- Beranda
- Komunitas
- News
- Beritagar.id
Kisah pembobolan bank Rp14 triliun oleh perusahaan kredit


TS
BeritagarID
Kisah pembobolan bank Rp14 triliun oleh perusahaan kredit

Lima orang tersangka dan barang bukti dihadirkan saat rilis kasus kejahatan perbankan oleh Grup Columbia senilai Rp14 triliun di kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (24/9/2018).
Badan Reserse Kriminal Polri mengungkap kasus pembobolan 14 bank di Indonesia dengan perkiraan nilai kerugian mencapai Rp14 triliun. Para pelaku pemboboloan merupakan pengurus perusahaan PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance)-- sebuah perusahaan jasa pembiayaan yang berafiliasi dengan Grup Columbia.
Wakil Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Pol, Daniel Tahi Monang Silitonga, mengatakan pihaknya telah menetapkan delapan orang tersangka terkait pembobolan bank tersebut.
Lima tersangka yang telah ditahan adalah DS selaku Direktur Utama SNP Finance, AP selaku Direktur Operasional, RA yang menjabat sebagai Direktur Keuangan, CDS selaku Manajer Akutansi, serta AS sebagai Manajer Keuangan. Sementara tiga tersangka lainnya masih dalam pengejaran polisi yakni; pendiri Columbia Leo Chandra, LD, dan SL.
Para pelaku, menurut Daniel, menjalankan aksinya dengan mengajukan kredit ke bank beserta jaminan berupa daftar piutang yang telah dimanipulasi sehingga mendapatkan jumlah uang yang lebih besar saat pencairan kredit.
Perusahaan tersebut mengajukan fasilitas kredit ke 14 bank--swasta maupun bank BUMN-- dengan menyodorkan agunan atau jaminan palsu.
"Modus yang digunakan pelaku dengan cara menambah, menggandakan, mengubah atau berkali-kali menggunakan daftar piutang fiktif. Sehingga kreditur mengeluarkan uang sebesar nominal yang ada di daftar," ujar Daniel dalam keterangan resmi yang dikutip Rabu (26/9/2018).
Daftar piutang fiktif didapatkan dari pelanggan perusahaan induk usaha Grup Columbia, PT Cipta Mandiri Prima (PT CMP). Kemudian PT CMP yang memiliki cabang di Indonesia menjual berbagai produk dan menawarkan fasilitas kredit sebagai cara pembayaran.
Selanjutnya, SNP Finance mengajukan kredit ke bank untuk pembiayaan PT CMP. Jaminan yang digunakan ialah daftar piutang pelanggan yang sudah dimanipulasi.
Pada perkara tersebut terungkap, SNP Finance mengajukan sempat pinjaman fasilitas kredit modal kerja dan kredit rekening koran kepada Bank Panin periode Mei 2016-September 2017.
Plafon kredit yang diajukan sebesar Rp425 miliar dengan jaminan daftar piutang pembiayaan konsumen Columbia. Pada Mei 2018, terjadi kredit macet sebesar Rp141 miliar.
Sejumlah barang bukti yang disita dalam kasus itu di antaranya adalah salinan perjanjian kredit Bank Panin dengan SNP Finance, salinan jaminan fidusia piutang yang dijaminkan kepada Bank Panin, dan salinan laporan keuangan in house SNP Finance periode 2016-2017.
Selain Bank Panin, Bank Mandiri juga menjadi korban penipuan fasilitas kredit yang dilakukan oleh SNP Finance. Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri, Rohan Hafas, mengungkapkan perseroan memang menjadi kreditur bagi perusahaan tersebut.
Rohan menyebut SNP Finance sebenarnya sudah menjadi nasabah Bank Mandiri selama 20 tahun. Namun, itikad buruk baru ditujukan perusahaan pembiayaan tersebut beberapa bulan terakhir. Saat ini, pinjaman macet perseroan ke anak perusahaan Grup Columbia tersebut mencapai Rp1,2 triliun.
"Kami akan serahkan proses hukum kepada yang berwajib, tentu akan kami bawa masalah ini ke meja hukum," ujar Rohan saat dihubungi Beritagar.id, Rabu (26/9).
Gagal bayar
SNP Finance merupakan salah satu anak usaha Grup Columbia, perusahaan terkemuka di bidang penjualan tunai dan kredit di Indonesia. Columbia didirikan oleh Leo Chandra, 75 tahun, pada 28 Februari 1982.
Sebetulnya nama Columbia Cash & Credit bagi kalangan konsumen kelas menengah bawah cukup populer. Setelah berkecimpung selama lebih dari 30 tahun, Columbia jadi solusi bagi kalangan menengah bawah untuk pemenuhan kebutuhan nonprimer seperti produk-produk elektronik dan perabot rumah tangga dengan cara cicilan.
Jaringan toko kredit Columbia telah mampu bertahan lebih dari 30 tahun dengan total 500 cabang. Omzet usahanya mencapai Rp2 triliun per tahun.
Pada tahun 2002, Leo mengakuisisi SNP Finance untuk menyokong pembiayaan secara kredit. Saat ini, perusahaan pembiayaan ini memiliki sekitar 72 cabang. Klien utama SNP adalah konsumen Columbia.
Dari sinilah awal mulanya SNP Finance berkecimpung bersama Grup Columbia membiayai pembelian kredit untuk masyarakat menengah bawah.
Namun awal tahun ini, masalah SNP Finance tiba-tiba hangat dibicarakan publik. Kesulitan keuangan yang melilit perusahaan ini tiba-tiba menyeruak ke publik.
Cerita ini bermula dari gagal bayar surat utang jangka pendek (Medium Term Notes/MTN) yang diterbutkan SNP Finance pada 9 Mei dan 14 Mei. Total kewajiban bunga utang yang harus dibayar mencapai Rp6,75 miliar dari dua seri MTN.
Seri MTN V SNP Tahap II senilai Rp5,25 miliar jatuh tempo 9 Mei 2018 dengan nilai pokok Rp200 miliar yang terbit Februari 2018 dengan Rating Pefindo idA/Stable dengan kupon 10,5 persen. Kedua bunga MTN III seri B senilai Rp1,5 miliar yang diliris 13 November 2018 senilai Rp50 miliar dengan kupon 12,12 persen dengan Rating idA/Stable.
Menurut data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), seluruh nilai MTN sebesar Rp1,852 triliun dengan jatuh tempo dan seri yang berbeda. Nilai MTN yang jatuh tempo 2018 sebesar Rp725 miliar dengan 5 seri.
Sementara MTN yang jatuh tempo 2019 sebesar Rp817 miliar dengan 10 Seri dan yang jatuh tempo 2020 sebesar Rp 310 miliar dengan 4 seri. Semua dengan rating idA/Stable dari Pefindo.
Takut masalah membesar, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akhirnya membekukan kegiatan usaha SNP Finance pada 14 Mei 2018.
Dalam laporan Kontan.com, Deputi Komisioner Manajemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan sanksi ini dilakukan karena perusahaan tersebut belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai dengan berakhirnya batas waktu sanksi peringatan ketiga.
Pengawasan lemah
Kasus pencairan fasilitas kredit dengan agunan fiktif bukan hal baru di Indonesia. Pada pertengahan tahun ini, Kejaksaan Agung mengungkap kasus kredit fiktif Bank Mandiri senilai Rp1,17 triliun kepada PT Tirta Amarta Bottling Company (TAB)--sebuah perusahaan pemasok botol dalam industri minuman.
Kasus tersebut membuat lima orang pegawai Bank Mandiri dan satu direktur TAB duduk di kursi pesakitan Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat.
Pengamat Perbankan Paul Sutaryono mengungkapkan kemunculan kasus kredit fiktif yang menimpa industri perbankan disebabkan oleh banyak faktor. Ia menduga salah satu penyebab lemahnya kontrol internal bank dalam melakukan investigasi sebelum mencairkan fasilitas kredit kepada debitur.
"Analisisnya tidak tajam sehingga kesimpulan menjadi tidak akurat, jaminan tidak memadai atau ada main mata antara eksternal dan orang internal bank," ujar Paul kepada Beritagar.id, Rabu (26/9).
Kendati demikian ia menilai kasus tersebut tidak akan terlalu berdampak kepada nasabah bank lain apabila penegak hukum bisa menyelesaikan kasus tersebut dengan baik.
Paul menyebut pengawasan OJK harus lebih optimal. Ia menilai OJK perlu meningkatkan pengawasan, terutama yang bersifat lebih awal. Hal ini merupakan upaya pencegahan supaya tidak terjadi kasus besar.

Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...usahaan-kredit
---
Baca juga dari kategori BERITA :
-

-

-



anasabila memberi reputasi
1
3.2K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan