

TS
TentaraLangit
Bubarkan KKIP, Balitbang Kemhan, dan Dislitbang Angkatan
Judulnya mungkin terlalu provokatif. Tapi secara tersirat, sepertinya itulah yang ingin disampaikan penulis dalam Opini Republika (Kamis, 8 Nov 2018). Tulisan menarik dari seorang Perwira TNI AU yang berseliweran di timeline Facebook beberapa hari ini. Dia mengidentifikasi 2 masalah kenapa teknologi dan industri pertahanan Indonesia selalu tertinggal. Kemudian dia menawarkan 3 gagasan sebagai solusinya. Menurut dia, ini adalah jalan terakhir. Berarti tidak ada jalan lain dong......
Thread ini adalah copy-paste status FB-nya. Link FB disertakan di bawah, termasuk link Google Scholar-nya. Banyak publikasinya dalam bisang missile guidance and control. Langsung saja, berikut tulisannya itu:
Sumber (Facebook Penulis)
Sumber (Publikasi Ilmiah Penulis)

Thread ini adalah copy-paste status FB-nya. Link FB disertakan di bawah, termasuk link Google Scholar-nya. Banyak publikasinya dalam bisang missile guidance and control. Langsung saja, berikut tulisannya itu:
Spoiler for Versi Full Text:
TIDAK ADA JALAN LAIN
Hanya tulisan sederhana yang dimuat di koran. Sebagian isi dari tulisan ini telah diterbitkan dalam buku Angkasa Cendikia TNI AU, Jurnal Defendonesia, presentasi Kamisan PPI Cranfield, dan diskusi-diskusi panjang dengan kawan-kawan. Untuk mengasah jari dan berbagi opini dengan kawan yang lebih banyak, tidak ada jalan lain selain menulisnya di koran.
Ini adalah pendapat pribadi yang tidak mewakili satuan atau institusi. Mari diskusi...
==============
Opini - Harian Republika
Kamis, 8 November 2018
Menuju Kemandirian Alutsista
Y. H. Yogaswara,
Perwira TNI AU
Peneliti Teknologi Pertahanan
Empat belas tahun sejak pertama kali dilaksanakan, IndoDefence kembali digelar tahun ini. IndoDefence seharusnya menjadi katalis perkembangan tekindhan (teknologi dan industri pertahanan) untuk kemandirian pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata). Namun, sepertinya harapan ini tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Padahal, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, Korea Selatan menjalankan strategi yang mampu menjadikannya negara eksportir alutsista, termasuk ke Indonesia.
IndoDefence saja tidak cukup, Indonesia memerlukan strategi tambahan. Saat ini, kita boleh berbangga atas pencapaian pengembangan medium tank, kapal selam, hingga kerjasama pesawat tempur. Namun pencapaian tersebut masih dibayangi masalah kronis yaitu lambatnya penguasaan tekindhan. Jika masalah ini tidak diselesaikan, selamanya kemampuan tekindhan Indonesia akan tertinggal.
Permasalahan
Penyebab pertama lambatnya penguasaan tekindhan adalah lemahnya regulasi sistem akuisisi pertahanan. Hal ini dapat dilihat dari pertentangan antar regulasi, kurangnya sinergi, koordinasi tidak efektif, dan persaingan antarsatuan. Sebagai contoh, KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) yang dibentuk oleh UU Nomor 16 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 59 Tahun 2013 untuk mengawal perkembangan tekindhan, justru menjelma menjadi organisasi yang serbatanggung. Dalam melaksanakan fungsinya untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan industri pertahanan, tugas dan wewenang KKIP hanya terbatas pada perumusan, koordinasi, sinkronisasi, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan untuk menjalankan kebijakan tersebut, KKIP tidak memiliki kewenangan untuk memberikan reward and punishment kepada institusi dalam lingkup kerjanya. Di sisi lain, KKIP adalah organisasi lintas kementerian dan lembaga yang gemuk sehingga menjadikannya kompromistis dan sulit merumuskan kebijakan yang fokus dan strategis.
Pada sisi lain, kurangnya sinergi dan koordinasi dapat terlihat dari satuan center of excellent litbang iptekhan (penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan) yaitu Balitbang Kemhan dan tiga Dislitbang Angkatan. [(Keempat satuan tersebut sering melaksanakan kegiatan yang saling beririsan. Sebagai contoh, keempatnya pernah mengembangkan pesawat-tanpa-awak pada waktu yang hampir bersamaan. Bahkan, jika catatan kegiatan satuan tersebut diteliti lebih dalam, akan ditemukan lebih banyak lagi duplikasi kegiatan). Catatan: bagian ini dihilangkan dalam naskah karena melebihi ruang].
Kesempatan transfer teknologi dalam pengadaan alutsista terkendala oleh permasalahan kedua, yaitu rendahnya kualitas personel peneliti dan perekayasa iptekhan. Permasalahan ini berdampak pada lambatnya pengalihan pengetahuan dan kemampuan, apalagi melaksanakan reverse engineering. Sekilas, keahlian dan kualifikasi ini dapat diukur dari tingkat pendidikan formal tenaga peneliti dan perekayasa. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012, lulusan doktor dan magister merupakan personel yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan litbang, namun justru jumlahnya sangat minim di satuan litbang iptekhan. Apalagi personel ujung tombak litbang dengan keahlian STEM (science, technology, engineering, and mathematics).
Jalan Terakhir
Setelah berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah tidak mempercepat perkembangan tekindhan secara signifikan, ditawarkan tiga solusi baru yang belum pernah diwacananakan dan dielaborasi untuk dapat menyelesaikan masalah kronis di Indonesia ini. Pertama, reformasi sistem akusisi pertahanan melalui pendirian Lembaga Akuisisi Pertahanan (LAP). Berbeda dengan KKIP yang diketuai presiden dan lintas kementerian, LAP merupakan organisasi di bawah Menteri Pertahanan. Selain merumuskan dan evaluasi kebijakan, LAP juga merupakan pelaksana tunggal pengadaan materiil alutsista maupun non-alutsista melalui pembelian atau litbang. Seluruh fungsi pengembangan tekindhan berada di bawah kendali LAP, sehingga dapat mengoptimalkan seluruh sumberdaya secara sinergis, efektif dan efisien.
Secara organisasi, LAP membawahi dua satuan, yaitu Badan Litbang (Balitbang) dan Badan Penjamin Mutu (BPM). Balitbang adalah satuan utama dalam penguasaan iptek materiil alutsista maupun non-alutsista. Balitbang bertugas sebagai pelaksana litbang teknologi inti maupun teknologi matra, penerima transfer teknologi, serta pengujian dan evaluasi. Sedangkan BPM bertugas dalam perencanaan teknologi, rekayasa sistem, analisa kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis, manajemen kualitas, sertifikasi materiil, serta koordinasi dan kerjasama.
Strategi ini sukses dilaksanakan oleh Korea Selatan dengan mendirikan DAPA (Defense Acquisition Program Administration) pada 2006. Lembaga di bawah Menteri Pertahanan ini bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan pertahanan, pengadaan materiil militer, dan promosi industri pertahanan. DAPA melaksanakan seluruh proses akuisisi pertahanan dari mulai materiil paling modern hingga yang paling sederhana. Sampai tahun 2011 saja, Korea Selatan mampu meningkatkan ekspor alutsista hampir sepuluh kali lipat sejak DAPA didirikan.
Solusi kedua adalah integrasi empat satuan litbang iptekhan ke dalam LAP untuk optimalisasi penyerapan teknologi serta menghasilkan produk litbang yang berkualitas dan sinergis. Sumberdaya yang saat ini tersebar dalam empat satuan tersebut dapat didistribusikan ke dalam Balitbang maupun BPM. Satuan Dislitbang Angkatan sebaiknya direorganisasi ke dalam Satuan Pemeliharaan masing-masing angkatan untuk keperluan optimalisasi dan modifikasi alutsista yang telah dimiliki.
Solusi terakhir adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia LAP khususnya peneliti, perekayasa, analis, dan penjamin mutu. Solusi ini dapat dicapai melalui proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel; penempatan personel sesuai keahlian dan kualifikasi; pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; sistem dan lingkungan kerja yang produktif dan kondusif. Selain itu, insentif berbasis prestasi; penjaminan pakta integritas; serta pengawasan berbasis ombudsman.
Selama regulasi dan kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan masalah lemahnya regulasi dan rendahnya kualitas personel, akan sulit bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan alutsista impor. Tiga solusi di atas merupakan jalan terakhir untuk menyelesaikan lambatnya penguasaan tekindhan dan mengejar ketertinggalan menuju kemandirian alutsista. Tidak ada jalan lain.
================
EOP-YHY2018
Hanya tulisan sederhana yang dimuat di koran. Sebagian isi dari tulisan ini telah diterbitkan dalam buku Angkasa Cendikia TNI AU, Jurnal Defendonesia, presentasi Kamisan PPI Cranfield, dan diskusi-diskusi panjang dengan kawan-kawan. Untuk mengasah jari dan berbagi opini dengan kawan yang lebih banyak, tidak ada jalan lain selain menulisnya di koran.
Ini adalah pendapat pribadi yang tidak mewakili satuan atau institusi. Mari diskusi...
==============
Opini - Harian Republika
Kamis, 8 November 2018
Menuju Kemandirian Alutsista
Y. H. Yogaswara,
Perwira TNI AU
Peneliti Teknologi Pertahanan
Empat belas tahun sejak pertama kali dilaksanakan, IndoDefence kembali digelar tahun ini. IndoDefence seharusnya menjadi katalis perkembangan tekindhan (teknologi dan industri pertahanan) untuk kemandirian pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata). Namun, sepertinya harapan ini tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Padahal, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, Korea Selatan menjalankan strategi yang mampu menjadikannya negara eksportir alutsista, termasuk ke Indonesia.
IndoDefence saja tidak cukup, Indonesia memerlukan strategi tambahan. Saat ini, kita boleh berbangga atas pencapaian pengembangan medium tank, kapal selam, hingga kerjasama pesawat tempur. Namun pencapaian tersebut masih dibayangi masalah kronis yaitu lambatnya penguasaan tekindhan. Jika masalah ini tidak diselesaikan, selamanya kemampuan tekindhan Indonesia akan tertinggal.
Permasalahan
Penyebab pertama lambatnya penguasaan tekindhan adalah lemahnya regulasi sistem akuisisi pertahanan. Hal ini dapat dilihat dari pertentangan antar regulasi, kurangnya sinergi, koordinasi tidak efektif, dan persaingan antarsatuan. Sebagai contoh, KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) yang dibentuk oleh UU Nomor 16 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 59 Tahun 2013 untuk mengawal perkembangan tekindhan, justru menjelma menjadi organisasi yang serbatanggung. Dalam melaksanakan fungsinya untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan industri pertahanan, tugas dan wewenang KKIP hanya terbatas pada perumusan, koordinasi, sinkronisasi, dan evaluasi kebijakan. Sedangkan untuk menjalankan kebijakan tersebut, KKIP tidak memiliki kewenangan untuk memberikan reward and punishment kepada institusi dalam lingkup kerjanya. Di sisi lain, KKIP adalah organisasi lintas kementerian dan lembaga yang gemuk sehingga menjadikannya kompromistis dan sulit merumuskan kebijakan yang fokus dan strategis.
Pada sisi lain, kurangnya sinergi dan koordinasi dapat terlihat dari satuan center of excellent litbang iptekhan (penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan) yaitu Balitbang Kemhan dan tiga Dislitbang Angkatan. [(Keempat satuan tersebut sering melaksanakan kegiatan yang saling beririsan. Sebagai contoh, keempatnya pernah mengembangkan pesawat-tanpa-awak pada waktu yang hampir bersamaan. Bahkan, jika catatan kegiatan satuan tersebut diteliti lebih dalam, akan ditemukan lebih banyak lagi duplikasi kegiatan). Catatan: bagian ini dihilangkan dalam naskah karena melebihi ruang].
Kesempatan transfer teknologi dalam pengadaan alutsista terkendala oleh permasalahan kedua, yaitu rendahnya kualitas personel peneliti dan perekayasa iptekhan. Permasalahan ini berdampak pada lambatnya pengalihan pengetahuan dan kemampuan, apalagi melaksanakan reverse engineering. Sekilas, keahlian dan kualifikasi ini dapat diukur dari tingkat pendidikan formal tenaga peneliti dan perekayasa. Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2012, lulusan doktor dan magister merupakan personel yang memiliki kompetensi untuk melaksanakan litbang, namun justru jumlahnya sangat minim di satuan litbang iptekhan. Apalagi personel ujung tombak litbang dengan keahlian STEM (science, technology, engineering, and mathematics).
Jalan Terakhir
Setelah berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah tidak mempercepat perkembangan tekindhan secara signifikan, ditawarkan tiga solusi baru yang belum pernah diwacananakan dan dielaborasi untuk dapat menyelesaikan masalah kronis di Indonesia ini. Pertama, reformasi sistem akusisi pertahanan melalui pendirian Lembaga Akuisisi Pertahanan (LAP). Berbeda dengan KKIP yang diketuai presiden dan lintas kementerian, LAP merupakan organisasi di bawah Menteri Pertahanan. Selain merumuskan dan evaluasi kebijakan, LAP juga merupakan pelaksana tunggal pengadaan materiil alutsista maupun non-alutsista melalui pembelian atau litbang. Seluruh fungsi pengembangan tekindhan berada di bawah kendali LAP, sehingga dapat mengoptimalkan seluruh sumberdaya secara sinergis, efektif dan efisien.
Secara organisasi, LAP membawahi dua satuan, yaitu Badan Litbang (Balitbang) dan Badan Penjamin Mutu (BPM). Balitbang adalah satuan utama dalam penguasaan iptek materiil alutsista maupun non-alutsista. Balitbang bertugas sebagai pelaksana litbang teknologi inti maupun teknologi matra, penerima transfer teknologi, serta pengujian dan evaluasi. Sedangkan BPM bertugas dalam perencanaan teknologi, rekayasa sistem, analisa kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis, manajemen kualitas, sertifikasi materiil, serta koordinasi dan kerjasama.
Strategi ini sukses dilaksanakan oleh Korea Selatan dengan mendirikan DAPA (Defense Acquisition Program Administration) pada 2006. Lembaga di bawah Menteri Pertahanan ini bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan pertahanan, pengadaan materiil militer, dan promosi industri pertahanan. DAPA melaksanakan seluruh proses akuisisi pertahanan dari mulai materiil paling modern hingga yang paling sederhana. Sampai tahun 2011 saja, Korea Selatan mampu meningkatkan ekspor alutsista hampir sepuluh kali lipat sejak DAPA didirikan.
Solusi kedua adalah integrasi empat satuan litbang iptekhan ke dalam LAP untuk optimalisasi penyerapan teknologi serta menghasilkan produk litbang yang berkualitas dan sinergis. Sumberdaya yang saat ini tersebar dalam empat satuan tersebut dapat didistribusikan ke dalam Balitbang maupun BPM. Satuan Dislitbang Angkatan sebaiknya direorganisasi ke dalam Satuan Pemeliharaan masing-masing angkatan untuk keperluan optimalisasi dan modifikasi alutsista yang telah dimiliki.
Solusi terakhir adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia LAP khususnya peneliti, perekayasa, analis, dan penjamin mutu. Solusi ini dapat dicapai melalui proses rekrutmen yang transparan dan akuntabel; penempatan personel sesuai keahlian dan kualifikasi; pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; sistem dan lingkungan kerja yang produktif dan kondusif. Selain itu, insentif berbasis prestasi; penjaminan pakta integritas; serta pengawasan berbasis ombudsman.
Selama regulasi dan kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan masalah lemahnya regulasi dan rendahnya kualitas personel, akan sulit bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan alutsista impor. Tiga solusi di atas merupakan jalan terakhir untuk menyelesaikan lambatnya penguasaan tekindhan dan mengejar ketertinggalan menuju kemandirian alutsista. Tidak ada jalan lain.
================
EOP-YHY2018
Sumber (Facebook Penulis)
Sumber (Publikasi Ilmiah Penulis)

1
4.8K
Kutip
8
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan