baru dalam pengerjaan proyek jalan tol di Indonesia pada awal 1980-an. Benny mengingatkan Tutut supaya tak arogan dan berbisnis sewajarnya saja agar tak mengundang kritikan dari mahasiswa.

“Teguran seperti itu tidak membuat Benny menjadi sosok yang disukai keluarga Cendana,” kata Jusuf Wanandi.

Soal pesan-memesan proyek, Teddy juga punya cerita. Teddy bertelatah, Tutut pernah datang kepada Benny meminta sepuluh proyek. Delapan di antaranya ditolak. Sementara si bungsu Tommy, datang dengan empat proyek. Benny hanya bilang satu bagus, yang tiga tak bisa. Menurut Teddy, ada beberapa jenderal yang kendati tak dititipkan amanat oleh Soeharto tapi karena ingin merapat ke kubu Cendana, jadi melayani kehendak anak-anak Soeharto.

“Inilah yang menyebabkan timbulnya citra buruk Pak Benny di mata Cendana,” kata Teddy dikutip Salim Said. Posisi Benny kian terjepit karena di sisi lain, seorang kerabatnya sebagaimana dicatat George Aditjondro, terlibat pula dalam perusahaan yang dekat dengan Soeharto. Hari Moerdani, adik Benny, diketahui memiliki saham di peternakan buaya, babi, dan perkebunan anggrek di Pulau Bulan dekat Singapura bersama Anthony Salim, Tommy Soeharto, dan Timmy Habibie.

Baca juga: Benny Moerdani, loyalis yang disingkirkan Soeharto

Soeharto sendiri tak merasa ada yang ganjil dengan pola bisnis anak-anaknya. Setidaknya, Soeharto mengguratkan kesan yang membanggakan terhadap anak-anaknya yang berjiwa dermawan kala dewasa. Kepada Gufron Dwipayana dan Ramadhan KH, Soeharto menuturkan tentang anak-anaknya yang sukses dalam berbagai usaha serta aktif dalam berbagai yayasan sosial.

“Alhamdulillah, mereka semua jadi manusia,” kata Soeharto dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang terbit pada 1989. “Mereka mengerti akan kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat. Mengikuti petunjuk saya dan ibu mereka, mereka giat di bidang sosial.”

Sementara bagi Benny, bisnis anak-anak Soeharto yang dibangun lewat transaksi kekuasaan telah berada di ambang batas. Toh, persoalan ini pada akhirnya dia kemukakan juga kepada sang pemberi amanat, Presiden Soeharto. Apa yang terjadi kemudian telah banyak diketahui.

Misi Benny menertibkan anak-anak Cendana berujung dengan kegagalan. Soeharto tersinggung karena kegiatan usaha anak-anaknya diusik. Benny pun disingkirkan. Di sisi lain, bisnis anak-anak Cendana tetap menggeliat di sana-sini hingga kini.

Bisnis Senjata Keluarga Cendana

Laksamana Madya TNI Soedibyo Rahardjo dilantik menjadi Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI pada Januari 1988. Beberapa hari kemudian ada permintaan menghadap dari Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut. Dia prioritaskan untuk menerima putri sulung Presiden Soeharto itu. Soedibyo kenal baik dan Mbak Tutut memanggilnya dengan sebutan “Mas.”

Mbak Tutut meminta semua pembelian senjata dipegang oleh grup perusahaannya. Alasannya, masalah persenjataan sangat strategis dan tak bisa dipegang oleh sembarang orang. “Itu perintah presiden,” kata Mbak Tutut.

Saat itu, Soedibyo memperkirakan ada 350 perusahaan yang menjadi rekanan Mabes ABRI/Dephankam dalam pengadaan senjata.

“Saya sih, bisa saja,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral, “tapi jangan lupa, 350 pengusaha ini tiap satu perusahaan ada lima pensiunan ABRI yang duduk di dalamnya. Jadi, coba hitung 5 x 350 = 1750 pensiunan yang dengan anak lima, itu yang akan terkena aturan seperti you inginkan ini, seperti yang diinginkan Bapak Presiden.”

“Kalau itu terjadi, ya mungkin mereka tidak akan berbuat apa-apa, cuma kan, masa sih Tut, Anda masih kurang duit,” kata Soedibyo.

Mbak Tutut tadinya diam saja tapi akhirnya menjawab juga, “Lho, ojo ngono to Mas (jangan begitulah Mas).”

“You are rich, tapi you are poor in hearth (Anda kaya tapi miskin di hati),” kata Soedibyo.

“Wah, gak enak ki ngomonge, Mas Dibyo (Wah, gak enak ngomongnya, Mas Dibyo),” kata Mbak Tutut.

“Kan, kita bekerja untuk kepentingan banyak orang,” kata Soedibyo. “Gini deh saya bikin aturan, projek di atas 20 juta dolar, it’s your area. Ini saya akan keluarkan SK yang begitu bunyinya, saya tanggung jawab. Ini solusi. Kalau semua you pegang, saya keberatan, karena saya ada banyak ekor yang di sini. Sing kepengen sugih dudu kowe dewe lho, Tut. (yang mau menjadi kaya itu banyak),” kata Soedibyo.

“Lho kok ngono (Lho, kok begitu)?” kata Mba Tutut.

“Saya juga ingin kaya,” kata Soedibyo. “Asop (Asiste Operasi) saya juga ingin kaya. Aspers (Asisten Personalia) saya juga ingin kaya. Tetapi kalau semua tadi tidak mendapat apa-apa dan yang kaya hanya satu, tidak cocok saya. Mana demokrasi.”

Mbak Tutut tidak mendebat lagi dan pamit pulang. Soedibyo yakin, Mbak Tutut akan melaporkan percakapan itu, entah kepada ayahnya atau kepada Panglima ABRI Jenderal TNI L.B. Moerdani.

Benar saja. Pagi-pagi, Soedibyo dipanggil Benny. Soedibyo sudah menebak pasti karena urusan sehari sebelumnya.

“Cangkemmu ngomong opo? (Mulutmu ngomong apa?),” tanya Benny.

“Tutut, Pak?”

“Yo. Kowe ngomong opo? (Kamu ngomong apa?).”

Rupanya, Presiden Soeharto berkata kepada Benny, “Yo, karepe Dibyo iku yo bener (mungkin keinginan Dibyo itu benar), tapi masak orang tidak boleh berusaha. Kan semua punya hak untuk berusaha.”

Soedibyo menjelaskan percakapannya dengan Mbak Tutut. Dia membantah telah mematikan usaha Mbak Tutut. Dia hanya menolak menyerahkan semua pembelian senjata dan menawarkan projek di atas 20 juta dolar menjadi milik Mbak Tutut.

“Berusaha, nek kabeh dipek, yo dudu berusaha iku. Monopoli, Pak. (Berusaha, tapi kalau semua diambil, itu monopoli),” kata Soedibyo.

“Wis, koen ojo kakehan cangkem ngono, lho (Ya sudah, tapi jangan kebanyakan ngomong),” kata Benny menasihati Soedibyo.

“Ya, nggak apa-apa, pokoke saya disalahkan juga nggak apa-apa,” kata Soedibyo menutup percakapan.

Dalam Korupsi Kepresidenan, George Junus Aditjondro menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir kekuasaannya, anak-anak Soeharto memperoleh hak untuk mengimpor senjata-senjata standar militer untuk ABRI.

“Dengan demikian,” kata Aditjondro, “mereka mengambil keuntungan dari kendaraan lapis baja Scorpion yang memenuhi jalan-jalan Jakarta pada Mei 1998, pada saat kejatuhan ayah mereka dari tampuk kekuasaannya.”


Keluarga besar Prabowo

Berdasarkan tulisan dari George Junus Aditjondro,[5] keluarga besar Prabowo merupakan kapitalis sekaligus tuan tanah besar dengan penguasaan lahan sebanyak 3 juta hektar. Penguasaan tanah Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, tersebar dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren, serta ratusan ribu hektar hutan pinus. Selain menguasai perkebunan, masih berdasarkan sumber yang sama, keduanya juga menguasai berbagai konsesi hutan dengan tujuan bisnis. Tercatat penguasaan konsesi seluas 96 ribu hektar yang membentang dari dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe; 30 ribu hektar perkebunan sawit di Sumatera Barat dan Jambi di bawah PT Tidar Kerinci Agung; 290 ribu hektar konsesi hutan PT Tanjung Redep di Kalimantan Timur yang dahulu dikuasai Bob Hasan, kroni Suharto; 350 ribu hektar konsesi hutan hasil akuisisi Kiani Group di Kalimantan Timur; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Kartika Utama di provinsi yang sama; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Ikani Lestari; 60 ribu hektar konsesi Nusantara Energy yang merupakan holding company Prabowo serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar lebih.

Belum cukup sampai situ, Prabowo dan adiknya juga memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati di Bima, NTB dan perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik. Dengan kepemilikan tanah seluas itu, maka HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang merupakan organisasi yang diketuai Prabowo seharusnya berubah namanya menjadi Himpunan Kerukunan Tuan Tanah Indonesia (HKTTI).

Dengan latar belakang imperium bisnis tersebut, dan dengan visi ekonomi yang orientasinya kepentingan kapitalis pribumi, maka keduanya menjadi cocok. Bahwa politik, tidak lain dan tidak bukan, digunakan secara kasar untuk mendapatkan akses secara langsung terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya. Apakah kita mau kembali memiliki Presiden yang mengelola negara seperti mengelola sebuah imperium bisnis yang keuntungannya tersalur ke keluarga dan kroni-kroninya sendiri sebagaimana yang Suharto lakukan selama puluhan tahun?

[5] George Junus Aditjondro. Menyongsong Era Suharto, Babak Kedua. [internet]. Diakses dari https://groups.google.com/forum/#!topic/populasi/KVZ4oHjs32A pada 21 Mei 2014.

source
https://historia.id/modern/articles/mengawasi-anak-anak-cendana-DEeza
2
5.2K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan