Pengangkatan Murizio Sarri menjadi suksesor Antonio Conte di Chelsea menghembuskan angin segar bagi fans Chelsea. Kehebatan Sarri dalam membesut Napoli di musim 2017/2018 menjadi salah satu gambaran begitu efektifnya gaya permainan pelatih yang katanya perokok berat ini dengan sebutan Sarri-Ball. Napoli yang pada saat itu tidak banyak merombak pemain, ternyata mampu menjadi pesaing utama Juventus dalam merebutkan scudetto.
Konsep Sarri-Ball disebut kurang lebih seperti gaya tiki taka milik Pep Guardiola saat membesut Barcelona. Permainan yang disuguhkan adalah mengalirkan bola secepat mungkin dengan umpan-umpan pendek yang dimotori oleh gelandang tipe kreator. Kemudian serangan dapat dimulai dari sisi sayap yang dapat menusuk tajam untuk membuat peluang.Lebih penting lagi, gaya bermain Sarri-Ball juga menekankan penguasaan bola sebanyak mungkin dalam pertandingan. Sehingga lawan tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan serangan.
Sarri-Ball terbukti efektif ketika diterapkan oleh Sarri selama hampir 13 pekan di Premier League tidak terkalahkan. Namun permasalahan kemudian muncul dengan tidak konsistennya Chelsea di laga-laga selanjutnya. Dimulai dengan kekalahan perdana melawan Tottenham Hostpur pada tanggal 19 November 2018 di Wembley.
Ada beberapa hal menurut ane yang menjadi penyebab, mengapa Sarri-Ball pada awal musim begitu efektif, kemudian memasuki pertengahan musim menjadi melempem.
Spoiler for Oh Kante:
Perubahan Posisi Kante
Ketika jaman Antonio Conte, bintang utama permainan Chelsea boleh dibilang adalah Kante setelah Hazard. Pria berperawakan mungil ini mempunyai konsistensi permainan sebagai penahan serangan lawan yang sangat baik. Keberadaan dia sebagai geladang bertahan yang bertugas sebagai pemutus serangan inilah yang menjadi alasan begitu bersinarnya Kante bersama Chelsea yang dibuktikan dengan meraih tropi Liga Primer Inggris di musim 2016/2017.
Namun, kondisi itu berubah drastis saat dilatih oleh Sarri. Posisi Kante digeser sedikit lebih ke kanan, sedikit melebar ke arah sayap kanan. Walupun tidak benar-benar berfungsi sebagai sayap kanan. Berubahnya posisi ini menyebabkan perbedaan signifikan dalam permainan Chelsea yang kemudian mengandalkan Jorginho sebagai pengatur serangan pengganti Fabgregas. Namun sayangnya, Jorginho sebagai pengatur bola tidak mendapatkan support maksimal dari Kante.
Walaupun permainan Kante tetap konsisten, hal ini tetap menjadi lubang besar di lini tengah Chelsea. Pasalnya tandem Jorginho biasanya lebih sering dipercayakan kepada Kovacic yang mempunyai tipe pen-driblebola untuk melakukan tusukan penyerangan. Sehingga praktis backup pertahanan di lini tengah menjadi berkurang drastis. Hal ini yang kemudian dapat dibaca oleh pelatih lain, selama Jorginho “dimatikan” maka aliran bola hanya berasal dari belakang. Sehingga suplay bola ke penyerang menjadi lebih sedikit, begitu pula mudah untuk diserang balik, karena tipe penahan bola pada diri Kante sudah tidak berfungsi maksimal karena perubahan posisi tersebut.
Spoiler for Jorginho, Kenapa Kau Ini:
Jorginho Bagus Pasing Pendek, Lemah Passing Jauh
Di Napoli, Jorginho adalah bintang lapangan tengah sebagai pusat gaya Sarri-Ball. Karena dia adalah orang pertama yang akan mendapatkan bola setelah dari lini belakang Napoli. Ini dibuktikan dengan catatan fantastis menjadi tim dengan operan terbanyak di semua liga di Eropa. Operan-operan pendek dengan akurasi tinggi dibuktikan Napoli dengan prosentasi 88,9 % mengalahkan Milan, Inter dan AS Roma pada musim 2017/2018.
Tapi sayangnya, operan-operan pendek ini tidak selamanya akan efektif juga. Karena kalau berhadapan dengan tim dengan tingkat presisi tinggi semacam Liverpool, City, ataupun Spur tentu sangat riskan. Walaupun dalam pertandingan melawan tim-tim besar, Chelsea masih bisa mengungguli Liverpool dan City, hanya kalah dengan Spurs.
Salah satu yang menjadi kelemahan adalah operan-operan pendek tersebut akan menjadikan bola minim variasi. Ketika kita melihat permainan Sarri-Ball di Chelsea, bisa kita lihat kelemahan terbesar dari Jorginho adalah kurang saat melakukan long ball. Untuk operan pendek kita tidak meragukan, bahkan mungkin tidak kalah dengan Fabregas, seniornya di Chelsea. Tetapi, operan jarak jauh masih jauh lebih baik Fabregas dibandingkan Jorginho. Sehingga titik lemah ini lah juga menjadi penyebab, bahwa Sarri-Ball di Chelsea minim variasi. Permainan terlihat hanya mutar-mutar dengan penguasaan bola tetapi kebingungan mencari variasi penyerangan terutama dirrect attack.
Spoiler for Kau Gantung Aku, Hazard:
Ketergantungan terhadap Hazard
Tak bisa dipungkiri, yang menjadikan Chelsea tetap bertahan dengan permainan yang menjanjikan adalah keberadaan Hazard yang selalu dapat membahayakan gawang lawan. Kepiawaian dia dalam men-drible bola melewati pemain lawan menjadikan dia menjadi salah satu pemain yang banyak di langgar. Hazard telah matang menjadi seorang pemain dengan seringnya dia menjadi penentu kemenangan Chelsea di beberapa pertandingan.
Namun sayangnya, hal ini menjadi kelemahan tersendiri bagi Chelsea. Ketergantungan permainan kepada salah satu pemain tentu tidak akan menyehatkan alur permainan sebuh tim. Ketika Hazard sengaja ”dimatikan” oleh lawan, Chelsea belum banyak menemukan alternatif pemain lain yang menjadi penentu kemenangan. Keberadaan Willian dan Pedro yang mempunyai kekuatan drible dan mampu melewati lawan juga tak kunjung menampilkan permainan yang konsisten. Gelandang tipe Frank Lampard, seperti Ross Barkley sebagai pemecah kebuntuan melalui lini tengah, juga belum menemukan formulasi yang pas di bawah asuhan Sarri.
Spoiler for Bang Pomade, Semangat lah:
Tak ada Tipe Striker Berinsting Pembunuh
Keberadaan Morata memang sebenarnya menjadi harapan baru bagi Chelsea saat dirinya sukses bersama Juventus dan Real Madrid. Namun ternyata ekspektasi tadi berubah total, ketika Morata tak kunjung konsisten permainannya. Perbedaan karakter permainan Liga Italia dan Spanyol, pastinya mempengaruhi gaya main dia di Chelsea. Terlebih selama ini, Chelsea mencapai kejayaan di saat mempunyai penyerang bertipikal petarung layaknya legenda mereka, Didier Drogba. Morata sebenarnya mempunyai kelebihan dalam insting gol di dalam kotak penalti lawan. Ini benar-benar dibuktikannya secara efektif saat di Madrid dan Juvents. Entah mengapa, ketika di Chelsea, dia bermain begitu linglung. Kemampun drible rendah, fisik yang terlalu lemah untuk bertarung dengan pemain bertahan, hingga kemampuan lari yang tak seberapa cepat. Sedangkan untuk Giroud memang sedikit berbeda. Giroud didatangkan dari Arsenal dengan fungsi berbeda di Chelsea. Sebagai goal getter pasti itu iya, tetapi di Chelsea peran dia lebih kepada pemantul bola. Walaupun begitu, tetap saja Giroud juga diharapkan mencetak gol, karena tugas striker mencetak gol sebanyak mungkin.
Itu saja gan, analisis dari gue, boleh ditambahin, tapi jangan dkurangin yap.