- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ballad of a Soldier


TS
Wordsworth
Ballad of a Soldier
PROLOGUE: THE BEGINNING
Puncak Jaya, 31 Desember 2016
Kamp Satuan “Hanoman”
Operasi tumpas Separatis Papua Merdeka
Malam yang dingin, langit dipenuhi oleh bintang dan kilatan kembang api. Malam itu sedikit lebih istimewa dibandingkan dengan malam-malam yang sebelumnya. Mereka bersorak-sorai, berdoa dan mengucapkan syukur kepada Sang Kuasa; berharap untuk keuntungan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan untuk menjalani tahun yang akan datang dalam waktu kurang dari 10 menit.
Ada yang makan…
Ada yang bercerita…
Ada yang mabuk….
Dan ada yang merenung di sudut ruangan sembari menghisap sebatang rokok. Lelaki berperawakan besar itu menatap tangannya dengan pandangan kosong. Jarinya bermain dengan sebuah selongsong caliber 7.62 yang konon katanya ia gunakan untuk menembak seorang teroris, tepat di kepalanya. Lelaki ini menoleh ke sebelah kirinya, mengangkat sebotol Topi Miring ke udara lalu menenggak vodka itu layaknya air minum dalam kemasan.
Tidak jauh dari pria besar itu, yang belakangan diketahui sebagai Kapten Yudha, ada segerombolan pria berpakaian serba hitam sedang asyik makan kacang dan ubi bakar. Mereka menikmati hidangan alakadarnya itu dengan penuh senyuman. Salah satu dari antara mereka yang bernama Kopral Dharma berkata “coba aja setiap hari kita bisa sesantai ini, manusia hidup damai dan kita nggak perlu pasang badan di pos jaga.”
Malam semakin larut, letupan suara kembang api pun semakin mengganas mengiringi sorakan masyarakat kampung yang dipenuhi oleh euphoria suasana tahun baru. Kapten Yudha berdiri dari posisi sebelumnya dan berjalan kearah jendela. Ia melihat prajuritnya tengah asyik menatap langit dan tanpa rasa curiga, ia berjalan kembali menuju barak untuk tidur.
Kapten Yudha sudah setengah mabuk. Dia sangat lelah karena patroli mengelilingi perimeter distrik, dan ia benar-benar belum merasakan tidur nyenyak diatas kasur selama 6 hari belakangan. Lettu Yudha berusaha untuk memejamkan matanya, namun untuk sebuah alasan yang tidak dia ketahui, dia merasa cemas dan panik. Ia menajamkan pendengaranya; langit masih dipenuhi oleh letupan dan kilatan cahaya kembang api.
“ciuuuuu duarrrrrrrr”
“tar…. tar…….tarr’’
“suara ini bukan kembang api” gumam Kapten Yudha. Ia beranjak bangun dari tempat tidurnya, ia meraih pistol Glock 18 yang terletak di lemari pakaian lalu melangkah keluar dari barak.
“BLARRRRRRRR”
Kapten Yudha terpelanting ke tanah. Sebuah mortar telah mendarat tepat 50 meter di depan pintu barak. Ia pingsan tak sadarkan diri.
Suasana kamp tiba-tiba menjadi gelap gulita. Sersan Dua Slamet yang sedang berak mendengar kejadian itu. Tanpa celana, ia lari keluar untuk mengambil fire position. Serda Slamet memiliki kebiasaan membawa senapan mesin FN Minimi andalannya kemanapun ia pergi. Dia berlari sambil menembakkan senjatanya kearah pepohonan, lalu tersandung oleh Lettu Yudha yang sedang tergeletak. Tanpa pikir panjang, Serda Slamet menjatuhkan senjatanya dan menyeret Lettu Yudha ke tempat yang aman. Serda Slamet berusaha untuk menyadarkan Lettu Yudha yang pingsan, namun tetap tidak ada hasilnya.
Serda Slamet ingat bahwa dirinya tidak punya senjata apapun. FN Minimi yang menjadi jimatnya telah ia tinggalkan di depan pintu barak. Serda Slamet memejamkan matanya dan mengucapkan “Bismillah” lalu berlari kearah samping kanan barak. Dengan sebuah keajaiban, Serda Slamet dapat meraih senjatanya kembali. Ia melihat sebuah percikan api dari arah jam 1, tepat diatas tower air yang diiringi dengan rentetan bunyi senapan serbu. Serda Slamet membidik senapan mesinnya kearah asal percikan api, lalu menyemburkan semua peluru yang ada di dalam senapannya.
“ENEMY AT ONE O CLOCK, FIRE AT WILL!!” teriak Kopral Dharma dari bawah tower air, yang kemudian disusul dengan rentetan berbagai macam senapan dan bahan peledak kearah jam 1.
Tubuh Serda Slamet tercabik-cabik oleh peluru dari kawannya sendiri. Ia jatuh berlutut ke tanah. Serda Slamet masih bernafas, sampai pada akhirnya sebuah granat meledak tepat disampingnya. Darah menggenang diatas ratusan selongsong peluru yang ia gunakan.
Rentetan senapan serbu memenuhi suasana malam tahun baru itu. Kapten Yudha mulai sadar lalu berjalan dengan terseok-seok menuju pintu barak. Yudha sadar kalau kampnya tengah diserbu oleh grup separatis dan ia harus memberikan komando kepada para prajuritnya. Belum saja sampai pintu barak, Yudha diberondong peluru dari arah tower air. Hanya saja, tak satupun peluru yang mengenai dirinya. Melihat atasannya ditembaki, Letnan Andi dan Praka Santoso yang tengah bersembunyi di belakang gudang senjata pun menjadi geram. Praka Santoso berusaha mengidentifikasi asal serangan tersebut dan Letnan Andi menyarangkan sebuah proyektil bazooka ke arah tower air. Dalam hitungan detik, tempat persembunyian Kopral Dharma dan prajurit lainnya pun luluh lantak ditelan api.
Kapten Yudha merangsek masuk kedalam barak, meraih rompi anti peluru, radio, sepucuk senapan serbu M4A1 dan memasukkan magazine sebanyak mungkin ke dalam tas ranselnya. Ia memberikan komando kepada semua personel yang masih tersisa untuk keluar dari kamp dan berkumpul di Bandar Udara Distrik Mulia, yang dimana adalah tempat pertahanan terakhir apabila mereka diserbu.
“Untuk semua personel, tinggalkan markas dan lari ke Mulia melewati jalan hutan. Hindari jalan pedesaan. Over and out”
Malam itu, hampir semua pasukan Satgas Hanoman telah dibantai atau melarikan diri dari kamp. Namun Letnan Andi dan Praka Santoso memutuskan untuk tinggal bersama Kapten Yudha dan membakar arsip atau dokumen penting yang berada di dalam markas.
“Santoso, tolong amankan gudang senjata. Ambil seperlunya, sekuatnya, sebisanya. Kalau sudah, C4 gudangnya” Perintah Kapten Yudha kepada Praka Santoso.
“Andi, set up perimeter sebesar mungkin. Usahakan semua area bisa kamu lihat. Saya minta kamu naik ke atap dapur dan provide saya machine gun cover.” Ucap Kapten Yudha kepada Letnan Andi.
“mohon ijin, tapi bapak gimana?” kata Santoso dengan nada yang sedikit cemas.
“I’ll be your guardian angel” sambil menunjuk sebuah pohon besar tua sekitar 600 meter dari kamp.
“well then, you might need this” seru Letnan Andi dari kejauhan sembari mengacungkan sepucuk senapan M14.
“Alright boys. We are back in action.” Teriak Kapten Yudha kepada prajuritnya.
Selang sekian detik, terdengar desingan peluru yang kemudian menghantam dada Letnan Andi.
“Brukk” Letnan Andi tersungkur dari atap dan jatuh ke tanah, bersimbah darah. Praka Santoso berteriak “SNIPER, GET THE FUCK DOWN!” Yudha dan Santoso merayap ke balik perlindungan apapun yang bisa mereka temukan. Mereka akhirnya bisa melarikan diri dari dalam kamp dan berjalan kearah hutan yang lebat.
Puncak Jaya, 31 Desember 2016
Kamp Satuan “Hanoman”
Operasi tumpas Separatis Papua Merdeka
Malam yang dingin, langit dipenuhi oleh bintang dan kilatan kembang api. Malam itu sedikit lebih istimewa dibandingkan dengan malam-malam yang sebelumnya. Mereka bersorak-sorai, berdoa dan mengucapkan syukur kepada Sang Kuasa; berharap untuk keuntungan, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keselamatan untuk menjalani tahun yang akan datang dalam waktu kurang dari 10 menit.
Ada yang makan…
Ada yang bercerita…
Ada yang mabuk….
Dan ada yang merenung di sudut ruangan sembari menghisap sebatang rokok. Lelaki berperawakan besar itu menatap tangannya dengan pandangan kosong. Jarinya bermain dengan sebuah selongsong caliber 7.62 yang konon katanya ia gunakan untuk menembak seorang teroris, tepat di kepalanya. Lelaki ini menoleh ke sebelah kirinya, mengangkat sebotol Topi Miring ke udara lalu menenggak vodka itu layaknya air minum dalam kemasan.
Tidak jauh dari pria besar itu, yang belakangan diketahui sebagai Kapten Yudha, ada segerombolan pria berpakaian serba hitam sedang asyik makan kacang dan ubi bakar. Mereka menikmati hidangan alakadarnya itu dengan penuh senyuman. Salah satu dari antara mereka yang bernama Kopral Dharma berkata “coba aja setiap hari kita bisa sesantai ini, manusia hidup damai dan kita nggak perlu pasang badan di pos jaga.”
Malam semakin larut, letupan suara kembang api pun semakin mengganas mengiringi sorakan masyarakat kampung yang dipenuhi oleh euphoria suasana tahun baru. Kapten Yudha berdiri dari posisi sebelumnya dan berjalan kearah jendela. Ia melihat prajuritnya tengah asyik menatap langit dan tanpa rasa curiga, ia berjalan kembali menuju barak untuk tidur.
Kapten Yudha sudah setengah mabuk. Dia sangat lelah karena patroli mengelilingi perimeter distrik, dan ia benar-benar belum merasakan tidur nyenyak diatas kasur selama 6 hari belakangan. Lettu Yudha berusaha untuk memejamkan matanya, namun untuk sebuah alasan yang tidak dia ketahui, dia merasa cemas dan panik. Ia menajamkan pendengaranya; langit masih dipenuhi oleh letupan dan kilatan cahaya kembang api.
“ciuuuuu duarrrrrrrr”
“tar…. tar…….tarr’’
“suara ini bukan kembang api” gumam Kapten Yudha. Ia beranjak bangun dari tempat tidurnya, ia meraih pistol Glock 18 yang terletak di lemari pakaian lalu melangkah keluar dari barak.
“BLARRRRRRRR”
Kapten Yudha terpelanting ke tanah. Sebuah mortar telah mendarat tepat 50 meter di depan pintu barak. Ia pingsan tak sadarkan diri.
Suasana kamp tiba-tiba menjadi gelap gulita. Sersan Dua Slamet yang sedang berak mendengar kejadian itu. Tanpa celana, ia lari keluar untuk mengambil fire position. Serda Slamet memiliki kebiasaan membawa senapan mesin FN Minimi andalannya kemanapun ia pergi. Dia berlari sambil menembakkan senjatanya kearah pepohonan, lalu tersandung oleh Lettu Yudha yang sedang tergeletak. Tanpa pikir panjang, Serda Slamet menjatuhkan senjatanya dan menyeret Lettu Yudha ke tempat yang aman. Serda Slamet berusaha untuk menyadarkan Lettu Yudha yang pingsan, namun tetap tidak ada hasilnya.
Serda Slamet ingat bahwa dirinya tidak punya senjata apapun. FN Minimi yang menjadi jimatnya telah ia tinggalkan di depan pintu barak. Serda Slamet memejamkan matanya dan mengucapkan “Bismillah” lalu berlari kearah samping kanan barak. Dengan sebuah keajaiban, Serda Slamet dapat meraih senjatanya kembali. Ia melihat sebuah percikan api dari arah jam 1, tepat diatas tower air yang diiringi dengan rentetan bunyi senapan serbu. Serda Slamet membidik senapan mesinnya kearah asal percikan api, lalu menyemburkan semua peluru yang ada di dalam senapannya.
“ENEMY AT ONE O CLOCK, FIRE AT WILL!!” teriak Kopral Dharma dari bawah tower air, yang kemudian disusul dengan rentetan berbagai macam senapan dan bahan peledak kearah jam 1.
Tubuh Serda Slamet tercabik-cabik oleh peluru dari kawannya sendiri. Ia jatuh berlutut ke tanah. Serda Slamet masih bernafas, sampai pada akhirnya sebuah granat meledak tepat disampingnya. Darah menggenang diatas ratusan selongsong peluru yang ia gunakan.
Rentetan senapan serbu memenuhi suasana malam tahun baru itu. Kapten Yudha mulai sadar lalu berjalan dengan terseok-seok menuju pintu barak. Yudha sadar kalau kampnya tengah diserbu oleh grup separatis dan ia harus memberikan komando kepada para prajuritnya. Belum saja sampai pintu barak, Yudha diberondong peluru dari arah tower air. Hanya saja, tak satupun peluru yang mengenai dirinya. Melihat atasannya ditembaki, Letnan Andi dan Praka Santoso yang tengah bersembunyi di belakang gudang senjata pun menjadi geram. Praka Santoso berusaha mengidentifikasi asal serangan tersebut dan Letnan Andi menyarangkan sebuah proyektil bazooka ke arah tower air. Dalam hitungan detik, tempat persembunyian Kopral Dharma dan prajurit lainnya pun luluh lantak ditelan api.
Kapten Yudha merangsek masuk kedalam barak, meraih rompi anti peluru, radio, sepucuk senapan serbu M4A1 dan memasukkan magazine sebanyak mungkin ke dalam tas ranselnya. Ia memberikan komando kepada semua personel yang masih tersisa untuk keluar dari kamp dan berkumpul di Bandar Udara Distrik Mulia, yang dimana adalah tempat pertahanan terakhir apabila mereka diserbu.
“Untuk semua personel, tinggalkan markas dan lari ke Mulia melewati jalan hutan. Hindari jalan pedesaan. Over and out”
Malam itu, hampir semua pasukan Satgas Hanoman telah dibantai atau melarikan diri dari kamp. Namun Letnan Andi dan Praka Santoso memutuskan untuk tinggal bersama Kapten Yudha dan membakar arsip atau dokumen penting yang berada di dalam markas.
“Santoso, tolong amankan gudang senjata. Ambil seperlunya, sekuatnya, sebisanya. Kalau sudah, C4 gudangnya” Perintah Kapten Yudha kepada Praka Santoso.
“Andi, set up perimeter sebesar mungkin. Usahakan semua area bisa kamu lihat. Saya minta kamu naik ke atap dapur dan provide saya machine gun cover.” Ucap Kapten Yudha kepada Letnan Andi.
“mohon ijin, tapi bapak gimana?” kata Santoso dengan nada yang sedikit cemas.
“I’ll be your guardian angel” sambil menunjuk sebuah pohon besar tua sekitar 600 meter dari kamp.
“well then, you might need this” seru Letnan Andi dari kejauhan sembari mengacungkan sepucuk senapan M14.
“Alright boys. We are back in action.” Teriak Kapten Yudha kepada prajuritnya.
Selang sekian detik, terdengar desingan peluru yang kemudian menghantam dada Letnan Andi.
“Brukk” Letnan Andi tersungkur dari atap dan jatuh ke tanah, bersimbah darah. Praka Santoso berteriak “SNIPER, GET THE FUCK DOWN!” Yudha dan Santoso merayap ke balik perlindungan apapun yang bisa mereka temukan. Mereka akhirnya bisa melarikan diri dari dalam kamp dan berjalan kearah hutan yang lebat.
Diubah oleh Wordsworth 13-11-2017 22:54
0
2.3K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan