Sri Mulyani Banjir Interupsi Terkait Kurs Mendekati Rp 15.000 per Dolar AS

Selasa, 4 September 2018 13:36


Suasana Rapat Paripurna RAPBN 2019 di gedung DPR RI, Selasa (4/9/2018). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat ini menyampaikan tanggapan pemerintah atas pandangan umum fraksi-fraksi terhadap RAPBN 2019.(KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA) 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Beberapa anggota DPR RI menyampaikan kekhawatiran ekonomi nasional kepada Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Mereka minta penjelasan pemerintah melalui Menkeu, terkait nilai tukar rupiah yang terus merosot mendekati angka Rp 15.000 per dolar AS.

Interupsi dan kritik itu disampaikan beberapa anggota DPR kepada Menkeu sesaat sebelum agenda rapat resmi dimulai. Yaitu DPR menggelar agenda rapat paripurna pembahasan RAPBN 2019 pada Selasa (4/9/2018) siang yang turut dihadiri pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Anggota DPR yang berasal dari partai oposisi sampaikan langsung kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di ruang rapat.

"Terkait kurs mata uang asing yang kini sudah mencapai hampir mendekati Rp 15.000, ini selalu dikatakan Pak Presiden di hadapan rakyat bahwa kondisi ini adalah kondisi yang tidak perlu dikhawatirkan. Ini untuk diketahui, kondisi ini tentu sangat memprihatinkan karena begitu banyak komoditas pangan kita yang impor," kata anggota dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, selaku yang pertama kali mengajukan interupsi.

Menurut Bambang, Indonesia sangat rentan terhadap tren pelemahan rupiah. Bahkan, Bambang menyebut Indonesia sebagai negara yang terparah terkena dampak pelemahan rupiah.

"Selalu Pak Presiden mengatakan bahwa kurs dollar AS menguat di beberapa negara. Memang benar, ada pengaruhnya di beberapa negara, tetapi kondisi yang dialami Indonesia adalah yang terparah," tutur Bambang.

Anggota Dewan lain, yakni Michael Wattimena dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan Sri Mulyani akan bahaya krisis ekonomi seperti tahun 1998 silam.

Michael juga mempertanyakan kenapa di tengah gejolak perekonomian saat ini pemerintah tidak mengajukan APBN Perubahan seperti yang dilakukan tahun 2015 lalu.

"Ibu Menteri juga selalu bilang tekanan terhadap nilai tukar dikarenakan kondisi di negara lain, kayak Turki, Argentina. Nanti minggu depan ada negara lain yang krisis, kita menyalahkan kondisi mereka lagi, tolong ini dijelaskan secara jujur, Bu Menteri," ujar Michael.

Anggota Dewan lainnya dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Haerudin, menyinggung tentang risiko utang yang dinilai berpotensi meruntuhkan stabilitas negara.

Haerudin meminta agar beban utang pemerintah jangan terlalu besar. Sejumlah pandangan itu belum ditanggapi Sri Mulyani karena pimpinan sidang, Agus Hermanto, minta agar agenda sidang dilanjutkan terlebih dahulu.

Sri Mulyani pun mulai membacakan tanggapan pemerintah terhadap masukan sejumlah fraksi atas RAPBN 2019 dalam rapat paripurna sebelumnya.
http://jateng.tribunnews.com/2018/09...0-per-dolar-as


Sri Mulyani itu hanya emak-emak yang kebetulan pinter ilmu Moneter ... 
kenapa semua kesalahan jeblognya Rupiah ditimpakan kedirinya? 
Kenapa nggak ke Jokowi?


-----------------------------------------------

Banyak faktor yang cukup kuat mempengaruhi penyebab jeblognya rupiah hingga sebentar lagi akan melampaui angka psikologis Rp 15.000/US$ itu. Sepenuhnya yaa akibat kebijakan ekonomi rezim Jokowi sendiri yang kurang hati-hati mengelola perekonomian nasional. Padahal ketika dia naik menjadi Presiden tahun  2014 lalu, oleh staffnya sendiri di Istananya sudah diperingatkan bahwa tanda-tanda siklus resesi 7 tahunansudah mulai terasa melanda Indonesia sejak 2012 lalu.

Penyebab tekanaan terhadap jeblognya rupiah kali ini, sepertinya yang dominan itu akibat tingginya utang jatuh tempo untuk tahun 20018 dan 2019 yang mencapai Rp 810 triliun, yang beraikibat tingginya permintaan devisa untuk melunasi utang-utang itu. Itu belum utang sektor Swasta yang juga jatuh tempo tahun ini dan tahun depan. Hingga Januari 2018, Utang Luar Negeri Swasta mencapai US$ 174,2 M. Bisa dihitung sendiri kalau 10% saja yang harus dibayar cicilannya tahun 2018 dan 2019 yad itu.

Dan, utang luar negeri Indonesia itu di klaim Jokowi terbanyak untuk bikin infastruktur.  Dikira Jokowi ngutang bikin infrastruktur itu hanya menghabiskan Rp 16 triliun aja selama ini. Dia baru sadar setelah cukup banyak devisa tersedot untuk itu semua, lalu kemudian tiba-tiba saja proyek kebanggaannya itu ditunda/dihentikan begitu saja. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, hingga akhir 2017  hanya 2% proyek-proyek strategis Jokowi itu yang rampung, yaitu sekitar 4 proyek dari 245 proyek kebanggaanya itu. Dan gegara bangun proyek infrastruktur secara jor-joran itu, utang luar negeri Indonesia naik sampai 10.1% di akhir 2017 lalu.

Hal lainnya adalah tekanan Neraca Berjalan (expor dan Impor barang dan jasa). Expor Indonesia jeblog akibat turunnya  harga komoditas expor Indonesia di pasar Dunia. Sampai April 2018 lalu, expor turun cukup tinggi, sekitar 7% lebih. Sementara impor barang dan jasa semakin melonjak ugal-ugalan. Ini juga akibat kebijakan rezim impor Jokowi sendiri, yang apa saja di impor seperti garam misalnya!  Bahkan  impor beras pun tetap dilakukan meski petani akan panen raya.

Tapi begitulah rezim sekarang ini, sudah tahu cari duit sulit, pajak seret mengumpulkannya, pertumbuhan ekonomi jalan ditempat, bencana alam dimana-mana, tapi toh kelihatannya kebiasaan buang-buang duit yang besar seperti untuk penyelenggaraan Asian Games berikut bonusnya itu, atau duit yang cukup besar untuk sidang tahunan IMF di Bali bulan depan misalnya, enteng-enteng saja menggelontorkannya!