- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Proyek PLTA Didanai China Ancam Habitat Orangutan Tapanuli


TS
kellyrp
Proyek PLTA Didanai China Ancam Habitat Orangutan Tapanuli
Quote:
Pembangunan bendungan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang bernilai miliaran dolar di hutan lindung Batang Toru, Sumatra Utara mengancam habitat orangutan terlangka di dunia dan memicu kekhawatiran mengenai ekspansi global proyek infrastruktur China.
Hutan lindung Batang Toru, yang akan menjadi lokasi proyek, adalah satu-satunya habitat orangutan Tapanuli, spesies orangutan langka yang baru saja ditemukan. Saat ini, diketahui ada total 800 orangutan Tapanuli.
Proyek bernilai $1,6 miliar, yang diperkirakan mulai beroperasi pada 2022, akan melalui jantung habitat hewan yang terancam punah itu. Tidak saja orangutan Tapanuli yang terancam, tapi juga hewan-hewan yang terancam punah lainnya, seperti owa, siamang, dan harimau Sumatra.
Menurut dokumen-dokumen perusahaan, PT Hydro Energy Sumatra Utara, pengembang PLTA tersebut mendapat dukungan dari Sinosure, sebuah badan usaha milik negara (BUMN) China, yang memberikan asuransi untuk proyek-proyek investasi di luar negeri dan dari Bank of China.
BUMN China, Sinohydro, yang pernah membangun bendungan raksasa Three Gorges Dam, berhasil mendapat kontrak untuk merancang dan konstruksi proyek tersebut.
Proyek PLTA itu adalah satu dari puluhan proyek kelistrikan pemerintah meningkatkan rasio elektrifikasi di seluruh Indonesia.
Namun proyek yang didukung China itu telah memicu perlawanan dari para aktivis lingkungan, yang mengatakan proyek ini berpotensi mengganggu lingkungan dan hal ini tampak dengan keengganan Bank Dunia untuk terlibat dalam proyek tersebut.
Meski demikian, para investor China bergeming. Menurut para kritikus, hal ini menekankan dampak lingkungan dari ambisi infrastruktur China “Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative)” untuk menghubungkan Asia, Eropa dan Afrika melalui jaringan pelabuhan, jalan raya dan jalur kereta api.
Lonceng Kematian
Hingga baru-baru ini, para ilmuwan berpikir hanya ada dua tipe orangutan, yaitu orangutan Kalimantan dan Sumatra.
Namun pada 1997, seorang pakar antropologi biologi, Erik Meijaard, meneliti populasi orangutan yang terisolasi di Batang Toru di bagian selatan habitat orangutan Sumatra, dan para ilmuwan mulai meneliti apakah terdapat spesies baru yang unik.

Para ilmuwan mempelajari DNA, bentuk tengkorak dan gigi dari 33 orangutan yang terbunuh dalam konflik antar manusia dan hewan sebelum menyimpulkan bahwa mereka menemukan spesies baru. Spesies baru ini diberi nama, Pongo tapanuliensis atau orangutan Tapanuli.
PLTA berkapasitas 510-megawatt, yang akan memasok listrik pada beban puncak di Provinsi Sumatra Utara, akan membanjiri habitat orangutan dan termasuk jaringan jalan dan transmisi listrik bertegangan tinggi.
Meijaard mengatakan bahwa bendungan tersebut akan menjadi “Lonceng Kematian” bagi hewan-hewan tersebut.
Menimbang Resiko
Namun penderitaan orangutan tampaknya tidak mendapat perhatian dalam penilaian dampak lingkungan oleh PT Hydro Energy Sumatra Utara, menurut para aktivis lingkungan dan ilmuwan yang telah melihat dokumen pembangunan tersebut.
Pada Agustus, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat izin amdal yang disetujui oleh pemerintah Sumatra Utara. Menurut gugatan Walhi, pemprov tidak memasukkan dampak pembangunan terhadap satwa, masyarakat yang tinggal di hilir, atau risiko kerusakan akibat gempa bumi.
PT Hydro Energy Sumatra Utara dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menolak menanggapi permohonan komentar dari kantor berita AFP.
Bank of China mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak berkomentar mengenai proyek tertentu, namun menambahkan pihaknya mempertimbangkan “semua faktor yang relevan ketika merumuskan dan membuat sebuah kebijakan.”
“Kami berharap, pendukung dana proyek ini dapat melihat masalah pada dampak pembangunan ini dan berhenti mendukungnya,” kata Yuyun Eknas, dari Walhi. [vp/ft]
https://www.voaindonesia.com/a/proye...i/4626842.html
Hutan lindung Batang Toru, yang akan menjadi lokasi proyek, adalah satu-satunya habitat orangutan Tapanuli, spesies orangutan langka yang baru saja ditemukan. Saat ini, diketahui ada total 800 orangutan Tapanuli.
Proyek bernilai $1,6 miliar, yang diperkirakan mulai beroperasi pada 2022, akan melalui jantung habitat hewan yang terancam punah itu. Tidak saja orangutan Tapanuli yang terancam, tapi juga hewan-hewan yang terancam punah lainnya, seperti owa, siamang, dan harimau Sumatra.
Menurut dokumen-dokumen perusahaan, PT Hydro Energy Sumatra Utara, pengembang PLTA tersebut mendapat dukungan dari Sinosure, sebuah badan usaha milik negara (BUMN) China, yang memberikan asuransi untuk proyek-proyek investasi di luar negeri dan dari Bank of China.
BUMN China, Sinohydro, yang pernah membangun bendungan raksasa Three Gorges Dam, berhasil mendapat kontrak untuk merancang dan konstruksi proyek tersebut.
Proyek PLTA itu adalah satu dari puluhan proyek kelistrikan pemerintah meningkatkan rasio elektrifikasi di seluruh Indonesia.
Namun proyek yang didukung China itu telah memicu perlawanan dari para aktivis lingkungan, yang mengatakan proyek ini berpotensi mengganggu lingkungan dan hal ini tampak dengan keengganan Bank Dunia untuk terlibat dalam proyek tersebut.
Meski demikian, para investor China bergeming. Menurut para kritikus, hal ini menekankan dampak lingkungan dari ambisi infrastruktur China “Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative)” untuk menghubungkan Asia, Eropa dan Afrika melalui jaringan pelabuhan, jalan raya dan jalur kereta api.
Lonceng Kematian
Hingga baru-baru ini, para ilmuwan berpikir hanya ada dua tipe orangutan, yaitu orangutan Kalimantan dan Sumatra.
Namun pada 1997, seorang pakar antropologi biologi, Erik Meijaard, meneliti populasi orangutan yang terisolasi di Batang Toru di bagian selatan habitat orangutan Sumatra, dan para ilmuwan mulai meneliti apakah terdapat spesies baru yang unik.

Para ilmuwan mempelajari DNA, bentuk tengkorak dan gigi dari 33 orangutan yang terbunuh dalam konflik antar manusia dan hewan sebelum menyimpulkan bahwa mereka menemukan spesies baru. Spesies baru ini diberi nama, Pongo tapanuliensis atau orangutan Tapanuli.
PLTA berkapasitas 510-megawatt, yang akan memasok listrik pada beban puncak di Provinsi Sumatra Utara, akan membanjiri habitat orangutan dan termasuk jaringan jalan dan transmisi listrik bertegangan tinggi.
Meijaard mengatakan bahwa bendungan tersebut akan menjadi “Lonceng Kematian” bagi hewan-hewan tersebut.
Menimbang Resiko
Namun penderitaan orangutan tampaknya tidak mendapat perhatian dalam penilaian dampak lingkungan oleh PT Hydro Energy Sumatra Utara, menurut para aktivis lingkungan dan ilmuwan yang telah melihat dokumen pembangunan tersebut.

Pada Agustus, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggugat izin amdal yang disetujui oleh pemerintah Sumatra Utara. Menurut gugatan Walhi, pemprov tidak memasukkan dampak pembangunan terhadap satwa, masyarakat yang tinggal di hilir, atau risiko kerusakan akibat gempa bumi.
PT Hydro Energy Sumatra Utara dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menolak menanggapi permohonan komentar dari kantor berita AFP.
Bank of China mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak berkomentar mengenai proyek tertentu, namun menambahkan pihaknya mempertimbangkan “semua faktor yang relevan ketika merumuskan dan membuat sebuah kebijakan.”
“Kami berharap, pendukung dana proyek ini dapat melihat masalah pada dampak pembangunan ini dan berhenti mendukungnya,” kata Yuyun Eknas, dari Walhi. [vp/ft]
https://www.voaindonesia.com/a/proye...i/4626842.html
Mau org utan, harimau, kadal, biawak hajar saja ... atas nama pembangunan infrastruktur dan utang projek ke aseng.
.
.
wew, jews lokal terancam punah

Spoiler for Org utan:
WALHI Sumut Kecam Pembangunan PLTA di Habitat Orangutan Tapanuli

Pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menuai kritik tajam. Wahana Lingkungan Hidup WALHI Sumatera Utara menilai banyak dampak buruk bagi lingkungan apabila pembangunan PLTA di lokasi rawan gempa itu dilanjutkan, salah satu diantaranya adalah terusiknya habitat orangutan Tapanuli.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di kawasan hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), menimbulkan pro dan kontra. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan pembangunan PLTA Batang Toru tidak akan mengganggu kelestarian orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), namun Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut memprotes pernyataan itu.
WALHI Sumut mengatakan Kementerian LHK tidak memahami proses pembangunan dan pengoperasian proyek PLTA Batang Toru, serta tidak mempelajari rekam jejak konservasi hutan di Indonesia yang sangat buruk. Menurut Direktur WALHI Sumut, Dana Tarigan, masih banyak orangutan Tapanuli yang membuat sarang di sekitar lokasi pembangunan awal proyek.
"Yang pasti pernyataan itu kita anggap prematur, karena belum punya kajian sama sekali. Dia hanya bilang tim kita sudah ke lapangan. Tim yang mana. Mereka investigasi di mana, dan hasilnya apa. Kajian komprehensifnya seperti apa. Itu tidak pernah kita temukan. Tapi mereka berani menyebut bahwa itu tidak mengganggu orangutan," ujar Dana kepada VOA di Medan, Sabtu (20/10).
Lokasi Pembangunan PLTA Merupakan Habitat Orangutan Tapanuli yang Paling Kaya
Lanjut Dana, orangutan Tapanuli adalah salah satu kera besar yang paling langka dan keberlangsungannya terus terancam karena jumlahnya kini kurang dari 800 ekor. Terancamnya habitat orangutan Tapanuli akibat pembangunan PLTA itu merupakan gangguan serius, jadi menurut Dana sangat keliru jika langsung menyimpulkan habitatnya tidak terganggu.
"Itu kami anggap seperti kelihatannya mewakili kepentingan perusahaan tapi bukan berada di tengah-tengah. Tapi kita melihat diduga lebih condong untuk kepentingan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Itu kenapa kita bilang mereka terlalu gegabah untuk mengklaim tidak ada masalah," ujar Dana.
WALHI Sumut juga menjelaskan bahwa lokasi pembangunan proyek sekarang ini merupakan habitat orangutan Tapanuli yang paling kaya dan termasuk Area Penggunaan Lain (APL) yang memang dialokasikan sebagai hutan lindung karena kondisi areal sangat terjal, tanah peka terhadap erosi, curah hujan yang tinggi, jika dilihat dari analisis kerentanan wilayah dan bahaya.
WALHI : PLTA Batang Toru Dibangun di Daerah Rawan Gempa
WALHI Sumut mengklaim mereka selalu mendorong energi terbarukan seperti PLTA, tetapi jika dampak buruk yang ditimbulkan lebih tinggi maka tidak akan segan-segan mengkritisi hal itu. Lebih jauh WALHI Sumut mendesak pemerintah untuk mempublikasi kajian, jika memang sudah dilakukan, sehingga masyarakat luas mengetahui dampak buruk apa yang akan terjadi jika pembangunan PLTA di jalur patahan Sumatera (patahan Toru/fault zone of toru) – lokasi yang dikenal rawan gempa – terus dilanjutkan.
"Mereka tidak punya kajian khusus untuk gempa itu, jadi itu juga berbahaya. Bisa saja patahan itu jadi akibat pembangunan ini, pasti semua akan cuci tangan.Yang menjadi persoalan adalah kelompok rentan yang terkena adalah masyarakat sekitar bukan pemilik perusahaan," ungkap Dana.
Tidak hanya itu, proyek swasta ini juga diprediksi akan mengganggu aliran sungai Batangtoru di sebelah hilir dari bendungan PLTA, yang berpotensi menimbulkan perubahan fungsi sungai dan meningkatkan debit air hingga dua kali lipat, yang bisa jadi akan memicu banjir.
Pengamat Lingkungan : Bukan Hanya Orangutan Yang Terancam, Tetapi juga Warga
Pengamat lingkungan, Jaya Arjuna, mengatakan permasalahan pembangunan PLTA Batang Toru bukan hanya terkait orangutan Tapanuli, tetapi juga fluktuasi (gejala turun-naik) air yang mengancam masyarakat sekitar.
"Selain orangutan itu ada masalah terkait dengan manusia. Itu adalah terjadinya fluktuasi air yang sangat besar. Itu standar airnya sekitar 60 sentimeter kubik per detik. Setelah 18 jam air dibendung menjadi 2,5 meter kubik per detik. Pada kondisi itu akan menjadi parit, seluruh kehidupan biota air akan mati. Nah, pada malam hari selama 6 jam berikutnya air itu menjadi 240 meter kubik per detik. Itu terlalu tinggi, jadi fluktuasi sudah 100 kali," sebut Jaya.
Akademisi di Universitas Sumatera Utara itu membenarkan kajian WALHI bahwa pembangunan PLTA berada di daerah pusat gempa, satu hal yang tidak dikaji otorita PLTA Batang Toru.
"Sebenarnya semua kajiannya harus dimasukan. Tapi mereka tidak masukan kajiannya. Artinya dokumennya tidak layak untuk diterima. Tapi kenapa diterima. Jadi kalau secara terukur fluktuasi air tidak dinyatakan sama sekali, dan bagaimana mengelolanya. Gempa, fluktuasi air, dan orangutan itu yang menjadi hal penting. Segala sesuatu kegiatan boleh dikerjakan asal dampaknya bisa ditangani. Kalau dampaknya belum bisa ditangani kegiatan itu harus dihentikan. Itu peraturan," tandasnya.
WALHI Serukan Pemerintah Tunda Pembangunan PLTA
WALHI Sumut telah meminta Kementerian LHK untuk menghentikan pembangunan proyek PLTA Batang Toru hingga ada kajian komprehensif dan informasi kepada publik. VOA belum berhasil menghubungi Kementerian LHK untuk meminta tanggapan atas seruan tersebut. [aa/em]
https://www.voaindonesia.com/a/walhi...i/4621752.html

Orangutan Tapanuli dengan bayinya di Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, Sumatra Utara, Indonesia. (Foto: Jonas Landolt / Program Konservasi Orangutan Sumatra via AP)
Pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menuai kritik tajam. Wahana Lingkungan Hidup WALHI Sumatera Utara menilai banyak dampak buruk bagi lingkungan apabila pembangunan PLTA di lokasi rawan gempa itu dilanjutkan, salah satu diantaranya adalah terusiknya habitat orangutan Tapanuli.
Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di kawasan hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut), menimbulkan pro dan kontra. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan pembangunan PLTA Batang Toru tidak akan mengganggu kelestarian orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis), namun Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumut memprotes pernyataan itu.
WALHI Sumut mengatakan Kementerian LHK tidak memahami proses pembangunan dan pengoperasian proyek PLTA Batang Toru, serta tidak mempelajari rekam jejak konservasi hutan di Indonesia yang sangat buruk. Menurut Direktur WALHI Sumut, Dana Tarigan, masih banyak orangutan Tapanuli yang membuat sarang di sekitar lokasi pembangunan awal proyek.
"Yang pasti pernyataan itu kita anggap prematur, karena belum punya kajian sama sekali. Dia hanya bilang tim kita sudah ke lapangan. Tim yang mana. Mereka investigasi di mana, dan hasilnya apa. Kajian komprehensifnya seperti apa. Itu tidak pernah kita temukan. Tapi mereka berani menyebut bahwa itu tidak mengganggu orangutan," ujar Dana kepada VOA di Medan, Sabtu (20/10).
Lokasi Pembangunan PLTA Merupakan Habitat Orangutan Tapanuli yang Paling Kaya
Lanjut Dana, orangutan Tapanuli adalah salah satu kera besar yang paling langka dan keberlangsungannya terus terancam karena jumlahnya kini kurang dari 800 ekor. Terancamnya habitat orangutan Tapanuli akibat pembangunan PLTA itu merupakan gangguan serius, jadi menurut Dana sangat keliru jika langsung menyimpulkan habitatnya tidak terganggu.
"Itu kami anggap seperti kelihatannya mewakili kepentingan perusahaan tapi bukan berada di tengah-tengah. Tapi kita melihat diduga lebih condong untuk kepentingan PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE). Itu kenapa kita bilang mereka terlalu gegabah untuk mengklaim tidak ada masalah," ujar Dana.
WALHI Sumut juga menjelaskan bahwa lokasi pembangunan proyek sekarang ini merupakan habitat orangutan Tapanuli yang paling kaya dan termasuk Area Penggunaan Lain (APL) yang memang dialokasikan sebagai hutan lindung karena kondisi areal sangat terjal, tanah peka terhadap erosi, curah hujan yang tinggi, jika dilihat dari analisis kerentanan wilayah dan bahaya.
WALHI : PLTA Batang Toru Dibangun di Daerah Rawan Gempa
WALHI Sumut mengklaim mereka selalu mendorong energi terbarukan seperti PLTA, tetapi jika dampak buruk yang ditimbulkan lebih tinggi maka tidak akan segan-segan mengkritisi hal itu. Lebih jauh WALHI Sumut mendesak pemerintah untuk mempublikasi kajian, jika memang sudah dilakukan, sehingga masyarakat luas mengetahui dampak buruk apa yang akan terjadi jika pembangunan PLTA di jalur patahan Sumatera (patahan Toru/fault zone of toru) – lokasi yang dikenal rawan gempa – terus dilanjutkan.
"Mereka tidak punya kajian khusus untuk gempa itu, jadi itu juga berbahaya. Bisa saja patahan itu jadi akibat pembangunan ini, pasti semua akan cuci tangan.Yang menjadi persoalan adalah kelompok rentan yang terkena adalah masyarakat sekitar bukan pemilik perusahaan," ungkap Dana.
Tidak hanya itu, proyek swasta ini juga diprediksi akan mengganggu aliran sungai Batangtoru di sebelah hilir dari bendungan PLTA, yang berpotensi menimbulkan perubahan fungsi sungai dan meningkatkan debit air hingga dua kali lipat, yang bisa jadi akan memicu banjir.
Pengamat Lingkungan : Bukan Hanya Orangutan Yang Terancam, Tetapi juga Warga
Pengamat lingkungan, Jaya Arjuna, mengatakan permasalahan pembangunan PLTA Batang Toru bukan hanya terkait orangutan Tapanuli, tetapi juga fluktuasi (gejala turun-naik) air yang mengancam masyarakat sekitar.
"Selain orangutan itu ada masalah terkait dengan manusia. Itu adalah terjadinya fluktuasi air yang sangat besar. Itu standar airnya sekitar 60 sentimeter kubik per detik. Setelah 18 jam air dibendung menjadi 2,5 meter kubik per detik. Pada kondisi itu akan menjadi parit, seluruh kehidupan biota air akan mati. Nah, pada malam hari selama 6 jam berikutnya air itu menjadi 240 meter kubik per detik. Itu terlalu tinggi, jadi fluktuasi sudah 100 kali," sebut Jaya.
Akademisi di Universitas Sumatera Utara itu membenarkan kajian WALHI bahwa pembangunan PLTA berada di daerah pusat gempa, satu hal yang tidak dikaji otorita PLTA Batang Toru.
"Sebenarnya semua kajiannya harus dimasukan. Tapi mereka tidak masukan kajiannya. Artinya dokumennya tidak layak untuk diterima. Tapi kenapa diterima. Jadi kalau secara terukur fluktuasi air tidak dinyatakan sama sekali, dan bagaimana mengelolanya. Gempa, fluktuasi air, dan orangutan itu yang menjadi hal penting. Segala sesuatu kegiatan boleh dikerjakan asal dampaknya bisa ditangani. Kalau dampaknya belum bisa ditangani kegiatan itu harus dihentikan. Itu peraturan," tandasnya.
WALHI Serukan Pemerintah Tunda Pembangunan PLTA
WALHI Sumut telah meminta Kementerian LHK untuk menghentikan pembangunan proyek PLTA Batang Toru hingga ada kajian komprehensif dan informasi kepada publik. VOA belum berhasil menghubungi Kementerian LHK untuk meminta tanggapan atas seruan tersebut. [aa/em]
https://www.voaindonesia.com/a/walhi...i/4621752.html
Quote:
Rare Sumatran orangutan threatened by dam project in Indonesia, conservationists warn
The rare Tapanuli orangutan was declared a distinct species in 2017 Credit: Nanang Sujana/AFP
A newly discovered species of orangutan is among several animals under threat from a $1.6-billion-dollar hydroelectric dam project in Indonesia, conservationists have warned.
The joint Indonesian-Chinese dam development, scheduled for completion in 2022, will slice through the only known habitat of the critically endangered Tapanuli orangutan in the Batang Toru rainforest on Sumatra island.
The Tapanuli was recognised as one of three distinct species of orangutan as recently as 2017 and only about 800 remain in the wild. Dominant males of the species sport prominent moustaches while the females have beards.
Environmentalists have warned that the planned 510-megawatt dam, which aims to supply electricity to North Sumatra province, will impact up to 10% of the orangutan’s habitat through flooding and a network of roads and high-voltage power lines, and could lead to inbreeding.
Erik Meijaard, a biological anthropologist and specialist on the Tapanuli, told AFP the dam would be the “death knell” for the animal. “Roads bring in hunters (and) settlers – it’s the start, generally, of things falling apart,” he said.
The power plant is being constructed by Indonesian firm PT North Sumatra Hydro Energy, with backing from Sinosure, a Chinese state-owned enterprise that insures overseas investment projects, and the Bank of China.
Chinese SOE Sinohydro, which built the mammoth Three Gorges Dam, has been awarded the design and construction contract for the project.
The Indonesian government is aiming to end power blackouts that occur frequently throughout its island nation, while China is seeking to expand its “Belt and Road Initiative”, which intends to link Asia, Europe and Africa through a network of ports, roads and railways.
Critics say the dam encapsulates the potentially harmful environmental impact of China’s ambitious global project.
“This issue is becoming in some ways the face of the Belt and Road initiative,” Professor Bill Laurance, director of the Centre for Tropical Environmental and Sustainability Science at James Cook University in Australia, told AFP.
“I think this crystallises in a way that people can understand what a tsunami of 7,000-plus projects will mean for nature.”
Earlier this year, activists from the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) claimed that local residents would also be severely impacted by plans to run the plant on limited operational hours.
“This means the operator will need to hold the water for around 18 hours and later release it from the dam along the river for six hours to power the four turbines,” Walhi’s North Sumatra office director, Dana Prima Tarigan, said in a press conference reported by the Jakarta Post.
https://www.telegraph.co.uk/news/201...servationists/

- Nicola Smith, Asia Correspondent
A newly discovered species of orangutan is among several animals under threat from a $1.6-billion-dollar hydroelectric dam project in Indonesia, conservationists have warned.
The joint Indonesian-Chinese dam development, scheduled for completion in 2022, will slice through the only known habitat of the critically endangered Tapanuli orangutan in the Batang Toru rainforest on Sumatra island.
The Tapanuli was recognised as one of three distinct species of orangutan as recently as 2017 and only about 800 remain in the wild. Dominant males of the species sport prominent moustaches while the females have beards.
Environmentalists have warned that the planned 510-megawatt dam, which aims to supply electricity to North Sumatra province, will impact up to 10% of the orangutan’s habitat through flooding and a network of roads and high-voltage power lines, and could lead to inbreeding.
Erik Meijaard, a biological anthropologist and specialist on the Tapanuli, told AFP the dam would be the “death knell” for the animal. “Roads bring in hunters (and) settlers – it’s the start, generally, of things falling apart,” he said.
The power plant is being constructed by Indonesian firm PT North Sumatra Hydro Energy, with backing from Sinosure, a Chinese state-owned enterprise that insures overseas investment projects, and the Bank of China.
Chinese SOE Sinohydro, which built the mammoth Three Gorges Dam, has been awarded the design and construction contract for the project.
The Indonesian government is aiming to end power blackouts that occur frequently throughout its island nation, while China is seeking to expand its “Belt and Road Initiative”, which intends to link Asia, Europe and Africa through a network of ports, roads and railways.
Critics say the dam encapsulates the potentially harmful environmental impact of China’s ambitious global project.
“This issue is becoming in some ways the face of the Belt and Road initiative,” Professor Bill Laurance, director of the Centre for Tropical Environmental and Sustainability Science at James Cook University in Australia, told AFP.
“I think this crystallises in a way that people can understand what a tsunami of 7,000-plus projects will mean for nature.”
Earlier this year, activists from the Indonesian Forum for the Environment (Walhi) claimed that local residents would also be severely impacted by plans to run the plant on limited operational hours.
“This means the operator will need to hold the water for around 18 hours and later release it from the dam along the river for six hours to power the four turbines,” Walhi’s North Sumatra office director, Dana Prima Tarigan, said in a press conference reported by the Jakarta Post.
https://www.telegraph.co.uk/news/201...servationists/
1
2.1K
Kutip
22
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan