- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Soal 212, Greg Fealy: "Islam Gagal Bersatu Jadi Kekuatan Oposisi"


TS
Hans.Landa
Soal 212, Greg Fealy: "Islam Gagal Bersatu Jadi Kekuatan Oposisi"

Quote:
Oleh: Maulida Sri Handayani - 28 Desember 2018
Dibaca Normal 11 menit
Menurut Greg Fealy, Islam hanya digunakan oleh Prabowo, Jokowi dan politikus lain sebagai alat.
tirto.id - Politik Indonesia semakin lama tampak semakin ditentukan oleh Islamisme. Kecenderungan itu menguat sejak aksi-aksi Bela Islam pada 2016 yang turut mengkondisikan pemidanaan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wakil gubernur DKI Jakarta yang juga calon gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada Pilkada 2017, beberapa calon kepala daerah menggamit pasangan dengan unsur identitas keislamanan yang menonjol. Termasuk Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin, yang maju bersama Joko Widodo, sebagai calon wakil presiden.
Sejauh mana Islam-politik akan mempengaruhi Indonesia? Untuk menjawab hal itu, Tirto mewawancarai Greg Fealy, sarjana dalam bidang politik Islam di Indonesia dari Australian National University (ANU), di sela kesibukannya sebagai convenorkonferensi Indonesia Update 2018 yang diselenggarakan ANU pada 15-16 September 2018.
Fealy mengemukakan dua hal menarik. Pertama, masyarakat muslim menjadikan Islam sebagai pertimbangan dalam memilih, tetapi mereka juga ingin kepala daerah yang bisa menjalankan pemerintahan. Hal ini menjelaskan mengapa rata-rata "tokoh Islam" menjadi kandidat wakil, sedangkan calon bupati atau gubernur tetaplah mereka yang punya pengalaman administratif-teknokratik.
Kedua, Fealy berpendapat Islam secara substansial tak akan mempengaruhi kehidupan Indonesia, setidaknya lima tahun mendatang. Ia hanya dijadikan instrumen untuk menaikkan elektabilitas dalam pemilihan umum. Kekuatan Islam juga tak mudah bersatu, termasuk gerakan 212 yang sudah terfragmentasi.
"Islam telah digunakan oleh Jokowi, Prabowo, Sandiaga, dan sebagainya untuk kepentingan politik," demikian Fealy. Berikut wawancara lengkapnya.
Saya akan mulai dengan pemerintahan Jokowi. Pada bagian mana menurut Anda perlakuan Jokowi berbeda dengan perlakuan dari pemerintahan SBY atau Megawati?
Menurut saya, satu hal yang Jokowi lakukan dan buruk bagi demokrasi Indonesia adalah ia menggunakan negara untuk melarang dan menindas oposisi Islam. Misalnya, pembubaran HTI. Saya pikir, pembubaran itu adalah langkah politis. HTI selama bertahun-tahun masih bersikap sama, sudah lama terkenal soal sikapnya terhadap khilafah, Pancasila, dan sebagainya. Terutama di tingkat nasional, tidak ada perubahan sikap kepemimpinan HTI tentang Indonesia, tentang UUD 1945, dan sebagainya. Jadi, saya kira ini direkayasa. Ada mobilisasi dari NU untuk melawan HTI untuk memberikan dalih kepada pemerintah guna menindak tegas HTI.
Menurut saya, hal ini bertentangan dengan hak untuk berserikat dan berkumpul. Apakah HTI betul-betul melanggar hukum? Menurut saya, itu belum jelas. Pemerintah menggunakan HTI untuk mengirim sinyal kepada organisasi-organisasi yang lebih kuat seperti FPI. HTI seperti pion, alat untuk mengirim pesan yang lebih besar.
Ini simbolis?
Ya, tepat. [Hal lain], ada kasus Habib Rizieq. Habib Rizieq tidak mengumumkan teks-teks [percakapan] dia sama Firza. Jadi, siapa yang meletakkannya ke public domain,saya kira sangat mungkin pemerintah, bukan dia sendiri. Jadi, yang melanggar hukum sebenarnya pihak lain.
Menurut saya, alasan menuntut dia dengan kasus itu adalah alasan politis. Pemerintah memanipulasi informasi.
Kita juga melihat apa yang terjadi dengan #2019GantiPresiden. Semakin banyak Polda, misalnya, menolak izin rally #2019GantiPresiden. Menurut saya, hal ini menyalahgunakan kekuasaan mereka. Sebenarnya kampanye seperti itu tidak melawan prinsip demokrasi. Ada backlash yang lebih serius lagi kalau pemerintah bersikap secara sewenang-wenang.
Jika kita melihat Jokowi, Islam, dan demokrasi, ia tak membuat jejak rekam yang baik, lebih buruk dari SBY. Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan ketimbang SBY. Namun, saya kira ia lebih buruk dari SBY dalam menggunakan negara untuk menindas oposisi Islamis.
Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan?
Saya pikir SBY presiden terburuk dalam toleransi keberagamaan. Ia menggunakan undang-undang penodaan agama, mendorong MUI untuk fatwa yang sangat sektarian; anti-Syiah, anti-Ahmadiyah, dan sebagainya. Menurut saya, Jokowi lebih baik dalam toleransi keberagamaan, tapi lebih buruk: ada kemunduran demokratik, karena ia tak menghormati kebebasan berpendapat serta kebebasan untuk berkumpul dan berserikat.
Apakah ada kemungkinan Jokowi [menekan oposisi Islamis seperti] membubarkan HTI sebagai hal yang harus dilakukan oleh Jokowi untuk mempertahankan toleransi keberagamaan?
Mungkin. Tapi menurut saya Jokowi melarang HTI karena dia ingin memperingatkan gerakan 212; lebih sebagai pembalasan negara. Pembubaran HTI lebih dari sekadar untuk toleransi keberagamaan. Jokowi khawatir soal penetrasi Islamisme secara umum. Namun, menurut saya, bukanlah cara yang benar untuk mengatasinya dengan prosedur informal yang mendiskriminasi rakyat.
Saya akan mencoba melihat dari perspektif pemerintah. Banyak anggota HTI yang berstatus sebagai pegawai negeri. Dalam jangka panjang, bukankah ini akan membahayakan demokrasi [terkait doktrin HTI yang anti-demokrasi dan anti-nasionalisme]?
Saya paham karena saya juga menganggap kelompok yang intoleran, yang sektarian, betul-betul membahayakan kualitas demokrasi di Indonesia. Namun, juga harus diakui bahwa dalam sistem demokrasi, akan muncul kelompok seperti itu, karena memang semakin populer dalam masyarakat.
Selain isu gerakan politik dalam umat Islam sendiri, tuntutan [hidup sesuai hukum] Islam semakin kuat. Semakin kuat bukan karena intervensi luar, tetapi karena doktrin yang lebih islami itu sekarang lebih menarik, terutama bagi kelas menengah. Mereka menganggap doktrin Islam lebih cocok dengan tantangan kehidupan mereka. Tantangan di kota besar, pekerjaan profesional, dan sebagainya. Begitu banyak perubahan dalam hidup mereka dan mereka mencari kepastian. Salah satu cara mencari kepastian adalah merengkuh versi agama yang hitam-putih, yang sangat jelas tentang apa yang boleh dan tidak, dan sebagainya.
Saya kira ini fenomena sosial yang kemudian punya dampak politik. Itu realitas di Indonesia. Kalau ingin menindas atau menghambat penyebaran itu, itu sebenarnya anti-demokratis. Mungkin Jokowi tidak setuju dengan ideologi PKS dan sebagainya, tetapi PKS adalah partai legal. PKS punya basis di masyarakat. Dia punya basis yang cukup kuat sebagai partai politik.
Seberapa besar Jokowi harus mengkhawatirkan Islamisme? Apakah Anda akan memisahkan Islamisme secara umum dengan yang terjadi pada 2016 (Aksi 212)?
Saya bisa paham mengapa Jokowi khawatir, karena dia dan orang yang di sekitarnya berpikir bahwa karakter politik Indonesia dan hukum publik Indonesia akan berubah karena pengaruh Islamisme. Akan menjadi lebih Islami, lebih banyak syariat, kurang toleran, atau kurang berkomitmen terhadap Pancasila. Saya paham mengapa ia khawatir.
Namun, jika melihat masalah ini secara netral, itulah demokrasi. Hal itu mencerminkan perasaan dari bagian masyarakat. Yang menjadi masalah saat ini adalah proporsi pengaruh kelompok-kelompok Islamis.
Tetapi, itulah yang publik mau ketika Anda bertanya kepada publik "Apakah Anda menginginkan orang Islam saleh yang menjadi presiden?" Mereka mengatakan, "Iya." Bahwa hal ini menjadi persyaratan yang penting [bagi publik].
Tapi, di sisi lain mereka juga menginginkan presiden yang bisa menjalankan pemerintahan dengan baik. Inilah demokrasi. Terkadang demokrasi mengarahkan ke orientasi yang lebih doktrinal. Kita lihat ini terjadi di Eropa, kebangkitan partai sayap kanan di Eropa. Itulah demokrasi.
Kita mungkin tidak menyukainya. Bagaimana cara menghentikan laju partai sayap kanan dalam demokrasi? Pemerintah harus mempromosikan gagasannya. Mereka harus membujuk publik bahwa Islamisme seperti itu berbahaya. Bukan menggunakan hukum untuk melawan Islamisme seperti itu, atau untuk melarangnya, atau mengkriminalisasikannya. Tetapi, dengan menggunakan argumen yang baik. Itu tantangannya.
Apakah Anda melihat itu sebagai pergerakan yang tidak bisa dihentikan?
Saya melihat risiko. Ada risiko apabila Anda memilih untuk membatasi Islamisme. Ada sebuah analogi. Islam itu seperti paku. Semakin keras Anda memukulnya, paku itu akan menancap lebih ke dalam kayu dan paku itu akan selamanya ada di sana. Usaha apa pun yang Anda lakukan malah membuatnya menancap semakin dalam dan dalam lagi.
Analogi itu berguna karena masyarakat yang didiskriminasi, orang yang dihukum secara tidak adil menggunakan itu, jika mereka berkuasa, mereka bisa balas dendam. Akan ada prasangka dalam masyarakat.
Lebih parah lagi dalam jangka panjang, kalau pemerintah memakai kebijakan yang diskriminatif. Sasaran target kebijakan itu semakin pahit, semakin ngotot melawan pemerintah, dan dengan segala macam cara. Saya kira itu juga lebih bahaya kalau memakai cara itu.
Pada dasarnya demokrasi itu seperti pasar. Ada pertukaran ide di sana. Pemerintah mestinya tidak memaksakan pendapat kepada kelompok tertentu.
Apa pandangan Anda soal Jokowi yang menjadikan NU sebagai penyangga [pengaruh kelompok] Islamis?
Saya pikir dua hal terjadi di sini. Pertama, penggunaan Islam secara politis. Islam sebagai simbol. Itu yang Jokowi lakukan dengan NU dan Ma’ruf Amin. Namun, apa pengaruh Ma’ruf Amin dalam pembuatan kebijakan [nanti]? Belum tentu besar. Menurut saya tidak [akan] banyak perubahan.
Jokowi juga merangkul alumni 212. Tetapi, pengaruh mereka dalam pengambilan keputusan pemerintah saya kira minim sekali. Jadi, Islam telah digunakan oleh Jokowi, Prabowo, Sandiaga, dan sebagainya untuk kepentingan politik.
Kelompok-kelompok Islam sendiri belum punya program politik yang jelas yang berdasar prinsip-prinsip Islam. Sekarang, penekanannya lebih sering simbolis saja. Ma’ruf Amin tidak bisa menjadi capres, hanya cawapres, karena publik tidak menginginkan ulama untuk menjalankan pemerintahan. Jokowi akan memerintah, tetapi dia butuh ulama sebagai tameng. Di situlah peran Ma’ruf Amin. Seperti alat, instrumental.
Saya juga ragu, meskipun penggunaan Islam secara simbolis meningkat, saya tidak yakin kebijakan politik bernapaskan Islam meningkat. Islam hanya digunakan untuk memenangkan pemilu, untuk memobilisasi massa.
Tapi bagaimana dengan yang terjadi di parlemen, misalnya dalam kasus revisi KUHP? Mungkin dalam kebijakan pemerintah tidak tampak, tapi Islamisme tampak [dalam pembuatan produk hukum] di parlemen?
Itu contoh yang tepat. KUHP disusun dengan berbagai pertimbangan. Saya pikir versi selanjutnya dari [rancangan] KUHP akan seperti RUU Anti Pornografi. Mereka akan berpikir ulang soal apa yang telah mereka ajukan.
Anda juga bisa melihat sistem kehakiman. Ada keputusan Mahkamah Konsitusi terhadap UU Penodaan Agama. Yang terjadi di pengadilan untuk penodaan agama itu sangat konservatif. Jadi, kami melihat pengaruh itu.
Namun, secara politis, saya masih berpandangan Islamisme lebih banyak digunakan sebagai simbol ketimbang diambil hal-hal substantifnya. Sangat sulit untuk membuktikan bahwa Islam menyediakan sebuah agenda perubahan, misalnya, kebijakan ekonomi apa yang bisa dilakukan dalam napas Islam?\
Hal yang lebih penting lagi ialah kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu. Lihat Gerakan 212. Dalam periode singkat, mereka mengumpulkan aliansi besar. Dalam periode singkat, mereka boleh jadi seperti hal baru. Namun, 1,5 tahun kemudian, fragmentasinya cukup gawat, saya kira.
Berapa banyak kelompok berbeda 212? Banyak dari mereka yang tidak terawat. Mereka tidak sepakat dalam suatu isu. Mereka sangat memungkinkan untuk dikooptasi oleh pemerintah dan oleh oposisi. Jadi, sekali lagi, Islam gagal bersatu menjadi kekuatan oposisi.
Reporter: Maulida Sri Handayani
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Windu Jusuf
https://tirto.id/soal-212-greg-fealy...n-oposisi-c8Lc
lumayan menarik ulasannya ni bule

-1
4.2K
Kutip
48
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan