n4z1.v8Avatar border
TS
n4z1.v8
Fadli Sebut Demokrasi RI Memalukan dan Kalah dari Timor Leste
Fadli Sebut Demokrasi RI Memalukan dan Kalah dari Timor Leste

Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan terjadi ironi dalam perkembangan politik di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Fadli menyebut demokrasi mengalami kemunduran yang memalukan di era Jokowi.

Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu lewat akun twitter pribadinya, @fadlizon, Selasa (1/1).

"Ini ironi perkembangan politik di era pemerintahan @jokowi. Demokrasi Indonesia mengalami kemunduran memalukan, apalagi kini menjelang diselenggarakannya pemilu serentak 2019," kata Fadli.


Fadli membandingkan indeks demokrasi Indonesia dengan Timor Leste, negara yang merdeka usai melepaskan diri dari NKRI.

Fadli menyebut berdasarkan data The Economist Intelligence (EIU), peringkat demokrasi Indonesia 2018 berada di posisi 68 atau terjun bebas 20 peringkat dibandingkan dengan 2016 yang menempati posisi 48.

"Lebih menyedihkan lagi, peringkat demokrasi kita bahkan lebih buruk dari Timor Leste yg ada di urutan 43 secara global," ujar dia.

Menurut Fadli, berdasarkan data Freedom House, munculnya ancaman kebebasan sipil mendorong Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free) di 2018.

"Sementara itu, jika kita bandingkan dgn Timor Leste, situasinya berbalik. Timor Leste mengalami kenaikan status dari negara 'partly free' menjadi 'free'," kata Fadli.

Fadli yang juga anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi itu mengatakan indikator kemunduruan demokrasi bila dihadapkan dengan keluhan masyarakat bawah akan sangat berhubungan.

Keluhan masyarakat bawah di antaranya soal persekusi terhadap ulama yang kritis maupun keluhan adanya upaya pembungkaman dan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh oposisi.

"Semua itu telah membuat kita kembali mundur dalam berdemokrasi. Sehingga, jangan heran jika turunnya kebebasan sipil dam defisitnya demokrasi kita, akibat dari kontrol dan pembatasan kebebasan berpendapat oleh pemerintah. Itu semua fakta yang sulit disangka," ujar Fadli.

Manajemen Pemilu Amburadul

Lebih lanjut, Fadli menyebut di luar soal kebebasan sipil yang semakin menurun, demokrasi Indonesia juga dinodai praktik manajamen pemilu yang amburadul, terutama terkait buruknya administrasi kependudukan yang sangat mempengaruhi Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Pemilu 2019.

Menurut Fadli, sepanjang 2018 masyarakat disajikan dengan maraknya pelanggaran administrasi kependudukan. Mulai dari ditemukannya jual beli blanko e-KTP, tercecernya ribuan e-KTP di Bogor dan Jakarta, serta adanya isu 31 juta pemilih yang belum masuk dalam DPT.

"Ini semua tentu mengancam kredibilitas pelaksanaan Pemilu 2019. Kita tak ingin Pemilu 2019 yang menyedot anggaran sekitar 24 triliun rupiah ini, berjalan dengan kualitas data pemilih yang buruk," kata dia.

Fadli mengatakan melihat fakta yang terjadi sepanjang tahun lalu tak bisa terelakkan bahwa demokasi Indonesia mengalami kemunduran. Menurutnya, ikhtiar bangsa ini selama 20 tahun memupuk demokrasi terpaksa mengalami setback, layaknya negara baru merdeka.

Fadli pun meminta semua masalah tersebut harus segera dibenahi. Fadli khawatir bila tak ada perubahan kecurigaan publik terhadap proses pemilu yang manipulatif dan akan semakin meningkat.

"Dengan anggaran triliunan yang dikeluarkan, kita tidak mau Pemilu 2019 hanya sekedar menjemput takdir demokrasi Indonesia yang lebih buruk," ujarnya. (fra/sur)
katanya Fadli

========

Benarkah apa yang dibilang Fadli Zon?

Mari kita komparasi dengan pernyataan Rizqi Bachtiar, seorang peneliti, pengajar Administrasi Publik di Universitas Terbuka Malang, alumnus MPA University of Birmingham-UK yang dimuat di detik.com :

Menurunnya Kualitas Demokrasi

Jakarta - Indeks Demokrasi terbaru yang dirilis oleh divisi riset The Economist mengungkapkan data yang menarik. Secara umum, di tahun 2017 kualitas demokrasi di dunia mengalami kemunduran. Dalam skala 0-10, skor rata-rata negara yang masuk dalam Indeks Demokrasi 2017 menurun, dari 5,52 pada 2016 menjadi 5,48. Negara-negara yang mengalami penurunan skor terdiri dari 89 negara, tiga kali lebih banyak daripada negara-negara yang mengalami kenaikan skor, yaitu 27.

Tim riset dari The Economist menyimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi turunnya kualitas demokrasi dunia tahun 2017. Namun, ada dua hal utama yang secara umum menjadikan merosotnya kualitas demokrasi di berbagai negara. Pertama, kekecewaan masyarakat berkaitan dengan implementasi demokrasi di negara mereka tinggal. Dalam praktiknya, demokrasi tidak serta merta membuat apa yang menjadi keinginan masyarakat terpenuhi, misalnya pelayanan publik yang baik, kebebasan pers dan berpendapat. Hal tersebut yang pada akhirnya menimbulkan kekecewaan pada implementasi demokrasi. Puncaknya, kekecewaan itu dicerminkan dalam pemilihan umum.

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat menjadi contoh nyata adanya kekecewaan masyarakat terhadap status quo sehingga menginginkan perubahan. Nyatanya, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat justru menjadi salah satu penyebab turunnya skor Indeks Demokrasi di negara tersebut. Bahkan banyak pihak menyatakan terpilihnya Donald Trump sebagai salah satu indikator bahwa liberal democracy di negara Barat perlahan mulai runtuh dengan munculnya benih illiberal democracy.

Kedua, terabaikannya hak-hak asasi manusia dalam sebuah negara juga sangat berpengaruh terhadap kualitas demokrasi. Ambil contoh, tren menurunnya kebebasan berpendapat dan berekspresi di berbagai negara. Berdasarkan The Media Freedom Index, dari 167 negara yang diteliti, hanya 30 negara yang benar-benar menunjung tinggi kebebasan berpendapat (fully free). Dikeluarkannya banyak aturan terkait pembatasan berekspresi, bahkan peraturan-peraturan yang membuat pejabat seakan menjadi kebal hukum dan terkesan jauh dari rakyat menjadikan banyak negara perlu membenahi ulang konsep demokrasi mereka.

Suriah adalah satu contoh negara yang pada akhirnya terjerembab dalam benang kusut. Walaupun dalam setiap kesempatan pihak pro-pemerintah meyakinkan kita semua bahwa peperangan yang terjadi adalah dalam rangka menumpas teroris, dalam kenyataanya yang menjadi sasaran adalah masyarakat sipil; lebih tepatnya masyarakat kontra pemerintah. Padahal orang-orang yang kontra pemerintah belum tentu seorang teroris. Uraian tersebut yang kemudian menjadi cerminan bahwa Indeks Demokrasi Suriah adalah salah satu yang terburuk dari negara-negara yang diteliti.

Penentuan skor Indeks Demokrasi itu sendiri didasarkan pada lima kategori, yaitu proses pemilihan umum dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, dan budaya politik. Berdasarkan pada kategori tersebut, masing-masing negara kemudian diklasifikasikan sebagai salah satu dari empat jenis rezim: demokrasi penuh (full democracy), demokrasi yang cacat (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regime), dan rezim otoriter (authoritarian regime). Jika Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal sebagai kiblatnya demokrasi terjerembab ke flawed democracy, lantas bagaimana dengan Indonesia?

Dalam pemeringkatan Indeks Demokrasi terbaru, Indonesia berada di peringkat 68 dari 167 negara yang diteliti. Uniknya, peringkat tersebut kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 43. Bahkan penurunan kualitas demokrasi di Indonesia merupakan yang terburuk dari 167 negara. Berada pada peringkat 48 dengan skor 6,97 pada 2016, Indeks Demokrasi Indonesia turun menjadi peringkat 68 dengan skor 6,39 pada 2017.Salah satu yang menjadi sorotan atas turunnya peringkat Indeks Demokrasi Indonesia adalah proses Pemilihan Umum Kepala Daerah di DKI Jakarta yang banyak sekali dinamikanya.

Dilihat dari klasifikasi rezim, Indonesia termasuk dalam flawed democracy. Secara umum flawed democracy dalam sebuah negara ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil serta menghormati kebebasan sipil, namun memiliki kelemahan dalam pemerintahan yang signifikan, budaya politik yang belum terlalu sehat, dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Demokrasi di Indonesia sepintas hanya fokus kepada pemenuhan hak-hak politik saja dengan diselenggarakannya pemilihan umum baik di pusat maupun di daerah. Namun hak-hak sipil dalam beberapa kasus terabaikan.

Contoh terbaru adalah revisi Undang-Undang MD3 yang disinyalir akan membatasi hak berpendapat masyarakat sipil dan menjadikan elite politik di dalam pemerintahan kebal hukum. Padahal, disahkannya peraturan yang sangat banyak dan detail mengenai hate-speech atau pencemaran nama baik justru berpotensi membatasi hak kebebasan berpendapat. Pembatasan kebebasan berpendapat itulah yang kemudian tercermin dalam Media Freedom Index, di mana Indonesia termasuk dalam kategori negara yang sangat tidak bebas (largely unfree).

Memang banyak ahli yang berpendapat bahwa di alam demokrasi, terlalu banyak aturan menjadikan negara sebagai sebuah tirani. Namun tidak adanya peraturan yang mengatur dan membatasi tingkah laku masyarakatnya justru menjadikan kekacauan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan kejelian para elite di Indonesia dalam menumbuhkan iklim demokratis. Sangat disayangkan jika Indonesia semakin terpuruk dalam berdemokrasi mengingat semangat berdemokrasi itulah yang menjadi pelecut runtuhnya rezim Orde Baru menuju era Reformasi.

Di awal era Reformasi, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan perkembangan demokrasi paling pesat di dunia. Sistem yang terlalu sentralistik dan tertutup di era Orde Baru langsung diubah menjadi sistem desentralisasi dan terbuka yang pada akhirnya rakyat Indonesia berhak memilih wakilnya untuk menjadi pimpinan eksekutif dan legislatif baik di pusat maupun di daerah.

Masih ada waktu untuk Indonesia berbenah. Amerika Serikat dan Inggris Raya saja butuh ratusan tahun untuk mendewasakan iklim demokrasinya. Namun jika elite politik di Indonesia tidak ada niatan berubah, kepada siapa lagi kita berharap?
komparasi
======

Kebohongan publik nampaknya menjadi senjata utama para oposan kubu Prabowo.

Dalam data The Economist Intelligence (EIU), tidak ada Democracy Index 2018. Yang ada itu data tahun 2017. Gw udah ngubek-ubek data terbaru, tapi tetap gak ada data tahun 2018.

Dan harus Fadli Zon tahu, index Demokrasi di Indonesia tahun 2017 itu dikeluarkan tahun 2018. Dan tahun 2018 itu dikeluarkan nanti diawal-awal tahun 2019, dan sampai sekarang belum keluar datanya.

Yang harus digarisbawahi, mengapa indeks demokrasi Indonesia tahun 2017 turun? Itu karena Pilkada DKI Jakarta sangat disorot dunia! Itulah penyumbang terbesar turunnya indeks demokrasi Indonesia, turun 20 peringkat dari tahun 2016.

Dan Hak Imunitas yang dimiliki oleh Fadli Zon juga mencederai demokrasi, sebab Fadli Zon bisa bebas menebar hoax, mencaci, atau lain sebagainya tanpa bisa diproses hukum! Ini memalukan. Ibarat seseorang yang doyan menjual agama, berhak menghina agama lain dengan berlindung kepada label mayoritas!

Semua data yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence (EIU) masih terbilang normal. Disana tercatat bahwa kebebasan pers, kebebasan berekonomi dan lain sebagainya masih terbilang normal.

Lantas kenapa Timor Leste bisa diatas Indonesia?

Itu karena di Timor Leste gak ada Pilkada yang jual agama dan jual ancaman mayat gak dishalatin!

Itu Zon.







Diubah oleh n4z1.v8 01-01-2019 14:31
7
3.6K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan