- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Krisis Layanan Kesehatan Meningkat Dlm Pemerintahan JKW, Dokter Siapkan Aksi Nasional


TS
kortikal
Krisis Layanan Kesehatan Meningkat Dlm Pemerintahan JKW, Dokter Siapkan Aksi Nasional
JAKARTA- Sungguh Ironis, krisis layananan kesehatan justru terjadi di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan oleh Presiden Joko Widodo. Dokter Indonesia di era JKN bekerja dalam keadaan terjepit, disatu sisi dokter harus bisa memberikan layanan sesuai standar layanan medis berbasis bukti terbaru (EBM=Evidence Base Medicine), namun layanan yang bisa diberikan terbatasi oleh rendahnya kuota tarif paket pelayanan kesehatan yang ditentukan oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini disampaikan oleh Presidium Dokter Indonesia Bersatu (DIB), dr. Yadi Permana, Sp.B Onk kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (26/2).
“Dokter-dokter yang bekerja di puskesmas tidak bisa optimal dalam bekerja karena modalitas pemeriksaan yang bisa dilakukan sangat terbatas menyesuaikan dengan anggaran kapitasi yang dibatasi BPJS-Kesehatan. Akibatnya jumlah rujukan meningkat di rumah-rumah sakit, padahal kasusnya seharusnya masih bisa di tangani di puskesmas,” jelasnya.
Menurut dokter bedah ini, di rumah-rumah sakit kesenjangan kuota paket tarif yang sangat besar antar kelas rumah sakit mengakibatkan timbulnya disparitas standar layanan yang juga besar.
“Masyarakat diperkotaan yang memiliki rumah sakit besar dapat menikmati layanan yang baik karena kuota tarifnya lebih besar dari BPJS, sementara masyarakat di pedesaan dengan memiliki rumah sakit kecil terpaksa mendapat terapi seadanya karena tarif yang kecil,” ujarnya.
Dalam Konferensi Pers DIB Rabu (24/2) lalu, dr. Yadi Permana, Sp.B Onk mencontohkan, misalnya untuk operasi usus buntu BPJS menentukan kuota tarif di rumah sakit tipe C hanya Rp 3 juta, rumah sakit tipe B, Rp 3.750.000 dan rumah sakit tipe A seperti RSCM sebesar Rp 5 juta. Padahal real costnya adalah Rp 5 juta. Pasti rumah-rumah sakit tipe C dan B merujuk pasien ke rumah sakit tipe A. Karena walaupun mampu melakukan operasi, tapi tidak mau menanggung kerugian.
Demikian halnya dengan operasi ceasar pada ibu melahirkan, BPJS menentukan kuota tarif di rumah sakit tipe C hanya Rp 3 juta, rumah sakit tipe B, Rp 4.400.000 dan rumah sakit tipe A seperti RSCM sebesar Rp 5.200.000. Padahal real costnya adalah Rp 5.200.000.
“Hal yang sama untuk operasi jantung dan operasi kanker. Sehingga wajar pasien di rumah sakit tipe A seperti RSCM atau Rumah Sakit Kanker Dharmais dan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, pasien membludak dan harus antri dari 4 bulan sampai 6 bulan. Sudah banyak pasien kanker atau Jantung jadi korban dan meninggal dunia,” ujarnya.
Ia mengatakan paket tarif di atas itu tidak termasuk jasa medis yang ditentukan oleh masing-masing manajemen rumah sakit. Di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur Rp 15 ribu/pasien tapi di Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta Timur Rp 50 ribu.
“Rendahnya kuota tarif juga itu memaksa dokter Indonesia melakukan fraud (penipuan) agar kuota tarif naik dan biaya perawatan tertutupi atau terpaksa merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih besar walau sebenarnya masih mampu menangani,” jelasnya.
Menurutnya, overload pasien di banyak rumah-rumah sakit pemerintah di era JKN seharusnya dapat terhindarkan jika pihak swasta dilibatkan lebih banyak. Namun banyak rumah sakit swasta enggan bertisipasi dalam JKN yang dijalankan BPJS karena kuota tarif rendah disamakan dengan rumah sakit pemerintah. Padahal pemerintah mau memberikan kapitasi yang lebih besar untuk klinik mandiri swasta karena biaya operasi lebih besar.
“Seharusnya pemerintah juga konsisten dan mau memberikan kuota tarif yang lebih besar untuk rumah sakit swasta. Dengan demikian rumah sakit swasta dapat berpartisipasi penuh dalam JKN,” ujarnya.
Semua permasalahan di atas menurutnya berujung pelayanan substandar, tingginya angka rujukan dan bahkan berpotensi besar meningkatkan hilangnya nyawa manusia yang tidak ternilai harganya.
Untuk itu, gerakan moral Dokter Indonesia Bersatu (DIB) mengadakan aksi damai dengan tema “Reformasi JKN Berkeadilan” tanggal 29 Februari 2016, bertempat di Bundaran HI dan istana Merdeka. Peserta aksi terdiri dari mahasiswa kedokteran, internsip, dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis dari berbagai daerah.
“Melalui aksi ini DIB ingin mengajak segenap komponen masyarakat bersama-sama mendorong pemerintah melakukan perbaikan mendasar pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sampai saat ini masih mengalami banyak masalah,” ujarnya.
http://www.bergelora.com/nasional/ke...-nasional.html
Ya mudah saja, begitu plafon BPJS habis, rujuk saja ke kantor BPJS, suruh para cecunguknya utk melanjutkan perawatan
“Dokter-dokter yang bekerja di puskesmas tidak bisa optimal dalam bekerja karena modalitas pemeriksaan yang bisa dilakukan sangat terbatas menyesuaikan dengan anggaran kapitasi yang dibatasi BPJS-Kesehatan. Akibatnya jumlah rujukan meningkat di rumah-rumah sakit, padahal kasusnya seharusnya masih bisa di tangani di puskesmas,” jelasnya.
Menurut dokter bedah ini, di rumah-rumah sakit kesenjangan kuota paket tarif yang sangat besar antar kelas rumah sakit mengakibatkan timbulnya disparitas standar layanan yang juga besar.
“Masyarakat diperkotaan yang memiliki rumah sakit besar dapat menikmati layanan yang baik karena kuota tarifnya lebih besar dari BPJS, sementara masyarakat di pedesaan dengan memiliki rumah sakit kecil terpaksa mendapat terapi seadanya karena tarif yang kecil,” ujarnya.
Dalam Konferensi Pers DIB Rabu (24/2) lalu, dr. Yadi Permana, Sp.B Onk mencontohkan, misalnya untuk operasi usus buntu BPJS menentukan kuota tarif di rumah sakit tipe C hanya Rp 3 juta, rumah sakit tipe B, Rp 3.750.000 dan rumah sakit tipe A seperti RSCM sebesar Rp 5 juta. Padahal real costnya adalah Rp 5 juta. Pasti rumah-rumah sakit tipe C dan B merujuk pasien ke rumah sakit tipe A. Karena walaupun mampu melakukan operasi, tapi tidak mau menanggung kerugian.
Demikian halnya dengan operasi ceasar pada ibu melahirkan, BPJS menentukan kuota tarif di rumah sakit tipe C hanya Rp 3 juta, rumah sakit tipe B, Rp 4.400.000 dan rumah sakit tipe A seperti RSCM sebesar Rp 5.200.000. Padahal real costnya adalah Rp 5.200.000.
“Hal yang sama untuk operasi jantung dan operasi kanker. Sehingga wajar pasien di rumah sakit tipe A seperti RSCM atau Rumah Sakit Kanker Dharmais dan Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, pasien membludak dan harus antri dari 4 bulan sampai 6 bulan. Sudah banyak pasien kanker atau Jantung jadi korban dan meninggal dunia,” ujarnya.
Ia mengatakan paket tarif di atas itu tidak termasuk jasa medis yang ditentukan oleh masing-masing manajemen rumah sakit. Di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur Rp 15 ribu/pasien tapi di Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta Timur Rp 50 ribu.
“Rendahnya kuota tarif juga itu memaksa dokter Indonesia melakukan fraud (penipuan) agar kuota tarif naik dan biaya perawatan tertutupi atau terpaksa merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih besar walau sebenarnya masih mampu menangani,” jelasnya.
Menurutnya, overload pasien di banyak rumah-rumah sakit pemerintah di era JKN seharusnya dapat terhindarkan jika pihak swasta dilibatkan lebih banyak. Namun banyak rumah sakit swasta enggan bertisipasi dalam JKN yang dijalankan BPJS karena kuota tarif rendah disamakan dengan rumah sakit pemerintah. Padahal pemerintah mau memberikan kapitasi yang lebih besar untuk klinik mandiri swasta karena biaya operasi lebih besar.
“Seharusnya pemerintah juga konsisten dan mau memberikan kuota tarif yang lebih besar untuk rumah sakit swasta. Dengan demikian rumah sakit swasta dapat berpartisipasi penuh dalam JKN,” ujarnya.
Semua permasalahan di atas menurutnya berujung pelayanan substandar, tingginya angka rujukan dan bahkan berpotensi besar meningkatkan hilangnya nyawa manusia yang tidak ternilai harganya.
Untuk itu, gerakan moral Dokter Indonesia Bersatu (DIB) mengadakan aksi damai dengan tema “Reformasi JKN Berkeadilan” tanggal 29 Februari 2016, bertempat di Bundaran HI dan istana Merdeka. Peserta aksi terdiri dari mahasiswa kedokteran, internsip, dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis dari berbagai daerah.
“Melalui aksi ini DIB ingin mengajak segenap komponen masyarakat bersama-sama mendorong pemerintah melakukan perbaikan mendasar pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sampai saat ini masih mengalami banyak masalah,” ujarnya.
http://www.bergelora.com/nasional/ke...-nasional.html
Ya mudah saja, begitu plafon BPJS habis, rujuk saja ke kantor BPJS, suruh para cecunguknya utk melanjutkan perawatan

0
2.6K
32


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan