Hampir semua orang takut dan trauma terhadap kejadian reaktor Chernobyl dan fukushima. Materi radioaktif yang bocor dari reaktor-reaktor tersebut menyebabkan semua masyarakat harus meninggalkan tempat tinggal mereka walaupun kecelakaan reaktor di negeri Sakura tidak separah dengan tragedi di Ukraina, 32 tahun yang lalu. Teori mutasi yang disebarkan oleh media secara masif makin memperburuk opini publik terhadap energi nuklir. Negara-negara seperti Jerman dan Swedia juga tidak setuju dengan listrik yang dihasilkan dari energi tersebut dan berencana menutup satu persatu reaktor nuklir mereka.

Namun ada kejutan dalam konferensi perubahan iklim untuk Energi bersih polusi dan terbarukan ke - 9 dari PBB. Setelah 30 tahun dunia berusaha memperbaiki iklim yang buruk akibat penggunaan bahan bakar fosil, energi nuklir dipertimbangkan untuk masuk ke dalam bahasan konferensi tersebut. Asosiasi nuklir seperti World Nuclear Association, IAEA and UNECE (United Nations Economic Commission for Europe) diberi kesempatan untuk mengadakan sesi diskusi tersendiri. Bukan bermaksud untuk mendiskriminasi. Bukan melarangnya. Apalagi menambah beban dengan membatasi dan mengaturnya dengan ketat sehingga menghilangkan potensi energi nuklir yang bisa menggantikan bahan bakar fosil. Tetapi untuk mencari keuntungan yang bisa diberikan dan bagaimana energi nuklir melawan perubahan iklim.

Penemuan listrik yang dihasilkan dari revolusi industri mengubah pola hidup manusia. Fenomena tersebut menaikkan kebutuhan listrik setiap tahun. Permintaan yang tinggi memperbesar ketergantungan terhadap bahan bakar fosil yang murah dan praktis. Ancaman perubahan iklim yang diakibatkan oleh konsumsi bahan bakar tersebut memberikan tantangan bagaimana mencari energi yang murah tapi minim polusi. Contoh inovatif dan progresif diberikan oleh analis energi asal Finlandia, Rauli Partenen, untuk masa depan di negaranya sendiri, tepatnya kota metropolitan Helsinki. Dia menjelaskan tentang energi terbarukan yaitu, surya dan angin, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik dan energi panas sepanjang tahun (lihat grafik).



Energi surya yang memancar di kota tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan masyarakat di musim panas saja. Sedangkan saat musim dingin, awan dan salju mengurangi efisiensi energi tersebut. Sebaliknya energi angin memberikan potensinya lebih banyak di saat musim dingin daripada di musim panas walaupun tidak sebesar energi surya.

Partenen juga mempertimbangkan energi biofuel. Tapi dibutuhkan lahan sebesar 50 kali luas kota Helsinki untuk memenuhi permintaan tiap tahun jika efisiensi konversi (produksi dan distribusi energi) diasumsikan 100%. Tapi jika diterapkan secara nyata, efisiensi konversi hanya sebesar 40% dan membutuhkan lahan sepertiga luas negara itu sendiri.

Partenen memberikan solusi untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut yaitu energi nuklir. Salah satu energi yang memanfaatkan panas dari reaksi fisi ini mampu menyediakan sumber energi dengan stabil tanpa ancaman cuaca dan tidak memakan lahan yang luas. Ketakutan terhadap energi nuklir membuat para masyarakat selalu mengabaikannya walaupun tanpa dilandasi oleh data dan menyamakannya dengan senjata nuklir yang menimpa korban mengerikan di akhir perang dunia dua. Padahal jumlah kematian akibat operasional pembangkit nuklir di bawah pemanfaatan energi surya dan angin (lihat grafik).

Negara nordik yang bersebelahan dengan Swedia ini memiliki dua pembangkit nuklir yang telah berjalan lebih dari 30 tahun. Namun adanya faktor regulasi ketat dan opini publik menyulitkan pengembangan energi nuklir. Dua pembangkit tersebut masih menggunakan model BWR (boiling water reactor) dan PWR (pressurized water reactor) yang sulit diaplikasikan lagi di jaman sekarang sehingga teknologi terbaru sangat dibutuhkan untuk menihilkan adanya kebocoran dan meningkatkan efisiensi reaktor. Selain itu salah satu teknologi nuklir yang tidak bisa diabaikan yaitu memanfaatkan reaktor berukuran kecil yang praktis dan bisa dibangun di dekat kota, seperti Helsinki. Partenen memberikan dua contoh reaktor yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu HTR-PM pebble-bed dan IMSR (Integral Molten-Salt Reactor). Dia juga mengusulkan penggunaan desain CHP (combined heat and power) untuk meningkatkan produktivitas reaktor.

Desain CHP memungkinkan panas yang dihasilkan dari reaktor tidak hanya dikonversi menjadi listrik, tetapi juga dapat disalurkan ke kota melalui pipa untuk menghadapi suhu rendah saat musim dingin dan dimanfaatkan untuk sintesis hidrogen melalui metode HTSE (High Temperature Steam Electrolysis). Produk sintesis tersebut dipakai untuk kendaraan yang menggunakan bahan bakar gas hidrogen atau fuel cell vehicle.

Semoga hasil diskusi tersebut mengubah persepsi masyarakat dunia untuk tidak mengabaikan nuklir dalam proyek energi bersih dan terbarukan sehingga menurunkan polusi dan limbah akibat penggunaan bahan bakar fosil.