SURYA.co.id | SURABAYA - Sejumlah tokoh perempuan di Surabaya dan Sidoarjo membentuk gerakan unik sebagai bentuk dukungan kepada Calon Presiden-Calon Wakil Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mereka mengenakan kemeja biru dikombinasi celana krem di tiap hari Rabu atau dikenal dengan sebutan Rabu Biru.
Salah satunya ada di Surabaya. Puluhan emak-emak militan yang bergabung di gerakan
Rabu Biruini melakukan aksinya dengan berkumpul di sebuah pusat perbelanjaan, Rabu (17/10/2018).
"Acara ini kami buat terinspirasi dari Mas Sandi," kata salah satu peserta Gerakan Rabu Biru di Surabaya,
Trisusanti di Surabaya, Kamis (18/10/2018).
Menurut perempuan yang akrab disapa Susi tersebut, gaya Sandiaga Uno yang kerap mengenakan kemeja biru dikombinasi celana krem, menjadi salah satu inspirasi mereka.
Misalnya, ketika Sandi mengenakan kemeja biru saat menghadiri pengumuman dan pendaftaran ke KPU sebagai Cawapres Prabowo Subianto, bahkan saat sowan ke beberapa tokoh-tokoh penting baik ulama maupun politisi.
Sandi menyebut bahwa warna biru sebagai simbol pekerja. Sementara, filosofi warna biru dan krem dari gerakan Rabu Biru adalah elegan, percaya diri, melakukan demokrasi sejuk.
"Mas Sandi bilang bahwa warna biru itu sejuk," kata Susi mengutip penjelasan Sandi.
Di Jakarta, gerakan Rabu Biru ini mulai dideklarasikan sejak 27 September 2018 lalu.
Setidaknya ada 7 sayap organisasi relawan yang masuk di gerakan ini, yakni; Laskar Prabowo Indonesia (Ketua: Saimy Saleh); Bersama Prabowo Sandi – BPAS (Ketua: Henk Mahendra), Relawan BY (Buni Yani), Sandi Uno Community milenial PS (Iwan), dan Melati Putih Indonesia (MPI) (Ketua: Vivi Sumanti), serta Japri (Jaringan Pribumi) dipimpin Muhadi yang sekaligus inisiator gerakan.
Susi menjelaskan, bahwa gerakan ini diharapkan bisa menyasar kalangan
perempuan dan pemilih milenial.
Apalagi, kaum milenial dan segmen anak muda (17-34 tahun) merupakan 44 persen pemilik suara di Pilpres 2019.
Tak mengherankan, apabila gerakan ini dihadiri oleh kalangan perempuan dari berbagai latar belakang. Mulai dari politiisi, pekerja, hingga ibu rumah tangga.
"Mereka yang hadir karena inisiatif sendiri. Mereka membawa semangat yang sama, ingin presiden baru," kata Susi.
Munculnya gerakan ini pun melengkapi beberapa gerakan sebelumnya, misalnya “the power emak-emak” yang dimotori oleh Neno Warisman, beda pula dengan gerakan “Ganti Presiden”.
"Kami lebih banyak berdiskusi untuk membahas masalah yang sedang ramai, sekaligus mencari solusi bukan sekadar orasi," kata Susi.
Di tiap pertemuan, agenda yang dibicarakan pun berbeda-beda. Misalnya, karena Rabu 17 Oktober bertepatan dengan hari ulang tahun Calon Presiden Prabowo Subianto yang ke 67, barisan perempuan yang dikoordinatori oleh Susi melakukan aksi damai dan spontanitas dengan berbagi kue ultah bergambar Prabowo di Surabaya.
Selain bakti sosial, Susi menyebut gerakan ini akan mengagendakan beberapa acara lain, misalnya diskusi membahas kenaikan
harga kebutuhan pokok, potensi penyediaan lapangan pekerjaan, hingga beberapa agenda lain.
"Kami rencananya juga akan mengundang beberapa pakar dan tokoh untuk memberikan penjelasan soal beberapa hal," kata Caleg DPRD Surabaya dari Partai Gerindra ini.
Meskipun mengenakan pakaian biru, Susi memastikan bahwa hal itu bukan merupakan salah satu warna partai politik. Misalnya identik PAN dan Partai Demokrat yang juga mengusung
prabowo-sandi.
"Bukan partai, tapi murni karena Mas Sandi. Sehingga, Kami membuka pintu seluas-luasnya kepada seluruh kalangan untuk ikut bergabung," kata Caleg nomor urut delapan ini.
"Saat ini, sudah muncul gerakan di Surabaya, Sidoarjo, dan Malang. Kedepan, akan menyusul di beberapa daerah lain," pungkas caleg dari dapil Surabaya 3 ini
sumber : surabaya.tribunnews.com/2018/10/18/terinspirasi-sandiaga-uno-muncul-gerakan-rabu-biru-di-surabaya-ini-tujuannya
Konektivitas Isu bisa jadi sebuah perekat dalam membangun komunikasi politik terhadap partisipan, kesamaan persepsi juga dapat membangun jaringan secara bersama, sehingga inisiasi itu bisa terbentuk secara mudah akan susah jika hanya bertumpu pada satu patokan ketokohan.
Secara simpelnya jika hanya bertumpu pada ketokohan sementara gagal dalam mengembangkan persoalan isu maka yang terjadi adalah pengkultusan yang tidak bisa dikritik.
Apalagi jika inisiator dari ibu-ibu atau emak-emak, akan terasa lebih luwes dan mudah dalam bagaimana memanage persoalan-persoalan lokal yang mudah sekali dijumpai di sekitar kita.