Pengunduran diri pengurus dan anggota Partai Keadilan Sejahtera (PKS) se-Bali. (Foto: epicentrum.id)
Fokus Berita:
Badai Konflik PKS
Oleh: Eko Kuntadhi*
Ratusan kader PKS di Binjai, Sumatera menyatakan diri mundur sebagai pengurus dan anggota PKS. Mereka mengikuti langkah teman-temannya PKS Bali dan Sidoarjo.
Konflik internal memang kini sudah jadi makanan PKS. Fahri Hamzah melawan DPP PKS dan menang secara hukum. Pentolan lain juga saling cakar. Konflik semakin terasa ketika terjadi persaingan memperebutkan rekomendasi Cawapres PKS.
Saat itu Anis Matta, mantan Presiden PKS berhadapan dengan Salim Segaf yang duduk sebagai ketua dewan syuro. Sebetulnya ada sembilan orang yang masuk nominasi, tetapi yang terangkat ke permukaan konflik kelompok Anis dengan DPP yang berkuasa saat ini. Semua langkah Anis dijegal. Bahkan di kalangan anggota PKS ada istilah 'osin' dan 'osan', orang sana dan orang sini. Sekadar menggambarkan bagaimana konflik telah merasuk sampai tulang sumsum.
Suasana konflik makin panas ketika ada kabar keluarnya surat pemberitahuan kepada cabang-cabang PKS untuk menginventarisir semua aset partai. Surat itu menandakan bahwa bakal ada bedol desa pengurus-pengurus PKS di wilayah. Bali, Sidoarjo dan Binjai menjadi buktinya. Mungkin akan diikuti daerah lainnya.
Baca juga: PKS Menghitung Hari
Alasan utama pembubaran itu senada, bahwa konflik semakin menajam. DPP main pecat sehingga menimbulkam gejolak.
Sedangkan rombongan Anis Matta sendiri kabarnya diam-diam menyiapkan perahu baru untuk menampung kader-kader PKS yang mundur. Bahkan isunya bakal ada partai baru, semacam PKS Perjuangan. Dengan kata lain konflik di antara mereka sudah tidak bisa ditahan lagi. Bendungan jebol.
DPP PKS dikesankan main keras ke dalam. Bertempur dengan kader-kadernya sendiri. Sementara bargainingnya di luar menciut.
Dalam kasus pencalonan Cawapres, kader PKS sama sekali
gak disentuh Prabowo. Malah Sandiaga Uno yang diangkat. Padahal sama-sama Gerindra. Ok, mungkin ada konpensasi kardus dari tindakan 'mengalah' PKS itu. Hanya saja kabarnya kardus-kardus yang dijanjikan juga kosong.
Dalam perebutan kursi Wagub DKI yang ditinggal Sandiaga, PKS kabarnya juga bakal gigit jari. Gerindra tidak mau melepas posisi itu kepada PKS. Padahal harus diakui, kemenangan Anies-Sandi di Jakarta berkat jasa orang-orang PKS. Sudah jadi rahasia umum, soal mengemas isu agama dalam politik PKS salah satu jagonya. Dan satu-satunya alasan Anies-Sandi menang karena mereka berhasil menjajakan isu agama. Tapi, toh PKS harus merengek pada Prabowo untuk mendapatkan kursi Cawagub.
Dalam koalisi Prabowo-Sandi, PKS memang diposisikan seperti pendorong mobil mogok. Mereka diharap bekerja keras membantu kampanye Prabowo-Sandi, tetapi posisinya sama sekali
gak dianggap.
Dilalah, dalam mobil itu berisi penuh penumpang yang
gak mau turun membantu mendorong mobil. Sialnya seluruh yang ada dalam mobil itu orang Gerindra.
Kader-kader berjanggut dan bercelana cingkrang itu beramai-ramai mengeluarkan tenaga untuk mendorong mobil mogok tersebut. Jika berhasil, mereka akan ditinggal begitu saja. Mobil yang penuh penumpang itu akan melaju meninggalkan orang-orang bercelana cingkrang tergeletak kelelahan di jalan.
Artinya di internal PKS dilanda konflik parah. Saling cakar berebut jabatan. Di eksternal pengorbanan PKS malah dimanfaatkan untuk keuntungan Gerindra sendiri. Malang nian nasibnya.
Bagunan partai yang dirintis puluhan tahun lalu melalui liqo dan pengajian kampus kini mulai ambruk. Tidak ada lagi yang namanya perjuangan demi agama. Yang ada saling berebut kekuasaan.
Saya tentu bersyukur, partai-partai yang hobi mengasong agama semakin memperlihatkan wajah aslinya. Di antara mereka juga haus kekuasaan dan uang. Ini bisa membuka mata publik bahwa dalam politik kita selama ini, agama memang hanya dijadikan gimmick marketing. Bahkan kalau perlu jadi bahan manipulasi untuk menipu rakyat.
Kehancuran dan konflik PKS yang menghebat, memberi harapan kita bahwa sudah saatnya agama yang suci ini dikembalikan sebagai tuntunan moral. Bukan lagi dimanfaatkan hanya menjadi slogan politik.
Cukuplah Timur Tengah sebagai contoh, ketika agama kebetot ke politik yang ada hanya kerusakan. Brutalitas tidak tertahankan. Kehidupan hancur lebur.
Bagi saya konflik PKS membawa rahmat pada Indonesia. Apalagi jika pada 2019 partai ini tidak lolos batas elektoral. Itu sangat positif. Sebab kita akan kembali menikmati kehidupan beragama yang damai, tanpa dicingcongi oleh politisasi.