- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Kerudung dalam Berbagai Budaya


TS
liamonters
Kerudung dalam Berbagai Budaya

Tentu semua orang sudah mengetahui apa itu Jilbab/Tudung, pakaian atau kain yang digunakan untuk menutupi beberapa bagian kepala atau wajah dan objek kepala penting lainnya. Kerudung/jilbab sendiri memiliki sejarah yang sangat panjang, khususnya dalam masyarakat Eropa, Asia, dan Afrika. Penggunaan kerudung sendiri khususnya cukup menonjol dalam peraturan agama Yudaisme , Kristen dan Islam. Jilbab/tudung juga seringkali menghiasi perempuan dan benda-benda suci seperti patung-patung orang kudus. Selain dalam makna religius, jilbab/tudung terus dipertahankan dalam beberapa konteks kebudayaan sekuler modern, seperti dalam prosesi pernikahan.
Spoiler for Sejarah awal Tudung:
Sejarah awal

Wanita elit di Mesopotamia kuno dan di Yunani, Persia mengenakan jilbab sebagai tanda kehormatan dan status yang tinggi.
Referensi paling awal tentang jilbab/tudung kepala ditemukan dalam kode hukum Asyur tahun 1400-1100 SM. Kerajaan Asyur saat itu membuat peraturan-peraturan yang memerinci tentang perempuan mana yang harus berjilbab dan yang mana yang tidak boleh mengenakan jilbab. Hal-hal yang memperbolehkan seorang wanita berjilbab diantaranya dipengaruhi oleh kelas sosial, pangkat, hingga pekerjaan para wanita dalam masyarakat saat itu. Budak perempuan dan pramuria dilarang untuk mengenakan tudung/jilbab, bila mereka kedapatan mengenakan jilbab maka mereka akan menghadapi hukuman yang berat.
Hukum tentang jilbab bagi para wanita didokumentasikan dalam salah satu tablet yang juga menyertakan hukuman bagi mereka yang melanggar kode jilbab:
Oleh karena itu, jilbab tidak hanya menjadi penanda peringkat dalam masyarakat, tetapi juga berfungsi untuk "membedakan antara wanita yang 'terhormat dan wanita yang tersedia untuk umum".
Pada tahun 539 SM, Persia menaklukkan Mesopotamia sehingga wilayah itu menjadi bagian dari negeri Persia. "Pengasingan" perempuan adalah kebiasaan sosial yang diadopsi oleh orang-orang Persia dari bangsa Asyur dan dipertahankan selama bertahun-tahun. Di Persia kuno, para wanita dari keluarga bangsawan disembunyikan dan harus ditutup dengan tudung ketika mereka hendak bepergian ke tempat umum. Dengan penaklukan Persia, konsep jilbab dengan cepat menyebar ke negara-negara dan bangsa-bangsa disekitar mereka. Pertama-tama diperkenalkan ke daerah Levant "saat ini dikenal sebagai Suriah dan Lebanon" dan utara Arabia.

Orang-orang Arab yang terpisah oleh peradaban-peradaban di sekitarnya karena bukit pasir dan padang pasir yang luas dan tidak berpenghuni tidak mengenal konsep hijab dalam bentuk agama sampai abad ketujuh M, hingga mereka menaklukkan negeri Persia. Keadaan Arabia pra islam mengenakan tudung lebih kepada untuk melindungi diri dari iklim yang keras dan juga badai pasir. Kehidupan mereka yang Nomaden seringkali membuat mereka mengandalkan pakaiannya untuk melindungi tubuh mereka.

Perempuan Niniwe oleh Paul Batou
Wanita elit di Mesopotamia kuno dan di Yunani, Persia mengenakan jilbab sebagai tanda kehormatan dan status yang tinggi.
Referensi paling awal tentang jilbab/tudung kepala ditemukan dalam kode hukum Asyur tahun 1400-1100 SM. Kerajaan Asyur saat itu membuat peraturan-peraturan yang memerinci tentang perempuan mana yang harus berjilbab dan yang mana yang tidak boleh mengenakan jilbab. Hal-hal yang memperbolehkan seorang wanita berjilbab diantaranya dipengaruhi oleh kelas sosial, pangkat, hingga pekerjaan para wanita dalam masyarakat saat itu. Budak perempuan dan pramuria dilarang untuk mengenakan tudung/jilbab, bila mereka kedapatan mengenakan jilbab maka mereka akan menghadapi hukuman yang berat.
Hukum tentang jilbab bagi para wanita didokumentasikan dalam salah satu tablet yang juga menyertakan hukuman bagi mereka yang melanggar kode jilbab:
Quote:
“bila Istri seorang pria, atau putri seorang pria pergi ke jalan, kepala mereka harus disembunyikan. pramuria tidak boleh berselubung, begitupun dengan seorang budak tidak boleh menutupi diri mereka dengan jilbab. pramuria dan budak wanita yang berjilbab akan direnggut pakaiannya dan akan menerima 50 pukulan. "
Oleh karena itu, jilbab tidak hanya menjadi penanda peringkat dalam masyarakat, tetapi juga berfungsi untuk "membedakan antara wanita yang 'terhormat dan wanita yang tersedia untuk umum".
Pada tahun 539 SM, Persia menaklukkan Mesopotamia sehingga wilayah itu menjadi bagian dari negeri Persia. "Pengasingan" perempuan adalah kebiasaan sosial yang diadopsi oleh orang-orang Persia dari bangsa Asyur dan dipertahankan selama bertahun-tahun. Di Persia kuno, para wanita dari keluarga bangsawan disembunyikan dan harus ditutup dengan tudung ketika mereka hendak bepergian ke tempat umum. Dengan penaklukan Persia, konsep jilbab dengan cepat menyebar ke negara-negara dan bangsa-bangsa disekitar mereka. Pertama-tama diperkenalkan ke daerah Levant "saat ini dikenal sebagai Suriah dan Lebanon" dan utara Arabia.

Masyarakat Arab sebelum islam
Orang-orang Arab yang terpisah oleh peradaban-peradaban di sekitarnya karena bukit pasir dan padang pasir yang luas dan tidak berpenghuni tidak mengenal konsep hijab dalam bentuk agama sampai abad ketujuh M, hingga mereka menaklukkan negeri Persia. Keadaan Arabia pra islam mengenakan tudung lebih kepada untuk melindungi diri dari iklim yang keras dan juga badai pasir. Kehidupan mereka yang Nomaden seringkali membuat mereka mengandalkan pakaiannya untuk melindungi tubuh mereka.
Spoiler for Kerudung dalam masyarakat Yunani, Romawi dan sekitarnya:
Tudung dalam budaya Yunani dan Romawi

Jilbab atau pakaian yang tertutup juga menjadi kebiasaan di Yunani kuno. Antara tahun 550 hingga 323 SM, wanita terhormat dalam masyarakat Yunani diharapkan untuk menarik diri dari umum dan mengenakan pakaian yang menyembunyikan mereka dari mata para pria asing.
Patung-patung klasik Yunani dalam kebudayaan Helenis seringkali menggambarkan wanita Yunani dengan kepala dan wajah mereka yang ditutupi oleh cadar. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones berpendapat berdasarkan representasi dan referensi literatur bahwa hal itu adalah hal yang biasa bagi wanita saat itu (mereka yang berstatus lebih tinggi) di Yunani kuno untuk menutupi rambut dan wajah mereka di depan khalayak umum.
Wanita Romawi diperkenankan memakai tudung sebagai simbol atas otoritas suami atas istrinya. Seorang wanita yang sudah menikah yang mengabaikan tudung dapat dianggap mengabaikan status pernikahannya. Pada tahun 166 SM, konsul Sulpicius Gallus menceraikan istrinya dan dia diusir keluar dari kediamannya dengan keadaan terbuka, sehingga memungkinkan semua orang melihatnya secara jelas dan menandakan bahwa statusnya sudah tidak menikah lagi. Gadis-gadis yang belum menikah umumnya tidak menutupi kepala mereka, tetapi bagi wanita yang sudah menikah menutupi kepalanya untuk menunjukkan kesopanan dan kesucian mereka. Kerudung juga di identikan melindungi wanita dari mata-mata jahil dan jahat.

Sebuah penutup kepala yang disebut flammeum adalah contoh yang paling menonjol dari kostum yang dikenakan oleh pengantin wanita dalam pernikahan di Romawi. Kerudung tersebut berwarna kuning yang melambangkan pada nyala lilin. Flammeum juga melambangkan tabir "Flaminica Dialis", pendeta Romawi yang tidak boleh bercerai dengan suaminya, seorang imam besar Jupiter, dan dengan demikian melambangkan sebuah komitmen tentang kesetiaan seumur hidup untuk satu orang.
Percampuran populasi juga menghasilkan konvergensi budaya kerajaan Yunani, Persia, Mesopotamia dan orang-orang Semit di Timur Tengah. Kerudung dan pembatasan diri perempuan menjadi sebuah budaya yang tetap didalam komunitas orang-orang Yahudi dan Kristen, hingga menyebar ke perkotaan-perkotaan Arabia dan akhirnya menjadi lumrah di antara masyarakat perkotaan saat itu. Di daerah pedesaan adalah hal umum untuk menutupi rambut, tetapi tidak sampai ke wajah.

patung seorang penari perempuan di Yunani
Jilbab atau pakaian yang tertutup juga menjadi kebiasaan di Yunani kuno. Antara tahun 550 hingga 323 SM, wanita terhormat dalam masyarakat Yunani diharapkan untuk menarik diri dari umum dan mengenakan pakaian yang menyembunyikan mereka dari mata para pria asing.
Patung-patung klasik Yunani dalam kebudayaan Helenis seringkali menggambarkan wanita Yunani dengan kepala dan wajah mereka yang ditutupi oleh cadar. Caroline Galt dan Lloyd Llewellyn-Jones berpendapat berdasarkan representasi dan referensi literatur bahwa hal itu adalah hal yang biasa bagi wanita saat itu (mereka yang berstatus lebih tinggi) di Yunani kuno untuk menutupi rambut dan wajah mereka di depan khalayak umum.
Wanita Romawi diperkenankan memakai tudung sebagai simbol atas otoritas suami atas istrinya. Seorang wanita yang sudah menikah yang mengabaikan tudung dapat dianggap mengabaikan status pernikahannya. Pada tahun 166 SM, konsul Sulpicius Gallus menceraikan istrinya dan dia diusir keluar dari kediamannya dengan keadaan terbuka, sehingga memungkinkan semua orang melihatnya secara jelas dan menandakan bahwa statusnya sudah tidak menikah lagi. Gadis-gadis yang belum menikah umumnya tidak menutupi kepala mereka, tetapi bagi wanita yang sudah menikah menutupi kepalanya untuk menunjukkan kesopanan dan kesucian mereka. Kerudung juga di identikan melindungi wanita dari mata-mata jahil dan jahat.

Vibia Sabina, keponakan kaisar Romawi, Trajan dan istri kaisar Hadrian
Sebuah penutup kepala yang disebut flammeum adalah contoh yang paling menonjol dari kostum yang dikenakan oleh pengantin wanita dalam pernikahan di Romawi. Kerudung tersebut berwarna kuning yang melambangkan pada nyala lilin. Flammeum juga melambangkan tabir "Flaminica Dialis", pendeta Romawi yang tidak boleh bercerai dengan suaminya, seorang imam besar Jupiter, dan dengan demikian melambangkan sebuah komitmen tentang kesetiaan seumur hidup untuk satu orang.
Percampuran populasi juga menghasilkan konvergensi budaya kerajaan Yunani, Persia, Mesopotamia dan orang-orang Semit di Timur Tengah. Kerudung dan pembatasan diri perempuan menjadi sebuah budaya yang tetap didalam komunitas orang-orang Yahudi dan Kristen, hingga menyebar ke perkotaan-perkotaan Arabia dan akhirnya menjadi lumrah di antara masyarakat perkotaan saat itu. Di daerah pedesaan adalah hal umum untuk menutupi rambut, tetapi tidak sampai ke wajah.
Spoiler for kerudung di era Medieval:
Kerudung dalam masyarakat Eropa

Selama berabad-abad, sampai sekitar tahun 1175, masyarakat Anglo-Saxon dan kemudian wanita - wanita Anglo-Norman (dengan pengecualian gadis-gadis muda yang belum menikah) mengenakan kerudung yang menutupi seluruh rambut, leher, sampai ke dagu mereka (wimple). Hingga periode Tudor (1485), tudung jenis Hood menjadi populer dan tudung jenis wimple mulai ditinggalkan, namun ini juga sangat bergantung dan relatif berbeda diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Di Italia, kerudung (termasuk yang sampai wajah) dipakai di beberapa daerah sampai tahun 1970an. Perempuan di Italia selatan sering menutupi kepala mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wanita yang sederhana, berkelakuan baik dan saleh. Mereka umumnya mengenakan cuffia (topi), dan fazzoletto (saputangan / selendang kepala) yang merupakan sepotong kain segitiga atau persegi panjang panjang yang bisa diikat dengan berbagai cara, dan kadang-kadang dipakai untuk menutupi seluruh wajah kecuali mata.

Selama berabad-abad kemudian, wanita Eropa mengenakan kerudung tipis. Kadang-kadang kerudung jenis ini digabungkan/dikombinasikan bersama dengan topi terutama di pemakaman dan dipakai selama periode berkabung. Tudung juga digunakan sebagai alternatif untuk menutupi wajah, metode sederhana untuk menyembunyikan identitas wanita yang bepergian untuk bertemu kekasih, atau melakukan apa pun yang dia tidak ingin orang lain ketahui. Lebih pragmatis, kerudung juga kadang-kadang dipakai untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat sinar matahari dan angin maupun cuaca-cuaca lainnya atau untuk menghalangi debu dari wajah para wanita.


Wimple
Selama berabad-abad, sampai sekitar tahun 1175, masyarakat Anglo-Saxon dan kemudian wanita - wanita Anglo-Norman (dengan pengecualian gadis-gadis muda yang belum menikah) mengenakan kerudung yang menutupi seluruh rambut, leher, sampai ke dagu mereka (wimple). Hingga periode Tudor (1485), tudung jenis Hood menjadi populer dan tudung jenis wimple mulai ditinggalkan, namun ini juga sangat bergantung dan relatif berbeda diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Di Italia, kerudung (termasuk yang sampai wajah) dipakai di beberapa daerah sampai tahun 1970an. Perempuan di Italia selatan sering menutupi kepala mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah wanita yang sederhana, berkelakuan baik dan saleh. Mereka umumnya mengenakan cuffia (topi), dan fazzoletto (saputangan / selendang kepala) yang merupakan sepotong kain segitiga atau persegi panjang panjang yang bisa diikat dengan berbagai cara, dan kadang-kadang dipakai untuk menutupi seluruh wajah kecuali mata.

Chaterine of Aragon dan kerudungnya
Selama berabad-abad kemudian, wanita Eropa mengenakan kerudung tipis. Kadang-kadang kerudung jenis ini digabungkan/dikombinasikan bersama dengan topi terutama di pemakaman dan dipakai selama periode berkabung. Tudung juga digunakan sebagai alternatif untuk menutupi wajah, metode sederhana untuk menyembunyikan identitas wanita yang bepergian untuk bertemu kekasih, atau melakukan apa pun yang dia tidak ingin orang lain ketahui. Lebih pragmatis, kerudung juga kadang-kadang dipakai untuk melindungi kulit dari kerusakan akibat sinar matahari dan angin maupun cuaca-cuaca lainnya atau untuk menghalangi debu dari wajah para wanita.

Salah satu gambaran perempuan eropa abad pertengahan dengan berbagai macam Tudungnya
Spoiler for Kerudung dalam Agama:
Kerudung dalam Agama

Dalam agama Yahudi , Kristen dan Islam menutupi kepala dikaitkan dengan norma kesopanan dan Religiulitas. Penggambaran paling tradisional tentang hal ini salah satunya berasal dari Bunda Maria, bunda Kristus, yang menunjukkan dirinya selalu tertutup dengan kerudung atau jilbab. Selama Abad Pertengahan kebanyakan wanita yang sudah menikah di Eropa menutupi rambut mereka dengan berbagai gaya wimple , kerchiefs dan headscarfs. Berjilbab dan menutupi rambut (tanpa menutupi wajah), adalah praktik umum pada wanita yang pergi ke gereja sampai terakhir di tahun 1960an. Wanita Katolik biasanya menggunakan renda, dan sejumlah gereja yang masih sangat tradisional mempertahankan adat istiadat tersebut. Topi adalah aturan di gereja-gereja non-Katolik. Renda kerudung wajah masih sering dipakai oleh kerabat perempuan di pemakaman di beberapa negara Katolik hingga saat ini.
Literatur Kristen Bynzantium mengatur tentang norma-norma kaku yang berkaitan dengan jilbab perempuan, yang tentu telah dipengaruhi oleh tradisi Persia. Islam yang saat itu baru menyebar juga diidentifikasikan sebagai agama monoteisme yang sudah ada didalam kekaisaran Bizantium dan Sassania. setelah penaklukan bangsa Muslim awal, jilbab perempuan diasosiasikan sebagai cita-cita Alquran tentang kesopanan dan kesalehan. Kerudung secara bertahap menyebar ke wanita Arab kelas atas, dan akhirnya menyebar luas di kalangan wanita Muslim di kota-kota seluruh Timur Tengah.

Kerudung wanita Muslim Arab menjadi sangat dominan di bawah kekuasaan Ottoman, dipandang sebagai tanda pangkat dan gaya hidup yang eksklusif dikota-kota besar seperti Istambul. Perempuan di daerah pedesaan jauh lebih lambat untuk mengadopsi jilbab karena dianggap mengganggu pekerjaan mereka di ladang. Karena mengenakan jilbab tidak praktis untuk wanita yang bekerja, maka muncul semacam anekdot yang mengatakan "seorang wanita berjilbab, diam-diam mengumumkan bahwa suaminya cukup kaya untuk membuatnya tetap diam dan tidak perlu bekerja".
Pada abad ke-19, wanita Muslim dan Kristen urban kelas atas di Mesir mengenakan pakaian yang mencakup penutup kepala dan burqa (kain musin yang menutupi hidung bawah dan mulut). Hingga paruh pertama abad kedua puluh, perempuan pedesaan di Maghreb dan Mesir mengenakan cadar saat mereka mengunjungi daerah perkotaan, "sebagai tanda peradaban". Praktek berjilbab secara bertahap menurun di sebagian besar dunia Muslim selama abad ke-20 sebelum kembali menjadi populer kembali dalam beberapa dekade terakhir ini.

Lukisan Bunda Maria yang pasti selalu berkerudung
Dalam agama Yahudi , Kristen dan Islam menutupi kepala dikaitkan dengan norma kesopanan dan Religiulitas. Penggambaran paling tradisional tentang hal ini salah satunya berasal dari Bunda Maria, bunda Kristus, yang menunjukkan dirinya selalu tertutup dengan kerudung atau jilbab. Selama Abad Pertengahan kebanyakan wanita yang sudah menikah di Eropa menutupi rambut mereka dengan berbagai gaya wimple , kerchiefs dan headscarfs. Berjilbab dan menutupi rambut (tanpa menutupi wajah), adalah praktik umum pada wanita yang pergi ke gereja sampai terakhir di tahun 1960an. Wanita Katolik biasanya menggunakan renda, dan sejumlah gereja yang masih sangat tradisional mempertahankan adat istiadat tersebut. Topi adalah aturan di gereja-gereja non-Katolik. Renda kerudung wajah masih sering dipakai oleh kerabat perempuan di pemakaman di beberapa negara Katolik hingga saat ini.
Literatur Kristen Bynzantium mengatur tentang norma-norma kaku yang berkaitan dengan jilbab perempuan, yang tentu telah dipengaruhi oleh tradisi Persia. Islam yang saat itu baru menyebar juga diidentifikasikan sebagai agama monoteisme yang sudah ada didalam kekaisaran Bizantium dan Sassania. setelah penaklukan bangsa Muslim awal, jilbab perempuan diasosiasikan sebagai cita-cita Alquran tentang kesopanan dan kesalehan. Kerudung secara bertahap menyebar ke wanita Arab kelas atas, dan akhirnya menyebar luas di kalangan wanita Muslim di kota-kota seluruh Timur Tengah.

Pakaian Kristen koptik di mesir
Kerudung wanita Muslim Arab menjadi sangat dominan di bawah kekuasaan Ottoman, dipandang sebagai tanda pangkat dan gaya hidup yang eksklusif dikota-kota besar seperti Istambul. Perempuan di daerah pedesaan jauh lebih lambat untuk mengadopsi jilbab karena dianggap mengganggu pekerjaan mereka di ladang. Karena mengenakan jilbab tidak praktis untuk wanita yang bekerja, maka muncul semacam anekdot yang mengatakan "seorang wanita berjilbab, diam-diam mengumumkan bahwa suaminya cukup kaya untuk membuatnya tetap diam dan tidak perlu bekerja".
Pada abad ke-19, wanita Muslim dan Kristen urban kelas atas di Mesir mengenakan pakaian yang mencakup penutup kepala dan burqa (kain musin yang menutupi hidung bawah dan mulut). Hingga paruh pertama abad kedua puluh, perempuan pedesaan di Maghreb dan Mesir mengenakan cadar saat mereka mengunjungi daerah perkotaan, "sebagai tanda peradaban". Praktek berjilbab secara bertahap menurun di sebagian besar dunia Muslim selama abad ke-20 sebelum kembali menjadi populer kembali dalam beberapa dekade terakhir ini.

Spoiler for Penutup kepala Laki-laki:
Penutup kepala bagi laki-laki

Di antara Tuareg , Songhai , Hausa , dan Fulani di Afrika Barat, wanita tidak secara tradisional mengenakan penutup kepala, malah justru pria yang mengenakannya. Penutup kepala lelaki juga umum di antara suku Berber Sanhaja. Penutup kepala laki-laki di Afrika Utara yang menutupi mulut dan kadang-kadang bagian dari hidung disebut litham dalam bahasa Arab dan disebut tagelmust di Tuareg. Anak laki-laki Tuareg mulai mengenakan penutup kepala pada awal masa pubertas dan dianggap sebagai tanda kedewasaan.
Ukiran batu Afrika kuno yang menggambarkan wajah manusia dengan mata tetapi tidak ada mulut atau hidung menunjukkan bahwa asal-usul litham tidak hanya muncul selama pra-Islam tetapi bahkan sudah ada sejak pra-sejarah. Mengenakan litham tidak berhubungan sama sekali dalam agama, meskipun tampaknya diyakini dapat memberikan perlindungan magis terhadap kekuatan jahat. Dalam praktiknya, litham juga berfungsi sebagai pelindung dari debu dan suhu ekstrem yang menjadi ciri khas lingkungan gurun.

Di beberapa bagian negara India, Pakistan , Bangladesh , dan Nepal, pria mengenakan sehra di hari pernikahan mereka. Sehra adalah penutup wajah dan kepala laki-laki yang menutupi seluruh wajah dan leher pemakainya. Sehra terbuat dari bunga, manik-manik, perada, daun kering, atau sabut kelapa. Sehra yang paling umum terbuat dari marigold segar. Pengantin pria memakai ini sepanjang hari untuk menyembunyikan wajahnya bahkan selama upacara pernikahan. Di India Utara hingga hari ini, kita masih dapat melihat pengantin pria tiba di atas kuda dengan sehra melilit di kepalanya.

Litham suku Tuareg
Di antara Tuareg , Songhai , Hausa , dan Fulani di Afrika Barat, wanita tidak secara tradisional mengenakan penutup kepala, malah justru pria yang mengenakannya. Penutup kepala lelaki juga umum di antara suku Berber Sanhaja. Penutup kepala laki-laki di Afrika Utara yang menutupi mulut dan kadang-kadang bagian dari hidung disebut litham dalam bahasa Arab dan disebut tagelmust di Tuareg. Anak laki-laki Tuareg mulai mengenakan penutup kepala pada awal masa pubertas dan dianggap sebagai tanda kedewasaan.
Ukiran batu Afrika kuno yang menggambarkan wajah manusia dengan mata tetapi tidak ada mulut atau hidung menunjukkan bahwa asal-usul litham tidak hanya muncul selama pra-Islam tetapi bahkan sudah ada sejak pra-sejarah. Mengenakan litham tidak berhubungan sama sekali dalam agama, meskipun tampaknya diyakini dapat memberikan perlindungan magis terhadap kekuatan jahat. Dalam praktiknya, litham juga berfungsi sebagai pelindung dari debu dan suhu ekstrem yang menjadi ciri khas lingkungan gurun.

Sehra di India
Di beberapa bagian negara India, Pakistan , Bangladesh , dan Nepal, pria mengenakan sehra di hari pernikahan mereka. Sehra adalah penutup wajah dan kepala laki-laki yang menutupi seluruh wajah dan leher pemakainya. Sehra terbuat dari bunga, manik-manik, perada, daun kering, atau sabut kelapa. Sehra yang paling umum terbuat dari marigold segar. Pengantin pria memakai ini sepanjang hari untuk menyembunyikan wajahnya bahkan selama upacara pernikahan. Di India Utara hingga hari ini, kita masih dapat melihat pengantin pria tiba di atas kuda dengan sehra melilit di kepalanya.
Sumber
Sumber
Sumber
Sumber




pakisal212 dan scorpiolama memberi reputasi
2
10.8K
Kutip
87
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan