- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ramai Soal Uighur, Begini Tanggapan Kedubes Tiongkok di Jakarta


TS
XinHua.News
Ramai Soal Uighur, Begini Tanggapan Kedubes Tiongkok di Jakarta
Setelah Ketua Majelis Umum Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengeluarkan pernyataan tentang kondisi etnis Uighur Muslim di Provinsi Xinjiang, Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta mengeluarkan tanggapan resmi pada Kamis (20/12).
Melalui juru bicara kedutaan, pemerintah Tiongkok membantah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas tersebut. Mereka menyebut apa yang dijalankan di Xinjiang adalah pemberian pendidikan vokasi untuk mengurangi ekstremisme dan terorisme di sana.
"Tiongkok merupakan sebuah negara dengan beragam kelompok etnis dan agama. Seperti dituliskan di dalam konstitusi, seluruh masyarakat Tiongkok menikmati kebebasan memeluk kepercayaan. Sesuai dengan hukum, pemerintah Tiongkok melindungi kebebasan beragama yang dinikmati oleh semua rakyat, termasuk Uighur Muslim," demikian pernyataan tertulis Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta yang diterima IDN Times.
Kedutaan Besar Tiongkok dalam keterangannya menambahkan bahwa ada 10 kelompok etnis di Tiongkok yang memeluk agama Islam, salah satunya adalah Uighur. Menurut Kedutaan Besar Tiongkok, bukti bahwa pemerintah China menjamin kebebasan penganut Islam untuk menjalankan kepercayaan mereka dapat dilihat dari adanya sekitar 24.400 masjid di Xinjiang. Jumlah itu mencapai 70 persen total masjid di seluruh Tiongkok.
Selain keberadaan masjid, pihak Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta juga menyebut Xinjiang menjadi rumah bagi 92 persen organisasi Islam di negara tersebut. Lalu, ada delapan institusi pendidikan Islam juga yang berlokasi di provinsi dekat Asia Tengah itu.
"Pemerintah Xinjiang mengatur penerbangan setiap tahun yang membawa penganut Islam ke Mekah di Arab Saudi. Pemerintah Xinjiang mendanai perawatan medis dan penerjemah bagi jemaah haji, dan menawarkan layanan lain untuk memastikan ibadah yang aman dan tertib," demikian keterangan tertulis. Alquran juga disebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari yang dipakai etnis Uighur.
Intervensi terhadap kehidupan beragama, menurut pihak kedutaan, dilakukan ketika ekstremisme dan terorisme mengancam Xinjiang. Ia mencontohkan konflik pada pertengahan 2009 antara etnis Uighur dan Han yang menewaskan setidaknya 140 orang dan melukai lebih dari 800 lainnya.
Dikutip dari The Guardian, usai insiden itu pemerintah Tiongkok menyalahkan etnis Uighur yang mengasingkan diri ke luar negeri sebagai dalang. Kekerasan itu, kata pemerintah, "dipicu dan diarahkan dari luar negeri, serta dilakukan oleh kriminal di wilayah itu". Salah satu yang dituding sebagai otaknya adalah pemimpin Kongres Uighur Dunia, Rebiya Kadeer, yang kini berada di Amerika Serikat.
Untuk merespons insiden tersebut, pemerintah Tiongkok memutuskan mendirikan apa yang mereka sebut institusi vokasi. "Di beberapa tempat, warga tertentu punya keterbatasan memahami bahasa bersama di negara ini dan tak cukup punya pengetahuan soal hukum. Mereka kerap kali sulit mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya kemampuan vokasi. Ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan terorisme dan ekstremisme," tulis juru bicara Kedutaan dalam pernyataan tertulis.
Melalui keberadaan program ini, mereka diajari untuk membuat pakaian, alas kaki, makanan instan, e-commerce, serta beberapa bidang lainnya. Kedubes Tiongkok mengklaim ini membuat tingkat ekstremisme dan terorisme berkurang, kemudian perekonomian serta keamanan meningkat. Pihak kedutaan sendiri belum merespons pertanyaan IDN Times tentang bagaimana cara warga Uighur mengikuti pendidikan vokasi itu.
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan terkait dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah Tiongkok terhadap komunitas warga Muslim Uighur. Berdasarkan temuan komite itu, diperkirakan ada "puluhan ribu hingga satu juta warga Uighur" yang ditawan di Provinsi Xinjiang.
Menurut salah satu anggota, Gay McDougall, kamp itu adalah "zona tanpa hak asasi manusia". Bekas tawanan menjelaskan tempat tersebut dijaga ketat oleh pasukan bersenjata. Warga Uighur yang merupakan penganut agama Islam dipaksa meninggalkan keyakinan mereka dan berterima kasih kepada Partai Komunis.
Sementara itu, Din Syamsuddin mengatakan penindasan seperti itu merupakan pelanggaran nyata atas HAM dan hukum internasional. Ia juga mendesak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk "menyelamatkan nasib Uighur dan bersikap tegas terhadap rezim Tiongkok". Selain itu, ia meminta "pemerintah Indonesia menyalurkan sikap umat Islam Indonesia dengan bersikap keras dan tegas" terhadap pemerintah Tiongkok dan "membela nasib umat Islam di sana".
Kementerian Luar Negeri RI telah mendiskusikan isu dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang dengan Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian, pada pertemuan tanggal 17 Desember lalu.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan keprihatinan berbagai kalangan di Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur, sementara Dubes China menyampaikan komitmen negaranya terhadap perlindungan hak asasi manusia dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.
"Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir di sela-sela acara Diplomacy Festival (DiploFest) di Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti dikutip dari situs Antara.
Walaupun merupakan isu dalam negeri China, imbuhnya, Kemlu menilai Kedubes China di Jakarta tampaknya ingin untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di China.
Sementara Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi menyebut persoalan suku Uighur sebagai masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat. Dia juga menyebut bahwa sebagian kecil dari warga Muslim Uighur di Xinjiang yang total 10 juta jiwa itu berpaham radikal dan ingin merdeka. "Pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah China, atasi," kata Jingqi kepada Antara.
Jingqi beranggapan tindakan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China. Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di China yang jumlahnya 23 juta jiwa menurut Jingqi.
Menurut dia, pemerintah China memperlakukan warga sama dan tidak membatasi umat beragama menjalankan ibadah.
https://www.idntimes.com/news/world/...i-jakarta/full
tanggapan gan
Melalui juru bicara kedutaan, pemerintah Tiongkok membantah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas tersebut. Mereka menyebut apa yang dijalankan di Xinjiang adalah pemberian pendidikan vokasi untuk mengurangi ekstremisme dan terorisme di sana.
"Tiongkok merupakan sebuah negara dengan beragam kelompok etnis dan agama. Seperti dituliskan di dalam konstitusi, seluruh masyarakat Tiongkok menikmati kebebasan memeluk kepercayaan. Sesuai dengan hukum, pemerintah Tiongkok melindungi kebebasan beragama yang dinikmati oleh semua rakyat, termasuk Uighur Muslim," demikian pernyataan tertulis Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta yang diterima IDN Times.
Kedutaan Besar Tiongkok dalam keterangannya menambahkan bahwa ada 10 kelompok etnis di Tiongkok yang memeluk agama Islam, salah satunya adalah Uighur. Menurut Kedutaan Besar Tiongkok, bukti bahwa pemerintah China menjamin kebebasan penganut Islam untuk menjalankan kepercayaan mereka dapat dilihat dari adanya sekitar 24.400 masjid di Xinjiang. Jumlah itu mencapai 70 persen total masjid di seluruh Tiongkok.
Selain keberadaan masjid, pihak Kedutaan Besar Tiongkok di Jakarta juga menyebut Xinjiang menjadi rumah bagi 92 persen organisasi Islam di negara tersebut. Lalu, ada delapan institusi pendidikan Islam juga yang berlokasi di provinsi dekat Asia Tengah itu.
"Pemerintah Xinjiang mengatur penerbangan setiap tahun yang membawa penganut Islam ke Mekah di Arab Saudi. Pemerintah Xinjiang mendanai perawatan medis dan penerjemah bagi jemaah haji, dan menawarkan layanan lain untuk memastikan ibadah yang aman dan tertib," demikian keterangan tertulis. Alquran juga disebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari yang dipakai etnis Uighur.
Intervensi terhadap kehidupan beragama, menurut pihak kedutaan, dilakukan ketika ekstremisme dan terorisme mengancam Xinjiang. Ia mencontohkan konflik pada pertengahan 2009 antara etnis Uighur dan Han yang menewaskan setidaknya 140 orang dan melukai lebih dari 800 lainnya.
Dikutip dari The Guardian, usai insiden itu pemerintah Tiongkok menyalahkan etnis Uighur yang mengasingkan diri ke luar negeri sebagai dalang. Kekerasan itu, kata pemerintah, "dipicu dan diarahkan dari luar negeri, serta dilakukan oleh kriminal di wilayah itu". Salah satu yang dituding sebagai otaknya adalah pemimpin Kongres Uighur Dunia, Rebiya Kadeer, yang kini berada di Amerika Serikat.
Untuk merespons insiden tersebut, pemerintah Tiongkok memutuskan mendirikan apa yang mereka sebut institusi vokasi. "Di beberapa tempat, warga tertentu punya keterbatasan memahami bahasa bersama di negara ini dan tak cukup punya pengetahuan soal hukum. Mereka kerap kali sulit mendapatkan pekerjaan karena terbatasnya kemampuan vokasi. Ini membuat mereka rentan terhadap kekerasan terorisme dan ekstremisme," tulis juru bicara Kedutaan dalam pernyataan tertulis.
Melalui keberadaan program ini, mereka diajari untuk membuat pakaian, alas kaki, makanan instan, e-commerce, serta beberapa bidang lainnya. Kedubes Tiongkok mengklaim ini membuat tingkat ekstremisme dan terorisme berkurang, kemudian perekonomian serta keamanan meningkat. Pihak kedutaan sendiri belum merespons pertanyaan IDN Times tentang bagaimana cara warga Uighur mengikuti pendidikan vokasi itu.
Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis laporan terkait dugaan pelanggaran HAM oleh pemerintah Tiongkok terhadap komunitas warga Muslim Uighur. Berdasarkan temuan komite itu, diperkirakan ada "puluhan ribu hingga satu juta warga Uighur" yang ditawan di Provinsi Xinjiang.
Menurut salah satu anggota, Gay McDougall, kamp itu adalah "zona tanpa hak asasi manusia". Bekas tawanan menjelaskan tempat tersebut dijaga ketat oleh pasukan bersenjata. Warga Uighur yang merupakan penganut agama Islam dipaksa meninggalkan keyakinan mereka dan berterima kasih kepada Partai Komunis.
Sementara itu, Din Syamsuddin mengatakan penindasan seperti itu merupakan pelanggaran nyata atas HAM dan hukum internasional. Ia juga mendesak Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk "menyelamatkan nasib Uighur dan bersikap tegas terhadap rezim Tiongkok". Selain itu, ia meminta "pemerintah Indonesia menyalurkan sikap umat Islam Indonesia dengan bersikap keras dan tegas" terhadap pemerintah Tiongkok dan "membela nasib umat Islam di sana".
Kementerian Luar Negeri RI telah mendiskusikan isu dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap suku Uighur di Provinsi Xinjiang dengan Duta Besar China untuk Indonesia, Xiao Qian, pada pertemuan tanggal 17 Desember lalu.
Dalam pertemuan itu, perwakilan Kementerian Luar Negeri RI menyampaikan keprihatinan berbagai kalangan di Indonesia mengenai kondisi masyarakat Uighur, sementara Dubes China menyampaikan komitmen negaranya terhadap perlindungan hak asasi manusia dan sependapat bahwa informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur penting untuk diketahui publik.
"Kemlu menegaskan bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal HAM PBB, kebebasan beragama dan kepercayaan merupakan hak asasi manusia. Merupakan tanggung jawab tiap negara untuk menghormatinya," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir di sela-sela acara Diplomacy Festival (DiploFest) di Universitas Padjadjaran, Bandung, seperti dikutip dari situs Antara.
Walaupun merupakan isu dalam negeri China, imbuhnya, Kemlu menilai Kedubes China di Jakarta tampaknya ingin untuk terus memperluas komunikasi dengan berbagai kelompok masyarakat madani untuk menyampaikan informasi mengenai kondisi masyarakat Uighur di China.
Sementara Konsul Jenderal China di Surabaya Gu Jingqi menyebut persoalan suku Uighur sebagai masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat. Dia juga menyebut bahwa sebagian kecil dari warga Muslim Uighur di Xinjiang yang total 10 juta jiwa itu berpaham radikal dan ingin merdeka. "Pisah dari RRT. Itu yang kami, Pemerintah China, atasi," kata Jingqi kepada Antara.
Jingqi beranggapan tindakan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di China. Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di China yang jumlahnya 23 juta jiwa menurut Jingqi.
Menurut dia, pemerintah China memperlakukan warga sama dan tidak membatasi umat beragama menjalankan ibadah.
https://www.idntimes.com/news/world/...i-jakarta/full
tanggapan gan
1
3.7K
27


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan