- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Liciknya Perusahaan Air Minum di Indonesia


TS
kamoezzzz
Liciknya Perusahaan Air Minum di Indonesia
Gan, ane baru dapet cerita dari temen yang kerja di salah satu perusahaan air minum ternama. Katanya, banyak perusahaan air minum di Indonesia yang menyalahgunakan haknya.
Jahat bangeet yaa gann
Ternyata air kemasan yang sering kita minum disedotnya dari tanah orang lain
Banyak warga di daerah penyedotan itu kekurangan air bersih dan sawah-sawah mereka ngalamin kekeringan
Jahat bangeet yaa gann

Ternyata air kemasan yang sering kita minum disedotnya dari tanah orang lain





Terus ane search-search beritanya dan terbukti bener niih
Quote:
Merdeka.com - Saksi ahli dalam sidang uji materi Undang-undang Sumber Daya Air Nomor 7 tahun 2004 Erwin Ramedhan menyebut dampak privatisasi air itu kentara oleh perusahaan air minum dalam kemasan. Dia mencontohkan penyimpangan oleh Aqua Danone, perusahaan air minum kemasan terbesar di Indonesia.
Dalam kesaksian di hadapan majelis pleno Mahkamah Konstitusi diketuai Hamdan Zoelva, Erwin mengungkapkan eksploitasi air oleh Aqua mencapai 40 juta liter per bulan. Padahal, kata dia, sumber air Aqua di Klaten, Jawa Tengah, hanya memiliki izin menggunakan air 20 juta liter saban bulan. Hasilnya, penghasilan Aqua sekitar Rp 80 miliar per bulan atau Rp 960 miliar saban tahun.
Namun, hasil itu tidak sebanding dengan penerimaan daerah hanya Rp 1,2 miliar setahun. Sedangkan pajak untuk Jawa Tengah Rp 3-4 juta pada 2003. "Padahal sumur di Klaten harusnya menguras air 20 liter per detik, tapi mereka kuras hingga 64 liter per detik," kata Erwin Rabu pekan kemarin. Dia menjelaskan dari sini kendali pengawasan pemerintah sebagai pemilik air tidak berjalan.
Ditemui di kediamannya di Jalan Barito I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Erwin menjelaskan ada penyimpangan lain dilakukan Aqua Danone lewat PT Tirta Investama sesuai hasil selama delapan tahun. Dia menemukan soal manipulasi pendapatan oleh Aqua.
Dia mencontohkan pendapatan Aqua pada 2008 Rp 95 miliar sama seperti delapan tahun lalu. "Padahal ada kenaikan harga, ada penambahan jumlah produksi, kok hasilnya sama. Kalau mau netral ini kita sebut ada sesuatu," ujar Erwin, Kamis pekan kemarin.
Dari penelusurannya, keuntungan Aqua terus meningkat tiap tahun tapi laporannya sebagai perusahaan terbuka laba kotornya malah stagnan. Dia mendorong Direktorat Jenderal Pajak mengusut dugaan manipulasi pajak oleh Aqua. Namun sampai saat ini belum juga berjalan.
Penelitiannya soal Aqua saat perusahaan itu masih berstatus terbuka, Erwin juga menganalisa harga saham PT Aqua Golden Mississipi di Bursa Efek Indonesia. Sejak melantai Efek pada 1990 sampai 2009, dia menemukan saham Aqua melonjak tajam. "Patut dicurigai besarnya harga saham itu, gambaran eksploitasi air selama ini," tuturnya.
Saat bertandang ke kantor redaksi merdeka.com beberapa bulan lalu, perwakilan Aqua menolak menjelaskan soal pendapatan mereka. Alasannya, perusahaan itu kini sudah tidak lagi terbuka setelah seluruh saham diborong oleh Danone. Di bawah bendera Danone, Aqua menjadi perusahaan air minum kemasan nomor wahid di tanah air.
Pengamat lingkungan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza menilai pemerintah gagal mengawasi pengambilan air oleh perusahaan air minum kemasan. Jika pemerintah tidak segera mengambil sikap, ketersediaan air bersih akan kekurangan.
Sebagai contoh di Jakarta, ketersediaan air bersih hanya tinggal dua persen. Sedangkan untuk Pulau Jawa tersisa empat persen.
Padahal, kata Reza, Indonesia termasuk lima negara penghasil air terbanyak. Dari ketersediaan air bersih di dunia sebanyak tiga persen, enam persennya di Indonesia. "Banyak yang melirik Indonesia soal air. Kalau tidak diantisipasi ini bisa kekurangan."
SUMBER
Dalam kesaksian di hadapan majelis pleno Mahkamah Konstitusi diketuai Hamdan Zoelva, Erwin mengungkapkan eksploitasi air oleh Aqua mencapai 40 juta liter per bulan. Padahal, kata dia, sumber air Aqua di Klaten, Jawa Tengah, hanya memiliki izin menggunakan air 20 juta liter saban bulan. Hasilnya, penghasilan Aqua sekitar Rp 80 miliar per bulan atau Rp 960 miliar saban tahun.
Namun, hasil itu tidak sebanding dengan penerimaan daerah hanya Rp 1,2 miliar setahun. Sedangkan pajak untuk Jawa Tengah Rp 3-4 juta pada 2003. "Padahal sumur di Klaten harusnya menguras air 20 liter per detik, tapi mereka kuras hingga 64 liter per detik," kata Erwin Rabu pekan kemarin. Dia menjelaskan dari sini kendali pengawasan pemerintah sebagai pemilik air tidak berjalan.
Ditemui di kediamannya di Jalan Barito I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Erwin menjelaskan ada penyimpangan lain dilakukan Aqua Danone lewat PT Tirta Investama sesuai hasil selama delapan tahun. Dia menemukan soal manipulasi pendapatan oleh Aqua.
Dia mencontohkan pendapatan Aqua pada 2008 Rp 95 miliar sama seperti delapan tahun lalu. "Padahal ada kenaikan harga, ada penambahan jumlah produksi, kok hasilnya sama. Kalau mau netral ini kita sebut ada sesuatu," ujar Erwin, Kamis pekan kemarin.
Dari penelusurannya, keuntungan Aqua terus meningkat tiap tahun tapi laporannya sebagai perusahaan terbuka laba kotornya malah stagnan. Dia mendorong Direktorat Jenderal Pajak mengusut dugaan manipulasi pajak oleh Aqua. Namun sampai saat ini belum juga berjalan.
Penelitiannya soal Aqua saat perusahaan itu masih berstatus terbuka, Erwin juga menganalisa harga saham PT Aqua Golden Mississipi di Bursa Efek Indonesia. Sejak melantai Efek pada 1990 sampai 2009, dia menemukan saham Aqua melonjak tajam. "Patut dicurigai besarnya harga saham itu, gambaran eksploitasi air selama ini," tuturnya.
Saat bertandang ke kantor redaksi merdeka.com beberapa bulan lalu, perwakilan Aqua menolak menjelaskan soal pendapatan mereka. Alasannya, perusahaan itu kini sudah tidak lagi terbuka setelah seluruh saham diborong oleh Danone. Di bawah bendera Danone, Aqua menjadi perusahaan air minum kemasan nomor wahid di tanah air.
Pengamat lingkungan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza menilai pemerintah gagal mengawasi pengambilan air oleh perusahaan air minum kemasan. Jika pemerintah tidak segera mengambil sikap, ketersediaan air bersih akan kekurangan.
Sebagai contoh di Jakarta, ketersediaan air bersih hanya tinggal dua persen. Sedangkan untuk Pulau Jawa tersisa empat persen.
Padahal, kata Reza, Indonesia termasuk lima negara penghasil air terbanyak. Dari ketersediaan air bersih di dunia sebanyak tiga persen, enam persennya di Indonesia. "Banyak yang melirik Indonesia soal air. Kalau tidak diantisipasi ini bisa kekurangan."
SUMBER

Quote:
Merdeka.com - Pemandangan lumrah terlihat jelas di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Saban hari pedagang air bersih berkeliling menjajakan jeriken berukuran 30 liter kepada warga di perkampungan dekat Jakarta Internasional Container Terminal (JICT). Tiap gerobak berisi delapan jeriken air bersih. Satu jerigen seharga Rp 4 ribu.
Warga di sana memang telah lama kekurangan air bersih. Letak daerah dekat laut menyulitkan mereka bisa menikmati air siap minum lantaran airnya mengandung garam.
Meski begitu, di sana terdapat pipa perusahaan air swasta. Aliran itu kadang terputus. Alasannya sepele, ada kebocoran pada pipa induk mendistribusikan air ke daerah mereka. Mau tidak mau, warga terpaksa membeli air bersih dari pedagang air keliling.
"Di sini sudah biasa karena air di sini tidak bisa diminum. Untuk minum harus beli lewat pedagang keliling," kata Muhammad Yusuf, warga Rorotan, Marunda, kepada merdeka.com, Selasa malam pekan kemarin. Dia mengaku paling tidak merogoh kocek Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu buat beli air bersih.
Mestinya itu tidak perlu terjadi. Negara harusnya menguasai air sebagai hajat hidup orang banyak seperti tercantum dalam konstitusi lumpuh. Pihak swasta kini berkuasa atas air di Jakarta.
Sebab, Undang-undang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjadi celah privatisasi air oleh swasta. "Pertama kita sudah bikin catatan secara garis besar beleid itu sangat membuka peluang bisnis," kata pengamat lingkungan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza, Jumat pekan lalu. Reza menjelaskan dalam undang-undang itu hanya ada satu pasal menguatkan pemerintah sebagai pengawas, namun kenyataannya justru tidak berjalan.
Sikap pemerintah itu menggugah beberapa tokoh dan penggiat lingkungan mengajukan uji materi terhadap undang-undang itu di Mahkamah Konstitusi. Mereka meyakini Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 ini membuka keran swastanisasi penyediaan air bersih bagi masyarakat. Yang digugat adalah pasal 7, 8, 9, 26, 38, 40, 45, 46, 47, dan 49. Hal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Profesor Absori, salah satu saksi ahli dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan Pasal 9 ayat 1 UU Sumber Daya Air membuka peluang privatisasi pengelolaan sumber daya air oleh swasta dan cenderung mengabaikan peran badan usaha negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), seperti tertuang dalam konstitusi pasal 33 ayat 2.
Menurut dia, negara memang berwenang mengizinkan pengelolaan air kepada pihak lain. Namun praktiknya, pemberian izin ini tidak lebih bersifat prosedural dan formal.
"Pengawasan di lapangan lemah. Ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya air menjadi tidak terkendali," ujar Absori di hadapan majelis pleno Mahkamah Konstitusi diketuai Hamdan Zoelva, Rabu pekan kemarin. Pengurus Pusat Muhammadiyah merupakan pemohon uji materi.
Dia mencontohkan di beberapa daerah terjadi pengambilan air oleh perusahaan air minum dalam kemasan melebihi batas. Dengan kondisi demikian, Absori menilai perusahaan cuma berorientasi untung dalam memanfaatkan sumber daya air. Mereka mengabaikan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya air itu.
"Apalagi dalam era otonomi daerah saat ini. Pemerintah daerah lebih mengejar pendapatan asli daerah, sedangkan pengendalian dan pengawasan setelah izin dikeluarkan lemah, bahkan diabaikan," ujarnya.
Reza menilai air sejatinya barang sosial dan ekonomi kini memang menjadi komersial. Penyebabnya, negara gagal menjalankan tugas sebagai pengendali sumber daya air.
SUMBER
Warga di sana memang telah lama kekurangan air bersih. Letak daerah dekat laut menyulitkan mereka bisa menikmati air siap minum lantaran airnya mengandung garam.
Meski begitu, di sana terdapat pipa perusahaan air swasta. Aliran itu kadang terputus. Alasannya sepele, ada kebocoran pada pipa induk mendistribusikan air ke daerah mereka. Mau tidak mau, warga terpaksa membeli air bersih dari pedagang air keliling.
"Di sini sudah biasa karena air di sini tidak bisa diminum. Untuk minum harus beli lewat pedagang keliling," kata Muhammad Yusuf, warga Rorotan, Marunda, kepada merdeka.com, Selasa malam pekan kemarin. Dia mengaku paling tidak merogoh kocek Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu buat beli air bersih.
Mestinya itu tidak perlu terjadi. Negara harusnya menguasai air sebagai hajat hidup orang banyak seperti tercantum dalam konstitusi lumpuh. Pihak swasta kini berkuasa atas air di Jakarta.
Sebab, Undang-undang Sumber Daya Air Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menjadi celah privatisasi air oleh swasta. "Pertama kita sudah bikin catatan secara garis besar beleid itu sangat membuka peluang bisnis," kata pengamat lingkungan dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) Muhammad Reza, Jumat pekan lalu. Reza menjelaskan dalam undang-undang itu hanya ada satu pasal menguatkan pemerintah sebagai pengawas, namun kenyataannya justru tidak berjalan.
Sikap pemerintah itu menggugah beberapa tokoh dan penggiat lingkungan mengajukan uji materi terhadap undang-undang itu di Mahkamah Konstitusi. Mereka meyakini Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 ini membuka keran swastanisasi penyediaan air bersih bagi masyarakat. Yang digugat adalah pasal 7, 8, 9, 26, 38, 40, 45, 46, 47, dan 49. Hal itu dianggap bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Dasar 1945.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Profesor Absori, salah satu saksi ahli dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengatakan Pasal 9 ayat 1 UU Sumber Daya Air membuka peluang privatisasi pengelolaan sumber daya air oleh swasta dan cenderung mengabaikan peran badan usaha negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), seperti tertuang dalam konstitusi pasal 33 ayat 2.
Menurut dia, negara memang berwenang mengizinkan pengelolaan air kepada pihak lain. Namun praktiknya, pemberian izin ini tidak lebih bersifat prosedural dan formal.
"Pengawasan di lapangan lemah. Ini mengakibatkan eksploitasi sumber daya air menjadi tidak terkendali," ujar Absori di hadapan majelis pleno Mahkamah Konstitusi diketuai Hamdan Zoelva, Rabu pekan kemarin. Pengurus Pusat Muhammadiyah merupakan pemohon uji materi.
Dia mencontohkan di beberapa daerah terjadi pengambilan air oleh perusahaan air minum dalam kemasan melebihi batas. Dengan kondisi demikian, Absori menilai perusahaan cuma berorientasi untung dalam memanfaatkan sumber daya air. Mereka mengabaikan kelestarian dan keberlanjutan sumber daya air itu.
"Apalagi dalam era otonomi daerah saat ini. Pemerintah daerah lebih mengejar pendapatan asli daerah, sedangkan pengendalian dan pengawasan setelah izin dikeluarkan lemah, bahkan diabaikan," ujarnya.
Reza menilai air sejatinya barang sosial dan ekonomi kini memang menjadi komersial. Penyebabnya, negara gagal menjalankan tugas sebagai pengendali sumber daya air.
SUMBER

Quote:
Merebut Air, Merampas Hidup
Diberkahi kelimpahan mata air, warga Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kini kesulitan air. Puluhan perusahaan air minum menyedot air di daerah yang dikelilingi tiga gunung ini, mencipta sumur-sumur dan sawah yang kering.
un (43), warga Dusun Cimelati, Kelurahan Pesawahan, Cicurug, menuturkan, keluarganya terpaksa menggunakan limpahan air irigasi sawah untuk keperluan hidup sehari-hari. ”Kami tak mendapat jatah air bersih,” katanya.
Warga Dusun Cimelati mendapat air sisa perusahaan. Puluhan mata air di Cicurug telah dibeli oleh perusahaan air minum dalam kemasan, termasuk di Cimelati.
”Kami hanya mendapatkan air sisa setelah dipakai perusahaan. Debitnya tak cukup untuk seluruh warga,” kata Endang (50), anggota mitra cai (organisasi pengelola air) Dusun Cimelati.
Perusahaan air tak hanya memanfaatkan mata air dan air permukaan, tetapi juga mengebor air tanah dalam sehingga terjadi penurunan muka air tanah. Akibatnya, sumur-sumur warga mengering.
Fenti Samsudin (47), warga Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, menuturkan bahwa sumurnya sedalam 15 meter kekeringan saat kemarau. ”Sebelum sumber air dikuasai oleh perusahaan air, sumur milik warga dengan kedalaman 3 meter tetap berisi air pada musim kemarau,” kata Fenti.
Kini, untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari, Fenti dan ribuan warga yang tinggal di kaki kaki Gunung Salak, Gunung Halimun, dan Gunung Gede- Pangrango ini terpaksa membeli air bersih.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cicurug Cece Suparman mengemukakan, selain keringnya sumber air bersih untuk keperluan konsumsi, saluran irigasi juga kering saat kemarau.
”Sepuluh tahun terakhir, sawah kami selalu kekeringan setiap kali musim kemarau. Kami hanya bisa menanam padi sekali setahun. Sebelumnya masih bisa tanam padi dua kali setahun,” kata Cece.
Mengalir jauh
Air dari Sukabumi mengalir jauh hingga ke luar Pulau Jawa, melalui sedikitnya 200 merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku dari air permukaan dan air bawah tanah.
Air permukaan bisa diperoleh dengan menggali sumur kurang dari 50 meter atau langsung menggunakan mata air yang banyak terdapat di daerah ini. Adapun air tanah dalam diperoleh dengan mengebor sumur lebih dari 60 meter dengan terlebih dahulu menembus lapisan kedap air.
Kepala Seksi Data dan Informasi Balai Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pertambangan dan Energi Wilayah Pelayanan I Cianjur Tedy Rushady mengatakan, pada Juni 2008 tercatat ada 13 perusahaan AMDK yang menggunakan air tanah dalam di wilayah Kabupaten Sukabumi. Sebetulnya, tercatat ada 17 perusahaan AMDK yang memiliki izin operasi di Kabupaten Sukabumi, tetapi empat perusahaan di antaranya sedang tidak melakukan produksi pada tahun 2008 ini karena berbagai sebab.
Selain perusahaan AMDK, di Sukabumi juga terdapat puluhan perusahaan yang produksinya berbasis air, misalnya teh botol dan susu cair. Perusahaan-perusahaan ini berebut potensi air sebanyak 34 juta meter kubik per tahun di Cekungan Sukabumi. Perusahaan yang kebanyakan berbasis di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parungkuda, dan Nagrak itu menyedot rata-rata 449.141 meter kubik air per bulan atau 5,389 juta meter kubik per tahun air tanah dalam.
Air mata rakyat
Kendati jutaan meter kubik dirongrong dari alam bawah tanah Sukabumi, pemerintah setempat hanya mendapat pemasukan yang kecil. Pada Juni lalu, 17 perusahaan AMDK itu membayar pajak penggunaan air ke kas Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1,503 miliar. Pajak yang dibayarkan oleh 17 perusahaan AMDK selama setahun ke kas daerah Jawa Barat hanya Rp 18,039 miliar per tahun.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi Priyo Indrianto mengatakan, Kabupaten Sukabumi mendapat porsi 70 persen dari pajak yang dibayarkan perusahaan AMDK. Berarti, dalam setahun Kabupaten Sukabumi hanya mendapat retribusi penggunaan air tanah dalam dari perusahaan AMDK itu sekitar Rp 12,627 miliar.
Uang hasil penyedotan air ini tak mengalir jauh. Masyarakat sekitar perusahaan AMDK itu tetap hidup miskin. Infrastruktur lingkungan seperti jalan di dalam desa juga hancur-hancuran.
Desa-desa yang dulu menjadi produsen padi dan ikan air tawar sekarang dilanda kekeringan setiap kali musim kemarau. Padahal, pada musim kemarau, perusahaan-perusahaan itu justru meningkatkan produksinya karena peningkatan permintaan pasar.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi Edwin S Machmoed mengatakan, selama ini perusahaan-perusahaan diperiksa secara periodik enam bulan sekali. ”Tak ada yang menyalahi aturan,” katanya.
Setiap kali pemeriksaan, petugas memastikan apakah perusahaan mengambil air sesuai debit yang diizinkan. ”Kami hanya mengizinkan pengambilan air maksimal 35 persen dari potensi di sumur itu,” ujar Edwin.
Edwin menampik keluhan warga di sekitar perusahaan AMDK yang menuding kekeringan sumber air mereka terjadi karena penyedotan air tanah dalam itu. ”Air tanah dalam itu berbeda dengan air permukaan karena dipisahkan oleh lapisan kedap air. Jadi, tidak ada korelasi antara kekurangan air dan penggunaan air tanah dalam oleh perusahaan AMDK,” kata Edwin.
Masalahnya adakah debit air tanah dalam yang sudah disedot itu begitu saja tergantikan? Jika air yang meresap di daerah hulu lebih sedikit daripada yang sudah disedot, potensi 34 juta meter kubik air per tahun itu akan segera lenyap. Air yang meresap ke dalam tanah baru bisa menjadi air tanah dalam setelah lebih dari 30 tahun. Apalagi, tak ada yang peduli terhadap perbaikan daerah tangkapan air di tiga gunung yang selama ini menyuplai air tanah ke Cekungan Sukabumi.
Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air/PT GMU, 2005) menyebutkan, ekstraksi air tanah melebihi kemampuan pengisian kembali berdampak pada pengurangan air permukaan. Air tanah adalah sumber utama sungai dan danau, maka air permukaan juga dapat habis jika air tanah dalam terus- menerus diekstraksi meskipun tidak sampai kering. Aliran sungai akan berkurang, danau dan rawa menghilang.
”Ekstraksi air tanah adalah fenomena global yang terjadi pada akhir abad ke-20,” sebut Maude dan Tony.
Kedua penulis ini meramalkan dunia global akan merasakan kebangkrutan air tawar. Kebangkrutan yang bermula ketika air dilihat sebagai barang ekonomi belaka dengan mengabaikan fungsi sosialnya.
”Perusahaan-perusahaan air transnasional mengomodifikasi air tanah demi menguras keuntungan,” tambah Maudi dan Tony. Perusahaan ini dituding mereka berada di belakang gelombang privatisasi air yang melanda dunia.
Di Indonesia, desakan perusahaan air swasta itu memunculkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pada sidang paripurna yang kontroversial, UU SDA yang menyokong penuh privatisasi air itu disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota.
Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau sebuah kebetulan? Apa pun, konsekuensi dari privatisasi air itu telah memiskinkan warga yang semula memiliki kelimpahan air bersih.
SUMBER
Diberkahi kelimpahan mata air, warga Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kini kesulitan air. Puluhan perusahaan air minum menyedot air di daerah yang dikelilingi tiga gunung ini, mencipta sumur-sumur dan sawah yang kering.
un (43), warga Dusun Cimelati, Kelurahan Pesawahan, Cicurug, menuturkan, keluarganya terpaksa menggunakan limpahan air irigasi sawah untuk keperluan hidup sehari-hari. ”Kami tak mendapat jatah air bersih,” katanya.
Warga Dusun Cimelati mendapat air sisa perusahaan. Puluhan mata air di Cicurug telah dibeli oleh perusahaan air minum dalam kemasan, termasuk di Cimelati.
”Kami hanya mendapatkan air sisa setelah dipakai perusahaan. Debitnya tak cukup untuk seluruh warga,” kata Endang (50), anggota mitra cai (organisasi pengelola air) Dusun Cimelati.
Perusahaan air tak hanya memanfaatkan mata air dan air permukaan, tetapi juga mengebor air tanah dalam sehingga terjadi penurunan muka air tanah. Akibatnya, sumur-sumur warga mengering.
Fenti Samsudin (47), warga Desa Babakan Pari, Kecamatan Cidahu, menuturkan bahwa sumurnya sedalam 15 meter kekeringan saat kemarau. ”Sebelum sumber air dikuasai oleh perusahaan air, sumur milik warga dengan kedalaman 3 meter tetap berisi air pada musim kemarau,” kata Fenti.
Kini, untuk memenuhi kebutuhan minum sehari-hari, Fenti dan ribuan warga yang tinggal di kaki kaki Gunung Salak, Gunung Halimun, dan Gunung Gede- Pangrango ini terpaksa membeli air bersih.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Kecamatan Cicurug Cece Suparman mengemukakan, selain keringnya sumber air bersih untuk keperluan konsumsi, saluran irigasi juga kering saat kemarau.
”Sepuluh tahun terakhir, sawah kami selalu kekeringan setiap kali musim kemarau. Kami hanya bisa menanam padi sekali setahun. Sebelumnya masih bisa tanam padi dua kali setahun,” kata Cece.
Mengalir jauh
Air dari Sukabumi mengalir jauh hingga ke luar Pulau Jawa, melalui sedikitnya 200 merek air minum dalam kemasan (AMDK) yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku dari air permukaan dan air bawah tanah.
Air permukaan bisa diperoleh dengan menggali sumur kurang dari 50 meter atau langsung menggunakan mata air yang banyak terdapat di daerah ini. Adapun air tanah dalam diperoleh dengan mengebor sumur lebih dari 60 meter dengan terlebih dahulu menembus lapisan kedap air.
Kepala Seksi Data dan Informasi Balai Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Pertambangan dan Energi Wilayah Pelayanan I Cianjur Tedy Rushady mengatakan, pada Juni 2008 tercatat ada 13 perusahaan AMDK yang menggunakan air tanah dalam di wilayah Kabupaten Sukabumi. Sebetulnya, tercatat ada 17 perusahaan AMDK yang memiliki izin operasi di Kabupaten Sukabumi, tetapi empat perusahaan di antaranya sedang tidak melakukan produksi pada tahun 2008 ini karena berbagai sebab.
Selain perusahaan AMDK, di Sukabumi juga terdapat puluhan perusahaan yang produksinya berbasis air, misalnya teh botol dan susu cair. Perusahaan-perusahaan ini berebut potensi air sebanyak 34 juta meter kubik per tahun di Cekungan Sukabumi. Perusahaan yang kebanyakan berbasis di Kecamatan Cicurug, Cidahu, Parungkuda, dan Nagrak itu menyedot rata-rata 449.141 meter kubik air per bulan atau 5,389 juta meter kubik per tahun air tanah dalam.
Air mata rakyat
Kendati jutaan meter kubik dirongrong dari alam bawah tanah Sukabumi, pemerintah setempat hanya mendapat pemasukan yang kecil. Pada Juni lalu, 17 perusahaan AMDK itu membayar pajak penggunaan air ke kas Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 1,503 miliar. Pajak yang dibayarkan oleh 17 perusahaan AMDK selama setahun ke kas daerah Jawa Barat hanya Rp 18,039 miliar per tahun.
Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sukabumi Priyo Indrianto mengatakan, Kabupaten Sukabumi mendapat porsi 70 persen dari pajak yang dibayarkan perusahaan AMDK. Berarti, dalam setahun Kabupaten Sukabumi hanya mendapat retribusi penggunaan air tanah dalam dari perusahaan AMDK itu sekitar Rp 12,627 miliar.
Uang hasil penyedotan air ini tak mengalir jauh. Masyarakat sekitar perusahaan AMDK itu tetap hidup miskin. Infrastruktur lingkungan seperti jalan di dalam desa juga hancur-hancuran.
Desa-desa yang dulu menjadi produsen padi dan ikan air tawar sekarang dilanda kekeringan setiap kali musim kemarau. Padahal, pada musim kemarau, perusahaan-perusahaan itu justru meningkatkan produksinya karena peningkatan permintaan pasar.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Sukabumi Edwin S Machmoed mengatakan, selama ini perusahaan-perusahaan diperiksa secara periodik enam bulan sekali. ”Tak ada yang menyalahi aturan,” katanya.
Setiap kali pemeriksaan, petugas memastikan apakah perusahaan mengambil air sesuai debit yang diizinkan. ”Kami hanya mengizinkan pengambilan air maksimal 35 persen dari potensi di sumur itu,” ujar Edwin.
Edwin menampik keluhan warga di sekitar perusahaan AMDK yang menuding kekeringan sumber air mereka terjadi karena penyedotan air tanah dalam itu. ”Air tanah dalam itu berbeda dengan air permukaan karena dipisahkan oleh lapisan kedap air. Jadi, tidak ada korelasi antara kekurangan air dan penggunaan air tanah dalam oleh perusahaan AMDK,” kata Edwin.
Masalahnya adakah debit air tanah dalam yang sudah disedot itu begitu saja tergantikan? Jika air yang meresap di daerah hulu lebih sedikit daripada yang sudah disedot, potensi 34 juta meter kubik air per tahun itu akan segera lenyap. Air yang meresap ke dalam tanah baru bisa menjadi air tanah dalam setelah lebih dari 30 tahun. Apalagi, tak ada yang peduli terhadap perbaikan daerah tangkapan air di tiga gunung yang selama ini menyuplai air tanah ke Cekungan Sukabumi.
Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, Perampasan dan Komersialisasi Sumber Daya Air/PT GMU, 2005) menyebutkan, ekstraksi air tanah melebihi kemampuan pengisian kembali berdampak pada pengurangan air permukaan. Air tanah adalah sumber utama sungai dan danau, maka air permukaan juga dapat habis jika air tanah dalam terus- menerus diekstraksi meskipun tidak sampai kering. Aliran sungai akan berkurang, danau dan rawa menghilang.
”Ekstraksi air tanah adalah fenomena global yang terjadi pada akhir abad ke-20,” sebut Maude dan Tony.
Kedua penulis ini meramalkan dunia global akan merasakan kebangkrutan air tawar. Kebangkrutan yang bermula ketika air dilihat sebagai barang ekonomi belaka dengan mengabaikan fungsi sosialnya.
”Perusahaan-perusahaan air transnasional mengomodifikasi air tanah demi menguras keuntungan,” tambah Maudi dan Tony. Perusahaan ini dituding mereka berada di belakang gelombang privatisasi air yang melanda dunia.
Di Indonesia, desakan perusahaan air swasta itu memunculkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Pada sidang paripurna yang kontroversial, UU SDA yang menyokong penuh privatisasi air itu disahkan. Pimpinan sidang waktu itu, AM Fatwa, mengetuk palu tanda sah tanpa mengindahkan interupsi anggota.
Sidang yang riuh diselingi listrik mati menjelang pengesahan menjadi tanda tanya hingga sekarang. Kesengajaan atau sebuah kebetulan? Apa pun, konsekuensi dari privatisasi air itu telah memiskinkan warga yang semula memiliki kelimpahan air bersih.
SUMBER
Kalau menurut ane sih, cari uang ga gitu-gitu amat yaa. Boleh cari untung tapi tetep perhatiin kesejahteraan warga sekitar
Kalau menurut agan-agan gimana??

Spoiler for Info Tambahan:
Kaskuser yang baik akan memberikan


dan

Jangan dikasih




nona212 memberi reputasi
1
14.8K
Kutip
51
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan