Kaskus

Story

fanajinggaAvatar border
TS
fanajingga
Romansa Deutsch
Hai semuanya! ini thread pertama semoga kalian semua suka yaaemoticon-Malu

terimakasih untuk yang bersedia mampiremoticon-Jempol



Quote:



Quote:




Selamat membaca!



            “Wie geht’s Kei?” tanya seorang yang tiba-tiba duduk di sampingku.
            “Eh, baik. Kamu sendiri gimana Vin?” tanyaku balik setelah meneguk minuman yang baru disajikan oleh pelayan cafe.
            “Baik. Kamu selama libur musim panas kemana aja?” tanyanya.
            “Aku hanya berdiam diri sambil meneruskan tulisan yang tidak sempat dilanjutkan saat perkuliahan kemarin,” jawabku dengan suara ketikan.
            “Kamu nggak liburan kemana gitu? Emang nggak bosen di kota ini terus?”
            “Aduh Vin, kamu seperti tidak mengenal aku saja. Aku kan sudah terbiasa seperti ini. Lagian mau liburan kemana musim panas?”
            “Kemana gitu, Berlin misalnya?”
            “Vin...” kataku menghentikan suara ketikan lalu menatapnya.
            “Hm..maaf Kei. Aku lupa,” katanya dengan tatapan bersalah. Aku tidak menanggapi lagi, aku melanjutkan kegiatan dengan laptopku. Memang benda yang satu itu sudah menjadi benda kesayanganku, aku tidak akan menukarkannya dengan apa pun.
Negara ini memang negara impianku sejak masih kecil. Aku sering melihat acara yang berlokasi shootingdi tempat kesukaanku ini. Ber-ibu kota Berlin, ya ini lah Jerman. Aku berada di tempat ini sudah sekitar dua tahun yang lalu. Rheinisch-Westfaelische Technische Hochschule Aachen (RTWH Aachen), ini lah yang membuat aku menempuh ribuan kilometer dari tempat asalku.  Bagiku tidak ada yang menandingi keindahan negara ini. Mungkin bagi kebanyakan orang akan lebih memilih negara lainnya seperti, Paris, Inggris, Korea. Namun bagiku Jerman adalah negara yang paling berbeda dengan yang lainnya.
Selama kuliah di Aachen, aku hanya memiliki seorang teman dekat, ya bisa dibilang sahabat. Vinka namanya, dia juga berasal dari Indonesia. Disini kami mengambil jurusan yang berbeda. Namun Vinka tidak sama sepertiku, dia sudah lama tinggal di Jerman karena memang Maminya adalah seorang berkewarganegaraan Jerman yang menikah dengan seorang pria asal Jakarta, dan kebetulan sejak naik kelas 2 SMP, Vinka ikut kedua orang tuanya untuk tinggal di Jerman karena alasan pekerjaan. Jadi, Vinka lebih tahu tentang seluk beluk negara favoritku ini. Dia heran mengapa aku begitu menyukai negara ini, padahal baginya negara ini biasa saja. Mungkin karena Vinka sudah terlalu lama disini sehingga dia sudah merasa biasa dengan tempat ini. Namun setelah mengenalku lebih lama, dia mengerti bagaimana aku bisa mencintai tempat ini. Nanti juga kalian akan tahu, tenang saja.

*****
            “Kamu dimana?” aku membaca pesan yang masuk ke handphone-ku.
            “Lagi jalan ke halte, mau pulang,” balasku.
            “Tunggu disana!” balasnya lagi. Sesampainya di halte aku melihat bus yang seharusnya aku naiki. Namun karena harus menunggu seorang Vinka, aku jadi masih menetap disana. Sekarang sudah memasuki musim dingin, aku membutuhkan beberapa baju musim dingin sebelum badanku diselimuti dingin.
            “Hai! Yuk!” katanya tiba-tiba menarik tanganku tanpa aba-aba.
            “Mau kemana?” tanyaku mengikuti langkahnya dengan sedikit terburu-buru.
            “Kita mau beli baju musim dingin, sayang jika tubuh mungilmu itu menggigil, tidak kuat aku melihatnya,” katanya dengan sedikit tertawa. Dia mengejekku ya? Aku hanya mengikuti saja kemana dia pergi. Vinka menyetop sebuah taksi lalu langsung menuju tempat yang diinginkan. Sesampainya disana, dia langsung melangkah tergesa-gesa mencari toko langganannya.
            “Pelan-pelan Vin, nanti jatuh,’ kataku masih mengikuti dia di belakang.
            “Kita harus cepat Kei. Kamu mau kehabisan stok pakaian?” tanyanya seperti anak kecil.
            “Hahaha Vinka Vinka, kamu pikir yang menjual pakaian hanya satu toko saja?” tanyaku sambil tertawa geli melihat tingkahnya.
            “Iya aku tahu, tapi kan kamu tahu sendiri aku punya toko langganan untuk masalah pakaian,” jawabnya dengan langkah hampir sampai di toko tujuannya.
            “Oke oke,” kataku pasrah. Sesampainya disana, dia langsung memilih pakaian yang sesuai dengan seleranya, begitu pun denganku. Namun aku hanya mengambil sesuai kebutuhanku saja, karena memang aku tidak terlalu begitu memperhatikan penampilanku.
            “Kamu sudah selesai?” tanya Vinka yang terlihat membawa begitu banyak potong pakaian.
            “Iya sudah,” jawabku enteng dengan dua jaket ditanganku.
            “Yampun Kei, kamu itu gimana sih? Masa hanya beli dua jaket yang terlihat kuno?” kata Vinka sedikit protes.
            “Kuno bagaimana? Ini bagus kok,” jawabku sambil melihat kedua jaket itu. Menurut kalian jaket dengan warna cokelat muda dan hijau lumut itu terlihat kuno? Yah walaupun memang polos sih, tanpa coretan sedikit pun tapi menurutku itu tidak kuno. Memang seperti itulah seleraku, tidak ingin terlalu mencolok. Sementara itu, Vinka yang telah selesai memilih pakaian kesukaannya langsung mengajakku ke kasir untuk membayar.
            “Makan yuk!” ajaknya setelah kami keluar dari toko tersebut.
            “Aku masih kenyang, mau minum kopi aja deh,” jawabku.
            “Kamu ya, minum kopi terus. Ngga baik tahu kebanyakan minum kopi,” kata Vinka mengingatkan.
            “Hanya segelas saja, tidak berlebihan kok,” jawabku dengan langkah pertama menuju kedai kopi terdekat yang memang sering ku kunjungi. Kali ini Vinka yang mengikutiku dari belakang.
            Satu americano telah berada di hadapanku. Sementara itu Vinka hanya memesan segelas coklat hangat.
            “Kei,”
            “Hmm?” kataku menyahut tanpa memalingkan wajah dari laptop kesayanganku.
            “Kamu tidak ingin mengetahui kabarnya?” pertanyaan itu membuat aku menghentikan tanganku yang tadinya memainkan keyboardlaptop. Aku terdiam lalu meneguk americano yang sedari tadi menunggu untuk dinikmati olehku.
            “Belum siap,” jawabku memandang keluar jendela.
            “Ya sudah, kabari aku kapan kamu sudah siap. Aku pasti mengantarkan kamu ke tempatnya,” kata Vinka yang kemudian meneguk coklatnya.
            “Kamu sendiri bagaimana dengan Javaz?” tanyaku balik.
            “Hmm...ya begitulah,” jawab Vinka dengan murung.
            “Hey, kamu ada masalah lagi sama dia?”
            “Dia akhir-akhir ini sibuk banget. Hampir tidak punya waktu untukku,” jawab Vinka.
            “Sudah jangan sedih. Dia juga sibuk kuliah dan kerja kan? Bukan sibuk yang aneh-aneh,” kataku memberi masukan positif.
            “Iya juga sih, benar kata kamu,” kata Vinka dengan wajah yang bersinar kembali seperti biasa. Di siang yang cukup dingin itu kami menghabiskan waktu di kedai kopi ditemani pesanan masing-masing dan cerita-cerita kecil yang hampir tidak ada habisnya. Tidak terasa senja sudah tiba, ya walaupun tidak begitu terasa hangatnya senja namun jingganya masih bisa dirasakan. Aku dan Vinka melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut lalu pulang ke tempat masing-masing.
            Sesampainya di apartemen, aku langsung bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekaligus mencari ide-ide baru untuk bahan tulisan. Aku memang suka menulis sejak duduk di bangku SMP. Baik itu menulis pengalamanku, perasaanku terhadap sesuatu, sampai imajinasi-imajinasi yang terpikirkan saat aku di kamar mandi. Memang kamar mandi memiliki kesan tersendiri untuk mendapatkan sebuah ide, aku tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Namun selama ini, sebagian besar ide yang ku peroleh untuk tulisanku, aku dapatkan saat berada di kamar mandi.
            Malam ini aku tidak bisa melanjutkan tulisan yang sempat terhenti saat tadi sore di kedai kopi karena memang ada beberapa tugas kuliah yang harus dikelarkan secepatnya. Aku memang sudah terbiasa begadang hingga pukul 2 pagi. Oleh karena itu, Vinka selalu saja memperingatiku bahwa kebiasaanku itu tidak baik. Aku tahu itu tidak baik, tapi gimana ya? Aku rasanya sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Aku juga merasa kesehatanku tidak menurun apabila aku begadang terus.   
            “Memang kamu sehat-sehat saja sekarang ini, tapi kita tidak ada yang tahu dalam waktu ke depannya,” kata Vinka suatu hari saat melihat aku datang ke kampus dengan mata panda karena tidak tidur semalaman.
            “Iya Vin iya,” jawabku sambil menghempaskan tubuhku di bangku taman saat kuliah kami sudah selesai.
            Aku memang beruntung memiliki seorang sahabat seperti Vinka. Dia bukan sekedar sahabat, dia sudah aku anggap seperti saudara sendiri, karena memang di tempat ini aku hanya mengenal dia. Oh ya, ada satu lagi manusia yang aku kenal di tempat ini. Tapi aku akan menceritakan dia pada bab-bab berikutnya.


Romansa Deutsch

Diubah oleh fanajingga 22-09-2018 17:48
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.3K
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan