Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

AsemuaAvatar border
TS
Asemua
Hanya sebuah cerita
Tak terasa waktu sudah hampir malam di pondokan. Suara lantunan dari speaker surau tempat desa kami mengabdi sudah bergema dengan lantang. Bergegasku ambil peci dan sarung untuk sembahyang. Sementara kamu hanya duduk didepan teras sambil melambaikan tangan. Menungguku ?? tidak, ini hanya rutinitas kami sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang biasa-biasa saja. 
 
Kepulanganku dari surau langsung disambut dengan sepercik senyum di wajahmu. Aku turut duduk di depan teras sambil berbincang  ”makan apa kita malam ini ?”. Tak lama setelah itu hidangan siap di meja. Seketika raut wajahmu berubah setelah melihat hidangan yang disajikan tersebut.  Aku bertanya-tanya dalam kalbu, lalu memberanikan diri seraya berkata: “Kau tak suka ?”

Kecintaanmu pada binatang memang tak bisa dipenggat. Belum pernah kulihat orang sebegitu dalam mencintai binatang (misal kucing, anjing, ayam, serangga, bahkan ikan-ikan di sungai). Terlebih, dipondokan kami terdapat seekor kucing. Karena warna bulunya yang merah-kecolatan maka kami memutuskan untuk memberi nama: JAHE. Ya, karena warna bulunya memang mirip seperti jahe yang merah-kecoklatan

Ekspresimu selalu lucu ketika sedang bercengkrama dengan jahe. Kau tampak begitu gembira. Hampir terlihat seperti kawan lama yang sudah tak lama berjumpa. Tidak perlu khawatir akan tak acuh padaku. Teruslah mengelus pangkal dagu jahe dan biarkan aku dengan khusyuk memperhatikan dirimu. Dan mungkin inilah, yang membuatku sedikit tertarik kepadamu.

Kembali pada masalah hidangan. Jawabanya sederhana “buatmu saja”. Hidangan tersebut adalah sepotong sayap ayam yang dimasak dengan bumbu ala sunda. Bukannya apa, tapi kita harus mensyukuri makanan apapun yang dihidangkan dari pondokan. Ternyata kecintaanmu pada binatang telah mempengaruhi cara makanmu. Merubahmu menjadi seorang vegan. Kau terlalu takut dan tak sampai hati bila menyantap sesuatu yang kau sayangi. Aku pun bisa mengerti itu. Dalam benakku kau lebih seperti ber-peri-kehewanan.

“Bila tak mau kuberikan pada jahe”. Katanya ketus. Segera kutaruh sayap itu keatas piringku, sebelum benar-benar berada dimulut sang kucing. Sementara dirimu hanya menaruh acar dan tauge diatas piring. Tak lupa menambahkan kecap dan sambal sebagai perasa yang siap menggoyang lidah. Dalam hatiku muncul rasa iba, kulahap habis sayap barusan dan berkata “Sebaiknya kita makan satu piring saja”

Orang jawa menyebutnya kembulan. Tak taulah daerah kalian apa. Yang pasti kita makan sepiring untuk berdua, dengan variasi lauk yang jauh lebih baik ketimbang acar dan tauge. Dengan begitu dia akan lebih semangat untuk makan dan tak terkekang dengan rasa hewaniah-nya. 

Waktu terus berlalu dengan sepiring nasi yang kita habiskan. Hari demi hari berganti menjadi minggu kemudian bulan. Hanya berasal dari lauk pauk di sebuah piring. Lalu, terbentuklah suatu pola kenyamanan dalam diri manusia satu sama lain. Inikah cinta ? aku tidak yakin. Kiranya cinta lebih dari pada itu. Tapi muncul pertanyaan dalam benakku yaitu  “Mengapa bisa seperti ini?”

______


Awal pertemuan kita sederhana.  Tanpa rencana, tiba-tiba dan berjalan cepat. Mungkin terutama bagi kebanyakan mahasiswa pada umumnya. Sebuah program dari kampus untuk melepas mahasiswanya kepada warga di daerah-daerah terpencil dengan harapan dapat menyalurkan pengetahuan yang dimiliknya. Nyatanya kamilah yang akhirnya belajar banyak dari warga.

Pertama jumpa, kau dan aku sama-sama masuk dalam kelompok yang terbilang 'Tidak diharapkan'. Kala itu kikuk masih melanda, kikuk itu pula yang membawa kita pada suatu pertemuan. Kita sama-sama telat mengumpulkan syarat administratif dan segala macam tetek bengek itu. Kita sama-sama linglung mencari kelompok tersebut. Namun es mulai mencair, seiring perbincangan yang mengalir. Aku tertarik dengan cara bicaramu yang lugu, dengan sedikit cengengesan dan lawakan yang garing. Tapi ternyata justru itu lah api yang membawa kehangatan yang mencairkan es tersebut.

Lalu hari-hari pengabdian mulai berjalan. Entah sejak kapan, kita jadi mulai mengingatkan satu sama lain dari hal-hal kecil. Saling memperhatikan, ia yang berbeda kenyakinan denganku pun mengingatkan “Lekas sembahyang”. Mungkin saat itu rasa telah terpecikan, intensitas pembicaraan meningkat secara tatap muka, berbagi kisah yang tiada sungkan. Walau baru bertemu, bagiku rasanya kita sudah lama mengenal. Di kehidupan sebelumnya ? Entalah, tidak baik membicarakan itu sekarang.

Lucu, selera humormu yang anjlok itu sangat betah ku dengarkan walau dipakai berulang-ulang. Menghabiskan berjam-jam untuk saling bicara, tatap muka, saling merasakan emosi satu sama lain. Atau ketika bersamamu saat melaksanakan program dimana motor itu hanya milik kita berdua. 

Setiap kali berboncengan kau tiada habisnya membahas bahan obrolan yang kita punya. Tak mampu untuk berhenti walaupun sepanjang jalan tiada lampu merah. Ocehanmu yang khas itu, mendengarnya dengan lantun ditemani angin jalanan yang sepoi. Namun ku sadar, inilah cara kami menerima dan membuka hati satu sama lain.

Terima kasih tak cukup untuk diucapkan padamu. Hari-hari pengabdian yang berat menjadi berwarna. Hati kita sudah berjalan bersama, walau belum tahu kemana arahnya. Namun aku merasa nyaman, ketika aku menggenggam tanganmu yang mungil, ketika aku merengkuh bahumu, ketika aku melihat senyum yang hampir membuat matamu tertutup. Bersamamu kumerasa lebih mampu untuk mengahadapi hari-hari pengabdian ini.

___________


Tak terasa sepiring hidangan yang kami santap berdua ludes tak bersisa. Seperti acar dan tauge, hari-hari ku dipengabdian berjalan pas dan sangat menyegarkan. Kehadiranmu dan rasa ini benar-benar menyelamatkanku. Mereka bilang ini merupakan penyakit dipengabdian yang tak boleh dibawa pulang. Namun kuhanya bisa menikmatinya sekarang, rasa yang manis-pahit ini. Hmmm.. seperti minuman yang berwarna hitam itu.....

Ah, ya... KOPI. Kau memang selalu cinta pada kopi, ocehanmu itu melulu terjeda oleh secangkir kopi panas yang ada dimeja ini. Seduhan pertama yang membuat ekspresimu melebihi nikmat yang diberikan oleh tuhan. Kucicip juga cairan yang ada dicangkir itu, seraya ku berkata “pahit”

Sayang, kau mungkin mengira bahwa aku mengaku-aku menyukai kopi. Walaupun kau tak sepenuhnya salah. Aku hanya tak pandai dan mengerti seluk beluk kopi sebaik dirimu. Dari yang murah hingga yang harganya tak masuk nalar. Akupun juga tak kuat dengan kopi yang terlalu keras maupun yang kadar asamnya terlalu tinggi.

Kecintaanmu pada kopi juga membuatku jatuh cinta. Ketika kau menggebu-gebu bicara tentang kopi, ketika kau bergumam dan bermimpi suatu saat akan mempunyai coffeshop sendiri serta menciptakan beberapa varian kopi baru.... dan lainya. Namun aku selalu menikmati ketika kau bicara tentang itu semua, begitu bersemangat dan bercahaya. Mentari kecilku.

Kosong sudah, Cangkir kopi yang di ada hadapan kami. Semua obrolan ini benar-benar membuatku lupa pada jarum jam yang ada ditangan kananku. Kurengkuh tubuh kecil kecil itu, kuacak rambutnya sedikit, Lalu kubisikan sepatah kata dengan nada lirih : 

“Ayo tidur”

“Ya” ujarmu sembari tersenyum malu-malu

Hangat, seketika aku dibuat meleleh karenanya. Sayangnya, semua ini hanya menjadi cerita dalam halaman-halaman dan lembar-lembar buku kehidupan kita yang tertoreh didalamnya. Karena setelah semua ini usai, kita akan kembali kepada pasangan kita masing-masing.


Diubah oleh Asemua 20-09-2018 00:10
anasabila
anasabila memberi reputasi
2
1K
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan