- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Pemerintah didesak bersikap tegas membantu Uighur
TS
BeritagarID
Pemerintah didesak bersikap tegas membantu Uighur

Massa yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Muslim melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (21/12/18).
Desakan kepada Presiden Joko "Jokowi" Widodo untuk bersikap tegas terhadap dugaan krisis kemanusiaan yang menimpa Suku Uighur di Xinjiang, Tiongkok, semakin kencang. Pemerintah Indonesia diminta untuk mendorong Tiongkok menghentikan penindasan terhadap suku yang mayoritas beragama Islam itu.
Berbagai pihak menyatakan sudah seharusnya pemerintah segera turun tangan untuk membuka apa yang sebenarnya yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap suku yang berdiam di kawasan barat negera itu.
Pada Jumat (21/12/2018), massa berjumlah ratusan berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Tiongkok di Kuningan, Jakarta, menyuarakan dukungan terhadap etnis Uighur yang diduga ditindas pemerintah Tiongkok.
Unjuk rasa mendukung masyarakat Uighur juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia pada saat yang sama, seperti di Bandung, Tasikmalaya, dan Lampung.
Uighur adalah suku minoritas di Tiongkok yang merupakan keturunan dari bangsa Turki. Jumlahnya sekitar 40 persen dari total 21,8 juta penduduk Xinjiang dan sebagian besar mereka adalah Muslim.
Panel hak asasi manusia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), menyatakan pada Agustus lalu bahwa mereka menerima laporan yang dapat dipercaya menyebutkan lebih dari 1 juta etnis Uighur ditahan dalam sebuah kamp khusus.
Mereka, menurut Gay McDougall, anggota Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Ras, dipaksa masuk kamp politik untuk indoktrinasi.
"DPR mendesak dan mendorong pemerintah memberikan respons yang keras dan disampaikan ke Duta Besar Tiongkok. Apalagi PBB sudah mengeluarkan statement terkait peristiwa itu," ujar Ketua DPR, Bambang Soesatyo, dalam Liputan6.com (20/12/2018).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia, Indonesia harus terdepan dalam memperjuangkan hak-hak etnis Uighur untuk menjalankan kehidupan beragamanya.
"Telah terjadi pelanggaran HAM secara nyata dan pelanggaran masyarakat sipil serta agama secara jelas terhadap etnis Uighur di Tiongkok," kata Wakil Sekretaris Jenderal MUI, Nadjamuddin Ramli, dikutip Viva.co.id.
Sementara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, melalui akun Twitternya menyatakan pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, seharusnya bisa terlibat aktif membantu suku Uighur seperti yang telah dilakukan terhadap Rohingya di Myanmar.
Menanggapi desakan tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan bahwa pemerintah masih menunggu laporan dari Kedutaan Besar Indonesia di Tiongkok. Mereka tengah mencari tahu dan mempelajari apa yang sebenarnya dialami oleh etnis Uighur.
Namun, dikutip Liputan6.com, Kalla menilai apa yang terjadi terhadap Uighur berbeda dengan yang terjadi terhadap Rohingya di Myanmar. Ia melihat, dugaan pelanggaran HAM yang dialami muslim Uighur bisa terjadi karena merebaknya paham radikalisme di sana.
Salah satu indikasi, menurut Wapres, adanya sejumlah warga etnis Uighur yang pernah ditangkap di Poso. Saat itu terdapat 12 orang yang merupakan warga Uighur.
Pernyataan Wapres tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memilih bersikap hati-hati dalam menanggapi masalah di Xinjiang tersebut.
Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam BBC Indonesia (21/12), sama-sama melihat masalah kepentingan ekonomi menjadi penyebab dipilihnya gaya "soft diplomacy" oleh pemerintah.
Jika pemerintah mengambil sikap tegas, menurut Agung, dikhawatirkan Tiongkok akan membalas melalui embargo ekonomi. Padahal investasi Negeri Panda itu di Tanah Air, merujuk data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mencapai $1,8 miliar AS pada periode Januari-September 2018.
"Sayangnya Tiongkok kuat secara ekonomi. Laos juga begitu. Negara-negara ASEAN mendapat kemudahan ekonomi dari Tiongkok dan dengan sendirinya membantu pemulangan (pengungsi dari) Uighur ke Tiongkok tanpa ada persetujuan dari orang yang bersangkutan," kata Usman Hamid.
Deradikalisasi?
Juru bicara Kedutaan Besar Tiongkok untuk Indonesia dalam situs resminya menyatakan, Tiongkok adalah negara multi-etnis dan pemerintah melindungi warganya yang memeluk agama apapun.
Kebijakan pemerintah Tiongkok di Uighur, tuturnya, dilakukan untuk mencegah semakin berkembangnya terorisme dan ekstremisme. Terutama setelah terjadinya serangan teroris di stasiun kereta Kunming, Provinsi Yunnan, pada 1 Maret 2014 yang menewaskan 31 orang dan mencederai 141 lainnya.
Pemerintah Tiongkok, dikabarkan Time.com, menyatakan serangan tersebut dilakukan oleh kelompok teroris dari Uighur.
Untuk mencegah menyebarnya terorisme dan ekstremisme, sang juru bicara menyatakan pemerintah Tiongkok melakukan tindakan deradikalisasi dengan menggalakkan pendidikan vokasional.
"Menanggapi situasi tersebut, Xinjiang telah mendirikan institusi vokasional profesional, memberikan kursus bahasa Tiongkok, pengetahuan hukum, keahlian, beserta pendidikan deradikalisasi bagi warga yang terpengaruh ide-ide ekstrem," jelasnya.
Akan tetapi, dilarangnya suku Uighur untuk mengenakan hijab ditempat umum, memelihara janggut, dan memberikan nama religius kepada anak, membuat banyak pihak masih meragukan keterangan pemerintah Tiongkok tersebut.
Bahkan, The New York Times (16/12) mengabarkan, semakin banyak bukti beredar yang menunjukkan bahwa suku Uighur tidak mendapatkan pendidikan vokasional di dalam kamp tersebut, melainkan semacam kerja paksa.

Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...embantu-uighur
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-
Perubahan geopolitik Timur Tengah setelah AS tarik pasukan-
Penguatan IHSG dipimpin sektor Industri Konsumsi-
Tiket KRL Premium diperkirakan Rp15 ribuanasabila memberi reputasi
1
377
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan